Share

Bab 7

"Aneh, padahal aku sudah mengucapkan mantra-mantra tadi. Apa tidak mempan ya?" Suaranya berubah. Mengernyit bingung, Bora langsung berbalik.

"Ah! Maaf mengganggu." Membungkuk, seorang pria tersenyum tipis padanya. Diperhatikan detail, pria tersebut memakai baju olahraga berwarna biru tua senada dengan celana. Sepatu olahraga yang sudah kotor karena lumpur dan tas punggung hitam. Bora memperhatikan kakinya sendiri yang dibalut sepatu jerami butut. Tidak tahu kalau sepatu olahraga sudah ada di masa ini.

"Kau..." Kalimat Bora menggantung di udara. Dia tahu wajah pria ini biasa-biasa saja tapi dia jelas mendengar kata 'mantra' pada kalimat tadi. Apa mungkin....

Belum sempat melanjutkan, pria tersebut bicara lagi. "Maaf mengganggu. Saya pikir Anda temanku. Kalau begitu saya permisi."

"Tunggu!" Bora mencegahnya. Dia punya satu pertanyaan penting. "Kau... penyihir?"

Pria tersebut kaget luar biasa hingga tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. "Apa! Ah! Maksudku! B-bagaimana Anda... Bagaimana Anda tahu?!" Gelagapan, pria tersebut menarik Bora ke pinggir. Dia memperhatikan sekitar sambil memelankan nada suaranya. "Apa Anda juga penyihir?"

Gelengan kepala terlihat jelas. Pria tersebut mengerutkan keningnya bingung. "Lalu bagaimana Anda..."

"Itu cerita panjang. Aku punya kenalan yang mirip sepertimu." Bora menjelaskan.

"Kenalan? Manusia? Berteman dengan penyihir?" Wajah tidak biasa yang mengeras tampak jelas. Seperti mendengar hal langka.

"Y-ya. Bukankah... itu lumrah?" Bora merasa dia sudah salah besar karena bicara tanpa pikir panjang.

"Tidak. Aku baru mendengarnya. Kupikir penyihir membenci manusia."

"Kenapa?" Terkejut. Tentu saja. Mengingat Jeo kelihatannya memang tidak suka Bora tapi pria itu masih tergolong baik mau menolongnya.

"Sejarah panjang." Pria tersebut agak menjauhkan badannya. "Aku tidak seharusnya bicara denganmu. Kalau begitu aku permisi."

"Tunggu!" Bora lagi-lagi mencegahnya.

"Ada apa lagi?" Nada suaranya agak dingin. Cemas memandang ke ujung jalan dengan bibir bawah tergigit.

"Dimana kau beli sepatu itu?" Bora menunjuk sepatunya.

"Kukira hal penting." Melepas pegangan tangan secara paksa, pria tersebut berjalan setengah berlari ke kerumunan orang. Menuju stasiun kereta. Bersamaan dengan menghilangnya pria tersebut di kelokan penuh orang, Bora menangkap punggung Jeo yang juga berjalan dengan tergesa-gesa dengan Frank di samping kiri. Menuju arah yang sama dimana pria yang baru ditemuinya tadi berjalan. Menyipit, Bora mulai mengikuti dari belakang. Bertanya-tanya lagi apakah Jeo punya waktu bebas sebelum membuka Bar padahal hari sudah hampir sore.

Saat masuk stasiun. Suasananya lenggang, hampir sepi, berbeda sekali dengan di luar. Bora berdiri agak jauh dari Jeo dan Frank yang berdiri di depan rel kereta. Sedangkan pria berbaju olahraga tadi berdiri dengan jarak lima meter di samping kanan mereka berdua. Kalau saja dia tidak mengetahui Jeo adalah penyihir dia tidak akan membuang waktu untuk mengekorinya. Bukan maksud ikut campur tapi Bora merasa sihir adalah hal luar biasa setelah robot berjalan.

"Mau pergi kemana mereka?" gumam Bora heran. Dia tahu ini ilegal tapi rasa penasaran yang tinggi tidak bisa diabaikan begitu saja.

Kerumunan anak sekolah datang dari pintu masuk. Terlalu berisik, membuat Bora teralihkan fokus beberapa detik. Saat dirinya menoleh lagi, Jeo, Frank serta pria bersepatu sudah hilang tanpa jejak. Dilihat ke seluruh penjuru stasiun juga tidak ada. Kereta bahkan belum datang.

"Hah! Kemana.... Ah! harusnya aku tidak lengah." Mengutuk dirinya sendiri, Bora terpaksa pulang dengan perasaan yang masih mengganjal. Ketiganya menghilang tiba-tiba. Pasti mereka pergi ke dunia lain. Hogwarts? Ah! Ini bahkan bukan dunia Harry Potter.

