Rin duduk dengan wajah lesu di taman kampus sembari menatap air mancur kecil yang terpampang jelas di depan matanya.
Pikiran gadis itu mulai melayang, mengingat kembali omelan-omelan dosen yang terus terngiang di otaknya.
Cacian, makian hingga hinaan harus ia telan mentah-mentah tanpa bisa membantah. Apapun yang diucapkan oleh Rin hanya dianggap angin lalu, terlebih lagi gadis itu tak dapat membuktikan apapun mengenai hancurnya ruangan laboratorium akibat orang tidak bertanggungjawab.
Gadis itu semakin sial karena CCTV pun tak dapat memberinya dukungan apapun. Akibat memori penuh, kamera pengintai yang terpasang di sekitar laboratorium tak dapat lagi menyimpan rekaman apapun selama beberapa hari terakhir.
"Huh, bagaimana lagi aku harus menjelaskan pada dosen-dosen tua itu kalau aku tidak melakukan apapun?!" gerutu Rin sebal.
"Kalau aku pelakunya, tentu aku sudah melarikan diri dan tidak membuka pintu lebar-lebar saat aku memasuki laboratorium! Apa logika para orang tua itu sudah tidak berjalan?!" oceh Rin seorang diri.
"Orang-orang hanya ingin percaya pada apa yang mereka lihat. Logika hanya berlaku bagi orang-orang yang berkepala dingin," sahut seorang pria menimpali ocehan Rin.
Gadis itu tersentak kaget dan segera menoleh ke sumber suara untuk melihat siapa pria yang bersuara di belakangnya.
"Ini!" Ron menghampiri Rin kemudian menyodorkan satu kaleng soda dingin untuk menyegarkan otak gadis yang tengah tersulut amarah itu.
"Te-terima kasih!" ucap Rin terbata-bata.
"Total ganti rugi untuk seluruh peralatan laboratorium hanya bernilai sekitar lima ratus hingga enam ratus juta. Laboratorium kimia di kampus ini tidak terlalu lengkap," ujar Ron menyebutkan angka yang membuat Rin sesak nafas.
"Mahasiswi sepertiku mana bisa mendapatkan uang sebanyak itu," gerutu Rin lirih.
"Jadi, apa rencanamu sekarang? Kau masih ingin menjelaskan pada dosen-dosen itu dengan kata-kata atau dengan bukti nyata?" tanya Ron.
"Bukti nyata?"
"Kalau bukan kau yang melakukannya, maka kau harus bisa membawa pelaku yang sebenarnya! Memang sedikit tidak adil, tapi beginilah cara kerja orang-orang licik jaman sekarang," ungkap Ron.
"Kenapa aku harus bersusah payah mencari pelakunya? Aku bahkan tidak menyentuh apapun di laboratorium itu! Seharusnya mereka yang mencari bukti kalau memang benar aku pelakunya! Kenapa justru harus aku yang mencari pembuktian kalau aku tidak bersalah?" omel Rin tanpa sungkan di depan Ron.
Pria itu tertawa kecil melihat wajah lucu Rin yang memasang tampang dongkol serta mengomel tanpa henti. Ron mengacak gemas rambut Rin tanpa canggung hingga membuat pipi gadis itu tersipu karena senyum manis Ron.
"Coba kau minta bantuan pada dekan fakultasmu. Kalau kau tidak bisa menemukan bukti, mungkin kau harus merogoh kocek untuk mengganti barang yang tidak pernah kau sentuh sebelumnya," ujar Ron dengan entengnya.
"Lima ratus juta terlalu besar untuk gadis miskin sepertiku. Asal mereka tidak membawa masalah ini ke jalur hukum, aku masih bisa menerima. Anggap saja aku sedang terkena sial," gerutu Rin pasrah.
"Kau belum mencobanya! Coba lakukan semua yang kau bisa!" tukas Ron memberikan semangat pada Rin.
"Kalau kau butuh bantuan, kau bisa menghubungiku! Aku ada kelas yang sudah menunggu. Jangan bolos dari kelasmu hanya karena masalah ini!" pungkas Ron sembari meninggalkan kartu nama Ron pada Rin.
Gadis itu mengeja nama Ron perlahan dengan dahi berkerut. "Malveron Malvey?" gumam Rin seraya memandangi punggung Ron yang sudah menjauh.
