Share

2. Target berat

Ren berdiri di sebuah jembatan di malam yang gelap bersama dengan beberapa pria berjas yang menutup wajah dengan topeng.

Salah seorang pria paruh baya menyodorkan foto pada Ren untuk menunjukkan sosok target yang akan menjadi incaran Ren berikutnya.

"Malveron. Putra dari keluarga Malvey. Kau pasti tahu Malvey grup, kan?" ujar pria paruh baya yang memberi Ren perintah.

"Tuan Muda dari keluarga terkenal? Kau ingin tikus sepertiku membunuh ular berbisa?" sinis Ren.

"Buat dia terluka. Aku akan memberimu dua miliar jika kau berhasil melukainya dan membuatnya berbaring di rumah sakit selama satu minggu!" ujar pria bertopeng itu.

"Jika kau bisa membuatnya terluka parah dalam kondisi kritis, aku akan memberimu lima miliar!" bujuk pria itu lagi.

"Tapi, jika kau berhasil menghabisinya ... aku akan memberimu sepuluh miliar. Bagaimana?" sambungnya.

Ren hanya manggut-manggut menatap lembar foto yang ada di genggaman tangannya. Pria itu nampak mempertimbangkan dengan matang sebelum menerima tawaran dari pria kaya yang mau membayarnya hingga miliaran rupiah.

"Aku akan memikirkannya," tukas Ren kemudian.

"Waktumu sampai besok malam! Aku tunggu kau di tempat ini lagi besok sebelum pukul dua belas," pungkas pria bertopeng itu.

Beberapa kendaraan mewah yang mengerubunginya langsung menghilang dari hadapan Ren.

Pria itu termenung sejenak di atas jembatan sembari menatap sungai kecil yang mengalir di bawah jalan aspal yang dipijaknya.

"Malveron? Cih, pria kaya itu pasti akan langsung membunuhku setelah aku mendapatkan uang sepuluh miliar itu!" gumam Ren sudah sering menerima perlakuan tidak menyenangkan dari klien yang menggunakan jasanya.

Banyak klien yang menjanjikan dirinya dengan bayaran besar, namun setelah ia berhasil menjalankan misi dan mendapatkan bayaran, pria itu justru berbalik menjadi incaran kliennya yang ingin mendapatkan uangnya kembali.

Para orang kaya culas itu bahkan tak segan mengatur banyak kecelakaan untuk Ren hanya demi bisa mendapatkan kembali uang yang telah mereka bayarkan pada Ren.

"Halo?"

"Bagaimana Ren? Kau menerima tawarannya?" tanya teman Ren melalui telepon.

"Sedang kupikirkan,"

"Kenapa? Apa misinya sulit? Tidak mungkin mereka mengincar pejabat penting, kan?"

"Sepertinya bukan perjabat, tapi termasuk dalam jajaran orang penting. Kau tahu siapa Malveron Malvey?" tanya Ren pada temannya.

"Malvey? Mereka menyuruhmu menghabisi keluarga Malvey?" tanya teman Ren terkejut bukan main.

"Tidak seharusnya aku mengambilnya, kan? Bukannya mendapat uang, justru nyawaku yang akan melayang," kelakar Ren.

"Berapa yang mereka tawarkan padamu?"

"Sepuluh miliar untuk nyawa Tuan Muda kaya itu. Tapi sebagai gantinya, mungkin nyawaku akan melayang karena mengincar orang yang salah,"

"Sepuluh miliar? Sedikit sekali," cibir teman Ren.

"Aku akan menolaknya. Beri aku pekerjaan mudah saja! Aku takut adikku terkena imbasnya. Beberapa hari ini ada orang yang mengincar adikku," ungkap Ren menceritakan keresahan yang bersarang di hatinya.

"Benarkah? Ada yang mengincar adikmu?"

"Sebelumnya Rin pernah hampir tertabrak mobil di jalanan yang sepi. Mobil itu memang sengaja mengincar Rin. Beberapa hari ini Rin juga diikuti," terang Ren.

"Kau sudah mencoba menghubungi klienmu?"

"Untuk apa aku menghubungi klien? Mereka tentu tidak akan peduli pada nyawaku! Hal yang harus kulakukan sekarang hanyalah hidup seperti mayat yang tersembunyi agar aku tidak tertangkap oleh musuh-musuh klienku dulu," gerutu Ren sebal.

