Share

4. Ganti rugi

Rin berdiri tepat di depan gerbang kayu kecil yang sudah lapuk dan hampir lepas dari pagar kecil yang mengelilinginya.

Gadis itu kini tengah berada di depan rumah petugas kebersihan penghancur laboratorium dan bersiap untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku sebenarnya itu.

Namun saat melihat kondisi rumah yang mengenaskan, gadis itu pun mulai ragu dan tidak tega menghampiri wanita itu untuk meminta uang ganti rugi atas kecerobohan petugas kebersihan itu.

"Bagaimana aku bisa menagih uang darinya?" gumam Rin frustasi.

"Wanita itu pasti juga tidak punya uang sebanyak itu untuk mengganti rugi peralatan laboratorium," oceh Rin justru merasa tak enak hati, padahal dirinya sudah menjadi pihak yang dirugikan.

Prang!

Tiba-tiba terdengar suara kencang dari dalam rumah dan pintu bangunan kecil itu mendadak terbuka lebar.

Rin langsung berlari kocar-kacir mencari tempat sembunyi dan mengamati rumah itu dari balik semak-semak.

"Kau tidak punya uang, hah? Kalau tidak punya uang, jangan pulang!" cecar seorang pria paruh baya dengan tangan menjambak rambut panjang wanita petugas kebersihan yang dibuntuti oleh Rin.

"Apa-apaan ini? Kekerasan dalam rumah tangga?" jerit Rin terkejut bukan main melihat pemandangan mencengangkan yang disuguhkan di depan matanya.

"Bisakah kau tidak berhutang terus-terusan? Aku sudah tidak punya banyak uang!" sentak wanita itu pada pria paruh baya yang menarik rambut panjangnya.

Plak!

Wanita itu justru dihadiahi tamparan keras di pipi hingga sudut bibir petugas kebersihan itu mengeluarkan darah segar.

"Dasar pria brengsek! Kenapa wanita itu hanya diam saja?! Jambak saja balik!" geram Rin kesal.

Beberapa orang yang berlalu-lalang melewati rumah kecil itu pun nampak tak peduli dengan nasib wanita yang mendapatkan penganiayaan itu.

"Kenapa dengan orang-orang di sini? Apa mereka buta?" gerutu Rin ikut geram melihat para tetangga yang nampak masa bodoh dan tidak berniat membantu wanita malang yang dihajar habis-habisan oleh pria penghuni rumah kecil itu.

Rin pun memberanikan diri mendekat ke arah pria paruh baya itu dan melayangkan bogem mentah tepat ke hidung pria brengsek yang menyiksa wanita itu.

Bugh!

Begitu satu pukulan mendarat di wajah pria tua itu, Rin segera menarik tangan wanita petugas kebersihan itu dan membawanya pergi menjauh dari pria gila yang hampir mengamuk pada mereka.

"Ayo, cepat lari!" ujar Rin seraya menarik tangan wanita bernama Linda itu.

"Kita sembunyi di sana saja!" cetus Rin lagi sembari berlari menuju gang-gang sempit untuk bersembunyi.

"Kau siapa?" tanya Linda di sela-sela pelarian mereka.

"Nanti saja bicaranya! Kau ingin naik taksi atau bus?" tanya Rin panik.

"Memangnya kita akan kemana?"

"Kemana saja yang penting kau harus menjauh dari pria gila itu!" sergah Rin kemudian menghentikan taksi yang kebetulan lewat dan segera menarik masuk tangan Linda ke dalam kendaraan roda empat itu.

"Fiuh!" Rin mengusap keringat yang bercucuran di dahinya dengan nafas lega.

"Kita akan kemana?" tanya Linda masih kebingungan dengan kemunculan Rin secara tiba-tiba.

Gadis itu sudah tak lagi memusingkan masalah ganti rugi peralatan laboratorium. Melihat keadaan Linda yang babak belur, tentu membuat hati nurani Rin terguncang dan tak ingin menambah beban kesulitan Linda.

"K-kebetulan aku lewat rumahmu tadi. Melihat kau dianiaya seperti itu, mana mungkin aku diam saja?" tukas Rin tak ingin lagi membahas mengenai laboratorium.

Gadis itu sudah ikhlas dan rela dijadikan kambing hitam dengan niat membantu meringankan beban wanita malang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

"Kau tidak tinggal di daerah pemukimanku, kan? Semua orang sudah tahu dengan tabiat ayahku. Hal seperti ini sudah sering terjadi," ujar Linda.

"Maksudmu? Sudah menjadi hal yang wajar jika semua orang mengabaikanmu saat kau dipukuli seperti tadi?" tanya Rin tercengang bukan main.

"Berhenti, Pak!" ucap Linda pada supir taksi yang mengemudikan kendaraan.

"Terima kasih sudah menolongku hari ini. Tapi lain kali kau tidak perlu ikut campur dalam urusan keluargaku. Aku tidak ingin kau ikut terkena masalah karena ayahku," cetus Linda kemudian membayarkan ongkos taksi dan meninggalkan Rin di dalam kendaraan itu.

"Cih, apa-apaan ini? Aku memang sudah terkena getah karena perbuatannya di kampus!" gerutu Rin agak tersinggung karena kebaikan hatinya tak mendapatkan sambutan baik oleh si penerima bantuan.

"Kau tidak tahu saja apa yang sudah kulalui karena ulahmu! Dasar wanita tidak tahu terima kasih!" gerutu Rin mengamuk seorang diri di dalam taksi.

Gadis itu pun turun dari kendaraan roda empat itu dan duduk termenung di sebuah taman yang ramai dengan pengunjung.

