Share

Bab 6

Jeo memandang santai, dia kembali fokus menyusun jenis beer baru yang datang sepuluh menit lalu. Lemari kaca hampir penuh terisi di setiap raknya. Bora bangkit dari duduknya, dia memandang Jeo dari dekat, minta penjelasan. Setengah jam yang lalu gadis itu buru-buru datang setelah mengantar pesanan roti gandum. Tanpa memberitahu ibunya.

Memang benar mereka hidup di kelilingi penyihir, bahkan sampai ada makhluk aneh segala. Tapi ledakan yang tidak terdengar? Bora tidak bisa mempercayainya kalau tidak dijelaskan dengan detail.

"Aku tidak bisa menjelaskannya. Terlalu rumit." Jawab Jeo pendek. Pria itu membawa kotak botol kosong dan membawanya ke dapur. Memandang sisi kiri dapur yang belum diperbaiki. Bora kesal, dia berjalan mengikuti dari belakang. Langkahnya langsung terhenti agak jauh saat melihat Jeo membuat beberapa peralatan tukang seperti palu dan gergaji bergerak sendiri dengan sihirnya. Memperbaiki bagian dapur yang rusak dengan lihai, seolah-olah ada tukang bangunan di sana. Tumpukan papan baru di bagian belakang rumah melayang sendiri, sinar kebiruan menyelimuti benda-benda tersebut.

"Inilah kenapa kau perlu smartphone buat mengabadikan momen langka," gumam Bora yang tanpa sadar sudah ditatap Jeo.

"Smartphone?" katanya bingung.

"Ya, semacam alat komunikasi paling canggih."

"Ah! Mesin faks?" tanya Jeo tanpa menoleh. Berjalan melewati Bora yang menghalangi pintu.

"Bukan, tapi lebih canggih. Aku perlu menulisnya pada puluhan kertas kalau kau menuntutku menjelaskan."

"Aku tidak begitu penasaran." Jeo berhenti di jendela depan, mengintip dari balik tirai. Dia tidak mau ada yang melihat sihirnya.

"Kau tetap tidak mau menjelaskan soal tadi malam?" tanya Bora. Dia benar-benar penasaran apakah benar ada pelindung seperti bola raksasa saat ledakan itu terjadi, membuat mereka terkurung dalam ruangan kedap suara hingga tidak ada yang mendengar keributan tadi malam. Sebenarnya itu hanya ada dalam imajinasinya.

"Manusia tidak akan dengar. Tidak, mereka tidak akan bangun dari tidur karena aku menyihirnya. Kau pasti tidak lihat karena sudah pingsan duluan." Jeo berbalik. Dia kali ini ke ruangan sempit dekat dapur, lalu keluar dengan sapu dan sekop yang bergerak sendiri di belakang.

"Wahh! Benar-benar gila." Bora takjub kesekian kalinya, dia mendengar penjelasan itu tapi matanya teralihkan fokus oleh hal yang lebih luar biasa. Dia mengikuti arah sapu itu bergerak sambil memperhatikannya lamat-lamat.

"Kau tidak ada kerjaan? Kuminta kau untuk berhenti datang ke tempatku dan pulanglah. Aku sebenarnya lebih suka sendiri."

"Kau menyihir penduduk kota? Bagaimana caranya? Tidak mungkin datang ke rumah satu-satu kan?" Pertanyaan berlanjut.

Jeo menatap jengkel, dia sedang tidak mood bicara sebenarnya. "Apa pertanyaan itu penting untukmu? Itu tidak ada sangkut pautnya dengan masa depan."

"Hanya penasaran. Terserah kalau tidak mau jawab." Bora menaikkan bahunya. "Aku akan anggap kau memang datang ke rumah satu-satu, pasti merepotkan."

Menghela nafas pendek, Jeo bicara lagi. Menjelaskan sesingkat mungkin. "Bubuk Woffle, aku hanya perlu menaburkannya di atas langit. Aku ini penyihir, untuk apa merepotkan diri sendiri." Tidak heran dia membuat benda-benda bekerja tanpa mengeluarkan setetes keringat.

"Ahh, seperti peri."

Bora mendongak, menatap jam dinding. "Ah! Padahal aku tidak ingin pulang." Bora menatap Jeo yang sibuk membersihkan gelas-gelas. Kali ini dengan tangannya sendiri. "Seperti yang kau harapkan, aku pergi dan sampai bertemu nanti." Berbalik, Bora berjalan menuju pintu.

"Tidak ada kata nanti," celetuk Jeo tanpa mendongak.

Pintu baru setengah terbuka, Bora sudah dibuat mematung. "Oh!" Di hadapannya ada pria tua yang ditemuinya kemarin. Wajahnya mirip, pakaiannya pun sama! "Sir, Anda..."

"Hai, nak. Kabar baik?"

"Y-ya.. baik." Bora menjabat tangan yang terjulur tiba-tiba sambil berusaha tersenyum. Mulutnya kelu untuk menanyakan kejadian kemarin. Bertanya-tanya apakah hanya pikirannya saja atau memang pria tua itu membantunya.

"Frank! Itu kau?" Jeo berjalan mendekat.

"Ya! Tentu saja! Lama tak berjumpa!" Mereka sekarang bertukar salam sambil berpelukan santai. Jeo tersenyum lebar untuk pertama kalinya hingga deretan gigi-giginya yang rapi terlihat. Mengabaikan fakta kalau dia begitu tidak sopannya memanggil seorang kakek dengan nama langsung.

