Aku diam, hanya menoleh sekilas. Berusaha menahan diri karena sudah menduga, akan ada hal seperti ini selama persidangan berjalan. Aku tak akan terpancing dengan ucapan mereka.
“Ibu,” tegur Hakim, “ini bukan tempat menyudutkan pribadi, kita berbicara berdasarkan bukti. Tuduhan harus berdasarkan fakta, bukan opini.”
Hannah ikut angkat bicara. “Tapi saya adik kandungnya, Yang Mulia. Saya tahu kakak saya berjuang dalam rumah tangganya. Lisa itu terlalu banyak menuntut. Dia selalu ingin tampil sempurna di luar, tapi dia enggak memikirkan bagaimana kakak saya mencari nafkah. Dia tidak peduli bagaimana Mas Hanung, Pak.”
“Benarkah begitu, Ibu Lisa?” tanya Hakim sambil menoleh padaku.
Aku berdiri, melirik sekilas pada Ningsih yang mengangguk kecil memberiku keyakinan. Lalu aku pun bicara dengan tenang. “Yang Mulia, saya memang memiliki kegiatan di luar rumah. Saya mengelola sebuah butik peninggalan almarhum ib
Kalau ada yang ingin mengatakan betapa konyol dan impulsif tindakan Lisa, silakan utarakan. Lisa sendiri tak tahu apa yang sebenarnya ada di pikirannya. Kenapa juga ia setuju dengan permintaan Ronald.Saat pria itu diberikan keputusan jika Lisa mau membantu, wajah tampannya jauh lebih bersinar dari sebelumnya. Bisa dibilang, mungkin sebagian besar bebannya berkurang banyak.“Mami kenapa?” tanya Nabil bingung. Sejak tadi ibunya berulang kali gonta-ganti siaran TV. biasanya, ia tak pernah seperti itu.“Enggak apa-apa, Sayang,” Lisa menyeringai tipis. “Duduk sini.” Ia pun meminta anaknya untuk duduk di dekatnya. Nabil menuruti dan segera bersandar begitu Lisa merangkulnya penuh sayang. “Ehm ... Mami mau ngomong sama kamu. Bisa?”“Biasanya juga ngomong, kan?”Lisa tertawa jadinya. “Iya, juga, ya.” Tak mungkin ia tak membicarakan dengan anaknya, kan? “Menurutmu, kalau Arya tin
Apa yang bisa Lisa lakukan sekarang? Di depannya, pria yang lebih sering bertampang datar, bicara singkat, dan jarang sekali menunjukkan basa basi—bahkan sekadar senyum sapaan saja hanya sekadarnya saja. Ditambah, perkenalan mereka dimulai dari sesuatu yang sangat konyol dan tak masuk akal.Tapi ...“Hanya seminggu?” tanya Lisa akhirnya.“Iya, saya pastikan hanya seminggu. Berangkat Senin malam. Pulang maksimal Minggu pagi.”Lisa mengangguk pelan pada akhirnya. Entah apa yang merasuki kepalanya, tapi Lisa tak bisa menolak. Sungguh. Apa karena sorot matanya yang tampak memelas? Lisa tak punya jawaban yang tepat. “Akan saya pertimbangkan dulu..”Ronald tersenyum tipis. “Saya hargai itu. Terima kasih, Lisa.” Ia pun kembali menikmati kopinya meski belum sepenuhnya tenang. “Tapi ... bisakah saya dikabari segera?”Lisa terperangah.“Maaf, terkesan memaksa. Tapi saya but
Sebenarnya ... ini tak benar!Itu yang Lisa katakan dalam hati begitu memasuki area kafe tempat di mana mereka memiliki janji temu. Tidak. Ini bukan sekadar janji temu, tapi menghabiskan waktu saat anaknya berkutat di tempat les.“Mari,” kata pria yang ada di jarak aman dari posisi Lisa berdiri, dengan santun.“Terima kasih.” Lisa berusaha mengontrol diri. Wanita itu sering bertemu pria yang ternyata, masih memiliki garis keturunan Belanda. Meski ... bisa dikategorikan sudah lumayan jauh. Adinata Ronaldi Kawalirang, nama aslinya. Wajahnya bisa dibilang cukup rupawan, cara bicaranya simple tapi cukup memberi kesan jika pria itu bukan lawan bicara yang hanya bisa bicara banyak tanpa ada bukti.Mereka memilih duduk di salah satu sudut kafe yang tak terlalu banyak diperhatikan orang lain, namun tetap bisa menikmati bagaimana suasana tenang yang kafe ini suguhkan. Pintar juga si pemilik kafe membuka gerainya tak jauh dari tempat Nabil les—bahkan sengaja dibuat semi outdoor dengan memanfaat