"Kalau kau sudah lelah, berhenti saja! Masih banyak pekerjaan lain yang bisa menghasilkan uang! Kita merampok bank saja bagaimana?"

"Merampok di fasilitas umum terlalu beresiko! Lagipula sebentar lagi aku juga akan berhenti," tukas Ren.

"Benarkah? Kau akan berhenti?"

"Sebentar lagi kuliah Rin selesai. Begitu Rin mendapatkan pekerjaan dan hidup dengan nyaman, aku akan berhenti."

Sesulit apapun kehidupan Ren, pria itu akan tetap mengutamakan kebahagiaan dan keselamatan sang adik yang begitu dicintainya.

"Kau benar-benar kakak yang baik. Rin sangat beruntung memilikimu,"

***

"Kakak! Cepat bangun! Aku harus pergi ke kampus sekarang! Aku ada kelas pagi jam delapan!" omel Rin pada sang kakak sembari menarik-narik kaki Ren yang terlentang di ranjang kecil kamar kakaknya.

Pria itu masih mendengkur kencang tanpa menghiraukan omelan Rin yang sudah frustasi mencari cara membangunkan sang kakak.

"Lima menit!" gerutu Ren lirih dengan mata masih tertutup rapat.

"Lima menit apanya?! Kau sudah mengatakannya selama sepuluh kali tadi!" sentak Rin seraya menjambak rambut hitam Ren tanpa ampun.

"Rin! Jangan kurang ajar!" omel Ren menggeliat di ranjang dan berusaha menghindar dari tangan Rin yang sengaja menyiksanya.

"Kalau kau tidak bangun, aku berangkat ke kampus sendiri saja!" ujar Rin tak ingin lagi membujuk sang kakak.

Tanpa basa-basi, Ren langsung bangkit dari ranjang dengan semangat meskipun rambut rambutnya masih awut-awutan bak sarang burung dan mulutnya masih menguap lebar dengan mata penuh belek.

"Hari sudah terang. Tidak apa-apa kalau kau masih ingin beristirahat. Aku bisa berangkat sendi—"

"Cepat ambil tasmu! Lamban sekali!" gerutu Ren menggaruk kepalanya seraya berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajah sekenanya.

"Siapa yang seharusnya kesal di sini?!"

Kakak beradik itu pun berjalan bersama menuju kampus Rin di pagi yang cerah. Selama Ren tidak mendapatkan misi, pria itu menyibukkan diri dengan mengantar jemput sang adik ke kampus dan menemani Rin sepanjang hari untuk menjaga Rin dari hal-hal yang tidak diinginkan.

"Jangan pulang malam hari ini! Langsung kabari aku setelah kelasmu sudah berakhir!" titah Ren dengan galaknya.

"Hm!" angguk Rin sekenanya.

"Kau ingin makan malam apa nanti?" tanya Ren sebelum berpisah dengan sang adik.

"Apapun kecuali mie instan," jawab Rin malas.

"Baiklah!"

'Cih, baiklah apanya? Nanti malam dia pasti hanya akan memasak telur!' gerutu Rin dalam hati.

"Aku pergi!" pamit Rin pada sang kakak.

"Rin!" panggil Ren sebelum Rin melangkah jauh memasuki area kampus.

Gadis itu menoleh dengan malas dan terlihat tidak berminat mendengar bualan sang kakak.

"Uang sepuluh miliar atau aku! Mana yang akan kau pilih?" tanya Ren tiba-tiba.

"Hanya uang khayalan, kenapa aku harus memilih?" cibir Rin.

"Jawab dulu! Kau lebih memilih uang sepuluh miliar atau aku?" paksa Ren.

"Kenapa? Kau berharap aku lebih memilihmu? Tentu saja aku lebih memilih uang," jawab Rin malas.

"Kalau itu aku ... aku pasti akan memilihmu. Uang ada banyak di dunia ini, tapi adikku hanya akan ada satu di sepanjang hidupku."

