Share

Anak yang Tak Diinginkan

Lelaki itu sedang mengerjakan tugas kuliahnya, ia harus fokus sebab tak lama lagi akan ada ujian akhir. Semua harus selesai tepat waktu, agar pernikahannya bersama Amel bisa segera ia umumkan. Namun, pintu kamarnya diketuk, tanpa izin darinya Bu Inah masuk dan melemparan foto-foto mesra di ranjang Dika begitu saja. Foto putranya bersama seorang gadis dalam balutan jas hitam dan yang wanita menggunakan kebaya.

“Mama sudah tahu?” tanya lelaki itu. Ia tak berani memandang mata wanita yang melahirkannya.

“Dia siapa? Iya, baru Mama saja yang tahu, Papa belum. Bisa kamu bayangkan kalau Papa tahu dan menarik semua fasilitas yang sudah diberikan. Kamu akan hidup miskin tanpa mobil, motor, ponsel dan uang. Didepak dari kantor, dicoret dari daftar penerima harta warisan. Dan kamu bukan anak kami lagi.” Tegas Bu Inah. Ia tak pernah main-main dengan perkataannya. Apalagi jika sudah suaminya yang berkata-kata langsung.

“Ma, apa salahnya Dika menikah?”

“Tidak salah asal calonnya atas persetujuan kami. Gadis dalam foto itu apa Camelia, anak haram yang gak jelas siapa bapaknya?” Bu Inah menebak dengan jitu. Dika hanya mengangguk saja, tak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. “Memalukan keluarga kamu ini. Cepat kamu ceraikan dia, masalah ini hanya kamu dan Mama yang tahu.”

“Tidak bisa, Ma. Amel hamil anak Dika, sebentar lagi dia akan melahirkan, cucu Mama juga. Tolong pengertiannya, Ma.” Lelaki itu memelas, ia seperti kucing yang kehilangan makanan di depan mata, tak berdaya di hadapan harimau betina yang sedang lapar.

“Kamu pikir keluarga Sinta akan terima kamu seperti ini. Kamu pikir papa kamu mau kehilangan kontrak kerja sama yang sudah dijalin. Kamu pikir semua itu tidak? Urus nafsu saja kamu tidak becus, apalagi urus anak. Satu kesempatan ini Mama kasih, ceraikan dia baik-baik kasih uang dan suruh pergi. Atau Mama sendiri yang akan selesaikan masalah ini?”

“Jangan, Ma, jangan, tunggu kasih Dika waktu sebentar. Bercerai itu bukan keinginan Dika. Atau gimana kalau Sinta tetap Dika nikahi secara resmi agama juga negara, asalkan jangan cerai sama Amel.”

“Hidup kamu itu kami yang mengatur. Pilih Sinta atau Amel. Sinta berarti harta kekayaan dan jaminan masa depan cerah, Amel berarti kamu miskin menggelandang selamanya. Jangan kamu pikir Mama tidak tega. Tega, mama bisa seperti itu.” Bu Inah memang tak main-main dengan perkataannya.

Sebagai istri seorang pengusaha ia memang harus bersikap tegas, salah satunya agar tidak ada wanita lain yang mendekati suaminya dan yang lain agar anak-anaknya patuh dengannya.

Ponsel Dika berdering, panggilan berasal dari Amel. Wanita di seberang sana mengatakan kalau perutnya sudah sakit-sakitan. Juga ia diantar oleh tetangganya pergi ke klinik bersalin.

Dika bingung harus bilang apa. Ia pun hanya berjanji akan menyusul istrinya sesegera mungkin. Bu Inah tahu apa yang harus dilakukan.

“Kita pergi. Untuk pertama dan terakhir kalinya, kita lihat anak kamu, setelah itu kamu ceraikan Amel. Mama juga ingin tahu seperti apa cucu yang dilahirkan oleh anak haram itu.” Bu Inah meminta Dika bersiap. Beberapa menit kemudian mereka lekas pergi. Wanita itu beralasan ingin meninjau pekerjaan putranya di luar kota.

Sampai dua orang itu di klinik yang dimaksud, bahkan telah berdiri di depan ruangan tempat Amel sedang mempertaruhkan hidup dan matinya. Lalu suara tangis bayi terdengar.

Jantung Dika berdegup kencang, pun dengan Bu Inah. Hati kecil wanita itu memang menginginkan cucu juga. Namun, cara yang salah membuatnya enggan mengakui bayi yang masih merah itu.

Tanpa menunggu lagi, Bu Inah lekas mengunjungi menantunya ketika sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Terkejut Amel mendapatkan kunjungan dari mertuanya. Ia sangka Dika telah jujur tentang pernikahannya.

“Bang, anak kita perempuan, seperti yang aku pernah bilang. Bu, itu cucu Ibu,” ucap wanita yang baru habis bersalin itu.

“Dika, sudah, ya, sudah, ucapkan kata cerai itu sekarang.” Perintah Bu Inah.

Dika mematung di depan ranjang pesakitan, bahkan ia belum sempat memeluk dan mengucapkan terima kasih pada istrinya. Apalagi Amel yang terkejut luar biasa. Bukannya mendapat hadiah malah dapat ancaman.

“Apa maksudnya ini, Bang?” tanya wanita itu.

“Pernikahan kalian tidak akan pernah mendapat restu dari keluarga besar kami. Kamu besarkan sendiri anak kamu, Amel, dan jangan pernah datangi anak lelaki saya lagi, walau anak kamu sakit parah sekalipun. Dia bukan cucu yang saya inginkan!” Dengan tanpa perasaan Bu Inah melukai hati Amel. Ia pun menuntut anaknya mengucapkan kata cerai. Tak ada pilihan lain, dengan terbata-bata Dika mengucapkan kata sakti itu.

“Aku ceraikan kamu, Amel. Maaf.” Setelah itu air mata mengalir dari pelupuk mata Dika, begitu juga dengan Amel.

Wanita itu tak mau memelas, sudah cukup kesabarannya selama ini. Ancamannya juga akan ia jadikan nyata, seumur hidup Dika tak akan pernah menjumpai putrinya walau lelaki itu sakit dan akan mati.

“Pergi!” ujar Amel dingin. Dika menoleh, ia tahu sudah menorehkan luka dalam di hati mantan istrinya.

“Sombong! Tak perlu kamu suruh kami pergi. Kami juga akan keluar dari rumah ini. Oh, iya, terima kasih karena telah mengurus anak saya selama menjadi suami kamu. Ini saya tinggalkan beberapa lembar uang. Semoga cukup untuk kamu pergi dari kota ini dan jangan lihatkan wajah kamu lagi. Selamat malam, Amel. Semoga kamu beruntung.” Bu Inah lekas menarik tangan putranya yang sebenarnya tak rela berpisah dengan Amel.

Wanita itu menarik napas panjang. Resiko dari pernikahan yang dirahasiakan akhirnya ia tanggung juga. Rasanya ia tak ada beda dengan ibunya. Kemudian Amel berjanji hidup putrinya tak akan pernah sama dengannya.

Putrinya harus bahagia, anak perempuan yang ia beri nama Camila. Benar, akan ia turuti kata Bu Inah, menjauh dan tak akan pernah menampakkan diri lagi.

Dengan penuh rasa sakit hati Amel ambil lembaran rupiah itu. Masalah dosa, ia serahkan pada Tuhan.

“Semoga Tuhan mengabulkan doamu dulu, Bang. Hidupmu tak akan pernah bahagia karena menelantarkan kami.”

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status