Share

BAB 3

Perlahan cahaya api kebiruan hilang dari telapak tangan Jeo. Lampu kembali dinyalakan. Bora masih mematung, ia bahkan tidak bergerak sejak tadi.

"Aku tidak menduga kau sekaget itu," celetuk Jeo. Pria itu berjalan mendekat, berniat membantu berdiri.

"Jangan mendekat!" Teriakan Bora memenuhi seisi ruangan. Langkah kaki Jeo terhenti jarak dua meter.

Nafas Bora memburu, keringatnya menetes terus menerus. Dia perlahan bangkit sendiri lalu berjalan ke pintu dengan kaki bergetar. Mencoba membuka pintu yang ternyata sengaja dikunci.

"Kau tidak bisa keluar." Jeo menjelaskan.

"B-bukakan pintunya!"

Jeo menggeleng tenang. "Tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkanmu kabur begitu saja."

"K-kau akan membunuhku?"

"Eyy, tentu saja tidak. Apa wajahku mirip penjahat?" Jeo tertawa kecil. Tapi tidak bertahan lama, dia kembali berwajah datar setelah melihat keseriusan nampak di wajah takut Bora.

Jeo mulai berjalan mendekat. Bora menempel pada pintu, jantungnya berdetak tak karuan. Memikirkan banyak kemungkinan buruk dalam seperkian detik.

Saat sampai, tangan Jeo terangkat, terus naik hingga melewati wajah gadis itu. "Ingatan ini berbahaya," gumamnya.

Greb! Bora memegang erat lengan kekar Jeo. "Jangan lakukan."

"Kenapa? Kau mau mencoba membuat kesepakatan?" tebak Jeo asal-asalan. Gadis yang berjarak kurang dari satu meter di hadapannya ini masih bergetar ketakutan tetapi sorot matanya menunjukkan sedikit keberanian.

"Kalau itu memungkinkan," kata Bora.

Jeo setuju, dia menurunkan tangannya. "Kutebak, kau mau memintaku mencari jalan kembali." Kedua tangan disimpan pada masing-masing kantong celana jeans.

"Kalau kau mau melakukannya, aku tidak akan beritahu siapapun."

"Apa aku bisa mempercayaimu?"

"Tentu saja!"

"Tapi aku tidak yakin kau memang berasal dari masa depan. Kau tidak bergurau kan?"

"Apa ini terdengar seperti gurauan bagimu?"

Jeo mengangguk dengan polosnya. Dia tidak melihat wajah kejujuran sejak tadi atau memang matanya yang kurang tajam dalam menilai sesuatu.

"Oh ayolah!" Bora merengek, dirinya hampir frustasi.

Jeo mengangkat bahunya, dia hanya mengutarakan apa yang dirinya rasakan.

"Ahh." Bora menurunkan bahunya lemas. Dia tidak mau ingatannya dihapus. Kejadian seperti ini pasti tidak akan terulang dua kali, lagipula dia masih butuh fakta ini demi bisa kembali ke masa depan.

"Pulanglah, aku percaya padamu untuk tidak menyebarkan kejadian hari ini." Seperti mendengar kalimat langka, Bora kaget karena dibiarkan pulang begitu saja.

"Kau yakin?" Dia tidak bisa kalau belum meyakinkan lagi.

Jeo mengangguk santai. "Tentu saja, besok kita bicarakan lagi saja. Kuharap kau memikirkan kesepakatan yang lebih bagus."

Merasa lega tapi di sisi lain Bora lelah duluan karena pasti akan butuh usaha panjang untuk meyakinkan Jeo. Dia menunduk, tidak lagi menatap ke depan.

Zinggg! Cahaya kebiruan datang dari tangan kanan Jeo yang sudah ada di atas kepala Bora. Dua detik kemudian, gadis itu tidak sadarkah diri. Jatuh ke pelukan Jeo yang sigap langsung menahannya. "Maafkan aku," gumamnya pelan.

Pukul 9 malam. Bora membuka matanya dengan kepala teramat pening. Dia mencoba duduk dengan susah payah, memegangi kepala yang seperti habis menabrak pembatas jalan. "Aghhh." Sambil mengerang, dia turun dari ranjang lalu keluar kamar, pergi ke dapur dan mengisi dahaga dengan air putih segelas penuh.

"Kau baik-baik saja?" Phill datang membawa beberapa obat herbal yang didapat dari hutan.

"Apa yang terjadi? Kenapa aku tidak ingat apa-apa?" Seberapa keras pun berusaha, Bora tidak bisa menemukan alasan kenapa dia bisa berada di kasur padahal jelas-jelas tadi sore baru bertemu dengan George dekat rumah.

"Kau kabur saat marah-marah tadi. Tidak ingat?"

