Tok! Tok! Tok! Hening, tidak ada jawaban. Bora menatap jam dinding besar. Baru jam sepuluh malam. Tidak mungkin Jeo sudah tidur. Ah, dia bahkan tidak tau pria itu tidur di sini atau punya tempat tinggal lain.
Tok! Tok! Tok! Bora menunggu setiap beberapa kali ketukan pintu. Lima menit, kalau sudah lima menit, dia berjanji akan pergi dan kembali lagi besok pagi. Bora menurunkan pandangannya kemudian menatap lubang kunci, menoleh ke kanan dan kiri, menunduk, menutup satu mata dan mulai mengintip isi dalam Bar. Gelap, tidak kelihatan apa-apa.Krskk! Krskk! Suara terdengar. Telinganya bergerak, matanya membesar, dia yakin suaranya berasal dari dalam.Krsskk! Krsskk! Terdengar lagi! Bora masih menatap isi dalam Bar yang gelap. Ia meneguk liurnya berat, bersiap kalau-kalau ada kejutan.Hening, suaranya hilang. Bora fokus menatap gelap. Dia pasti bisa menemukan sesuatu malam ini. Satu menit, matanya sudah agak perih. Satu menit setengah, membasahi mata dengan belasan kali kedipan mata secepat cahaya. Bora menggeleng-gelengkan kepalanya, menahan sadar, tidak boleh kehilangan fokus."Kau sedang apa?""Aaaghh!"Bora memegangi dadanya yang berdegup kencang. Jeo sudah berdiri di belakangnya dengan plastik hitam di tangan. Menatap bingung."Kau baru datang?" tanya Bora sambil melihat ke bungkusan."Menurutmu? Sedang apa kau kemari?""Entahlah, menurutmu kenapa?" Bora menatap dengan wajah misterius, menaikkan bahu santai saat Jeo menatapnya dengan tanda tanya besar di kepala."Kau mau mengatakan sesuatu soal George?" Jeo berjalan ke pintu, merogoh celana, mengeluarkan sebuah kunci perak agak besar. Lalu memasukkannya ke dalam lubang."Ini bukan tentang George.""Lalu?" Jeo menoleh sebentar. Tangannya belum memutar kunci."Aku ingat semuanya."Jeo terdiam. Mereka saling tatap selama beberapa detik."Ingat apa?" tanya Jeo memastikan. Tidak ada tanda-tanda kaget di wajah itu. Tangannya bergerak, memutar kunci sebanyak dua kali lalu membuka pintu lebar-lebar."Penyihir," bisik Bora dengan senyum lebar.Barulah wajah yang ditunggu-tunggu Bora muncul. Gadis itu tersenyum lebar, merasa puas. Hanya sebentar, mungkin tidak sampai lima detik.Jeo diam sebentar, dia menutup matanya, sedetik kemudian membuka mata yang sudah berubah dari hitam pekat menjadi biru terang, kilatan mirip petir terpancar sedikit. "Dengar, kita tidak bertemu tadi sore dan kau tidak mendengar apa-apa. Sekarang pulanglah dan tidurlah yang nyenyak." Bora memiringkan kepalanya bingung. Tidak tahu apa yang terjadi. Setelah diperhatikan dengan seksama, sebuah cahaya bening kehijauan bulat besar menyelimuti tubuh Bora secara sempurna."Itu... sihir?" Bora menutup mulutnya rapat-rapat dengan wajah terkejut. Untungnya dia tidak panik berlebihan sekarang."Kau..." Jeo hampir kehilangan kata-kata, matanya kembali normal. Dia yakin sudah mengeluarkan sihirnya, tapi kenapa tidak mempan. Lalu, dia yakin tidak melihat cahaya pelindung tersebut tadi sore.Jeo terdiam, dia kemudian menarik masuk Bora ke dalam Bar. Mengunci pintu rapat-rapat. Demi menjaga keamanan obrolan mereka yang tidak ada habisnya ini.Lampu dinyalakan dengan sekali jentikan. Bora terkesima, dia seperti melihat teknologi masa depan padahal ada di tahun 1845."Apa yang terjadi?" Jeo pikir sihirnya belum sempurna jadi dia membuat kesalahan, tapi saat dia mencoba menghipnotisnya, sihirnya tidak mempan sama sekali."Keajaiban. Anggap saja begitu." Bora menaikkan kedua bahunya, menutup mulut soal pria tua yang baru ditemuinya tadi. Dia berjalan masuk, melihat-lihat isi Bar yang tadi tidak sempat dilirik. Hanya ada lemari