"Kamu sudah menikah?" "Belum." "Udah punya pacar?" "belum" "Ya udah, ayo menikah denganku!" "Hah! lo ngelindur?" "Enggak! gue serius, pokoknya besok kita menikah, titik!!" Senara sudah menyiapkan pernikahan untuknya dengan sang kekasih. Semua persiapan sudah matang, dan besok orang tuanya akan datang dari kampung untuk menghadiri pernikahan nya. Tapi, dua hari sebelum pesta berlangsung, Senara mendapati kekasihnya masuk ke Hotel dengan seorang wanita lain. Saat Senara meminta penjelasan, dirinya justru malah di putuskan. Kecewa, marah dan benci, semua menyatu jadi satu. sampai akhirnya Senara bertemu dengan seorang pria di depan Hotel. Seorang laki laki dari masa lalu Senara. Tidak memiliki pilihan lain, Senara pun langsung memaksa laki laki itu untuk menjadi suaminya.
Lihat lebih banyakRuang ganti pengantin itu sunyi. Hanya detak jam dinding dan deru samar dari AC yang terdengar mengisi udara. Harum bunga melati dan wangi kosmetik bercampur menjadi aroma khas hari pernikahan. Tapi suasana hatinya tak setenang itu.Senara menegakkan tubuhnya perlahan, menatap para kerabat yang masih ramai di ruangan.“Maaf Pak, Bu, mbak dan Mas. Senara mau bicara sama Jati dulu,’’ ucap Senara pelan seraya menatap keluarganya satu persatu.‘’Iya Nduk, bapak sama Ibu tunggu diluar ya.” Bu Ayu mengangguk dan mengusap lengan putri bungsunya sebentar sebelum akhirnya mengajak cucunya keluar.‘’Iya Buk,”‘’Jangan lama lama Dek, penghulunya udah dateng soalnya,” kata mbak Nanda.‘’Iya mbak,”Butuh beberapa detik, namun akhirnya satu per satu kerabat dan panitia keluar meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Pintu ditutup rapat, menyisakan hanya dua orang dengan beban yang tak terucapkan di dalam hati masing masing.Senara berdiri di depan cermin besar, gaun putihnya menjuntai anggun samp
Jati duduk di tepi ranjang kontrakannya yang sempit, menatap layar ponsel kosong tanpa niat membukanya. Di atas meja, undangan pernikahan Senara dan Bima masih terbuka, lembaran yang tadi siang diberikan oleh Senara dengan tangan gemetar.“Gila. Ini gila,” gumamnya. Ia menggaruk rambutnya yang acak-acakan, menarik napas panjang.Pikiran Jati berloncatan, tentang Senara, tentang masa SMP mereka, tentang waktu itu saat ia duduk sendiri di pojokan kelas, dan Senara datang, duduk di sebelahnya tanpa canggung. Tentang senyum Senara yang menyelamatkannya dari rasa sepi yang tak dimengerti anak-anak seusianya.Kini, perempuan yang sama, memintanya menyelamatkan satu-satunya hari penting dalam hidupnya.Pernikahan. Bukan cinta. Bukan lamaran romantis. Tapi sebuah permintaan putus asa.Jati menghela napas.“Kalau waktu itu dia bisa nyelametin gue, apa sekarang giliran gue?” Ia terdiam sejenak. “...Atau ini cuma gila doang?”Dan malam itu akhirnya Jati tidak tidur.__Gedung pernikahan sore itu
Senara masih duduk di trotoar, memeluk lututnya sendiri. Matanya menatap Jati yang kini berdiri, berkacak pinggang, memandangnya seperti menatap makhluk aneh dari planet lain. “Jati… aku serius. Ayo kita menikah besok,” ulangnya, kali ini lebih mantap, seperti seseorang yang sudah siap mempertaruhkan seluruh hidupnya pada sebuah keputusan gila. Jati membeku di tempat. Bibirnya terbuka sedikit, tapi tak ada kata yang keluar. Ia benar-benar tak paham. “Lo... ngomong apaan sih?” tanyanya dengan suara pelan, seolah takut jawaban itu memang nyata. “Menikah. Besok. Di gedung yang sudah disewa. Keluarga aku udah datang dari kampung. Dekorasi udah jadi. Makanan udah dipesan. Semua tinggal jalan,” Senara bicara cepat, nyaris seperti membaca naskah dari kepala. “Tadinya buat aku dan Bima, tapi... dia pergi. Dan sekarang... aku nggak tahu harus bagaimana. Aku nggak bisa batalkan semua ini. Aku nggak bisa bikin malu orangtuaku.” Jati menatap Senara lama, nyaris tanpa kedipan. Otaknya masih
