Jeo memandang santai, dia kembali fokus menyusun jenis beer baru yang datang sepuluh menit lalu. Lemari kaca hampir penuh terisi di setiap raknya. Bora bangkit dari duduknya, dia memandang Jeo dari dekat, minta penjelasan. Setengah jam yang lalu gadis itu buru-buru datang setelah mengantar pesanan roti gandum. Tanpa memberitahu ibunya.
Memang benar mereka hidup di kelilingi penyihir, bahkan sampai ada makhluk aneh segala. Tapi ledakan yang tidak terdengar? Bora tidak bisa mempercayainya kalau tidak dijelaskan dengan detail."Aku tidak bisa menjelaskannya. Terlalu rumit." Jawab Jeo pendek. Pria itu membawa kotak botol kosong dan membawanya ke dapur. Memandang sisi kiri dapur yang belum diperbaiki. Bora kesal, dia berjalan mengikuti dari belakang. Langkahnya langsung terhenti agak jauh saat melihat Jeo membuat beberapa peralatan tukang seperti palu dan gergaji bergerak sendiri dengan sihirnya. Memperbaiki bagian dapur yang rusak dengan lihai, seolah-olah ada tukang bangunan di sana. Tumpukan papan baru di bagian belakang rumah melayang sendiri, sinar kebiruan menyelimuti benda-benda tersebut."Inilah kenapa kau perlu smartphone buat mengabadikan momen langka," gumam Bora yang tanpa sadar sudah ditatap Jeo."Smartphone?" katanya bingung."Ya, semacam alat komunikasi paling canggih.""Ah! Mesin faks?" tanya Jeo tanpa menoleh. Berjalan melewati Bora yang menghalangi pintu."Bukan, tapi lebih canggih. Aku perlu menulisnya pada puluhan kertas kalau kau menuntutku menjelaskan.""Aku tidak begitu penasaran." Jeo berhenti di jendela depan, mengintip dari balik tirai. Dia tidak mau ada yang melihat sihirnya."Kau tetap tidak mau menjelaskan soal tadi malam?" tanya Bora. Dia benar-benar penasaran apakah benar ada pelindung seperti bola raksasa saat ledakan itu terjadi, membuat mereka terkurung dalam ruangan kedap suara hingga tidak ada yang mendengar keributan tadi malam. Sebenarnya itu hanya ada dalam imajinasinya."Manusia tidak akan dengar. Tidak, mereka tidak akan bangun dari tidur karena aku menyihirnya. Kau pasti tidak lihat karena sudah pingsan duluan." Jeo berbalik. Dia kali ini ke ruangan sempit dekat dapur, lalu keluar dengan sapu dan sekop yang bergerak sendiri di belakang."Wahh! Benar-benar gila." Bora takjub kesekian kalinya, dia mendengar penjelasan itu tapi matanya teralihkan fokus oleh hal yang lebih luar biasa. Dia mengikuti arah sapu itu bergerak sambil memperhatikannya lamat-lamat."Kau tidak ada kerjaan? Kuminta kau untuk berhenti datang ke tempatku dan pulanglah. Aku sebenarnya lebih suka sendiri.""Kau menyihir penduduk kota? Bagaimana caranya? Tidak mungkin datang ke rumah satu-satu kan?" Pertanyaan berlanjut.Jeo menatap jengkel, dia sedang tidak mood bicara sebenarnya. "Apa pertanyaan itu penting untukmu? Itu tidak ada sangkut pautnya dengan masa depan.""Hanya penasaran. Terserah kalau tidak mau jawab." Bora menaikkan bahunya. "Aku akan anggap kau memang datang ke rumah satu-satu, pasti merepotkan."Menghela nafas pendek, Jeo bicara lagi. Menjelaskan sesingkat mungkin. "Bubuk Woffle, aku hanya perlu menaburkannya di atas langit. Aku ini penyihir, untuk apa merepotkan diri sendiri." Tidak heran dia membuat benda-benda bekerja tanpa mengeluarkan setetes keringat."Ahh, seperti peri."Bora mendongak, menatap jam dinding. "Ah! Padahal aku tidak ingin pulang." Bora menatap Jeo yang sibuk membersihkan gelas-gelas. Kali ini dengan tangannya sendiri. "Seperti yang kau harapkan, aku pergi dan sampai bertemu nanti." Berbalik, Bora berjalan menuju pintu."Tidak ada kata nanti," celetuk Jeo tanpa mendongak.Pintu baru setengah terbuka, Bora sudah dibuat mematung. "Oh!" Di