Beer, meja kursi dan beberapa lukisan kuno yang dipajang di dinding kosong."Sihirmu tidak mempan. Apa mungkin karena aku dari masa depan?" Bora menunjuk dirinya sendiri dengan perasaan senang. Dia duduk di kursi dengan santai. "Bagaimana dengan kesepakatan kita?" lanjutnya sambil tersenyum lebar.Jeo mengusap wajahnya kasar. Dia meletakkan bungkusan yang ternyata berisi dua buah roti dan pergi menuju dapur. Bora gugup, membayangkan Jeo keluar dengan pisau besar di tangan. Senyumnya pudar seketika.Agak lama, Jeo tidak kunjung keluar. Takut, Bora kembali ke pintu, mencoba membukanya. Gagal, dia memilih duduk dengan sopan. Otaknya berputar, harus memikirkan cara supaya bisa membangun kesepakatan dengan Jeo.Sepuluh menit berlalu, Bora merasa ada yang tidak beres. Berpikir, apakah Jeo tiba-tiba sembelit dan harus buang air besar dulu sebelum melanjutkan obrolan penting ini atau pria itu sedang mengasah pisau untuk dijadikan senjata."Dengar, aku tidak pernah membuat kesepakatan dengan siapapun." Jeo keluar, syukurnya kedua tangannya kosong. Entah apa yang dilakukannya di dalam. "Aku juga tidak ada niatan untuk membuat kesepakatan denganmu. Karena itu mengandung tanggung jawab besar dan aku tidak mau punya ikatan dengan siapapun untuk saat ini.""Aku tidak menuntut tanggung jawab besar.""Tapi?""Aku hanya mau memastikan kalau ada jalan keluar supaya aku bisa kembali ke masa depan. Dengan begitu, aku bisa hidup tenang sampai hari itu tiba.""Jadi kau berjanji akan meninggalkanku kalau aku memang bukan solusi dari permasalahanmu?""Tentu saja." Bora menaikkan kedua bahunya. Masih ada banyak cara dan dia tidak mesti nempel pada Jeo."Soal masa depan. Kau benar-benar datang dari sana? Tapi keluargamu bilang kau amnesia."Bora menghela nafas lelah, ia menggeleng. "Aku tidak amnesia. Apa kau pernah melihat orang amnesia langsung?"Jeo menggeleng. "Tentu saja tidak. Itu penyakit langka.""Mereka tidak bertingkah layaknya orang lain. Aku bukan Viola yang kalian kenal, aku Kim Bora, 25 tahun, tinggal di kota Seoul yang ada di tahun 2023. Golongan darahku B. Aku lulusan Seoul National University dan baru lulus tahun kemarin dengan nilai terbaik. Aku tinggal di apartemen yang ada di Hongdae, tinggal sendirian selama kurang lebih delapan tahun. Apa ini terdengar seperti racauan orang amnesia?""Dua ribu dua tiga? Seoul?""Ya, aku dari tahun 2023. Seratus tahun lebih dari sekarang. Aku sedang bicara jujur. Kalau kau mengira aku mengada-ada, tidak mungkin aku melakukannya tanpa maksud apapun."Jeo bersandar pada meja setinggi pinggang "Kau terus menerus bicara soal masa depan. Entah aku harus percaya atau tidak.""Kau harus percaya!" Bora menaikkan suaranya. "Katakan, aku harus menjelaskan apalagi untuk membuatmu percaya?" Berhadapan dengan pria skeptis memang melelahkan jiwa dan raga."Mungkin aku akan berpikir dua kali kalau kau bisa menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi sebelum kau datang ke tahun ini.""Apa kau pernah ditipu sebelumnya?""Apa?" Jeo mengernyit."Kenapa susah sekali percaya padaku? Aku kebal dengan sihirmu saja sudah aneh. Apa menurutmu aku ini tidak spesial?"Jeo terdiam, kejadian tadi memang aneh. Tidak, sejak awal dia sudah merasa aneh saat pertama kali Bora datang ke tempatnya. "Aku hanya mau memastikan supaya pertanyaan di kepalaku ini hilang.""Baiklah, memang harus dijelaskan dulu supaya tahu." Tidak salah, kalau posisinya dibalik mungkin Bora punya lebih banyak pertanyaan untuk dirinya sendiri.Bora akhirnya mulai bercerita. Menjelaskan semuanya secara rinci, mulai dari dirinya yang tertidur saat merekam video serta cerita dari Phill yang menurutnya ada sesuatu di baliknya."Hmm, ceritamu terlalu...""Pal... su?" tanya Bora dengan satu alis naik. Menebak-nebak karena raut wajah Jeo yang tampak ragu."Cukup bisa dipercaya."Bora bernafas lega, akhirnya ocehannya digubris.