Rin menatap dedaunan yang gugur dari pohon dengan pandangan kosong, hingga lamunannya akhirnya buyar karena kedatangan Ren.

"Aku mencarimu kemana-mana, bodoh! Sudah kubilang setelah kelas berakhir kau harus langsung menghubungiku dan menungguku sampai aku datang menjemput! Kenapa kau malah—"

Omelan Ren terhenti seketika begitu ia melihat manik mata adik kesayangannya yang memerah karena membendung air mata.

"Kau kenapa?" tanya Ren sembari mengusap bulir bening yang jatuh membasahi pipi Rin.

Gadis itu menatap nanar ke arah sang kakak dan langsung berhambur ke pelukan Ren dengan tangis sesenggukan.

"Aku sedang sial hari ini! Biarkan aku menangis sebentar," oceh Rin disertai isak tangis.

"Hei, ada apa? Kau mendapat masalah di kampus? Kau tidak terluka, kan?" tanya Ren seraya meraba tubuh sang adik untuk memeriksa luka.

"Bukan tubuhku yang terluka, tapi hatiku!" rengek Rin mendramatisir.

"Kenapa? Kau ditolak pria? Kau pikir ini waktunya untuk berkencan?! Kau seharusnya fokus—"

"Aku akan mengatakannya, tapi kau tidak boleh marah!" potong Rin cepat.

"Kalau begitu tidak perlu dikatakan. Kau simpan saja sendiri! Aku tidak ingin membuang tenagaku untuk memarahi gadis nakal sepertimu!" cibir Ren.

"Aku serius! Kau tidak ingin tahu apa yang terjadi pada adikmu? Masa depanku dipertaruhkan di sini!" sungut Rin.

"Apa yang terjadi? Kau benar-benar mendapat masalah di kampus?" tanya Ren malas menebak-nebak kesialan yang mungkin terjadi pada sang adik.

"Kau harus janji, kau tidak boleh marah!" tukas Rin seraya mengeratkan pelukannya pada sang kakak.

"Katakan dulu—"

"Aku tidak akan melepaskan pelukanku!"

Ren hanya bisa pasrah tanpa ingin melanjutkan perdebatan kecilnya dengan sang adik. "Katakan saja! Aku tidak akan marah! Jika kau tidak juga mengatakannya, aku akan melemparmu ke sungai sekarang juga!" omel Ren.

Rin mengatur nafas perlahan dan mencoba merangkai kata yang pas untuk diucapkan pada sang kakak. Dengan jantung yang berdegup kencang, gadis itu mulai bersuara dengan mata tertutup rapat.

"Kakak, apa kau bisa menjual ginjalku? Apa satu ginjal bisa laku sampai lima ratus juta? Aku butuh uang lima ratus juta secepatnya!" rengek Rin dengan wajah muram.

"Apa? Lima ratus juta? Untuk apa?" tanya Ren dengan dahi berkerut.

Gadis itu melepaskan pelukannya pada Ren perlahan dan kembali duduk di bangku kayu yang terletak tak jauh darinya. Rin menceritakan hal yang terjadi di kampus mengenai dirinya yang dituduh merusak peralatan laboratorium hingga ia berhasil menemukan pelaku sebenarnya, namun, akhirnya Rin memutuskan untuk menanggung semua ganti rugi fasilitas kampus.

"Kalau kau tidak punya uang, untuk apa sok menjadi pahlawan?" cibir Ren.

"Wanita itu babak belur dipukuli ayahnya dan dia juga hanya seorang petugas kebersihan di kampus. Kalau pihak kampus sampai tahu, dia pasti akan kehilangan pekerjaannya dan masih harus mengganti rugi," ujar Rin.

"Lalu bagaimana denganmu? Apa sanksi yang akan kau dapatkan?"

"Minggu depan sudah ujian semester. Jika aku tidak mengganti rugi peralatan laboratorium ... aku tidak diperbolehkan mengikuti ujian," ungkap Rin.

Ren hanya bisa tertawa kecil tanpa bisa berkata-kata menanggapi cerita sang adik. Pria itu cukup terkesan dengan kebaikan adiknya, namun sayangnya Ren juga harus terkena getah dengan ikut mencarikan dana untuk menyelamatkan pendidikan sang adik.

"Dasar bodoh!" omel Ren seraya menjitak kepala Rin dengan kesal.

"Kakak punya uang?"

"Mana mungkin aku punya uang sebanyak itu?" sanggah Ren dongkol.

"Hanya putus kuliah saja bukan hal yang terlalu berat. Aku masih sangat beruntung karena aku memiliki kakak yang merawatku dengan baik. Aku masih jauh lebih beruntung daripada wanita petugas kebersihan yang selalu disiksa oleh ayahnya itu,"

"Putus kuliah? Setelah aku bersusah payah merawatmu dan memberikan pendidikan yang terbaik untukmu, kau ingin putus kuliah begitu saja?" sungut Ren.

"Aku tidak ingin menyusahkan Kakak lebih jauh lagi! Maaf kalau aku bodoh dan sudah mengecewakanmu!" ucap Rin penuh sesal.

"Jangan berbicara sembarangan! Aku bekerja keras agar kau tidak terus menerus hidup menderita bersamaku! Nasibmu harus jauh lebih baik dariku!" sergah Ren.

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan soal uang! Aku akan mencarikannya untukmu!" imbuhnya.

****

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fayna Rahma
ren kakak yang bertanggungjawab bgt...
goodnovel comment avatar
Yen Lamour
Suka banget sama sosok ren
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status