Rin pun lekas bangkit dari duduknya dan mencoba menemui Susan untuk mencari bantuan. Namun, hanya berpapasan sekilas di jalan saja, teman Rin itu sudah melarikan diri sebelum Rin mengatakan sesuatu.
"Susan! Hei, kau mau pergi kemana?! Dasar teman laknat! Aku sudah membantumu tapi ini balasanmu padaku? Lihat saja nanti, aku tidak akan membantumu lagi, rambut keriting!" pekik Rin pada Susan yang sudah berlari kocar-kacir menjauh dari Rin.
Gadis itu berjalan kembali menuju laboratorium dan menatap nanar ruangan yang belum dibersihkan itu. "Seharusnya aku menonton kartun detektif lebih sering! Aku harus bisa menemukan petunjuk di TKP!" cetus Rin kembali mengoceh seorang diri seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dengan cermat.
"Ayolah petunjuk! Datanglah padaku!" gerutu Rin mulai lelah mencari jejak pelaku.
Gadis itu keluar dari ruangan laboratorium dengan tangan kosong, kemudian duduk meringkuk di sudut lorong kampus dengan wajah sendu.
"Apa salah dan dosaku, Tuhan? Aku tidak pernah menyia-nyiakan makanan. Aku juga tidak pernah berlaku kurang ajar pada kakakku. Kenapa aku mendapatkan hukuman seperti ini?" rengek Rin dengan mata berkaca-kaca.
"Ren pasti akan membunuhku kalau aku meminta uang ratusan juta hanya demi tumpukan kaca di laboratorium!" lanjut Rin.
Tangis sendu gadis itu mulai terhenti saat Rin mendengar suara tangisan lain yang terdengar ke telinganya. Gadis itu mempertajam pendengarannya dan mencoba mencari sumber suara mencurigakan itu berasal.
Ternyata suara tangisan wanita itu bersumber dari ruang serba guna yang berada tak jauh dari tempat Rin berjongkok. Gadis itu pun mendekat ke arah ruangan yang berisi penuh dengan alat-alat kebersihan yang dibutuhkan oleh petugas kebersihan wilayah kampus.
"Bagaimana kalau sampai ada yang tahu aku yang merusak alat-alat laboratorium? Aku pasti akan dipecat," cetus seorang wanita dengan tangis sesenggukan.
Manik mata Rin membulat lebar begitu ia mendengar pengakuan dari seorang wanita petugas kebersihan kampus yang ternyata adalah dalang dari hancurnya laboratorium.
"Memangnya apa saja yang pecah di laboratorium?" tanya petugas kebersihan lainnya.
"Awalnya aku tidak sengaja menyenggol meja saat sedang mengepel lantai. Sepertinya beberapa alat memang sedang dikeluarkan dan akan dibawa keluar dari ruangan laboratorium. Aku merusakkan alat-alat yang ada di meja, setelah itu aku terpeleset dan menghantam lemari asam," terang si pelaku pada seorang teman.
"Semua alatnya kosong, kan? Untung kau baik-baik saja," ujar sang teman.
"Alatnya kosong dan lemari asamnya pun tidak berisi banyak bahan kimia. Tapi aku sudah membuat laboratorium berantakan. Alat-alat yang sudah aku rusak juga bukan barang murah," jelas wanita itu dengan tangis sesenggukan.
Rin mengepalkan tangan kuat-kuat dan berusaha menahan diri untuk tidak langsung menangkap basah si pelaku yang membuatnya terkena getah. Gadis itu pun memutuskan untuk membuntuti si pelaku dan menunggu waktu yang tepat untuk berbicara baik-baik.
"Sabar, Rin! Wanita itu pasti juga memiliki kesulitan tersendiri! Cobalah untuk memahami keadaannya juga!" batin Rin mencoba mengendalikan amarah sebaik mungkin.
"Lima ratus juta untuk penjaga kebersihan pasti juga sulit," gumam Rin.
"Tapi itu kecerobohannya sendiri, kan? Tentu harus dia sendiri yang mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri!" oceh Rin tetap harus mencari keadilan untuk dirinya sendiri.
