Share

BAB 5

Jeo bergegas membuka pintu depan. Dia keluar bersama dengan Bora. Mereka berdua terbatuk-batuk. Jeo segera masuk ke dalam lagi. Dia menerobos asap menuju dapur. Bora samar menatap bayangan pria itu, matanya menyipit dengan setengah wajah ditutupi lengan.

"Oh!" Brukkk! Bora terjatuh ke belakang. Asap hitam tebal berbentuk bola besar keluar dari dalam dapur, gesit melewati Bora yang tadinya masih berdiri di pintu depan. Bola hitamnya sekarang melayang di atas kepala Bora, jaraknya lumayan dekat.

"One!" Kilatan petir biru menyambar dari dalam. Jeo keluar, pelipisnya berdarah.

Pintar sekali menghindar, bola hitam tersebut kali ini membuat lingkaran besar di atas langit. Cepat sekali, dilihat dengan mata pun tidak nampak saking cepatnya. Berputar terus seperti gasing rusak. Halaman depan Bar yang tidak dilapisi aspal membuat debu berterbangan. Jeo mencoba melindungi Bora dengan dekapannya, menghindari siapapun terluka.

Sekali lagi. Boom! Ledakan kedua melesat cepat di tempat Jeo dan Bora berdiri. Tapi cahaya pelindung yang muncul dari tubuh Jeo menyelamatkannya dari bahaya. Mereka berdua selamat sedangkan bola hitam yang masih terbang melayang kesana kemari seperti kebingungan.

"Mertous!" Jeo menyerang untuk kedua kalinya. Kali ini sihir yang dikeluarkan lebih besar. Perangkap biru akhirnya mampu menangkap bola hitam tersebut. Terjatuh begitu saja seperti bola karet. Dinding-dinding sihirnya digedor-gedor, bola hitam tersebut berusaha keluar.

"Aaaaaa!" Jeritan memekakkan telinga keluar bersamaan dengan sebuah mulut kecil yang muncul dari bola hitam tersebut. Bora menutup kedua telinganya rapat-rapat. Sedangkan Jeo yang juga kesakitan bertahan dengan satu telinga di tutup. Dia mengangkat perangkap sihir dan meniupnya pelan. Sedetik kemudian bolanya hilang menjadi debu. Diiringi jeritan yang juga menghilang.

Mereka berdua bernafas lega. Bora kehilangan tenaganya untuk bangun. Pandangannya kabur, kali ini dia benar-benar pingsan karena kelelahan. Bruukkk! Tubuhnya ambruk ke tanah.

Saat matanya kembali terbuka yang dirinya lihat bukanlah kamarnya seperti tadi, melainkan ruangan asing dengan langit-langit putih bersih. Sontak matanya membesar.

Merubah posisi duduk, dia melihat Jeo sedang mengobati lukanya dengan salep luka, bercermin dengan cermin kecil. Duduk membelakanginya.

"Kenapa kau tidak mengantarku ke rumah saja?" tanya Bora.

"Sudah bangun? Aku tidak bisa membuat ibumu khawatir karena penampilanmu yang berantakan, ditambah bau asap menyengat sekali dari tubuhmu."

Bora mencium bajunya, dia hampir muntah. Ugh! baunya busuk sekali. Tidak yakin apa memang benar bau asap.

"Dapurku hangus, pasti itu bau dari campuran sampah dan daging."

"Uekk!"

"Mau berganti dulu?"

Bora terdiam. Dia kemudian menggeleng. "Bagaimana kalau ibuku khawatir aku tidak pulang?"

"Aku sudah mengirim surat dan menyelipkannya pada pintu. Kubilang kalau kau akan menginap di rumahku."

"Kau gila ya?" Bora kaget. Mana bisa sejujur itu.

"Kau bilang kau datang dari masa depan. Pastinya kau tidak punya teman di masa ini."

"Bagaimana kalau ibuku marah?"

"Ibumu tidak akan marah. Aku sudah menulis alasan yang bagus."

"Entah aku harus percaya atau tidak. Ini benar-benar gila," decak Bora. Dia sudah bisa membayangkan dirinya dipukuli habis-habisan.

"Aku tidak bisa membawamu ke motel kan? Lagipula aku bukan laki-laki jahat." Jeo tadi pusing bukan main saat Bora pingsan. Apalagi jam sudah menunjukkan hampir jam 12 malam, dia tidak bisa memikirkan apa-apa lagi selain rumahnya sendiri.

Mengalah, Bora diam. Dia melihat ada sepasang baju di meja dekat kasur.

"Kalau kau berubah pikiran, kau bisa mengganti bajumu dengan itu." Jeo melirik melalui kaca.

"Nanti saja." Bora menolak. Entah kenapa dia merasa tidak nyaman memakai pakaian orang lain. "Apa aku boleh bertanya makhluk apa tadi?"