“Tunggu sebentar.” Jeo pergi ke dapur lagi. Kali ini agak lama, Bora yang mati bosan berjalan sambil memperhatikan lemari penuh Beer dan lukisan-lukisan kuno berbagai ukuran. Mulai dari lukisan dari pelukis terkenal Leonardo da Vinci yang ukurannya hanya sebesar telapak tangan hingga lukisan besar ukuran satu meter lebih yang di dalamnya ada gambar pria dengan mata tertutup, abstrak, tidak jelas betul tapi Bora tau itu potret manusia.Lama menunggu, Bora melirik pintu dapur lalu kembali duduk. Dia sekarang merebahkan kepalanya pada meja. Matanya perlahan tertutup. Mengantuk sekali. Samar terdengar suara derap kaki seperti berlari diiringi suara Jeo yang seperti berteriak. “LARI!!”BOOM!! Bora membuka matanya sedikit, merasakan badannya nyeri seperti habis dibanting, didapatinya dirinya sudah ada dalam pelukan Jeo dengan asap mengepul hebat keluar dari dalam pintu dapur.Penjara bawah tanah yang berada tepat di bawah halaman luas Trevisia berisi satu dua monster yang berhasil ditangkap. Akan di eksekusi sebentar lagi, jika terlalu lama dikurung takut membahayakan keamaan Trevisia. Tinny si kurcaci perak ditempatkan di penjara berukuran sedang.Bora menatap kasihan, dia duduk dalam posisi jongkok. Sudah hampir lima belas menit menyaksikan Tinny bergumam dengan posisi telentang yang hampir tidak pernah berubah. Bora tidak mau kurcacinya dihabisi, terlalu kejam. Dikurung begini saja hampir membuatnya membuka kunci dan melepas liarkan ke hutan. Frank tidak setuju atas permintaan Bora yang menyuruh melepaskan Tinny sedangkan Jeo tidak berkomentar apa-apa. Hanya diam."Dia tidak boleh dilepas." Vrey datang dari bawah. Jeo yang berdiri di belakang Bora menoleh ke samping. Menatap datar. Bukan idenya mengurung Tinny di sini tapi Frank setuju saja dengan ide Vrey."Biarkan dia keluar. Kasihan dia." Bora berdiri, berpegang pada lengan Jeo."Setiap monster harus
"Suara apa itu?" Stephanie berhenti berjalan. Dia memandang Fred yang menjawab sambil menaikkan bahu tidak tahu. Toples besar yang diisi tumbuhan ajaib dipegang erat dalam pelukan.Mereka kembali menaiki tangga.Stephanie berhenti di depan pintu perpustakaan. "Kau juga dengar kan? Aku yakin suaranya dari sini.""Bukalah. Cepat periksa lalu kita pergi." Fred meletakkan toplesnya. Tangannya keram.Stephanie membuka pintu. Gelap. Tidak ada apapun. "Apa aku salah?""Periksa dengan benar."Stephanie masuk lebih dalam. Dia menyalakan lampu lalu memindai isi perpustakaan. Namun tidak ada yang aneh. Semua tampak normal. "Aku salah. Apa mungkin di atap?""Aloha!"Bugh! Fred menimpuk kurcaci menggunakan buku hingga pingsan. "Sejak kapan ada Tinny di sini." Dia meletakkan kembali buku setebal sepuluh senti ke atas meja."Oh! Yang ini bermahkota perak." Stephanie baru pertama kali bertemu jenis kurcaci tersebut."Cukup berbahaya," celetuk Fred."Dia pasti tidak sendiri." Stephanie kembali mengece