Selama seharian penuh gadis itu tak dapat mengikuti kelas dan justru sibuk membuntuti petugas kebersihan yang menghancurkan laboratorium.
Gadis itu tak menyadari jika selama ia mengoceh seorang diri, sepasang mata seorang pria nampak sibuk memperhatikan dirinya dari kejauhan.
"Ron!" tegur seorang wanita pada pria bernama Malveron itu.
"Apa yang kau lihat?" tanya wanita bernama Lilian pada pria yang merupakan calon suaminya.
"Gadis itu!" jawab Ron santai.
"Apa? Kau berani melirik—"
"Bukan begitu, Lian! Aku hanya ingin tahu saja apa yang akan dilakukan gadis itu untuk mendapatkan keadilan. Dia mendapat omelan dari banyak dosen pagi tadi dan dituduh menghancurkan peralatan laboratorium," terang Ron menjelaskan sebelum ia mendapat semburan amarah dari sang calon istri.
"Gadis itu menghancurkan laboratorium?"
"Aku hanya penasaran saja ... apa yang bisa dilakukan gadis kecil itu untuk mendapatkan keadilan di dunia yang penuh dengan orang culas ini."
***
"Kami sudah mencari gadis yang ada di foto itu, tapi kami tidak menemukan satu pun gadis yang mirip, Bos!" ujar anak buah kiriman Han pada Han yang tengah menunggu kabar.Pria yang tadinya yakin dapat menculik Rin itu, justru harus dibuat kesal, karena target yang ia kejar ternyata berhasil melarikan diri sebelum ia mulai mengejar. "Apa aku tidak salah dengar? Memangnya ada perubahan jadwal penerbangan? Atau mereka menggunakan maskapai lain?" tanya Han bingung.Han berhasil dibuat kesal karena rencananya yang gagal total. Para anak buahnya nampak sibuk mencari keberadaan Rin, disaat Rin dan Ron telah lama meninggalkan bandara dan menuju ke tempat yang tidak diketahui oleh Han."CARI LAGI SAMPAI KETEMU! Aku yakin mereka ada di dalam pesawat!" titah Han.Pria itu langsung membanting ponsel dan mengamuk di dalam mobil begitu target yang ia kejar ternyata dapat meloloskan diri dengan mudah."Apa yang terjadi dengan mereka? Kenapa Rin dan Ron bisa menghilang?" gumam Han dibuat bingung.Seme
“Sudah siap?” tanya Ron pada Rin yang tengah menyeret koper keluar dari kamarnya. Setelah berminggu-minggu tinggal bersama Ron di Roma, Rin mulai terbiasa dan mulai tak rela meninggalkan kota tempatnya berlibur itu.“Aku sudah siap!” cetus Rin dengan wajah lesu.Ron menangkap dengan jelas wajah muram Rin, kemudian mengacak gemas rambut panjang gadis cantik itu. “Aku akan mengajakmu kembali lagi kemari nanti. Aku janji!” hibur Ron pada Rin yang terlihat jelas sekali, tidak rela meninggalkan tempat liburan mereka.“Siapa juga yang ingin kembali kemari bersamamu? Aku bisa kembali ke sini sendiri,” timpal Rin sinis.“Memangnya kau punya uang?” cibir Ron begitu menohok pada gadis miskin yang memang tidak memiliki banyak uang itu.Ron merebut koper yang diseret oleh Rin, dan mengajak gadis itu pergi meninggalkan rumah yang mereka tempati. Bersama dengan taksi yang mereka tumpangi, Ron dan Rin memulai perjalanan mereka untuk pulang ke negara asal. Kedua orang itu pulang dengan wajah tenang,
“Tempat apa ini?” gumam Rin begitu ia dan Ron tiba di sebuah taman kecil yang berada di pusat kota. Ron tidak berencana melakukan banyak hal untuk hari terakhir liburannya bersama dengan Rin. Pria itu hanya ingin mengajak Rin menikmati kencan ringan dengan bersepeda dan berolahraga bersama di taman.“Kuburan!” celetuk Ron dongkol mendengar pertanyaan tidak penting dari Rin.“Ah, kau berencana untuk menguburku hidup-hidup di sini?” sergah Rin dengan wajah masam.“Benar! Aku akan menggali makam untukmu!” tukas Ron sembari menyeret Rin untuk berlari bersama dengan dirinya mengelilingi taman kecil itu. Ron mengambil sepeda yang disewakan di taman, sementara Rin harus berlari dengan susah payah mengejar Ron, karena Ron tidak begitu tega menaiki sepeda seorang diri, tanpa mengajaknya.“Ron, aku juga ingin sepeda!” rengek Rin sembari menyeka keringat yang bercucuran di dahiny.“Kejar aku dulu kalau bisa! Kau terlalu kurus dan lembek, Rin! Sebaiknya kau lebih rajin berolahraga!” cibir Ron den
