“Ini foto yang, Bapak minta.” Dengan sopan Firman meletakkan sebuah amplop coklat berisi foto-foto kegiatan Herda selama ini jika Danu sedang keluar kota.
“Terima kasih, Firman. Kau sudah bersusah payah membantuku,” ucap Danu sambil memegang amplop yang Firman antarkan.
“Sudah tugas, saya sebagai anak buah, Pak. Siap menerima dan menjalankan tugas.”sahut Firman sambil merundukkan kepala sebentar. “Maaf ini dari saya pribadi, Pak. Bila ada waktu, sudi kiranya, Bapak menghadiri pernikahan sederhana saya 2 mingu lagi.”
“Oh, Alhamdulillah, insya Allah, saya pasti datang,” sahut Danu.
________
Danu menatap nanar lembaran foto yang berserak, di atas meja berpelitur coklat muda di ruang tengah rumah ibunya. Ada sekitar sepuluh foto yang menampilkan gambar istrinya bersama pria lain. Foto yang diambil diam-diam di dua tempat yang berbeda.
Bahkan ada foto yang Herda jalan bertiga bersama putri mereka dengan pria yang sama.
Ternyata Danu begitu naif selama ini. Bukan sebentar, hampir delapan tahun dia menjadi lelaki yang seperti tak punya harga diri di hadapan istri keduanya.
Sifat memelas, wajah mendamba, keluhan manja yang dulu sering Herda utarakan padanya, ternyata hanya akal-akalan wanita muda itu untuk memisahkan dirinya dari Kirani.
Dulu Danu masih cukup muda saat menikah dengan Kirani, jiwa mudanya masih bergejolak, geloranya masih meledak-ledak. Saat dibisikan sedikit saja, hal yang sensitif makanya, naluri lelakinya untuk melindungi langsung merespon, tanpa melihat batasan yang sepantasnya.
“Kenapa, nggak datang kemarin waktu meeting?” Danu, bertanya pada Herda siang itu saat jam istirahat berlangsung. Biasanya perempuan ini akan mendampingi pak Nando-rekan kerja Danu.
“Saya lagi jalan, cari pinjaman kemarin, Pak,” jawab Herda dengan wajah memelas.
“Pinjaman? Untuk apa? Koq nggak minjam di kantor saja?” Danu kembali bertanya sambil memperhatikan penampilan Herda yang nampak sopan.
“Eh itu, Pak. Saya malu, Pak. Dua bulan lalu sudah minjem. Tapi ini saya butuh lagi.” Wajah Herda sudah dibuat sendu.
Danu cukup heran, mengapa karyawan biasa seperti Herda bisa pinjam uang sana sini, kemudian lelaki ini kembali tergelitik untuk bertanya kesusahan apa kiranya yang menimpa perempuan muda ini.
“Emangnya, kamu lagi susah apa, sampai harus minjem?” selidik Danu, dengan mata yang masih tak ingin berpaling dari wajah sendu yang sengaja dibuat-buat oleh Herda.
“It-itu Pak, ibu saya sakit dan kontrakan rumah kami sudah hampir habis waktunya,” jawab Herda sambil menunduk sedih.
Setelah itu, Danu meminta Herda untuk menghadap ke ruangannya sebelum jam pulang nanti.
“Ini, kamu pakai tahan-tahan ya. Mudah-mudahan bisa membantu.” Danu langsung menyerahkan amplop berisi lembaran uang berwarna merah pada Herda saat perempuan itu masuk ke ruang kerja Danu di lantai dua.
“Ya Allah, Pak. Terima kasih banyak. Tapi saya bayarnya bagaimana, Pak. Saya masih ada utang diluar yang kemarin.” Keluh Herda lagi, namun tangannya sudah menggenggam amplop pemberian Danu dengan erat.
“Nggak apa-apa, kamu pakai saja.” Danu tersenyum melihat gurat bahagia yang terlukis di wajah perempuan itu.
“Terima kasih, banyak, Pak!” ucap Herda dengan mata berbinar.
Dan betapa Danu ikut bahagia melihat perempuan itu juga nampak bahagia dengan pemberiannya.