Mengeluh, Bora mengintip isi lapangan.Dia bisa saja ke bagian dimana Zed sibuk menyatukan kaca-kaca tapi pasti akan dicurigai karena bisa menembus pelindung. Lalu harus bagaimana?Mencoba berpikir keras, Bora memutuskan akan mencari Fred dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau belum terlalu akrab tapi apa boleh buat. Kalau bertemu Jeo di jalan, itu lebih baik. Atau lebih buruk? Mungkin tidak seburuk bertemu monster. Dia siap dimarahi karena ini memang kesalahannya.Bora memandang hutan di depan. Dia meneguk liur berat lalu berjalan sesuai insting. Kemungkinan kanan karena sisi itu selalu baik.Berjalan dan terus berjalan tanpa henti. Bora terduduk di bawah pohon. Tidak ada jam, kalau dirasa-rasa mungkin sudah satu jam dia berjalan menyusuri hutan. Kakinya lelah, butuh istirahat. Sejak masuk tidak bertemu siapapun. Entah itu Fred atau Jeo atau siapapun itu. Kakinya juga tambah sakit karena dipaksa berjalan.Bora menyenderkan punggungnya. Dia tahu kalau kadang bisa bodoh di beberapa si
Frank gesit berbelok menghindari pepohonan besar. Tembakan batu-batu mengikutinya dari belakang. Lengannya tadi terluka saat lengah. Darah segar membasahi baju. Frank tidak bisa kabur terus.Dia berhenti pada pohon beringin besar. Sebuah pedang panjang muncul pada tangan kanannya yang tidak sakit. Saat pedang itu sempurna ditutupi cahaya kemerahan, Frank menancapkannya pada tanah. Tak! Waktu berhenti. Dia hanya punya setengah menit. Frank menoleh ke belakang, dia kemudian mendekat ke sumber hujan batu muncul. Matanya menyipit saat melihat ada monster kayu lebih besar dari kemarin, duduk di bawah mesin pelempar batu dengan seringaian lebar. Frank berlari mendekat dengan kecepatan penuh, dia kemudian melompat tinggi, tangan kanannya membesar lalu Brakkk! Monster itu hancur bersama mesinnya, lebur jadi satu. Waktu kembali normal. Sisa bebatuan jatuh ke tanah lalu menghilang. Pedang yang tadi ditancapkan juga ikut tersapu angin.Pada waktu yang sama, Jeo mendorong batu besar sekuat tenaga
Bora duduk di kursi paling ujung, kedua matanya sibuk memindai seisi ruangan. Ruang rapat yang ia kira akan terlihat lebar dan luas ternyata hanya diisi tujuh kursi. Tiga di kanan dan tiga di kiri serta satu kursi besar di bagian tengah, semua kursi itu mengelilingi meja panjang seukuran 3x1 meter. Kemungkinan total Zyro hanya berjumlah enam. Lima yang ia tahu dan satu lagi bernama Ezra yang kata Jeo merupakan rekan Zed. Kursi paling besar dibiarkan kosong. Bora bisa menebak kalau itu kursi Master Qerrell. Ada papan tulis kapur yang kelihatan berumur dekat pintu dan peta besar yang diberi tanda merah di beberapa tempat.Fiz menatap lamat Bora sejak ia dipaksa masuk karena sudah terlanjur mendengar percakapan dari luar. "Apa dia yang Zed ceritakan?" tanya Fiz setelah ruangan senyap selama hampir seperempat jam. Tangan dengan pena bulu menunjuk ke arah Bora.Frank menjawab. "Benar, dia teman Jeo. Namanya Viola. Mereka teman dekat.""Aku Fiz. Salam kenal." Senyum lebar mewarnai wajah itu
Jeo memperhatikan seisi ruangan. Tidak ada. Keberadaan Bora tidak ada di sini. Segera dia memasang sepatu cepat, takut kalau hal-hal buruk terjadi, mengingat kaki gadis itu masih terluka."Jeo! Baru bangun? Mau makan bersa-"Zed mengatupkan mulutnya rapat saat Jeo bahkan tidak memandang dirinya dan langsung berlari menuju pintu. Dia mengusap wajahnya yang kusam dan berbalik.Jeo membuka pintu di atap. Kosong. Dia segera menuju kamar Frank. Belum benar-benar sampai yang ingin ditemui sudah membuka pintu lebih dulu. Bersama dengan pakaian rapi dan wajah segar. Entah jam berapa sahabatnya itu bangun hingga punya banyak waktu membersihkan diri."Kau lihat Bora?" tanya Jeo segera."Bora? Aku baru keluar, Jeo. Kau sudah memeriksa seluruh gedung? Siapa tau dia ada di toilet atau sedang mencari udara segar. Oh! Dia ada di sana." Frank menunjuk sudut halaman dengan dagunya. Jeo mendekat, dia menurunkan bahu lega.Frank tertawa kecil. "Dia bukan anak-anak. Sebenarnya apa yang kau cemaskan.""Me