Share

Penyesalan

Puluhan tahun kemudian sekitar tahun 2016

Bu Inah duduk di kursi rodanya. Suaminya telah lama tiada, dua anak perempuannya tentu ikut ke mana suami mereka pergi. Tinggallah orang tua itu di rumah anak lelakinya—Dika, dan sudah bisa dipastikan Sinta juga turut serta.

Usai peristiwa perceraian dengan Amel, tak perlu menunggu waktu lama pernikahan dua orang kaya itu digelar juga. Peristiwa yang benar-benar hanya Dika dan mamanya saja yang tahu, mendiang papa tidak, begitu juga dengan dua adiknya. Namun, tidak menutup kemungkinan jika Sinta mencari tahu diluar sepengetahuan mertuanya.

Masa tua yang sangat sepi. Dika dan Sinta dikaruniai dua anak laki-laki. Yang satu berusia 19 tahun yang satu lagi jaraknya sangat jauh, kira-kira tujuh tahun. Sebab Sinta yang mengatur jarak kehamilan itu.

Bagi wanita keras kepala tersebut, tubuhnya adalah haknya. Ia yang menentukan kapan harus hamil bukan siapa pun. Sinta dan Bu Inah keduanya memiliki watak yang sama dan cenderung sering meributkan hal-hal sepele.

Sebagai seorang mama Bu Inah masih memiliki hak penuh pada Dika. Sebagai seorang istri, Sinta merasa harus didahulukan oleh suaminya.

Dulu, Bu Inah pernah berharap Dika dan Sinta memiliki anak gadis. Kepercayaan wanita itu sangat kuat bahwa di masa-masa akhir yang sangat peduli pada orang tua ialah anak wanita. Kini justru dua anak perempuannya tak bisa diandalkan.

Bu Inah ikut tinggal bersama Dika, menantunya tak terlalu mau tahu. Dika seperti harapannya dulu, sibuk bekerja. Perawat? Jangan tanya lagi sudah berapa banyak bergonta-ganti.

Banyak yang tak cocok karena kerasnya hati wanita tua itu. Ketegasannya di masa muda masih terbawa sampai di atas kursi roda.

“Coba dulu aku tidak mengusir Amel dan anaknya. Pasti aku masih punya cucu perempuan,” ujar wanita itu dari kursi rodanya.

Dari kamarnya di dekat jendela besar ia duduk dan memperhatikan menantu dan dua anaknya bermain di taman. Ia sendiri tak terlalu dianggap ada. Sesekali Sinta melirik tapi ambil sikap tak mau tahu lagi.

Sinta salah mengira, memang mertuanya duduk di kursi roda, tapi kemampuannya masihlah sama seperti dulu. Uang di rekening peninggalan suaminya juga masih banyak.

Artinya wanita tua itu tidaklah terlalu menderita, hanya perlu perhatian lebih saja. Hingga pada suatu sore ketika satu keluarga itu pergi keluar dan Bu Inah ditinggal sendirian, terbersitlah rencana gila di kepalanya.

Di masa tuanya bahkan ketika ia harus menutup mata untuk selama-lamanya, ia ingin dirawat oleh seorang perempuan berhati mulia.

Bu Inah tak akan sungkan untuk memintanya langsung. Juga ia tak segan akan memberikan uang di rekening miliknya. Untuk siapa lagi kalau bukan kepada cucu perempuan yang sempat ia tak mau akui dulu.

Penyesalan, telah menggerogoti keangkuhannya perlahan demi perlahan. Bu Inah mengambil ponsel Nokia N70 milknya. Menghubungi seseorang di bagian tertentu untuk mencari sebuah informasi penting untuknya. Ia memiliki banyak kenalan di bidang militer tak sulit baginya menemukan satu orang jika masih ada di negara yang sama.

“Halo, datang ke rumah putra saya sekarang. Ada tugas untuk kamu, sudah saya siapkan foto dan nama lengkap, juga bayaran untuk kamu. Sekarang!” tegas Bu Inah, pria muda di seberang sana pun menjawab dengan pasti.

