Perlahan cahaya api kebiruan hilang dari telapak tangan Jeo. Lampu kembali dinyalakan. Bora masih mematung, ia bahkan tidak bergerak sejak tadi.
"Aku tidak menduga kau sekaget itu," celetuk Jeo. Pria itu berjalan mendekat, berniat membantu berdiri."Jangan mendekat!" Teriakan Bora memenuhi seisi ruangan. Langkah kaki Jeo terhenti jarak dua meter.Nafas Bora memburu, keringatnya menetes terus menerus. Dia perlahan bangkit sendiri lalu berjalan ke pintu dengan kaki bergetar. Mencoba membuka pintu yang ternyata sengaja dikunci."Kau tidak bisa keluar." Jeo menjelaskan."B-bukakan pintunya!"Jeo menggeleng tenang. "Tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkanmu kabur begitu saja.""K-kau akan membunuhku?""Eyy, tentu saja tidak. Apa wajahku mirip penjahat?" Jeo tertawa kecil. Tapi tidak bertahan lama, dia kembali berwajah datar setelah melihat keseriusan nampak di wajah takut Bora.Jeo mulai berjalan mendekat. Bora menempel pada pintu, jantungnya berdetak tak karuan. Memikirkan banyak kemungkinan buruk dalam seperkian detik.Saat sampai, tangan Jeo terangkat, terus naik hingga melewati wajah gadis itu. "Ingatan ini berbahaya," gumamnya.Greb! Bora memegang erat lengan kekar Jeo. "Jangan lakukan.""Kenapa? Kau mau mencoba membuat kesepakatan?" tebak Jeo asal-asalan. Gadis yang berjarak kurang dari satu meter di hadapannya ini masih bergetar ketakutan tetapi sorot matanya menunjukkan sedikit keberanian."Kalau itu memungkinkan," kata Bora.Jeo setuju, dia menurunkan tangannya. "Kutebak, kau mau memintaku mencari jalan kembali." Kedua tangan disimpan pada masing-masing kantong celana jeans."Kalau kau mau melakukannya, aku tidak akan beritahu siapapun.""Apa aku bisa mempercayaimu?""Tentu saja!""Tapi aku tidak yakin kau memang berasal dari masa depan. Kau tidak bergurau kan?""Apa ini terdengar seperti gurauan bagimu?"Jeo mengangguk dengan polosnya. Dia tidak melihat wajah kejujuran sejak tadi atau memang matanya yang kurang tajam dalam menilai sesuatu."Oh ayolah!" Bora merengek, dirinya hampir frustasi.Jeo mengangkat bahunya, dia hanya mengutarakan apa yang dirinya rasakan."Ahh." Bora menurunkan bahunya lemas. Dia tidak mau ingatannya dihapus. Kejadian seperti ini pasti tidak akan terulang dua kali, lagipula dia masih butuh fakta ini demi bisa kembali ke masa depan."Pulanglah, aku percaya padamu untuk tidak menyebarkan kejadian hari ini." Seperti mendengar kalimat langka, Bora kaget karena dibiarkan pulang begitu saja."Kau yakin?" Dia tidak bisa kalau belum meyakinkan lagi.Jeo mengangguk santai. "Tentu saja, besok kita bicarakan lagi saja. Kuharap kau memikirkan kesepakatan yang lebih bagus."Merasa lega tapi di sisi lain Bora lelah duluan karena pasti akan butuh usaha panjang untuk meyakinkan Jeo. Dia menunduk, tidak lagi menatap ke depan.Zinggg! Cahaya kebiruan datang dari tangan kanan Jeo yang sudah ada di atas kepala Bora. Dua detik kemudian, gadis itu tidak sadarkah diri. Jatuh ke pelukan Jeo yang sigap langsung menahannya. "Maafkan aku," gumamnya pelan.Pukul 9 malam. Bora membuka matanya dengan kepala teramat pening. Dia mencoba duduk dengan susah payah, memegangi kepala yang seperti habis menabrak pembatas jalan. "Aghhh." Sambil mengerang, dia turun dari ranjang lalu keluar kamar, pergi ke dapur dan mengisi dahaga dengan air putih segelas penuh."Kau