"Dia Gruffle, makhluk yang suka membuat ledakan, mungkin saja dia pergi ke sana karena tahu aku ada di sana. Tapi kau tidak perlu khawatir, Gruffle hanya menampakkan dirinya pada para penyihir. Memang suka iseng, jadi tidak boleh lengah kalau merasa ada yang tidak beres. Lalu, maafkan aku karena harus membuatmu mengalami ini. Tadinya aku bisa menangani dengan lebih baik lagi."

"Tidak perlu minta maaf. Aku yang harusnya minta maaf karena telah mengganggumu seharian ini."

"Rupanya kau sadar juga. Tidurlah, besok pagi kau bisa pulang sebelum ibumu bangun. Pasti tidak akan ketahuan kalau bajunya dicuci duluan kan?" Jeo keluar, dia memilih tidur di ruang tengah. Bora sudah siap melayangkan bantal tapi dia tau itu tidak sopan.

Merasa lelah, dia menatap jam dinding. Pukul dua pagi. Empat jam sebelum matahari terbit. Badannya direbahkannya di atas kasur empuk, matanya perlahan tertutup. Rentetan kejadian yang terjadi hari ini terngiang-ngiang, suara ledakan beberapa jam yang lalu juga ikut terbayang. Bora mengerutkan keningnya, dia memilih membayangkan orang tuanya yang sudah lama tidak ditemuinya. Satu titik air mata jatuh. Senyum lebar kedua orang tuanya kini mengisi otaknya. Dia rindu, benar-benar rindu sekali.

Matahari pagi menerobos lewat jendela kayu. Kasur milik Jeo sudah rapi sebelum ditinggalkan kosong. Bora sibuk di kamar mandi rumahnya sendiri, dia mengucek dengan seluruh kekuatannya, membersihkan semua kotoran tanpa tersisa sedikitpun. Setelah selesai, dia segera keluar. Harus segera dijemur sebelum ketahuan...

"Oh!"

"Sudah pulang? Bagaimana? Kau merasa segar setelah tidur di tempat lain?" Seperti biasa, sapu ijuk sudah erat tergenggam di tangan ibunya. Bora meneguk air liurnya berat, dia menggeleng cepat.

"Aku terpaksa melakukannya! Dia memaksaku!" Bora tidak tahu alasan apa yang dibuat Jeo, dia tidak bisa menebak apapun.

"Hanya karena kau pintar menangkap kecoa lalu kau mau menemaninya tidur? Memangnya dia bayi! Apa yang bisa dilakukan kecoa padahal dia hanya makhluk kecil!" Tak! Tak! Tak! Ibunya tanpa henti menghujani dengan pukulan sapu. "Dasar anak nakal! Harusnya kau tolak mentah-mentah! Kalian memang hanya tidur tapi kita tidak tau apa yang sebenarnya terjadi!"

"Aku tidak pernah macam-macam!" Berteriak, gerakan memukul ibunya terhenti. Bora menggertakkan giginya, dia kesal sekali dengan Jeo yang membuat alasan seperti pria hilang akal. Tidak pernah terlintas kalau kecoa dan tidur berdua akan ditulis oleh pria dengan tampang cerdas tersebut.

Tak! Satu pukulan mendarat di punggung lagi. "Agh! Sakit!" Bora mengaduh.

"Turunkan nada suaramu! Berani-beraninya membentak!" Tak! Tak! Hujanan pukulan kembali mendarat. Bora menunduk, dia hampir menangis karena menahan rasa sakit. "Hentikan!"

Ibunya benar-benar berhenti. Sekarang wanita tua itu menghela nafas berat. "Hutang budi apa?" tanyanya yang sudah agak tenang.

"Hutang budi... menemani... bicara," ucap Bora sambil mengutuki dirinya sendiri karena selalu bodoh dalam membuat alasan.

"Menemani apa? Bicara??" Ibunya siap melayangkan pukulan lagi tapi Bora sudah ngacir duluan. Berlari secepat kilat ke halaman belakang. Ibunya yang tidak pernah lari memilih berhenti. Menatap putrinya yang sekarang berubah total, menghela nafas lalu berbalik dan masuk ke dalam dapur.

Setelah meletakkan keranjang berisi baju basah. Bora merebahkan dirinya di atas dipan kayu. Mengatur nafasnya yang tersengal. Menatap langit orange yang terlihat indah pagi ini. Kalau dibandingkan di masa depan, mungkin dia tidak akan pernah bisa menikmati menatap langit. Sibuk menatap handphone dan bekerja. Rupanya terlempar kemari ada nilai positifnya juga.

"Kau pasti habis melakukan sesuatu kan dengan Jeo?" Phill datang membawa setumpuk kayu besar-besar. Bora memilih menutup matanya.

"Apa kalian...." Phill menyipitkan matanya curiga.

"Diam!"

Teringat, Bora membuka matanya. "Kau tadi malam dengar suara ledakan tidak?"

"Ledakan apa?"

"Kau.... tidak dengar?"

Jarak rumah mereka hanya berjarak kurang dari setengah kilometer. Ledakannya nyaring sekali sampai-sampai mampu membuat hilang pendengaran sebentar. Tapi apa katanya? Tidak dengar?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status