Sejak saat itu komunikasi keduanya selalu berlanjut. Awalnya Herda yang sering mengirim ucapan terima kasih yang berulang. Lalu biasanya chat-chat mereka semakin melebar hingga larut malam, bahkan Herda tak segan bertanya, Danu sudah makan atau belum, mengirim pesan hati-hati dijalan, dan kalimat lain yang bisa menawan hati pria ini.
“Jalan yuk, Bro. hangout sekali-kali.” Ajak Willi rekan kerja mereka yang lain.
“Aih, Kirani nggak suka jalan ke tempat gituan, paling banter ke mall. Istri sholeha dia, mah.
“Ya, jangan sama Kirani lah. Istri tuh khusus untuk di rumah, di luar tuh sekali-kali sama yang lain, hahaha.” Seloroh Willi, mengajak Danu untuk mengikuti jejak kelamnya bersama wanita-wanita di luar sana.
Dan hari itu dimulaikah petualangan buruk Danu bersama rekan yang lain juga bersama Herda.
Tiga tahun bersama dengan sikap nrimo dan tanpa drama dari Kirani, ditambah dengan belum hadirnya anak antara mereka, membuat rasa bosan dirumah namun senang di luar, membuat Danu semakin jauh tenggelam. Ditambah dengan pelayan Herda yang semakin berani padanya, membuat dunia lelaki ini semakin menjauh dari kata setia, hingga keputusan Kirani untuk menjauh, menyadarkannya sedikit dari kekhilafan.
Namun saat ia ingin meraih Kirani untuk kembali, rupanya masa sudah tak sama. Kirani sudah menjauh, terlalu jauh hingga sulit dijangkau. Perempuan sabar dan pendiam ini, menjauhkan dirinya, meninggalkan hidup berkecupukan di rumah besar suaminya. Pergi jauh membawa lukanya, kembali ke desa asal tempatnya di besarkan. Meski hidup sangat sederhana dan pertanyaan-pertanyaan tetangganya yang cukup menganggu, namun Kirani telah mengambil keputusannya. Pergi menjauh, tinggalkan sesal yang mendalam pada seorang lelaki yang dulu, hampir tiap malam membuat air matanya mengamuk diatas bantal pembaringan mereka yang semakin dingin.
“Coba dulu, kamu tidak bermain api dengan Herda, Nu, mungkin kamu dan Kirani sudah punya anak juga.” Bu Maryam mendekati putranya yang nampak tak bersemangat pagi ini. segelas teh beraroma melati dan sepiring kue bolu pandan buatan tangan hangat beliau, ikut di sajikan dalam piring kaca bening berwarna coklat.
Danu diam, hatinya bercelaru. Bayangan wajah teduh Kirani yang nampak semakin keibuan, bayangan anak kecil bersama ayahnya yang menghampiri Kirani, bayangan perselingkuhan Herda, bayangan Dinar, putri kecil yang tak tahu apa-apa. Juga bayangan lelaki yang bersama Herda di foto itu, lelaki yang sangat Danu kenal, semua menari, seolah mengejek kebodohan dan kenifannya selama ini.
“Aku habis bertemu Kirani, Bu.” Malah kalimat itu yang ia lontarkan. Kalimat yang langsung membuat wajah ibunya terlihat ceria.
“Benarkah? Dimana kamu melihatnya. Ibu rindu sekali sama Rani, bagaimana keadaannya sekarang?” bertub-tubi bu Maryam mengungkapkan rasa bahagia yang tiba-tiba hadir. Beliau ingat betul bagaimana Kirani mempelakukannya begitu sopan selama ini. Bahkan saat beliau meminta Kirani pada ibunya untuk di jodohkan dengan Danu, perempuan itu hanya mengangguk pasrah saja.
Bukan bu Maryam tak mengenal orang tua Kirani, mereka kenal. sangat kenal. Bahkan dengan almarhum ayah Kirani, sebenarnya bu Maryam masih ada hubungan kekerabatan. Bu Maryam pun berasal dari desa yang sama dengan ayah Kirani, namun beliau merantau ke kota sudah cukup lama, hingga di desa itu mereka sudah tak ada rumah.