baik-baik saja?" Phill datang membawa beberapa obat herbal yang didapat dari hutan."Apa yang terjadi? Kenapa aku tidak ingat apa-apa?" Seberapa keras pun berusaha, Bora tidak bisa menemukan alasan kenapa dia bisa berada di kasur padahal jelas-jelas tadi sore baru bertemu dengan George dekat rumah."Kau kabur saat marah-marah tadi. Tidak ingat?""Aku ingat bagian itu, tapi tidak ingat setelahnya.""Kau tadi jatuh pingsan di depan pintu rumah. Ibu menemukanmu dan aku menggendongmu ke kamar. Kau habis minum-minum ya? Eh, tapi tidak ada bau alkohol sih." Phill memegang dahi lebar adiknya yang punya panas normal. "Kau juga tidak demam," gumamnya."Tapi kenapa...""Mungkin kau kelelahan, sebaiknya istirahat saja hari ini. Ibu juga berjanji tidak akan menyuruhmu melakukan apapun besok," lanjut Phill sambil meletakkan beberapa daun ke dalam beberapa wadah. "Ini akan berguna kalau dibutuhkan," gumamnya agak pelan."Kau yakin karena kelelahan?" Bora tidak percaya, dia tidak yakin dengan apa yang didengarnya. Perasaannya mengatakan kalau dia barusaja mengalami hal yang tidak biasa. Cahaya biru, ingatannya terlintas oleh samar cahaya biru. Tapi dia tidak tahu itu apa."Istirahatlah. Ibu sebentar lagi pulang." Phill kemudian pergi. Bora ditinggal sendirian dengan isi kepala yang tidak bisa diam."Tapi apa kau tadi bertemu Jeo?" Phill berdiri di depan pintu."Jeo? Kau melihatku bertemu Jeo?""Perawakannya mirip denganmu tapi aku tidak yakin itu kau. Entahlah, mungkin aku salah liat." Berbalik, Phill keluar dan membiarkan pintunya terbuka."Jeo?" gumam Bora. Dia menatap dirinya sendiri. Mencoba mengingat-ingat kapan pernah bertemu wanita lain dengan pakaian sekumuh ini di kota.Menggeleng ragu, Bora mulai berdehem pendek. "Apa aku bertemu dia tadi? Lalu ingatanku dihapus karena mengetahui rahasia gelapnya? Hahahah, terlalu aneh untuk dijadikan nyata." Bora tertawa sebentar lalu diam. Berpikir, tapi masih mungkin terjadi kalau kejadian dirinya yang terlempar kemari saja bisa benar-benar terjadi."Bora!"Yang punya nama menoleh dengan cepat."Bora!"Buru-buru kakinya keluar rumah. Menatap ke semua arah. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Bahkan Phill yang baru beberapa menit keluar saja tidak kelihatan. Walau ini malam hari tapi penerangan masih cukup terang dibandingkan lampu templok kamar mandi. Bertanya-tanya, siapa gerangan yang memanggil nama aslinya di masa ini."Hey!"Bora hampir terjungkal. Seorang pria tua yang entah datang darimana sudah berdiri di hadapannya sambil tersenyum lebar. Tubuhnya agak tinggi, dilihat dengan seksama kemungkinan umurnya sudah memasuki 60 tahunan lebih. Warna rambutnya putih, tubuhnya tegap berdiri, pakaiannya mirip pakaian modis di masa depan. Bora mengernyit, belum pernah bertemu pria tua semodis ini selama tinggal di sini. Bertanya-tanya apakah pria tua ini yang tadi memanggilnya?"Apa Sir yang tadi memanggil saya?" tanya Bora hati-hati."Memanggil apa?" Wajah bingung terlihat jelas. Bora mengernyit, tiba-tiba ragu akan pikirannya sendiri."Ah! Tidak, maafkan saya.""Aku hanya mau menanyakan jalan. Kau tau ini dimana?" Secarik kertas diberikan. Bora memperhatikan dengan dahi bertaut. 