Share

7. Bocah laki-laki

“Bukakan pintunya, cepat!”

Yudhistira yang mendapat perintah langsung membukan pintu ruang kantor sang atasan. Sekilas dia melirik wajah Haikal yang terlihat tenang, tapi sudah tampak gurat kecemasan semejak di lift. Wajar saja jika si asisten akan berpikir bahwa tindakan Haikal sangat berlebihan. Terlebih lagi hanya untuk karyawan yang baru hari ini dia kenal. Bos-nya itu bahkan melangkahkan kakinya dengan sangat cepat. Dengan kaki panjang itu tak akan butuh waktu lama untuk mencapai depan pintu ruangan kerjanya.

“Aku akan membaringkannya.” Haikal menuju sofa hitam panjang berbahan kulit di ruangannya.

Yudhistira gegas menata bantal duduk agar bisa digunakan Jiena untuk berbaring. “Sudah, Bos.” Dia memundurkan tubuh untuk memberi sang atasan ruang gerak.

Tubuh Jiena dibaringkan secara perlahan. “Badannya kecil, tapi bugar,” gumam Haikal seraya melatakkan perlahan kepala wanita itu di bantal. Tanpa disadari dia telah terpesona dengan kulit putih Jiena yang sangat dekat di pandangannya. Seolah tersihir dengan wajah tampan nan juga cantik milik wanita itu.

“Bos.”

Panggilan sang asisten lantas membuatnya tersadar, Haikal terlalu larut dalam pikiran, mengagumi keindahan di depan matanya. “Emm?” responnya seraya kembali menegakkan tubuh.

“Apa perlu aku panggilkan dokter dari klinik perusahan?”

Haikah menggeleng, lalu lantas duduk pada tepian sofa panjang itu, tanpa mengalihkan pandangan pada sang asisten. “Tidak perlu. Hubungi Steve saja! Aku lebih percaya padanya.”

Yudhistira pun menuruti kemauan sang bos dan berjalan ke arah pesawat telepon di meja kerja. Meskipun dia sedikit binggung kenapa bosnya itu memilih memanggil dokter pribadinya. Namun, satu gerakan tangan dari haikal menghentikan pergerakannya.

“Tunggu, biar aku saja.” Kemudian ponsel dari kantong celana pria berwajah hitam manis itu keluarkan, langsung melakukan panggilan. Dengan wajah seriusnya itu, tampak menunjukan tidak menerima penolakkan.

Selang sepuluh menit kemudian, seorang dokter pria telah bersiap untuk melakukan pemeriksaan pada Jiena. Tanpa ada kesempatan untuk protes atau bertanya terlebih dahulu. Wajahnya tampak kesal karena Haikal yang juga merupakan sahabatnya itu memaksa datang secepat mungkin. Dia yang sedang makan siang, terpaksa harus datang karena ancaman dari sang CEO.

“Bocah laki-laki ini tiba-tiba pingsan. Cepat periksa apa yang salah dengannya!” perintah Haikal begitu dokter yang dipanggilnya masuk ke ruangan.

Sang dokter yang bernama Davin itu hanya bisa mendesah kesal melihat pria di hadapannya memberi perintah. “Biarkan aku bernapas dulu sebentar, Tuan Muda.” Nada bicaranya terdengar kesal. Tanpa kata-kata lagi dia pun duduk di sebelah Jiena, kemudian mengeluarkan peralatannya.

Prosedur dasar pemeriksaaan pun dilakukan. Sekilas tampak kening Davin berkerut saat melihat wajah Jiena yang tidak sadarkan diri. Steteskop yang menempel di dada wanita itu digeser ke sisi lainnya. Jelas tampak keraguan dari sorot mata sang dokter.

Setelah selesai dengan tugasnya, Dimas pun berbalik menghadap Haikal. “Kal. Dia bocah laki-laki?” tanyanya kemudian.

Haikal menggangguk. “Iya. Kenapa, ada yang salah? Katakan saja bagaimana kondisinya?”

Melihat respon Haikal yang tanpa ragu, dia pun tersenyum kecil. Senyum mencurigakan di sudut bibir Davin si jail. Dia pun berdehem kecil, menunjukan sikap profesionalnya. “Dia hanya sedikit demam karena kelelahan. Tidak ada yang serius. Cukup beri obat dan istirahat, dia akan segera pulih,” ucap Dimas tenang.

“Emm, baiklah.”

Balasan singkat Haikal membuat Davin memutar bola matanya. Sekali lagi dia mendengus melihat lawan bicaranya itu. Tapi, rasa penasaran mendorongnya untuk tahu lebih.