Ren nampak tengah berguling-guling di ranjang hotel dengan santainya tanpa melakukan banyak hal. Pria itu masih diperlakukan seperti raja untuk sementara waktu, sampai Ren tidak akan lagi berguna. Ren masih belum memikirkan rencana lain untuk ke depannya. Pikiran pria itu masih dipenuhi dengan kecemasan mengenai Rin yang kini masih berada di luar negeri bersama Ron.“Apa sebaiknya aku menghubungi Rin saja? Mereka masih akan menargetkan Rin atau tidak, ya?” gumam Ren tenggelam dalam pikiranya sendiri dan membuat pria itu tak dapat tidur nyenyak.Akhirnya, Ren pun memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar hotel sejenak sembari mengirup udara segar. “Rin pasti juga sedang menginap di hotel mewah sekarang, kan? Bukan aku saja yang tengah menikmati ranjang empuk di sini, kan?” oceh Ren sedikit merasa bersalah pada adiknya yang entah sekarang dapat beristirahat dengan nyenyak atau tidak.Pria itu berjalan di lorong hotel dengan langkah gontai dan tanpa sengaja berpapasan dengan salah seora
"Sebelum kita pulang ... bagaimana kalau kita pergi berlibur bersama? Berkeliling kota untuk yang terakhir mungkin?" ajak Ron ragu-ragu pada Rin.Ron sudah membulatkan tekad akan pulang ke negara asal bersama dengan Rin. Pria itu sudah tak ingin lagi melarikan diri dari teror, dan akan berusaha menangkap dalang dari peneroran yang dialaminya selama ini."Berlibur?" tanya Rin dengan dahi berkerut."Em, anggap saja ini sebagai ... kenang-kenangan perjalanan pertama kita. Kita tidak bisa mengunjungi banyak tempat karena kau masih diganggu oleh peneror itu, kan?" cetus Ron. "Sekarang kau sudah tidak lagi diganggu oleh orang itu. Kau bisa menikmati waktu liburan kita sejenak dengan nyaman."Setidaknya Ron ingin memberikan kenangan yang berkesan bagi Rin di liburan pertama gadis itu di luar negeri. Ron juga ingin menjadi bagian dari ingatan yang menyenangkan bagi Rin selama mereka bisa menghabiskan waktu untuk bersama."Kapan kita akan pulang?" tanya Rin mengalihkan pembicaraan."Lusa mungk
"Akhir-akhir ini kau terus melamun," tegur Ron pada Rin yang tengah duduk termenung seorang diri di bangku halaman rumah.Rin sontak menyadarkan diri dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Ron yang tengah memegang dua kaleng soda. "Minumlah! Kau sepertinya perlu menyegarkan pikiran," cetus Ron.Rin mengulas senyum tipis, kemudian menyambut minuman dingin yang diberikan oleh Ron. "Terima kasih!" ucap Rin."Apalagi yang kau cemaskan? Ada yang mengganjal di pikiranmu?" tanya Ron menemani Rin berbincang di malam yang dingin itu.Rin meneguk minuman kaleng soda itu, kemudian mulai membuka suara. "Aku hanya merasa aneh saja. Pria itu tidak lagi menghubungiku. Dia tidak lagi membahas mengenai mengenai Ren dan informasi yang dia inginkan darimu. Aku takut ... terjadi sesuatu pada Ren," terang Rin dengan perasaan kalut."Ren sudah menghubungimu kemarin, kan? Dia baik-baik saja, kan?" tukas Ron."Memang benar kalau Ren baik-baik saja," ujar Rin. "Tapi tetap saja ... aku takut ada sesuatu yang t