'Jln. Flipred Rumah No.09'. Bora menggeleng, dia bahkan tidak tahu sedang tinggal di jalan apa."Maaf, aku tidak bisa membantumu, Sir. Sebagai gantinya, aku lihat ada pos polisi di seberang jalan sana." Telunjuknya mengarah ke barat. "Sir bisa ke sana untuk bertanya.""Kau baik sekali. Terimakasih ya." Pria tua itu berbalik. Tapi baru dua langkah melangkah, dia membalikkan badan, menatap Bora."Kuharap kembali," ucapnya ramah."Kembali? Apanya yang.... Aghh!" Bora mengaduh, tiba-tiba saja dia merasakan sakit kepala hebat, telinganya berdenging, pandangannya kabur. Berjuang menahan rasa sakit, Bora terduduk di depan pintu rumah. Pria tua tadi sudah hilang saat dia lengah.Lalu sepuluh detik kemudian dia kembali merasa sehat. Seperti tidak terjadi apa-apa."Oh! Tunggu! Ingatan ini..."Penjara bawah tanah yang berada tepat di bawah halaman luas Trevisia berisi satu dua monster yang berhasil ditangkap. Akan di eksekusi sebentar lagi, jika terlalu lama dikurung takut membahayakan keamaan Trevisia. Tinny si kurcaci perak ditempatkan di penjara berukuran sedang.Bora menatap kasihan, dia duduk dalam posisi jongkok. Sudah hampir lima belas menit menyaksikan Tinny bergumam dengan posisi telentang yang hampir tidak pernah berubah. Bora tidak mau kurcacinya dihabisi, terlalu kejam. Dikurung begini saja hampir membuatnya membuka kunci dan melepas liarkan ke hutan. Frank tidak setuju atas permintaan Bora yang menyuruh melepaskan Tinny sedangkan Jeo tidak berkomentar apa-apa. Hanya diam."Dia tidak boleh dilepas." Vrey datang dari bawah. Jeo yang berdiri di belakang Bora menoleh ke samping. Menatap datar. Bukan idenya mengurung Tinny di sini tapi Frank setuju saja dengan ide Vrey."Biarkan dia keluar. Kasihan dia." Bora berdiri, berpegang pada lengan Jeo."Setiap monster harus
"Suara apa itu?" Stephanie berhenti berjalan. Dia memandang Fred yang menjawab sambil menaikkan bahu tidak tahu. Toples besar yang diisi tumbuhan ajaib dipegang erat dalam pelukan.Mereka kembali menaiki tangga.Stephanie berhenti di depan pintu perpustakaan. "Kau juga dengar kan? Aku yakin suaranya dari sini.""Bukalah. Cepat periksa lalu kita pergi." Fred meletakkan toplesnya. Tangannya keram.Stephanie membuka pintu. Gelap. Tidak ada apapun. "Apa aku salah?""Periksa dengan benar."Stephanie masuk lebih dalam. Dia menyalakan lampu lalu memindai isi perpustakaan. Namun tidak ada yang aneh. Semua tampak normal. "Aku salah. Apa mungkin di atap?""Aloha!"Bugh! Fred menimpuk kurcaci menggunakan buku hingga pingsan. "Sejak kapan ada Tinny di sini." Dia meletakkan kembali buku setebal sepuluh senti ke atas meja."Oh! Yang ini bermahkota perak." Stephanie baru pertama kali bertemu jenis kurcaci tersebut."Cukup berbahaya," celetuk Fred."Dia pasti tidak sendiri." Stephanie kembali mengece
Mengeluh, Bora mengintip isi lapangan.Dia bisa saja ke bagian dimana Zed sibuk menyatukan kaca-kaca tapi pasti akan dicurigai karena bisa menembus pelindung. Lalu harus bagaimana?Mencoba berpikir keras, Bora memutuskan akan mencari Fred dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau belum terlalu akrab tapi apa boleh buat. Kalau bertemu Jeo di jalan, itu lebih baik. Atau lebih buruk? Mungkin tidak seburuk bertemu monster. Dia siap dimarahi karena ini memang kesalahannya.Bora memandang hutan di depan. Dia meneguk liur berat lalu berjalan sesuai insting. Kemungkinan kanan karena sisi itu selalu baik.Berjalan dan terus berjalan tanpa henti. Bora terduduk di bawah pohon. Tidak ada jam, kalau dirasa-rasa mungkin sudah satu jam dia berjalan menyusuri hutan. Kakinya lelah, butuh istirahat. Sejak masuk tidak bertemu siapapun. Entah itu Fred atau Jeo atau siapapun itu. Kakinya juga tambah sakit karena dipaksa berjalan.Bora menyenderkan punggungnya. Dia tahu kalau kadang bisa bodoh di beberapa si