Langkah Bora terhenti di depan toko baju. Dia menoleh. Menatap pemilik toko yang menatapnya datar dan kosong. Seolah sedang berdiri di depan rumah hantu, Bora menggosok lengan tangannya yang merinding dan berjalan lagi sambil menunduk.

Berhenti lagi. Bora mendongak. Dia menatap pemilik toko yang sekarang sudah berdiri di hadapannya. Hampir saja Bora jatuh karena kaget sekali. Jantungnya untung masih aman.

Diam. Mereka saling pandang.

"Datanglah nanti malam. Mereka pergi lagi nanti malam," ucapnya. Dilihat-lihat wanita di depan umurnya kemungkinan sudah memasuki kepala empat.

"Mereka?" Satu alis Bora naik. Menduga-duga kalau mereka adalah Jeo, Frank serta pria bersepatu. Tapi bagaimana bisa wanita ini tahu?

"Ya, mereka."

"Bagaimana Anda ta-"

"Aku Grestles. Kau cantik sekali." Kalimatnya dipotong. Grestles tersenyum lebar. "Benar-benar cantik," tambahnya.

"Te-terimakasih." Getir. Bora tidak tahu harus senang atau sedih. Mengingat dia ada di tubuh orang lain. "Salam kenal. Miss Grestles." Bora menjabat tangan itu. Kaget karena rasanya sedingin es.

"Pulanglah. Kau kelihatan lelah." Melepas jabatan tangan, Miss Grestles membuka jalan supaya Bora bisa pergi. Melambaikan tangan sebagai tanda hati-hati sambil berteriak kencang-kencang. "Jam dua belas malam!"

Sesuai apa yang dikatakan Miss Grestles - wanita aneh yang menurutnya bukan manusia. Bora benar-benar datang ke stasiun jam dua belas malam kurang lima belas menit. Demi melihat Jeo yang siapa tahu akan datang lagi dengan teman akrabnya Frank.

Dia tidak mengharapkan bertemu orang-orang aneh. Cukup Jeo saja yang aneh. Tapi bertemu dua orang tidak biasa dalam sehari bukanlah hal yang harus terulang lagi nantinya. Dia sampai harus menatap curiga setiap orang yang menatapnya lama. Siapa tahu semua penduduk kota lebih dari lima puluh persennya adalah penyihir. Bergidik, dia harap itu hanya ada dalam kepalanya saja, tidak untuk kenyataan.

"Sedang apa Anda kemari." Alih-alih bertemu Jeo, Bora malah bertemu pria bersepatu yang kali ini memakai pakaian lebih terang. Berwarna kuning telur dan sepatu yang masih sama, sekarang sudah bersih mengkilap.

"Aku? Sedang menatap rel. Katanya ada hantu di sini. Aku mau lihat." Bicara asal, Bora tersenyum sendiri karena tidak tahu bisa secepat itu membuat alasan tidak masuk akal. Dia benci hantu padahal.

"Anda tidak seharusnya di sini." Pria tersebut menatap ke sudut-sudut gelap. Cemas seperti sebelumnya. Seperti ketakutan bakal di grebek polisi.

"Kenapa? Apa ada hal yang tidak boleh aku tau?"

"Semacam itu. Pulanglah. Di sini berbahaya bagi para manusia." Pria tersebut kali ini ke pinggir rel lalu berdiri. "Aku Flo kalau kau penasaran," ucapnya pelan. Ia kemudian merogoh saku celananya, mencoba menemukan sesuatu.

"Mau kemana kau? Apa kereta beroperasi tengah malam begini?"

"Tentu saja tidak. Anda tidak ada niatan pulang?" Flo kali ini memegang korek api. Dia komat kamit sambil menggesek kayu kecil. Sedetik kemudian muncul api biru. Terang sekali. Bora sampai harus menyipitkan matanya saking silaunya pemandangan di depan. Saat cahaya tersebut meredup, Flo menghilang.

Bora menutup mulutnya cepat-cepat saat mendengar langkah kaki. Tidak sempat terkejut atas hilangnya Flo. Dia bersembunyi di balik kayu besar dalam kegelapan. Sekarang Jeo datang bersama Frank. Mereka berdiri di depan rel yang sama.

"Ah! Sebentar." Jeo bicara. Pria tersebut pergi ke toilet umum. Beberapa menit kemudian kembali. Tapi langkahnya tidak berhenti di depan rel melainkan di tengah jalan. Dekat Bora bersembunyi. Mereka hanya berjarak kurang dari dua meter.

"Kenapa?" tanya Frank penasaran.

Jeo diam, dia melirik dengan ujung mata ke samping kanan. Berjalan lambat hingga membuat gema yang mendebarkan jantung Bora. Tap! Tap! Tap!

"Kau tidak berharap kayu ini melindungimu kan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status