"Sudah berapa lama ya? Dua ratus tahun?" tanya Jeo lebih santai, menyuruh masuk. Tidak melihat kalau Bora masih berdiri di tempat yang sama dengan kepala penuh pertanyaan.

"Ah! Seratus sembilan puluh lima." Frank mengoreksi. Duduk santai di kursi empuk yang langsung disuguhi beer paling mahal oleh Jeo.

"Benar! Kurang lima! Hahaha!" Mereka tertawa bersama. Bora menelan ludah, dia menatap keluar dan ke dalam Bar secara bergantian. Pertanyaan demi pertanyaan menggantung di ujung kerongkongan. Seperti, kenapa Jeo bertingkah tidak sopan memanggil nama begitu, apakah pria tua itu juga penyihir karena umurnya ratusan dan apakah Jeo sebenarnya bukanlah pria muda melainkan juga seorang kakek? Hanya karena penyihir, semua tertutupi secara sempurna.

Menghela nafas gundah, Bora memilih keluar, tidak mau mengganggu aksi bincang yang kelihatannya asik sekali. Mungkin saja dia salah orang atau mungkin saja dia memang dihipnotis, tapi kalau memang benar berarti pria bernama Frank itu sengaja membantunya. Tapi kenapa? Mereka saling kenal. Jeo menghapusnya dan Frank mengembalikannya? Atau ada sesuatu yang tidak diketahui Jeo? Merasa tidak berguna berpikir tanpa menemukan jawaban, Bora mempercepat langkahnya menuju rumah. Tiba-tiba dia haus.

"Kau tidak membuat masalah lagi kan?" Phill datang dengan handuk di pundak, sekarang handuknya basah separuh oleh keringatnya sendiri. Bora yang sedang duduk santai melirik sebentar, keningnya yang tadi berkerut sekarang sudah agak normal. Dia tidak bisa berhenti berfikir walau sudah makan banyak dan minum hampir dua liter air tanpa henti. Salah satu kebiasaan buruk saat otaknya disuruh berkerja lebih keras.

"Aku tidak akan berbuat hal aneh lagi. Kau tidak perlu khawatir." Jawab Bora sambil menguap lebar-lebar, dia mengantuk karena perut kenyang. Mengecek pintu apakah ibunya sudah pulang atau belum.

"Kenapa?" Phill menghentikan gerakan tangannya yang hendak menuang air ke dalam gelas. Wajahnya kaget.

"Bukannya harusnya kau senang ya?"

"Kau belum sembuh. Kalau kau berhenti melakukan hal gila pasti ada sesuatu di baliknya. Kau pasti menyembunyikan sesuatu ya di kamarmu?" Phill mendekat, dia setengah berbisik. "Narkoba?"

"Apa?! Tentu saja tidak!" Bora mendorong tubuh kakaknya yang bau.

"Siapa yang tahu! Bisa saja kau tergiur uang banyak dan memilih hidup normal! Hidup kalau ada uang banyak kan memang enak!" Phill marah, dia mendekat lagi. Kali ini duduk di sebelah Bora hingga gadis itu tidak bisa bergeser lagi karena sudah mentok di ujung kursi. "Jujur padaku."

"Aku tidak heran kalau ibu mengusirmu dari rumah."

"Kenapa?!" Phill tambah marah.

"Kau aneh! Aku tidak tahu isi otakmu itu apa." Bora bangkit dan pergi ke luar rumah. Padatnya penduduk langsung membuatnya pusing. Ini baru jam tiga sore tapi manusia-manusia dengan berbagai profesi tidak lepas dari pandangan. Samar terdengar Phill berteriak menyuruh pulang karena ibu sebentar lagi datang, tapi Bora tetap melanjutkan berjalan. Bergumam kalau dirinya pasti pulang sebentar lagi sebelum jam empat sore.

Mencoba menghindari matahari yang masih terik, dia bergegas berjalan di bawah rumah-rumah dan toko dengan atap pendek. Berjalan tanpa arah sambil melihat-lihat keadaan kota jaman dahulu kala. Lumayan menarik juga. Ada kendaraan roda tiga, sepeda ontel biasa dan mobil hitam yang kelihatannya baru dibeli terparkir rapi di depan Bank. Berpikir kalau tentu ada orang kaya raya di antara banyaknya keluarga menengah ke bawah dan tengah.

"Awas!" Brukkkk! Bora terjatuh ke samping, mengaduh kesakitan saat pantatnya beradu dengan aspal. Samar dia melihat sepeda pengantar bunga melesat dengan cepat. Diiringi polisi yang berlari sambil membawa tongkat.

"Agh!" Bora berusaha bangkit, memegangi kepalanya yang agak puyeng. Padahal pantatnya yang memar.

Sebuah tangan tiba-tiba saja memegangi pundaknya saat dia baru berdiri tegak, jelas terdengar suara pria berbisik. "Jangan berbalik."

"Ha? S-siapa?" Debaran jantung mirip seperti drum yang ditabuh kuat-kuat menari-nari di dadanya. Bora tidak bisa menoleh walau sedikit. Dia terlalu takut, membayangkan kalau pria di belakang pastilah penjahat yang sudah memegangi pistol atau benda tajam lainnya. Apa yang perlu dirampok? Dia bahkan tidak membawa uang sepeserpun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status