Frank gesit berbelok menghindari pepohonan besar. Tembakan batu-batu mengikutinya dari belakang. Lengannya tadi terluka saat lengah. Darah segar membasahi baju. Frank tidak bisa kabur terus.Dia berhenti pada pohon beringin besar. Sebuah pedang panjang muncul pada tangan kanannya yang tidak sakit. Saat pedang itu sempurna ditutupi cahaya kemerahan, Frank menancapkannya pada tanah. Tak! Waktu berhenti. Dia hanya punya setengah menit. Frank menoleh ke belakang, dia kemudian mendekat ke sumber hujan batu muncul. Matanya menyipit saat melihat ada monster kayu lebih besar dari kemarin, duduk di bawah mesin pelempar batu dengan seringaian lebar. Frank berlari mendekat dengan kecepatan penuh, dia kemudian melompat tinggi, tangan kanannya membesar lalu Brakkk! Monster itu hancur bersama mesinnya, lebur jadi satu. Waktu kembali normal. Sisa bebatuan jatuh ke tanah lalu menghilang. Pedang yang tadi ditancapkan juga ikut tersapu angin.Pada waktu yang sama, Jeo mendorong batu besar sekuat tenaga
Bora duduk di kursi paling ujung, kedua matanya sibuk memindai seisi ruangan. Ruang rapat yang ia kira akan terlihat lebar dan luas ternyata hanya diisi tujuh kursi. Tiga di kanan dan tiga di kiri serta satu kursi besar di bagian tengah, semua kursi itu mengelilingi meja panjang seukuran 3x1 meter. Kemungkinan total Zyro hanya berjumlah enam. Lima yang ia tahu dan satu lagi bernama Ezra yang kata Jeo merupakan rekan Zed. Kursi paling besar dibiarkan kosong. Bora bisa menebak kalau itu kursi Master Qerrell. Ada papan tulis kapur yang kelihatan berumur dekat pintu dan peta besar yang diberi tanda merah di beberapa tempat.Fiz menatap lamat Bora sejak ia dipaksa masuk karena sudah terlanjur mendengar percakapan dari luar. "Apa dia yang Zed ceritakan?" tanya Fiz setelah ruangan senyap selama hampir seperempat jam. Tangan dengan pena bulu menunjuk ke arah Bora.Frank menjawab. "Benar, dia teman Jeo. Namanya Viola. Mereka teman dekat.""Aku Fiz. Salam kenal." Senyum lebar mewarnai wajah itu
Jeo memperhatikan seisi ruangan. Tidak ada. Keberadaan Bora tidak ada di sini. Segera dia memasang sepatu cepat, takut kalau hal-hal buruk terjadi, mengingat kaki gadis itu masih terluka."Jeo! Baru bangun? Mau makan bersa-"Zed mengatupkan mulutnya rapat saat Jeo bahkan tidak memandang dirinya dan langsung berlari menuju pintu. Dia mengusap wajahnya yang kusam dan berbalik.Jeo membuka pintu di atap. Kosong. Dia segera menuju kamar Frank. Belum benar-benar sampai yang ingin ditemui sudah membuka pintu lebih dulu. Bersama dengan pakaian rapi dan wajah segar. Entah jam berapa sahabatnya itu bangun hingga punya banyak waktu membersihkan diri."Kau lihat Bora?" tanya Jeo segera."Bora? Aku baru keluar, Jeo. Kau sudah memeriksa seluruh gedung? Siapa tau dia ada di toilet atau sedang mencari udara segar. Oh! Dia ada di sana." Frank menunjuk sudut halaman dengan dagunya. Jeo mendekat, dia menurunkan bahu lega.Frank tertawa kecil. "Dia bukan anak-anak. Sebenarnya apa yang kau cemaskan.""Me