hadapannya ada pria tua yang ditemuinya kemarin. Wajahnya mirip, pakaiannya pun sama! "Sir, Anda...""Hai, nak. Kabar baik?""Y-ya.. baik." Bora menjabat tangan yang terjulur tiba-tiba sambil berusaha tersenyum. Mulutnya kelu untuk menanyakan kejadian kemarin. Bertanya-tanya apakah hanya pikirannya saja atau memang pria tua itu membantunya."Frank! Itu kau?" Jeo berjalan mendekat."Ya! Tentu saja! Lama tak berjumpa!" Mereka sekarang bertukar salam sambil berpelukan santai. Jeo tersenyum lebar untuk pertama kalinya hingga deretan gigi-giginya yang rapi terlihat. Mengabaikan fakta kalau dia begitu tidak sopannya memanggil seorang kakek dengan nama langsung."Sudah berapa lama ya? Dua ratus tahun?" tanya Jeo lebih santai, menyuruh masuk. Tidak melihat kalau Bora masih berdiri di tempat yang sama dengan kepala penuh pertanyaan."Ah! Seratus sembilan puluh lima." Frank mengoreksi. Duduk santai di kursi empuk yang langsung disuguhi beer paling mahal oleh Jeo."Benar! Kurang lima! Hahaha!" Mereka tertawa bersama. Bora menelan ludah, dia menatap keluar dan ke dalam Bar secara bergantian. Pertanyaan demi pertanyaan menggantung di ujung kerongkongan. Seperti, kenapa Jeo bertingkah tidak sopan memanggil nama begitu, apakah pria tua itu juga penyihir karena umurnya ratusan dan apakah Jeo sebenarnya bukanlah pria muda melainkan juga seorang kakek? Hanya karena penyihir, semua tertutupi secara sempurna.Menghela nafas gundah, Bora memilih keluar, tidak mau mengganggu aksi bincang yang kelihatannya asik sekali. Mungkin saja dia salah orang atau mungkin saja dia memang dihipnotis, tapi kalau memang benar berarti pria bernama Frank itu sengaja membantunya. Tapi kenapa? Mereka saling kenal. Jeo menghapusnya dan Frank mengembalikannya? Atau ada sesuatu yang tidak diketahui Jeo? Merasa tidak berguna berpikir tanpa menemukan jawaban, Bora mempercepat langkahnya menuju rumah. Tiba-tiba dia haus."Kau tidak membuat masalah lagi kan?" Phill datang dengan handuk di pundak, sekarang handuknya basah separuh oleh keringatnya sendiri. Bora yang sedang duduk santai melirik sebentar, keningnya yang tadi berkerut sekarang sudah agak normal. Dia tidak bisa berhenti berfikir walau sudah makan banyak dan minum hampir dua liter air tanpa henti. Salah satu kebiasaan buruk saat otaknya disuruh berkerja lebih keras."Aku tidak akan berbuat hal aneh lagi. Kau tidak perlu khawatir." Jawab Bora sambil menguap lebar-lebar, dia mengantuk karena perut kenyang. Mengecek pintu apakah ibunya sudah pulang atau belum."Kenapa?" Phill menghentikan gerakan tangannya yang hendak menuang air ke dalam gelas. Wajahnya kaget."Bukannya harusnya kau senang ya?""Kau belum sembuh. Kalau kau berhenti melakukan hal gila pasti ada sesuatu di baliknya. Kau pasti menyembunyikan sesuatu ya di kamarmu?" Phill mendekat, dia setengah berbisik. "Narkoba?""Apa?! Tentu saja tidak!" Bora mendorong tubuh kakaknya yang bau."Siapa yang tahu! Bisa saja kau tergiur uang banyak dan memilih hidup normal! Hidup kalau ada uang banyak kan memang enak!" Phill marah, dia mendekat lagi. Kali ini duduk di sebelah Bora hingga gadis itu tidak bisa bergeser lagi karena sudah mentok di ujung kursi. "Jujur padaku.""Aku tidak heran kalau ibu mengusirmu dari rumah.""Kenapa?!" Phill tambah marah."Kau aneh! Aku tidak tahu isi otakmu itu apa." Bora bangkit dan pergi ke luar rumah. Padatnya penduduk langsung membuatnya pusing. Ini baru jam tiga sore tapi manusia-manusia dengan berbagai profesi tidak lepas dari pandangan. Samar terdengar Phill berteriak menyuruh pulang karena ibu sebentar lagi datang, tapi Bora tetap melanjutkan berjalan. Bergumam kalau dirinya pasti pulang sebentar lagi sebelum jam empat sore.Mencoba menghindari matahari yang masih terik, dia bergegas berjalan di bawah rumah-rumah dan toko dengan atap pendek. Berjalan tanpa arah sambil melihat-lihat keadaan kota jaman dahulu kala. Lumayan menarik juga. Ada kendaraan roda tiga, sepeda ontel biasa dan mobil hitam yang kelihatannya baru dibeli terparkir rapi di depan Bank. Berpikir kalau tentu ada orang kaya raya di antara banyaknya keluarga menengah ke bawah dan tengah."Awas!" Brukkkk! Bora terjatuh ke samping, mengaduh kesakitan saat pantatnya beradu dengan aspal. Samar dia melihat sepeda pengantar bunga melesat dengan cepat. Diiringi polisi yang berlari sambil membawa tongkat."Agh!" Bora berusaha bangkit, memegangi kepalanya yang agak puyeng. Padahal pantatnya yang memar.Sebuah tangan tiba-tiba saja memegangi pundaknya saat dia baru berdiri tegak, jelas terdengar suara pria berbisik. "Jangan berbalik.""Ha? S-siapa?" Debaran jantung mirip seperti drum yang ditabuh kuat-kuat menari-nari di dadanya. Bora tidak bisa menoleh walau sedikit. Dia terlalu takut, membayangkan kalau pria di belakang pastilah penjahat yang sudah memegangi pistol atau benda tajam lainnya. Apa yang perlu dirampok? Dia bahkan tidak membawa uang sepeserpun.Penjara bawah tanah yang berada tepat di bawah halaman luas Trevisia berisi satu dua monster yang berhasil ditangkap. Akan di eksekusi sebentar lagi, jika terlalu lama dikurung takut membahayakan keamaan Trevisia. Tinny si kurcaci perak ditempatkan di penjara berukuran sedang.Bora menatap kasihan, dia duduk dalam posisi jongkok. Sudah hampir lima belas menit menyaksikan Tinny bergumam dengan posisi telentang yang hampir tidak pernah berubah. Bora tidak mau kurcacinya dihabisi, terlalu kejam. Dikurung begini saja hampir membuatnya membuka kunci dan melepas liarkan ke hutan. Frank tidak setuju atas permintaan Bora yang menyuruh melepaskan Tinny sedangkan Jeo tidak berkomentar apa-apa. Hanya diam."Dia tidak boleh dilepas." Vrey datang dari bawah. Jeo yang berdiri di belakang Bora menoleh ke samping. Menatap datar. Bukan idenya mengurung Tinny di sini tapi Frank setuju saja dengan ide Vrey."Biarkan dia keluar. Kasihan dia." Bora berdiri, berpegang pada lengan Jeo."Setiap monster harus
"Suara apa itu?" Stephanie berhenti berjalan. Dia memandang Fred yang menjawab sambil menaikkan bahu tidak tahu. Toples besar yang diisi tumbuhan ajaib dipegang erat dalam pelukan.Mereka kembali menaiki tangga.Stephanie berhenti di depan pintu perpustakaan. "Kau juga dengar kan? Aku yakin suaranya dari sini.""Bukalah. Cepat periksa lalu kita pergi." Fred meletakkan toplesnya. Tangannya keram.Stephanie membuka pintu. Gelap. Tidak ada apapun. "Apa aku salah?""Periksa dengan benar."Stephanie masuk lebih dalam. Dia menyalakan lampu lalu memindai isi perpustakaan. Namun tidak ada yang aneh. Semua tampak normal. "Aku salah. Apa mungkin di atap?""Aloha!"Bugh! Fred menimpuk kurcaci menggunakan buku hingga pingsan. "Sejak kapan ada Tinny di sini." Dia meletakkan kembali buku setebal sepuluh senti ke atas meja."Oh! Yang ini bermahkota perak." Stephanie baru pertama kali bertemu jenis kurcaci tersebut."Cukup berbahaya," celetuk Fred."Dia pasti tidak sendiri." Stephanie kembali mengece
Mengeluh, Bora mengintip isi lapangan.Dia bisa saja ke bagian dimana Zed sibuk menyatukan kaca-kaca tapi pasti akan dicurigai karena bisa menembus pelindung. Lalu harus bagaimana?Mencoba berpikir keras, Bora memutuskan akan mencari Fred dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau belum terlalu akrab tapi apa boleh buat. Kalau bertemu Jeo di jalan, itu lebih baik. Atau lebih buruk? Mungkin tidak seburuk bertemu monster. Dia siap dimarahi karena ini memang kesalahannya.Bora memandang hutan di depan. Dia meneguk liur berat lalu berjalan sesuai insting. Kemungkinan kanan karena sisi itu selalu baik.Berjalan dan terus berjalan tanpa henti. Bora terduduk di bawah pohon. Tidak ada jam, kalau dirasa-rasa mungkin sudah satu jam dia berjalan menyusuri hutan. Kakinya lelah, butuh istirahat. Sejak masuk tidak bertemu siapapun. Entah itu Fred atau Jeo atau siapapun itu. Kakinya juga tambah sakit karena dipaksa berjalan.Bora menyenderkan punggungnya. Dia tahu kalau kadang bisa bodoh di beberapa si
Frank gesit berbelok menghindari pepohonan besar. Tembakan batu-batu mengikutinya dari belakang. Lengannya tadi terluka saat lengah. Darah segar membasahi baju. Frank tidak bisa kabur terus.Dia berhenti pada pohon beringin besar. Sebuah pedang panjang muncul pada tangan kanannya yang tidak sakit. Saat pedang itu sempurna ditutupi cahaya kemerahan, Frank menancapkannya pada tanah. Tak! Waktu berhenti. Dia hanya punya setengah menit. Frank menoleh ke belakang, dia kemudian mendekat ke sumber hujan batu muncul. Matanya menyipit saat melihat ada monster kayu lebih besar dari kemarin, duduk di bawah mesin pelempar batu dengan seringaian lebar. Frank berlari mendekat dengan kecepatan penuh, dia kemudian melompat tinggi, tangan kanannya membesar lalu Brakkk! Monster itu hancur bersama mesinnya, lebur jadi satu. Waktu kembali normal. Sisa bebatuan jatuh ke tanah lalu menghilang. Pedang yang tadi ditancapkan juga ikut tersapu angin.Pada waktu yang sama, Jeo mendorong batu besar sekuat tenaga
Bora duduk di kursi paling ujung, kedua matanya sibuk memindai seisi ruangan. Ruang rapat yang ia kira akan terlihat lebar dan luas ternyata hanya diisi tujuh kursi. Tiga di kanan dan tiga di kiri serta satu kursi besar di bagian tengah, semua kursi itu mengelilingi meja panjang seukuran 3x1 meter. Kemungkinan total Zyro hanya berjumlah enam. Lima yang ia tahu dan satu lagi bernama Ezra yang kata Jeo merupakan rekan Zed. Kursi paling besar dibiarkan kosong. Bora bisa menebak kalau itu kursi Master Qerrell. Ada papan tulis kapur yang kelihatan berumur dekat pintu dan peta besar yang diberi tanda merah di beberapa tempat.Fiz menatap lamat Bora sejak ia dipaksa masuk karena sudah terlanjur mendengar percakapan dari luar. "Apa dia yang Zed ceritakan?" tanya Fiz setelah ruangan senyap selama hampir seperempat jam. Tangan dengan pena bulu menunjuk ke arah Bora.Frank menjawab. "Benar, dia teman Jeo. Namanya Viola. Mereka teman dekat.""Aku Fiz. Salam kenal." Senyum lebar mewarnai wajah itu
Jeo memperhatikan seisi ruangan. Tidak ada. Keberadaan Bora tidak ada di sini. Segera dia memasang sepatu cepat, takut kalau hal-hal buruk terjadi, mengingat kaki gadis itu masih terluka."Jeo! Baru bangun? Mau makan bersa-"Zed mengatupkan mulutnya rapat saat Jeo bahkan tidak memandang dirinya dan langsung berlari menuju pintu. Dia mengusap wajahnya yang kusam dan berbalik.Jeo membuka pintu di atap. Kosong. Dia segera menuju kamar Frank. Belum benar-benar sampai yang ingin ditemui sudah membuka pintu lebih dulu. Bersama dengan pakaian rapi dan wajah segar. Entah jam berapa sahabatnya itu bangun hingga punya banyak waktu membersihkan diri."Kau lihat Bora?" tanya Jeo segera."Bora? Aku baru keluar, Jeo. Kau sudah memeriksa seluruh gedung? Siapa tau dia ada di toilet atau sedang mencari udara segar. Oh! Dia ada di sana." Frank menunjuk sudut halaman dengan dagunya. Jeo mendekat, dia menurunkan bahu lega.Frank tertawa kecil. "Dia bukan anak-anak. Sebenarnya apa yang kau cemaskan.""Me