Share

BAB 5

Author: AyyaLatte
last update Huling Na-update: 2023-09-09 13:06:31

Jeo bergegas membuka pintu depan. Dia keluar bersama dengan Bora. Mereka berdua terbatuk-batuk. Jeo segera masuk ke dalam lagi. Dia menerobos asap menuju dapur. Bora samar menatap bayangan pria itu, matanya menyipit dengan setengah wajah ditutupi lengan.

"Oh!" Brukkk! Bora terjatuh ke belakang. Asap hitam tebal berbentuk bola besar keluar dari dalam dapur, gesit melewati Bora yang tadinya masih berdiri di pintu depan. Bola hitamnya sekarang melayang di atas kepala Bora, jaraknya lumayan dekat.

"One!" Kilatan petir biru menyambar dari dalam. Jeo keluar, pelipisnya berdarah.

Pintar sekali menghindar, bola hitam tersebut kali ini membuat lingkaran besar di atas langit. Cepat sekali, dilihat dengan mata pun tidak nampak saking cepatnya. Berputar terus seperti gasing rusak. Halaman depan Bar yang tidak dilapisi aspal membuat debu berterbangan. Jeo mencoba melindungi Bora dengan dekapannya, menghindari siapapun terluka.

Sekali lagi. Boom! Ledakan kedua melesat cepat di tempat Jeo dan Bora berdiri. Tapi cahaya pelindung yang muncul dari tubuh Jeo menyelamatkannya dari bahaya. Mereka berdua selamat sedangkan bola hitam yang masih terbang melayang kesana kemari seperti kebingungan.

"Mertous!" Jeo menyerang untuk kedua kalinya. Kali ini sihir yang dikeluarkan lebih besar. Perangkap biru akhirnya mampu menangkap bola hitam tersebut. Terjatuh begitu saja seperti bola karet. Dinding-dinding sihirnya digedor-gedor, bola hitam tersebut berusaha keluar.

"Aaaaaa!" Jeritan memekakkan telinga keluar bersamaan dengan sebuah mulut kecil yang muncul dari bola hitam tersebut. Bora menutup kedua telinganya rapat-rapat. Sedangkan Jeo yang juga kesakitan bertahan dengan satu telinga di tutup. Dia mengangkat perangkap sihir dan meniupnya pelan. Sedetik kemudian bolanya hilang menjadi debu. Diiringi jeritan yang juga menghilang.

Mereka berdua bernafas lega. Bora kehilangan tenaganya untuk bangun. Pandangannya kabur, kali ini dia benar-benar pingsan karena kelelahan. Bruukkk! Tubuhnya ambruk ke tanah.

Saat matanya kembali terbuka yang dirinya lihat bukanlah kamarnya seperti tadi, melainkan ruangan asing dengan langit-langit putih bersih. Sontak matanya membesar.

Merubah posisi duduk, dia melihat Jeo sedang mengobati lukanya dengan salep luka, bercermin dengan cermin kecil. Duduk membelakanginya.

"Kenapa kau tidak mengantarku ke rumah saja?" tanya Bora.

"Sudah bangun? Aku tidak bisa membuat ibumu khawatir karena penampilanmu yang berantakan, ditambah bau asap menyengat sekali dari tubuhmu."

Bora mencium bajunya, dia hampir muntah. Ugh! baunya busuk sekali. Tidak yakin apa memang benar bau asap.

"Dapurku hangus, pasti itu bau dari campuran sampah dan daging."

"Uekk!"

"Mau berganti dulu?"

Bora terdiam. Dia kemudian menggeleng. "Bagaimana kalau ibuku khawatir aku tidak pulang?"

"Aku sudah mengirim surat dan menyelipkannya pada pintu. Kubilang kalau kau akan menginap di rumahku."

"Kau gila ya?" Bora kaget. Mana bisa sejujur itu.

"Kau bilang kau datang dari masa depan. Pastinya kau tidak punya teman di masa ini."

"Bagaimana kalau ibuku marah?"

"Ibumu tidak akan marah. Aku sudah menulis alasan yang bagus."

"Entah aku harus percaya atau tidak. Ini benar-benar gila," decak Bora. Dia sudah bisa membayangkan dirinya dipukuli habis-habisan.

"Aku tidak bisa membawamu ke motel kan? Lagipula aku bukan laki-laki jahat." Jeo tadi pusing bukan main saat Bora pingsan. Apalagi jam sudah menunjukkan hampir jam 12 malam, dia tidak bisa memikirkan apa-apa lagi selain rumahnya sendiri.