“Siapa dia?”

“Seorang karyawan.”

“Kal, gue tau dia karyawan lo. Pertanyaannya, dia siapa sampai lo mau nolong dan bawa ke sini?”

“Vin, lakukan saja urusan lo. Dan ... apa salahnya membantu karyawan sendiri?” Dengan santainya Haikal mengedikkan bahu dan berjalan ke meja kerjanya. “Jika sudah selesai, silakan pergi, gue masih ada pekerjaan.” Yang paling menyebalkan, caranya mengibaskan tangan seakan mengusir.

“Wah ... Bro. Setelah memaksaku datang, sekarang langsung diusir? Gue bahkan meninggalkan makan siang karna lo. Ini pertama kali gue datang setelah lo kembali, setidaknya suguhi minuman dan beberapa cemilan.” Davin semakin merasa kesal dengan ekspresi acuh Haikal. “Haah ... menyebalkan seperti biasa.”

Sang dokter muda itu lantas berdiri setelah merapikan kembali peralatannya. Sementara sahabat menyebalkannya itu masih duduk di singgasana seraya memainkan ponsel. Seperti biasa, selalu aktif dan update di media sosialnya. Dan dia yakin, sebentar lagi ponselnya akan ada notifikasi bahwa telah ditandakan. Dengan keterangan, yang pasti juga menyebalkan.

“Kalo gitu gue pergi ya.”

CEO muda itu menoleh dan melambaikan tangan. “Oke.” Lalu beralih pandang pada sang tangan kanannya. “Yud, antarkan tamu terhormat kita ini. Pastikan dia pulang dengan selamat. Jangan lupa bukakan juga pintu mobil untuknya.”

“Baik, Bos,” balas Yudhistira patuh. Raut wajahnya tampak tenang, seperti telah biasa dengan suasana tersebut.

“Sialan lo, Kal. Bilang aja mau ngusir gue. Emang dasar lo ya, seengaknya terima kasih kek.” Davin kemudian menoleh ke Yudhistira yang tak pernah berpihak padanya. “Dan lo Yud, seneng kan liat si Haikal ngejailin gue.” Sementara orang yang dia protes itu hanya mengedikkan bahu.

Tanpa berkata apapun lagi Davin segera pergi dari ruangan luas itu. Raut wajah kesal yang dia tunjukkan bukan berarti karena rasa benci pada sahabatnya itu. Dia sudah terbiasa, tentu saja karena Haikal adalah sahabat baiknya selama bertahun-tahun. Haikal bersikap seperti itu karena belum mau terbuka atau tidak ada sesuatu hal penting yang harus dia jelaskan. Yah ... begitulah, Davin ataupun Yudhistira sudah maklum.

***

Jiena yang telah tertidur selama tiga puluh menit, perlahan mulai bergerak dan membuka matanya. Haikal yang selalu mengawasi, segera beranjak dari duduknya dan menghampiri wanita itu. Rasa pusing tampaknya masih membuat Jiena sulit untuk bangkit. Dia pun memindai pelan-pelan keadaan disekitar. Terasa asing dan binggung dengan suasana berbeda.

“Kalau masih pusing, tiduran lagi saja.”

Ucapan Haikal seketika mengaihkan pandangan Jiena pada pria itu. Dia yang tadinya setengah sadar, reflek terduduk. “Pak ... Haikal? Kenapa saya ada di sini?”

“Tadi kamu pingsan. Karena saya yang terlalu baik, jadi saya bawa kamu naik.”

Dalam rasa sakit, malah mendengar ucapan yang membuatnya tak habis pikir. “Emm ... terima kasih, Pak. Kalau gitu saya permisi.”

Ketika wanita itu mencoba bangkit, tubuh lemahnya masih tak dapat dikendalikan. Seketika rasa pusing itu membuat tubuhnya lunglai hampir terjatuh.

Dengan cepat Haikal meraih tubuh Jiena. “Kan ... kan, tadi saya minta kamu tiduran lagi saja. Kamu masih pusing.” Lalu memaksa wanita itu kembali duduk. “Duduk diam, asisten saya akan bawakan obat.”

Jiena hanya terdiam karena kepedulian sang atasan. Membiarkan pria itu menyiapkan makan siangnya yang tadi sempat diambil. Jiena selayaknya pasien yang mendapat perawatan khusus. Setiap gerakan terus dia perhatikan dengan kebingungan. Dia makin tercengang saat Haikal mengulurkan sebuah suapan sambil tersenyum. Tatapan keduanya saling bertemu.

“Sekarang kamu makan dulu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status