"Aku ingat bagian itu, tapi tidak ingat setelahnya."

"Kau tadi jatuh pingsan di depan pintu rumah. Ibu menemukanmu dan aku menggendongmu ke kamar. Kau habis minum-minum ya? Eh, tapi tidak ada bau alkohol sih." Phill memegang dahi lebar adiknya yang punya panas normal. "Kau juga tidak demam," gumamnya.

"Tapi kenapa..."

"Mungkin kau kelelahan, sebaiknya istirahat saja hari ini. Ibu juga berjanji tidak akan menyuruhmu melakukan apapun besok," lanjut Phill sambil meletakkan beberapa daun ke dalam beberapa wadah. "Ini akan berguna kalau dibutuhkan," gumamnya agak pelan.

"Kau yakin karena kelelahan?" Bora tidak percaya, dia tidak yakin dengan apa yang didengarnya. Perasaannya mengatakan kalau dia barusaja mengalami hal yang tidak biasa. Cahaya biru, ingatannya terlintas oleh samar cahaya biru. Tapi dia tidak tahu itu apa.

"Istirahatlah. Ibu sebentar lagi pulang." Phill kemudian pergi. Bora ditinggal sendirian dengan isi kepala yang tidak bisa diam.

"Tapi apa kau tadi bertemu Jeo?" Phill berdiri di depan pintu.

"Jeo? Kau melihatku bertemu Jeo?"

"Perawakannya mirip denganmu tapi aku tidak yakin itu kau. Entahlah, mungkin aku salah liat." Berbalik, Phill keluar dan membiarkan pintunya terbuka.

"Jeo?" gumam Bora. Dia menatap dirinya sendiri. Mencoba mengingat-ingat kapan pernah bertemu wanita lain dengan pakaian sekumuh ini di kota.

Menggeleng ragu, Bora mulai berdehem pendek. "Apa aku bertemu dia tadi? Lalu ingatanku dihapus karena mengetahui rahasia gelapnya? Hahahah, terlalu aneh untuk dijadikan nyata." Bora tertawa sebentar lalu diam. Berpikir, tapi masih mungkin terjadi kalau kejadian dirinya yang terlempar kemari saja bisa benar-benar terjadi.

"Bora!"

Yang punya nama menoleh dengan cepat.

"Bora!"

Buru-buru kakinya keluar rumah. Menatap ke semua arah. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Bahkan Phill yang baru beberapa menit keluar saja tidak kelihatan. Walau ini malam hari tapi penerangan masih cukup terang dibandingkan lampu templok kamar mandi. Bertanya-tanya, siapa gerangan yang memanggil nama aslinya di masa ini.

"Hey!"

Bora hampir terjungkal. Seorang pria tua yang entah datang darimana sudah berdiri di hadapannya sambil tersenyum lebar. Tubuhnya agak tinggi, dilihat dengan seksama kemungkinan umurnya sudah memasuki 60 tahunan lebih. Warna rambutnya putih, tubuhnya tegap berdiri, pakaiannya mirip pakaian modis di masa depan. Bora mengernyit, belum pernah bertemu pria tua semodis ini selama tinggal di sini. Bertanya-tanya apakah pria tua ini yang tadi memanggilnya?

"Apa Sir yang tadi memanggil saya?" tanya Bora hati-hati.

"Memanggil apa?" Wajah bingung terlihat jelas. Bora mengernyit, tiba-tiba ragu akan pikirannya sendiri.

"Ah! Tidak, maafkan saya."

"Aku hanya mau menanyakan jalan. Kau tau ini dimana?" Secarik kertas diberikan. Bora memperhatikan dengan dahi bertaut. 'Jln. Flipred Rumah No.09'. Bora menggeleng, dia bahkan tidak tahu sedang tinggal di jalan apa.

"Maaf, aku tidak bisa membantumu, Sir. Sebagai gantinya, aku lihat ada pos polisi di seberang jalan sana." Telunjuknya mengarah ke barat. "Sir bisa ke sana untuk bertanya."

"Kau baik sekali. Terimakasih ya." Pria tua itu berbalik. Tapi baru dua langkah melangkah, dia membalikkan badan, menatap Bora.

"Kuharap kembali," ucapnya ramah.

"Kembali? Apanya yang.... Aghh!" Bora mengaduh, tiba-tiba saja dia merasakan sakit kepala hebat, telinganya berdenging, pandangannya kabur. Berjuang menahan rasa sakit, Bora terduduk di depan pintu rumah. Pria tua tadi sudah hilang saat dia lengah.

Lalu sepuluh detik kemudian dia kembali merasa sehat. Seperti tidak terjadi apa-apa.

"Oh! Tunggu! Ingatan ini..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status