Mengalah, Bora diam. Dia melihat ada sepasang baju di meja dekat kasur.

"Kalau kau berubah pikiran, kau bisa mengganti bajumu dengan itu." Jeo melirik melalui kaca.

"Nanti saja." Bora menolak. Entah kenapa dia merasa tidak nyaman memakai pakaian orang lain. "Apa aku boleh bertanya makhluk apa tadi?"

"Dia Gruffle, makhluk yang suka membuat ledakan, mungkin saja dia pergi ke sana karena tahu aku ada di sana. Tapi kau tidak perlu khawatir, Gruffle hanya menampakkan dirinya pada para penyihir. Memang suka iseng, jadi tidak boleh lengah kalau merasa ada yang tidak beres. Lalu, maafkan aku karena harus membuatmu mengalami ini. Tadinya aku bisa menangani dengan lebih baik lagi."

"Tidak perlu minta maaf. Aku yang harusnya minta maaf karena telah mengganggumu seharian ini."

"Rupanya kau sadar juga. Tidurlah, besok pagi kau bisa pulang sebelum ibumu bangun. Pasti tidak akan ketahuan kalau bajunya dicuci duluan kan?" Jeo keluar, dia memilih tidur di ruang tengah. Bora sudah siap melayangkan bantal tapi dia tau itu tidak sopan.

Merasa lelah, dia menatap jam dinding. Pukul dua pagi. Empat jam sebelum matahari terbit. Badannya direbahkannya di atas kasur empuk, matanya perlahan tertutup. Rentetan kejadian yang terjadi hari ini terngiang-ngiang, suara ledakan beberapa jam yang lalu juga ikut terbayang. Bora mengerutkan keningnya, dia memilih membayangkan orang tuanya yang sudah lama tidak ditemuinya. Satu titik air mata jatuh. Senyum lebar kedua orang tuanya kini mengisi otaknya. Dia rindu, benar-benar rindu sekali.

Matahari pagi menerobos lewat jendela kayu. Kasur milik Jeo sudah rapi sebelum ditinggalkan kosong. Bora sibuk di kamar mandi rumahnya sendiri, dia mengucek dengan seluruh kekuatannya, membersihkan semua kotoran tanpa tersisa sedikitpun. Setelah selesai, dia segera keluar. Harus segera dijemur sebelum ketahuan...

"Oh!"

"Sudah pulang? Bagaimana? Kau merasa segar setelah tidur di tempat lain?" Seperti biasa, sapu ijuk sudah erat tergenggam di tangan ibunya. Bora meneguk air liurnya berat, dia menggeleng cepat.

"Aku terpaksa melakukannya! Dia memaksaku!" Bora tidak tahu alasan apa yang dibuat Jeo, dia tidak bisa menebak apapun.

"Hanya karena kau pintar menangkap kecoa lalu kau mau menemaninya tidur? Memangnya dia bayi! Apa yang bisa dilakukan kecoa padahal dia hanya makhluk kecil!" Tak! Tak! Tak! Ibunya tanpa henti menghujani dengan pukulan sapu. "Dasar anak nakal! Harusnya kau tolak mentah-mentah! Kalian memang hanya tidur tapi kita tidak tau apa yang sebenarnya terjadi!"

"Aku tidak pernah macam-macam!" Berteriak, gerakan memukul ibunya terhenti. Bora menggertakkan giginya, dia kesal sekali dengan Jeo yang membuat alasan seperti pria hilang akal. Tidak pernah terlintas kalau kecoa dan tidur berdua akan ditulis oleh pria dengan tampang cerdas tersebut.

Tak! Satu pukulan mendarat di punggung lagi. "Agh! Sakit!" Bora mengaduh.

"Turunkan nada suaramu! Berani-beraninya membentak!" Tak! Tak! Hujanan pukulan kembali mendarat. Bora menunduk, dia hampir menangis karena menahan rasa sakit. "Hentikan!"

Ibunya benar-benar berhenti. Sekarang wanita tua itu menghela nafas berat. "Hutang budi apa?" tanyanya yang sudah agak tenang.

"Hutang budi... menemani... bicara," ucap Bora sambil mengutuki dirinya sendiri karena selalu bodoh dalam membuat alasan.

"Menemani apa? Bicara??" Ibunya siap melayangkan pukulan lagi tapi Bora sudah ngacir duluan. Berlari secepat kilat ke halaman belakang. Ibunya yang tidak pernah lari memilih berhenti. Menatap putrinya yang sekarang berubah total, menghela nafas lalu berbalik dan masuk ke dalam dapur.