Bukannya terharu, Rin justru merasa merinding dan geli mendengar perkataan sang kakak. "Apa otakmu baik-baik saja? Sebaiknya kau mulai mencari pacar yang bisa kau rayu dengan kata-katamu yang payah itu!" pungkas Rin kemudian berbalik meninggalkan sang kakak yang mematung di depan gerbang universitas tempat Rin belajar.

"Sial! Padahal aku hanya ingin mengutarakan isi hatiku. Kenapa adik perempuanku dingin sekali?" gerutu Ren dongkol.

"Ada apa dengan Ren? Akhir-akhir ini dia sering sekali mengoceh hal-hal yang aneh. Biasanya hal seperti ini adalah tanda-tanda orang yang akan mati. Apa Ren sakit parah?" gumam Rin melayangkan imajinasi liarnya mengenai sang kakak.

"Rin!" Lamunan gadis itu pun buyar seketika saat seorang teman menghampiri Rin dan menyeret gadis itu menuju laboratorium milik fakultas lain.

"Susan, apa yang kau lakukan?! Aku ada kelas pagi!" omel Rin pada temannya yang bernama Susan itu.

"Aku harus mengikuti kelas khusus! Hari ini ada kelas khusus yang diisi oleh alumni. Kau tahu Malveron? Dia yang akan mengisi kelas khusus hari ini! Kau mau ikut?" tawar Susan pada Rin dengan antusias.

"Siapa Malveron? Aku tidak kenal!" tolak Rin mentah-mentah.

"Bagus kalau kau tidak berminat! Kalau begitu bantu aku memindahkan beberapa barang dari lab ke ruang BS 01. Aku harus mengurus hal lain untuk persiapan kelas khusus," rengek Susan meminta bantuan pada Rin.

"Aku sebentar lagi ada kelas!" sergah Rin.

"Kelasmu masih jam delapan, kan? Ruanganmu di BS 02, kan? Daripada kau ke sana dengan tangan kosong, lebih baik kau beramal dengan membantuku!" bujuk Susan.

"Kau sengaja memeriksa jadwal kuliahku hari ini?" sindir Rin. Gadis itu tak dapat lagi berkilah untuk menolak permintaan sang teman.

"Temanku ada di dalam lab. Dia yang akan memberitahumu barang apa saja yang harus dibawa. Terima kasih, Rin! Sampai nanti!" pamit Susan tergesa-gesa dan meninggalkan Rin di depan ruang laboratorium kampusnya.

Gadis itu membuka pintu laboratorium dengan santainya hingga ia mendapatkan kejutan tak terduga dari ruangan yang penuh dengan cairan kimia tersebut.

"Sial! Apa-apaan ini?!" umpat Rin terkejut bukan main saat ia mendapati ruangan lab yang porak-poranda bagai terkena angin badai.

Banyak peralatan yang rusak hingga pecah mulai dari peralatan besar yang mahal, hingga alat-alat dari kaca yang berukuran kecil.

Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba sekumpulan dosen berjalan melewati laboratorium dan tak sengaja melihat ruangan yang hancur berantakan.

"Apa yang terjadi dengan laboratorium?!" pekik salah seorang dosen sangat terkejut melihat laboratorium universitas yang telah hancur tak berbentuk.

Tatapan tajam langsung mengarah pada Rin dan gadis itu langsung mendapat label sebagai tersangka utama yang tertuduh atas kacaunya fasilitas kampus.

"Kemari!" panggil seorang pria pada Rin, yang tak lain ialah Malveron, pria yang akan menjadi mentor di kelas khusus yang diadakan di kampusnya.

Rin berjalan perlahan menghampiri Ron dengan kepala tertunduk tanpa berani mengucapkan sepatah katapun.

"Aku tidak bermaksud menuduhmu, tapi hanya ada kau seorang di sini saat ini. Sekalipun kau mengelak, orang-orang yang melihatmu di sini akan tetap memaksamu untuk mengaku meskipun bukan kau pelakunya!" bisik Ron pada Rin.

Rin hanya bisa menghela nafas pasrah dan mengomel dalam hati tanpa bisa melayangkan protes langsung pada dosen-dosen kampusnya itu.

'Terima saja nasib sial ini, Rin! Mungkin hari ini memang hari yang buruk untukmu!' gerutu Rin dalam hati.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Riana Kristina
Jadi ngarep punya kakak cowok
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status