New Life“Bekalmu sudah Mami masukkan ke dalam tas, ya, Nabil,” Lisa sedikit berteriak karena masih sibuk dengan urusannya di dapur. Sementara Nabil masih mengenakan sepatu di sudut ruang tamu.“Iya, Mi.”Lisa tersenyum puas. Hari ini ia memilih membawa bekal makan siang karena ada meeting penting setelah makan siang. Ia tak mungkin sempat makan jika berkutat dengan pekerjaannya yang semakin sibuk. Jujur saja, butiknya semakin ramai pelanggan.Bahkan dua pegawainya—Rina dan Hani, sangat kerepotan. Dan karena itu juga, aku mengambil satu pegawai lagi. Namanya Kinan. Menurut Lisa, Kinan orangnya cukup sigap dan gampang berbaur. Rina dan Hani juga tak punya keluhan apa pun dengannya. Jadi kuanggap, Kinan bisa membuat suasana di butik semakin semarak.“Mami, sudah sarapan?” tanya Nabil yang ternyata sudah duduk di kursinya. Ia tampak senang dengan sajian yang Lisa buat—pancake siram madu serta segelas susu hangat yang siap minum.“Mami sarapannya di kantor saja,” kata Lisa sembari mengusap
Epilog – POV LisaAku tak langsung pulang setelah sidang selesai. Rasanya masih terlalu bising di luar sana. Terlalu banyak suara yang bukan untuk didengarkan. Serta tekanan selama jalannya sidang masih begitu aku rasakan.Belum lagi tatapan mantan ibu mertua juga Hannah. Mereka benar-benar terlihat marah padaku. Tapi apa aku peduli? Sama sekali tidak.“Lisa, kamu mau langsung ke butik atau bagaimana?” tanya Winda yang baru saja bicara dengan Ningsih.Pikirku, kalau aku kembali ke butik hari ini, aku masih terlalu pusing dengan semua hal yang baru terjadi. Tidak. aku bukan menyesali semua yang sudah terjadi dan kenyataan kalau mantan suamiku melakukan korupsi besar-besaran dan melimpahkannya pada wanita jal4ng itu.“Enggak deh kayaknya,” sahutku sembari tertawa. “Aku butuh kopi.”“Kalau begitu, aku langsung ke kantor, ya. Ada yang harus aku kerjakan di sana.”&ldqu
“Ini semua belum tentu putusan akhir,” suara Hanung terdengar kasar saat menutup map dokumen di depannya. Ia menatap pengacaranya dengan sorot mata penuh tekanan. “Masih ada celah. Mereka nggak bisa membuktikan bahwa aku menikmati uang itu secara langsung.”Ini sudah hari ke empat sejak sidang perdana yang melibatkan kasus hukum Hanung dan Rara yang terus bergulir panas. Entah siapa yang memprakarsai jika kasus ini justru viral di media massa. Semuanya kebanyakan menghujat sikap Hanung sebagai seorang suami yang tak tahu diri dan terima kasih, juga Rara yang tak punya harga diri.Itu semua memicu Hanung menjadi orang yang semakin tak sabar dan mudah tersinggung. Seolah permasalahan yang datang begitu bertubi-tubi.“Pak Hanung,” pengacara mudanya, seorang pria dengan wajah letih dan dasi longgar, mencoba bersuara tenang. Ardi harus terus bersikap sabar dan profesional. “bukti rekening, aliran dana, dan kepemilikan p