"Gue nggak nyangka kalau sekarang lo berubah sejauh ini!" ucap Jati sambil masih menatap Senara dengan tatapan penuh heran sekaligus kagum. Mata Jati menyapu wajah Senara pelan-pelan, seolah memastikan bahwa sosok di hadapannya benar-benar gadis SMP yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Namun yang berdiri di depannya sekarang adalah perempuan dewasa dengan sorot mata yang jauh lebih tajam dan sikap yang tegas. Senara tersenyum miring, lalu melipat tangannya di dada. “Emangnya cuma aku aja yang berubah? Kamu pun juga berubah banyak. Terutama soal penampilan!” Ia menggeleng kecil, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Jati yang dulu ia kenal adalah bocah gemuk dengan rambut acak-acakan dan gigi berantakan. Ia sering jadi sasaran bully di sekolah. Tak ada yang mau duduk sebangku dengannya, apalagi berteman. Semua menjauhinya seperti ia wabah penyakit. Semua… kecuali Senara. Waktu itu, Senara lah satu-satunya yang menghampiri Jati saat semua orang memilih menjauh. Ia y
Senara duduk sendirian di sudut bar, dikelilingi gemerlap lampu dan irama dentum musik yang menghentak dada. Gelas minumannya masih utuh, tak tersentuh sedikit pun. Cairan bening di dalamnya hanya bergetar setiap kali bass dari musik menghantam udara. Ia tidak ingin mabuk. Ia hanya ingin hening di tengah kebisingan. Kepalanya masih terasa berat. Perutnya sesekali mual. Tapi anehnya, suara musik dan cahaya yang menyilaukan justru membuat pikirannya perlahan-lahan tumpul. Tidak sepeka tadi. Tidak sesakit tadi. Ia menatap kosong ke depan, lalu sesekali memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam suara-suara asing. Seolah semua luka dan pengkhianatan bisa diredam, diganti oleh irama yang tak mengenal siapa dirinya. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba, suara musik terputus oleh teriakan. Dua pria di dekat meja tengah mulai saling dorong. Entah karena minuman, entah karena wanita Senara tidak peduli. Awalnya ia hanya melirik sebentar, lalu kembali memalingkan waja
Pagi datang terlalu cepat bagi seseorang yang tidak tidur semalaman. Senara terbangun bukan karena alarm, tapi karena perutnya melilit hebat. Rasa nyeri itu naik hingga ke dada, seperti ditusuk-tusuk dari dalam. Napasnya pendek, dingin keringat membasahi leher dan punggung. Ia tahu gejala ini. Asam lambungnya kambuh dan kali ini lebih parah dari sebelumnya. Ia menggenggam ponsel dengan tangan gemetar, membuka aplikasi ojek online dan memesan kendaraan ke rumah sakit terdekat. Hujan tipis turun saat ia melangkah keluar dari kosan, dengan tubuh yang limbung dan langkah terseret. Wajahnya pucat. Matanya sembab. Tapi tak ada waktu untuk peduli pada penampilan. Motor datang. “Ke rumah sakit, ya, Mas,” katanya pelan sambil berusaha menahan mual. Perjalanan yang hanya 15 menit terasa seperti seumur hidup. Di tengah jalan, ponselnya berbunyi beberapa kali. Notifikasi pesan masuk dari grup keluarga: “Senara, kami sudah otw,’’ tulis Nandini, kakak pertama Senara disertai foto-foto wajah ce
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen