เข้าสู่ระบบBab 8 – Jalan Sunyi, Dendam yang Membara
Langit di atas Lembah Hitam mulai merekah keemasan, tapi tak ada kehangatan yang menyentuh tanah. Kabut tetap menggantung tebal, menyelimuti lembah seperti rahasia yang enggan diungkap. Di dalam gua gelap di balik air terjun kecil, Wang Xuan duduk bersila. Napasnya teratur namun dalam, seperti naga tidur yang perlahan bangkit dari mimpi buruknya. Di depannya, terhampar simbol-simbol bercahaya yang berputar lambat. Ini adalah sisa-sisa dari Mantra Penolakan Jiwa, teknik pertama yang muncul dari gulungan terkutuk. > “Semakin besar luka jiwa, semakin cepat kekuatanmu tumbuh. Semakin besar pengkhianatan, semakin kokoh pondasimu. Jalan ini bukan untuk yang lemah, bukan untuk yang suci. Ini adalah jalan para penolak takdir.” Wang Xuan menarik napas panjang. Ia masih mengingat hari ketika ia dibuang dari Sekte Jalan Suci. Tatapan jijik para tetua, cibiran murid-murid, dan yang paling menusuk—diamnya Li Yueran. Namun sekarang ia tidak akan menoleh ke belakang. “Kalau takdir menolakku,” gumamnya, “maka aku akan menghancurkan takdir itu.” Awal Pelatihan: Merangkai Qi Penolakan Tubuhnya kini mengandung Inti Penderitaan, bentuk khusus dari kekuatan yang lahir dari penderitaan mental dan fisik. Tapi inti ini masih mentah, masih liar. Untuk menstabilkannya, Wang Xuan harus menyerap Qi negatif dari sekelilingnya: rasa sakit, dendam, kesepian, dan kematian. Maka ia mulai menyatu dengan lembah. Ia menapaki jalur berbatu, menjelajahi reruntuhan kuno yang dipenuhi arwah gelisah. Ia duduk bermeditasi di antara kerangka para kultivator yang gagal menembus Nirwana, menyerap sisa energi frustrasi dan keputusasaan mereka. Setiap hari tubuhnya menjadi lebih kuat. Luka-luka yang dulu membekas lenyap tanpa bekas, digantikan kekuatan brutal dan insting tajam seperti binatang buas. Perubahan Tubuh dan Teknik Tiga minggu berlalu. Wang Xuan kini telah menembus tahap awal dari Ranah Qi Dasar versi Jalan Penolakan. Namun berbeda dari kultivator biasa, setiap lompatan kekuatannya tak hanya memperkuat tubuh, tapi juga menanamkan kutukan di dunia sekitar. Saat ia bergerak, udara di sekitarnya menjadi berat. Rasa takut muncul di hewan-hewan, dan bahkan roh-roh alam menjauh. Ia kini menguasai tiga teknik awal: 1. Cakar Penolak Surga (Heaven-Denying Claw): Serangan fisik yang memperkuat tangan dengan Qi Penolakan, mampu menembus pertahanan spiritual. 2. Langkah Bayangan Terbuang: Gerakan cepat tanpa suara, dengan bayangan yang tertinggal untuk membingungkan lawan. 3. Mata Luka Jiwa: Teknik pasif yang membuat lawan merasa seolah melihat kenangan traumatis mereka sendiri, mengguncang fokus mereka. Namun kekuatan sejati Wang Xuan bukan hanya teknik. Melainkan kemarahan yang terarah. --- Di Sekte Jalan Suci Sementara itu, di aula besar Sekte Jalan Suci, rumor tentang fluktuasi Qi yang aneh di Lembah Hitam mulai menyebar. “Dikatakan ada suara ratapan tiap malam,” lapor salah satu murid muda. “Dan langit kadang berubah warna... seolah menolak tempat itu.” Tetua Bai duduk termenung. Ia tak pernah bisa menghapus perasaan bersalahnya terhadap Wang Xuan. Meskipun ia ikut memilih pengusiran itu, hatinya tak pernah setuju. “Dia belum mati,” gumamnya. “Dan dia sedang kembali.” Namun yang lain—termasuk Tetua Mo dan Pemimpin Sekte Tian Yulong—mengabaikan peringatan itu. Bagi mereka, Wang Xuan adalah kenangan yang tak layak diulang. --- Li Yueran Di taman belakang sekte, di bawah pohon plum yang mulai gugur, Li Yueran duduk termenung. Ia memegang liontin giok pemberian Wang Xuan dulu. Sejak kepergiannya, hatinya tak pernah benar-benar tenang. > “Kau bilang ingin membuktikan bahwa sampah pun bisa bersinar,” bisiknya. Air mata menetes tanpa ia sadari. Ia adalah satu-satunya yang tahu... Wang Xuan menyimpan warisan terkutuk itu bukan untuk kekuasaan, tapi karena ia ingin bertahan. Bertahan agar suatu hari... bisa kembali. --- Kembali ke Wang Xuan Hari ke-30 di lembah. Wang Xuan berdiri di atas altar batu yang ditumbuhi lumut. Di hadapannya, pusaran Qi kelam berputar, menarik energi dari ribuan jiwa yang tertanam di tanah. Ia memukul dada sendiri. BRAKK! Inti Penderitaan berdenyut cepat. > “Ranah Qi Dasar... Puncak!” Seketika, tubuhnya diliputi oleh gelombang energi luar biasa. Aura hitam membubung ke langit, membentuk wajah menyeramkan di awan. Burung-burung jatuh dari langit. Tanah retak. Batu-batu melayang lalu pecah. Wang Xuan membuka matanya. Kini tak ada lagi jejak kelemahan. Ia bukan murid terbuang. Ia adalah penerus jalan yang dilupakan langit. Dan ia sudah siap... Untuk melangkah keluar dari lembah. Untuk kembali ke dunia. Untuk menuntut balas. > “Tunggu aku, Sekte Jalan Suci... terutama kau, Tian Yulong.” ---Lembah yang hancur perlahan mulai menenangkan diri, namun ketenangan itu hanyalah sementara. Udara masih pekat, debu beterbangan, dan getaran energi yang menekuk hukum ruang terasa seperti ancaman yang terus mengintai setiap napas. Para kultivator dari tiga sekte besar berdiri dengan kewaspadaan tinggi, beberapa masih berjuang untuk mengendalikan Qi mereka, sementara tetua-tetua menatap langit dengan cemas. Celah dimensi di langit semakin melebar, memancarkan cahaya merah-perak yang menakutkan. Makhluk-makhluk luar dunia yang baru muncul lebih cepat, lebih besar, dan lebih kompleks daripada sebelumnya. Bentuk mereka semakin aneh: bayangan raksasa yang bisa menembus ruang, makhluk elemental yang memutar hukum realitas, bahkan entitas yang tampak seperti kabut hidup yang bergerak tanpa wujud pasti. Gelombang energi mereka menekan lembah hingga hampir runtuh, menciptaka
Lembah yang dulu menjadi medan kehancuran kini tampak hening, namun ketenangan itu menipu. Angin membawa aroma besi, debu beterbangan, dan udara terasa pekat dengan tekanan energi yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Para kultivator tiga sekte menatap langit retak dengan waspada, sadar bahwa pertempuran baru akan segera dimulai. Dari celah langit yang tertutup sebagian, muncul fenomena aneh—bayangan dimensi lain yang bergerak seperti kabut pekat. Energi yang merembes dari celah itu berbeda dari makhluk Alam Void sebelumnya; ia lebih kompleks, lebih mengerikan, dan mampu menekuk hukum ruang. Setiap detik yang berlalu membawa gelombang tekanan yang membuat para kultivator sulit bernapas. Wang Xuan berdiri di tengah lembah, tubuhnya bersinar keemasan bercampur garis hitam dari Ranah Takdir yang Ter
Lembah yang retak kini menjadi medan kekuatan yang tidak bisa lagi disebut dunia fana. Batu-batu raksasa beterbangan, sungai danau hitam menggelegak, dan udara dipenuhi gelombang energi yang memekakkan telinga. Para murid dari tiga sekte besar terseret gelombang kehancuran, beberapa jatuh tak sadarkan diri, sementara para tetua tetap bertahan dengan seluruh Qi mereka. Di tengah kehancuran itu, Wang Xuan berdiri dengan tubuh memancarkan cahaya keemasan bercampur garis hitam dari Ranah Takdir yang Tertolak. Energi yang mengalir dari dirinya menstabilkan sebagian lembah, namun tekanan dari dunia luar semakin terasa. Retakan langit semakin besar, memancarkan cahaya merah-perak, dan dari dalam celah muncul makhluk luar dunia tingkat tinggi, tubuh mereka menjulang lebih besar dari gunung, aura kehancurannya menekan seluruh benua. Wan
Retakan di langit timur kini semakin membesar, menganga seperti mulut iblis yang siap menelan dunia fana. Cahaya merah keunguan menyelimuti pegunungan dan lembah, memantul di sungai danau hitam seperti darah yang tumpah tanpa henti. Angin membawa aroma besi dan energi spiritual yang tercampur dengan kehancuran; udara terasa berat, bahkan bagi kultivator tingkat tinggi. Di lembah itu, tiga sekte besar berdiri berjajar. Para Patriark dan tetua tertinggi mengerahkan seluruh Qi mereka, membentuk benteng energi yang menyelimuti ribuan murid. Namun dari retakan langit, makhluk-makhluk Alam Void muncul dengan kecepatan dan jumlah yang terus meningkat. Tubuh mereka berputar seperti kabut hitam pekat, tapi setiap gerakan meninggalkan luka di tanah dan udara. “Formasi Seribu Pedang! Lindungi pusat lembah!” teriak Patriark Han Lie, pedangnya berpendar ca
Langit retak bukan lagi sekadar fenomena spiritual. Kini retakan itu tumbuh — meluas seperti luka di tubuh langit, memancarkan cahaya merah keunguan yang menyelimuti seluruh timur benua. Burung-burung spiritual jatuh dari udara, naga-naga kecil yang menjaga lembah melarikan diri ke arah pegunungan, dan air sungai mulai memantulkan bayangan yang bukan milik dunia ini. Di puncak Menara Jingkong, markas tertinggi Aliansi Tujuh Sekte, para tetua dan penguasa sekte berkumpul. Wajah mereka serius, mata mereka memantulkan cahaya retakan langit di kejauhan. Tak ada satu pun yang berani bicara terlebih dahulu. Di tengah ruangan besar itu, Patriark Sekte Surya Abadi, pria tua berambut putih panjang dengan jubah berwarna emas, membuka suara. “Langit runtuh, bumi bergetar, dan kekuatan spiritual mulai menolak manusia. Ini bukan bencana biasa.”
Langit Timur terbakar merah seperti luka yang menganga. Awan-awan spiritual yang biasanya tenang kini berputar liar, membentuk pusaran seperti mata iblis yang mengintai dari balik dimensi. Suara petir tidak lagi murni dari langit — ada gema asing di dalamnya, sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini. Di lembah suci milik Sekte Gunung Langit, para murid berlarian membawa gulungan pelindung, mencoba menstabilkan formasi pertahanan. Tanah bergetar di bawah kaki mereka; akar-akar pohon tua mencuat dari bumi, seperti tangan yang ingin meraih langit. “Energi spiritual kacau! Alam spiritual di timur benar-benar runtuh!” teriak salah satu Penjaga Formasi. Di atas menara batu, Elder Mo Tian, salah satu tetua tertinggi sekte, berdiri dengan wajah kelam. Aura Inti Roh miliknya meluap, namun setiap kali ia mencoba menenangkan badai spiritual, ada kekuatan asing yang menolak — kekuatan yang