Setengah jam kemudian, yang diperintahkan tiba juga akhirnya. Ia memakai kaus kerah biasa dengan jeans dan sepatu santai. Meski demikian dari postur tubuhnya bisa ditebak ia bukanlah lelaki biasa. Pria muda yang dipanggil dengan nama Satria oleh Bu Inah.

“Cari cucu saya, sesegera mungkin. Ini untuk bayaran awal kamu.” Bu Inah menyerahkan sebuah cek sebagai uang muka.

Satria memandang foto Amel saat menikah dengan Dika. Petunjuk awal untuk mencari cucu yang bahkan tak Bu Inah ketahui namanya dari dulu.

Amel benar-benar menuruti perkataannya untuk memutuskan kontak dengan Dika. Tak sekalipun juga sepeser pun lelaki manja anak mama itu pernah menafkahi putrinya.

“Baik, Nyonya, beri saya waktu tiga hari. Akan saya bawa semua yang diperlukan,” jawab Satria.

Pria muda itu kemudian pergi dan membawa semua yang diperlukan juga sebuah cek yang cukup untuk berfoya-foya. Sayangnya, ia bukan pria seperti itu. Satria lebih memilih akan mencairkannya di waktu yang tepat.

“Amel, andai saya dulu tidak mengusir kamu, dan andai dulu kamu mau bersabar menghadapi saya. Pasti cucu perempuan saya mau mengurus orang tua renta ini. Sekarang saya kesepian, padahal rumah ini ramai. Apa ini hukuman yang kamu minta sama Tuhan? Kenapa kamu berubah jadi kejam dan tak berperasaan? Padahal Dika cerita kamu itu perempuan lemah lembut, bukan angkuh seperti Sinta.” Segala penyesalan itu terucap juga akhirnya.

Mungkin memang dulu tak seharusnya ia pisahkan pasangan suami istri yang saling mencintai. Jaminan harta kekayaan yang Bu Inah bangga-banggakan di masa muda Dika dulu, toh tak mampu menutupi kebutuhan batinnya dengan ketenangan.

Kadang wanita tua itu rindu dengan suaminya, tapi usianya sangat panjang dan tak juga menutup mata sampai sekarang.

“Ya Allah, berikanlah orang sombong ini kesempatan untuk meminta maaf pada orang-orang yang aku sakiti dulu. Semoga cucu perempuanku mau merawatku di masa-masa yang tak akan lama lagi,” pinta wanita itu dalam doanya.

Setelahnya, anak, menantu, juga dua cucunya pulang. Bu Inah lekas dibawa ke kamarnya, siapa lagi yang mendorong kalau bukan Sinta.

“Obatnya udah diminum kan, Ma? Jangan bikin susah orang, ya? Jangan bikin saya cari-cari perawat baru lagi. Kalau udah bosan tinggal di rumah ini, tinggal bilang, bisa saya kirim ke panti jompo.”

“Sombong! Angkuh! Ingat siapa yang menyelamatkan usaha kedua orang tuamu dulu. Sinta.”

“Dan ingat juga siapa yang membesarkan usaha Mas Dika sekarang, Ma. Berkat tangan dingin saya, saya, menantu terhormat dan cerdas yang suka rela mengurangi waktu tidurnya demi semua ini,” balas Sinta tak mau kalah.

“Kamu memang beda jauh dengan—”

“Camelia? Wanita masa lalu Mas Dika. Anak haram yang sempat melahirkan anak perempuan juga? Jangan dipikir saya nggak tahu, Mama tersayang. Saya tahu, tapi saya tutup mulut demi nama baik keluarga ini. Jangan menantang saya untuk membongkar semuanya, ya? Udah tua, istirahat aja, Ma. Nggak baik tidur malam-malam, nanti masuk angin, repot lagi saya bolak-balik ganti popok.”

“Bongkar saja kalau mau bongkar. Nanti kamu juga yang malu. Kita satu keluarga, aib satu orang menjadi aib bersama. Jangan coba-coba kamu ancam saya. Saya cuma di kursi roda, bukan di lubang kubur.”

Malas berdebat dengan orang tua, Sinta lekas keluar dari kamar Bu Inah. Tak ia hiraukan walau wanita tua itu masih berada di kursi roda. Seperti biasa Dika yang akan datang ke kamar mengurus mamanya yang sudah tua.

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status