Namun perpisahan Kirani dan Danu, membuat beliau rasanya tak punya muka untuk bertemu mantan besannya di desa itu.
Apalagi perpisahan keduanya akibat dari perselingkuhan yang Danu lakukan.
Danu mengatakan ia khilaf saat ibunya mengamuk di hari pertama Kirani pergi.
“Mana ada khilaf? Tidak ada yang namanya khilaf dalam perselingkuhan. Memang kamu sama-sama ga*al dengan perempuan itu!” raung bu Maryam dengan deraian air mata. Bahkan berhari-hari ia menelpon Kirani hanya untuk mengungkapkan penyesalan beliau. Dan Kirani dengan sabar ikut menenangkan mertuanya yang nampaknya sama terlukanya dengan dirinya.
“Saya sengaja datang ke desa hanya untuk melihat dia, Bu,” jawab Danu pelan.
“Bagaimana keadaannya? Ibu rasanya ingin sekali bertemu. Ingin menelpon juga, tapi sepertinya nomorya sudah di ganti,” tukas bu Maryam membayangkan wajah teduh mantan menantunya.
“Saya, nggak bicara, Bu. Saya hanya melihat dari jauh.”
“Apa, dia sudah menikah?” tanya bu Maryam. Beliau bahkan berharap mantan menantunya itu belum menikah, meski delapan tahun sudah berlalu. Sudah cukup lama untuk Kirani hidup sendiri.
“Nggak tahu, Bu. Mudah-mudahan belum,” ucap Danu penuh harap.
“Andai ibu punya anak laki-laki satu lagi, ibu akan membujuk mati-matian agar Kirani mau lagi jadi mantu ibu. Dan kamu hiduplah dengan Herda, jauh-jauh. Tapi, sayang anak ibu Cuma kamu, Nu. Itupun ibu sama bapakmu hampir sepuluh tahun baru bisa dapat kamu.” Bu Maryam menerawang, dipikiran dipenuhi bermacam andaian.
Danu yang mendengar itu, hatinya malah tersentil. Bukan hanya ibunya yang menginginkan Kirani kembali, namun juga dirinya. Melihat Kirani kemarin di dekati anak kecil dan ayahnya saja, masih timbulkan rasa cemburu di hati pria tiga puluh delapan tahun ini.
“Ibu ingin sekali bertemu, Kirani. Apa dia akan menerima ibu, bila ibu sambang ke desa?”
Namun baru dua suapan kuah bakso yang masuk ke tenggorokan Kirani, tiba-tiba pandangannya tertuju pada pria yang cukup ia kenal, jalan bergandengan tangan dengan seorang wanita bergaun pendek. Kedua pasangan itu juga memasuki warung tempat Kirani dan Fatma makan.Lalu Pria itu juga nampak terkejut, saat melihat Kirani sedang duduk bersama seorang perempuan yang sedang duduk membelakangi pintu masuk.Pria yang barusan masuk, adalah Johan, mantan suami Fatma yang menikah dengan Mira, kawan lama Fatma yang dulu masuk menjadi duri dalam rumah tangganya bersama Johan.Seketika Johan terhenyak, saat melihat Kirani dan Fatma. Meski hanya melihat dari belakang saja, namun Johan yakin itu adalah Fatma. Wanita yang pernah menemaninya dalam suka dan duka hampir dua tahun lamanya, sebelum kehadiran kawan lama yang menusuknya dari belakang.Kirani tahu benar cerita mereka, karna saat Fatma dan Johan sedang di ambang perceraian, Kirani sudah kembali pulang di desa tempat mereka tinggal sekarang. Me