Setelah meletakkan keranjang berisi baju basah. Bora merebahkan dirinya di atas dipan kayu. Mengatur nafasnya yang tersengal. Menatap langit orange yang terlihat indah pagi ini. Kalau dibandingkan di masa depan, mungkin dia tidak akan pernah bisa menikmati menatap langit. Sibuk menatap handphone dan bekerja. Rupanya terlempar kemari ada nilai positifnya juga.

"Kau pasti habis melakukan sesuatu kan dengan Jeo?" Phill datang membawa setumpuk kayu besar-besar. Bora memilih menutup matanya.

"Apa kalian...." Phill menyipitkan matanya curiga.

"Diam!"

Teringat, Bora membuka matanya. "Kau tadi malam dengar suara ledakan tidak?"

"Ledakan apa?"

"Kau.... tidak dengar?"

Jarak rumah mereka hanya berjarak kurang dari setengah kilometer. Ledakannya nyaring sekali sampai-sampai mampu membuat hilang pendengaran sebentar. Tapi apa katanya? Tidak dengar?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • PENJELAJAH WAKTU DAN JEO   Bab 26

    Penjara bawah tanah yang berada tepat di bawah halaman luas Trevisia berisi satu dua monster yang berhasil ditangkap. Akan di eksekusi sebentar lagi, jika terlalu lama dikurung takut membahayakan keamaan Trevisia. Tinny si kurcaci perak ditempatkan di penjara berukuran sedang.Bora menatap kasihan, dia duduk dalam posisi jongkok. Sudah hampir lima belas menit menyaksikan Tinny bergumam dengan posisi telentang yang hampir tidak pernah berubah. Bora tidak mau kurcacinya dihabisi, terlalu kejam. Dikurung begini saja hampir membuatnya membuka kunci dan melepas liarkan ke hutan. Frank tidak setuju atas permintaan Bora yang menyuruh melepaskan Tinny sedangkan Jeo tidak berkomentar apa-apa. Hanya diam."Dia tidak boleh dilepas." Vrey datang dari bawah. Jeo yang berdiri di belakang Bora menoleh ke samping. Menatap datar. Bukan idenya mengurung Tinny di sini tapi Frank setuju saja dengan ide Vrey."Biarkan dia keluar. Kasihan dia." Bora berdiri, berpegang pada lengan Jeo."Setiap monster harus

  • PENJELAJAH WAKTU DAN JEO   Bab 25

    "Suara apa itu?" Stephanie berhenti berjalan. Dia memandang Fred yang menjawab sambil menaikkan bahu tidak tahu. Toples besar yang diisi tumbuhan ajaib dipegang erat dalam pelukan.Mereka kembali menaiki tangga.Stephanie berhenti di depan pintu perpustakaan. "Kau juga dengar kan? Aku yakin suaranya dari sini.""Bukalah. Cepat periksa lalu kita pergi." Fred meletakkan toplesnya. Tangannya keram.Stephanie membuka pintu. Gelap. Tidak ada apapun. "Apa aku salah?""Periksa dengan benar."Stephanie masuk lebih dalam. Dia menyalakan lampu lalu memindai isi perpustakaan. Namun tidak ada yang aneh. Semua tampak normal. "Aku salah. Apa mungkin di atap?""Aloha!"Bugh! Fred menimpuk kurcaci menggunakan buku hingga pingsan. "Sejak kapan ada Tinny di sini." Dia meletakkan kembali buku setebal sepuluh senti ke atas meja."Oh! Yang ini bermahkota perak." Stephanie baru pertama kali bertemu jenis kurcaci tersebut."Cukup berbahaya," celetuk Fred."Dia pasti tidak sendiri." Stephanie kembali mengece

  • PENJELAJAH WAKTU DAN JEO   Bab 24

    Mengeluh, Bora mengintip isi lapangan.Dia bisa saja ke bagian dimana Zed sibuk menyatukan kaca-kaca tapi pasti akan dicurigai karena bisa menembus pelindung. Lalu harus bagaimana?Mencoba berpikir keras, Bora memutuskan akan mencari Fred dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau belum terlalu akrab tapi apa boleh buat. Kalau bertemu Jeo di jalan, itu lebih baik. Atau lebih buruk? Mungkin tidak seburuk bertemu monster. Dia siap dimarahi karena ini memang kesalahannya.Bora memandang hutan di depan. Dia meneguk liur berat lalu berjalan sesuai insting. Kemungkinan kanan karena sisi itu selalu baik.Berjalan dan terus berjalan tanpa henti. Bora terduduk di bawah pohon. Tidak ada jam, kalau dirasa-rasa mungkin sudah satu jam dia berjalan menyusuri hutan. Kakinya lelah, butuh istirahat. Sejak masuk tidak bertemu siapapun. Entah itu Fred atau Jeo atau siapapun itu. Kakinya juga tambah sakit karena dipaksa berjalan.Bora menyenderkan punggungnya. Dia tahu kalau kadang bisa bodoh di beberapa si

  • PENJELAJAH WAKTU DAN JEO   Bab 23

    Frank gesit berbelok menghindari pepohonan besar. Tembakan batu-batu mengikutinya dari belakang. Lengannya tadi terluka saat lengah. Darah segar membasahi baju. Frank tidak bisa kabur terus.Dia berhenti pada pohon beringin besar. Sebuah pedang panjang muncul pada tangan kanannya yang tidak sakit. Saat pedang itu sempurna ditutupi cahaya kemerahan, Frank menancapkannya pada tanah. Tak! Waktu berhenti. Dia hanya punya setengah menit. Frank menoleh ke belakang, dia kemudian mendekat ke sumber hujan batu muncul. Matanya menyipit saat melihat ada monster kayu lebih besar dari kemarin, duduk di bawah mesin pelempar batu dengan seringaian lebar. Frank berlari mendekat dengan kecepatan penuh, dia kemudian melompat tinggi, tangan kanannya membesar lalu Brakkk! Monster itu hancur bersama mesinnya, lebur jadi satu. Waktu kembali normal. Sisa bebatuan jatuh ke tanah lalu menghilang. Pedang yang tadi ditancapkan juga ikut tersapu angin.Pada waktu yang sama, Jeo mendorong batu besar sekuat tenaga

  • PENJELAJAH WAKTU DAN JEO   Bab 22

    Bora duduk di kursi paling ujung, kedua matanya sibuk memindai seisi ruangan. Ruang rapat yang ia kira akan terlihat lebar dan luas ternyata hanya diisi tujuh kursi. Tiga di kanan dan tiga di kiri serta satu kursi besar di bagian tengah, semua kursi itu mengelilingi meja panjang seukuran 3x1 meter. Kemungkinan total Zyro hanya berjumlah enam. Lima yang ia tahu dan satu lagi bernama Ezra yang kata Jeo merupakan rekan Zed. Kursi paling besar dibiarkan kosong. Bora bisa menebak kalau itu kursi Master Qerrell. Ada papan tulis kapur yang kelihatan berumur dekat pintu dan peta besar yang diberi tanda merah di beberapa tempat.Fiz menatap lamat Bora sejak ia dipaksa masuk karena sudah terlanjur mendengar percakapan dari luar. "Apa dia yang Zed ceritakan?" tanya Fiz setelah ruangan senyap selama hampir seperempat jam. Tangan dengan pena bulu menunjuk ke arah Bora.Frank menjawab. "Benar, dia teman Jeo. Namanya Viola. Mereka teman dekat.""Aku Fiz. Salam kenal." Senyum lebar mewarnai wajah itu

  • PENJELAJAH WAKTU DAN JEO   Bab 21

    Jeo memperhatikan seisi ruangan. Tidak ada. Keberadaan Bora tidak ada di sini. Segera dia memasang sepatu cepat, takut kalau hal-hal buruk terjadi, mengingat kaki gadis itu masih terluka."Jeo! Baru bangun? Mau makan bersa-"Zed mengatupkan mulutnya rapat saat Jeo bahkan tidak memandang dirinya dan langsung berlari menuju pintu. Dia mengusap wajahnya yang kusam dan berbalik.Jeo membuka pintu di atap. Kosong. Dia segera menuju kamar Frank. Belum benar-benar sampai yang ingin ditemui sudah membuka pintu lebih dulu. Bersama dengan pakaian rapi dan wajah segar. Entah jam berapa sahabatnya itu bangun hingga punya banyak waktu membersihkan diri."Kau lihat Bora?" tanya Jeo segera."Bora? Aku baru keluar, Jeo. Kau sudah memeriksa seluruh gedung? Siapa tau dia ada di toilet atau sedang mencari udara segar. Oh! Dia ada di sana." Frank menunjuk sudut halaman dengan dagunya. Jeo mendekat, dia menurunkan bahu lega.Frank tertawa kecil. "Dia bukan anak-anak. Sebenarnya apa yang kau cemaskan.""Me

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status