Kirani menatap lurus kedepan. Senyum tipis terkadang ia sunggingkan di bibir tipisnya. Sesekali ia memperhatikan penampilan Fatma yang tampak cantik manglingi, dengan kebaya pengantin warna putih. Kemudian ia bergeser sedikit kebelakang duduk tepat di samping ibu sang mempelai. Disebelah kanan Bu Minah, ada Hartini yang duduk dengan gamis biru senada dengan Kirani, hanya saja warna gamis Hartini sedikit lebih tua dari gamis yang digunakan Kirani.Hartini yang sudah hamil tua itu, malah menggeser duduknya ke samping Kirani. Selain di samping Kirani ada kipas angin yang berputar juga karna Hartini tak menyangka bila pria yang menjadi saksi pernikahan Fatma dan Firman dalah Danu. Mantan suami Kirani.Jiwa kepo Hartini pun meronta-ronta. Hartini yang memang ceplas ceplos dari kedua rekannya ini tak tahan untuk tak kepo pada Kirani tentang kehadiran mantan suaminya di acara pernikahan ini. Tumpukan pertanyaan sudah menggunung di kepala wanita berumur tiga puluh empat tahun ini.Bukan hany
Setelah selesai mengisikan nasi dan lauk untuk Sofia, Kirani bersiap untuk mengajak anak itu mencari kursi yang tak jauh dari meja prasmanan. Namun saat dirinya berbalik, hampir saja ia menabrak dada bidang seseorang pria. Pria itu memang sengaja berdiri tepat di belakang Kirani tadi, ia tak tahan untuk mengajak wanita ini berbicara. walau hanya sekadar bertanya kabar.Namun insiden yang terjadi barusan, membuat angan Kirani sedikit melayang. Meski tahun-tahun telah berlalu, namun aroma mint bercampur sandalwood dari salah satu merk parfum ternama, masih jelas di indra penciuman Kirani. Aroma ini dulu yang membuat angannya melayang. Aroma ini dulu yang akan menyatu dengan aroma vanila musk yang menguar dari tubuhnya di malam-malam hangat yang penuh cinta. Aroma ini ini mengingatkannya pada…“Saya juga lapar, Bunda!” suara berat itu menginterupsi lamunan angan Kirani. Suara itu, aroma parfum ini, adalah milik orang yang sama. Orang yang delapan tahun lalu mendekapnya penuh hangat juga
“Ran,”“Makan dulu, Mas!” bergetar suara Kirani.“Aku kangen sama, kamu.” Ia tatap wajah yang sudah sedikit memerah itu.“Aku nggak, Mas!”Namun senyum tiba-tiba terbit di wajah Danu. Senyum yang rasanya sudah lama tak menghiasi wajah berhiaskan brewok kasar yang selalu tercukur rapi.“Kirani!” Danu sudah melanggar batasannya. Ia genggam erat jemari yang sedikit bergetar itu. bahkan piring yang di pegang tangan kiri Kirani juga nampak bergetar.“Mas, lepas!” Kirani mendongak, netranya memerah, sungguh ia tak ingin orang lain melihatnya terlalu dekat dengan Danu. Danu ini sekarang suami perempuan lain.Danu rasanya hampir kehilangan kontrol. Melihat mantan wanita hampir menangis, ingin rasanya Danu mendekapnya dalam pelukan. Sebab luka itu masih jelas terlihat. Luka yang membayangi jelaga kelam itu.Kemudian Danu meremas sedikit kuat jemari yang tak terlalu halus itu, mengalirkan untaian rindunya yang hampir buncah.“Mas, lepas.” Cicit suara Kirani. Benar-benar ingin menangis rasanya.
Hampir seminggu ini, Danu tidur berganti-ganti tempat. Ada dua hari di rumah ibunya, dan sisanya ia habiskan di salah satu apartemen miliknya. Apartemen yang dulu ia cicil atas nama Kirani. Meski tak besar, namun di apartemen ini dulu dirinya kerap menghabiskan waktu memadu kasih bersama Kirani.“Mas, bosan di rumah, kita malam minggu di apartemen!” ajak Danu suatu sore pada Kirani yang baru saja selesai keramas.“Tapi langsung tidur ya, aku pegel, Mas.” keluh Kirani manja.“Iya,” sahut Danu tak janji.Apartemen minimalis, type studio. Yang mampu di cicil Danu saat itu. meski tak besar, dan sangat minimalis, namun disinilah keintiman antar dirinya dan Kirani benar-benar dekat. Semua gerak gerik yang Kirani lakukan dapat Danu pantau. Semua, apa saja yang Danu ingin lihat dari wanitanya di masa lalu.Dan seperti biasa keinginan Kirani untuk tidur saja di apartemen itu, tak pernah terjadi. Makan bersama, tidur bersama hingga mandi bersama, semua Danu tuntut pada Kirani di awal-awal perni
Herda menangis histeris!Dengan linangan air mata ia berlutut sambil memeluk kedua kaki Danu yang baru saja mengucap ikrar talak di hadapannya dengan disaksikan kedua orang tua Herda juga Firman yang dipanggil oleh Danu untuk menemani dirinya.Firman pun sudah tahu kisah lama yang pernah terjalin antara atasannya ini dengan Kirani, kawan istrinya.Cerita itu didengar dari istrinya juga diceritakan langsung oleh Danu. Saat jam makan siang kemarin.Kisah yang cukup rumit menurut Firman, namun itulah kenyataan yang ada. Kawan istrinya yang Firman panggil dengans ebutan mbak Kirani merupakan mantan istri dari atasannya. Sementara istri atasannya sekarang adalah mantan sekretaris kawan atasannya, yang ternyata melahirkan anak yang bukan anak atasannya.Duh, memikirkan itu Firman jadi pusing sendiri. Kadang-kadang apa yang dilihat orang lain dari luar belum tentu sama dengan dalamnya. Sepertia atasannya ini. Dari luar nampak berwibawa, keluarganya harmonis, punya harta yang cukup, hidupnya
Mungkin cinta dulu adaNamun luka kerap mengejekJejakkan sakit yang piluMembawa masa lalu yang membayangiKirani kemudian menyalami mantan suaminya setelah menyalami mantan mertuanya dengan takzim.Ini pertama kalinya lagi Kirani bertemu bu Maryam, sejak perceraian yang ia tuntut pada putra mantan mertuanya itu, hanya sekali dulu mereka bertemu. Di awal-awal saat Kirani pertama kali pulang ke rumah ibunya. Seminggu kemudian bu Maryam datang, menangis dan memohon maaf pada Kirani dan ibunya. Beliau memohonkan maaf untuk khilaf yang Danu lakukan.Bukan hanya bu Maryam yang menangis, tapi juga Kirani. Tiga tahun menjadi menantu bu Maryam, cukup membuat wanita paruh baya itu merasa memiliki seorang putri. Sikap sopan dan santun yang Kirani miliki membuat bu Maryam benar-benar menyayangi Kirani, layaknya putri sendiri.Saking kecewanya bu Maryam atas perselingkuhan yang putranya lakukan, membuat ibu ini mendiamkan putranya berbulan-bulan lamanya. Bahkan saat Danu melaksanakan pernikahan
Danu menatap tak suka pada lelaki yang baru turun dari mobil Avanza hitam yang baru saja berhenti di depan rumah Kirani.Danu ingat, lelaki yang baru saja turun bersama anak perempuannya, adalah lelaki yang sama di pesta penikahan Firman dan kawan Kirani. Lelaki dan anak perempuannya yang nampak memberi perhatian pada Kirani.Cemburu.Tiba-tiba saja rasa itu datang mengejek di kepala Danu yang rambutnya hampir kuyup. Pantaskah?Sedang Kirani bukan lagi siapa-siapanya. Kirani hanyalah wanita pertama yang ia cintai juga wanita pertama yang ia sakiti.Sesal semakin mendera. Bukan hanya pada Danu, namun juga pada bu Maryam yang begitu berharap bermenantukan Kirani kembali.Namun bila Kirani memilih keputusannya sendiri. Anak dan ibu itu tak punya kuasa mengatur keinginan Kirani. Seperti dulu mereka tak kuasa menahan Kirani untuk tetap tinggal.Ini masalah hati dan perasaan. Boleh saja Kirani tersenyum pada mereka, menyambut keduanya dengan baik namun siapa yang tahu sisa luka dalam hati y