"Pesan? Pesan apa?" Aku balik bertanya.
Tiba-tiba handphonenya berbunyi, memecah ketegangan diantara kami.
"Maaf Nadia, aku angkat telepon dulu ya," ujarnya yang dijawab oleh anggukan kepalaku.
"Halo, Waalaikum salam, iya. Ah oke, aku segera kesana," ucapnya. Entahlah apa yang dibicarakan. Mendadak ia terlihat buru-buru. Mungkin ada masalah yang serius.
"Maaf Nadia, aku harus pamit dulu. Kapan-kapan ya kita ngobrol lagi," ujarnya kemudian.
"Kamu gak makan dulu, Mas?"
"Gak usah, ini udah ditungguin orang. Maaf ya, lain kali saja."
"Iya, hati-hati dijalan mas. Dan terima kasih atas bantuannya."
Mas Hasbi tersenyum. "Iya, sama-sama. Aku pulang ya. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam ..."
Diapun pergi melesat dengan mobil mewahnya. Aku tertegun, menatapnya hingga hilang dari pandangan.
Pertanyaannya yang tadi, membuatku berpikir kembali. Apa maksud ucapan Mas Hasbi? Pesan, pesan a
Sudah dari pagi aku bersiap-siap menuju ke pengadilan agama. Mirna pun turut datang kembali untuk menjadi saksi dan penyemangatku.Namun sangat disayangkan, Mas Rizki lagi-lagi tidak hadir dipanggilan sidang maupun mengirimkan kuasa hukumnya. Setelah panggilan sidang yang sebelumnya untuk upaya perdamaian dan mediasi gagal karena tergugat tidak hadir.Begitu pula dalam panggilan sidang lanjutan tentang pembacaan surat gugatan serta pengumpulan bukti-bukti tentang perselingkuhan Mas Rizki yang akan memperkuat proses perpisahan ini. Mas Rizki kembali mangkir dalam persidangan. Tak ada bantahan atau eksepsi kompetensi dari pihak Mas Rizki untuk menyanggah semua isi gugatan. Ya, mungkin dia malu atau memang dia sudah tak mau ambil pusing tentang hasil putusan sidang ini.Setelah pembacaan gugatan selesai, dilanjut oleh musyawarah majelis hakim, sesuai dengan jadwal sidang, pada tahap ini dibacakan putusan majelis hakim. Putusan verstek majelis hakim, kar
"Sah!" "Alhamdulillah..." Pernikahan siriku dengan Keysha hanya dihadiri oleh beberapa orang saja, mengingat rencana pernikahan tempo hari gagal karena tragedi penculikan itu. Tapi aku bersyukur akhirnya sekarang aku dan dia sudah menikah. Setelah pernikahanku dengan Keysha, entahlah justru rasanya semakin hambar menjalani hubungan ini. Apalagi Keysha selalu merengek ingin minta tinggal terpisah dengan ibu. Seringkali terjadi percekcokan diantara keduanya, karena salah satu tidak ada yang mau mengalah. Keysha tak mau membantu pekerjaan rumah, dengan alasan dia sedang hamil, gampang capek, padahal dia sudah tidak kuliah lagi, sejak kejadian itu. Aku yang melarangnya pergi, takut kejadian itu terulang kembali. Dengan berat hati, aku mencari rumah kontrakan yang sederhana karena uangku pas-pasan. "Bu, kami pamit," ucapku berpamitan dengan ibu. S
Ucapanku yang penuh penekanan membuat Keysha terdiam, mencerna semua perkataanku. Aku bergegas mandi dan ganti pakaian, lalu berangkat ke kantor. "Ingat, pekerjaanmu di rumah sebagai istri. Masak dan yang lainnya, tapi tetap perhatikan kesehatanmu, kalau capek istirahat. Kau mau kan om tetap betah di rumah?" Keysha mengangguk. "Kalau kamu bingung mau masak apa, kamu tinggal browsing di internet, banyak aneka resep masakan yang tersedia disana," ujarku lagi. "Iya, om." "Dan satu hal lagi, untuk bulan ini dan beberapa bulan ke depan kita harus hemat, apalagi nanti menjelang kamu melahirkan, pasti akan banyak biaya." Keysha mengangguk lagi walaupun dia cemberut. "Ya sudah, om berangkat ke kantor dulu. Ingat nanti sore masak ya." "Kalau masakan Key gak enak, gimana?" "Tidak apa-apa, namanya juga belajar, pasti butuh proses kan?" Kutinggalkan dia setelah aku berpamitan dengannya. Kuhela nafas dalam-dalam, aku
"Lho, Mas Rizki ada disini?" Aku terhenyak mendengar sapaan itu. "Masuk aja, itu Nadia sama Mas Hasbi ada di dalam," lanjutnya lagi. Ia melengos pergi, namun segera kucegah. "Tunggu, Mir. Ada yang ingin aku tanyakan." "Iya, ada apa?" jawab Mirna. "Apa benar Nadia beli ruko ini?" "Iya bener, kenapa?" "Tapii, dia dapat uang dari mana?" "Ih kepo ya Mas Rizki ..., Tanyain aja langsung sama orangnya. Ya siapa tahu kan dia dapat uang dari calon suaminya itu?!" jawabnya penuh penekanan. "Ca-calon Su-suami? Siapa calon suami Nadia?" Aku agak ragu mengatakannya. Masa Nadia secepat itu melupakan aku? "Heeemm, harusnya Mas Rizki tahu sendirilah siapa yang akhir-akhir ini dekat dengan Nadia," jawabnya bertele-tele. "Maksudmu Hasbi?" "Mungkin. Udah ya mas, aku tinggal dulu," pamitnya kemudian pergi begitu saja. Sungguh, aku tercengang mendengar jawabannya. Benarkah mereka akan kembali menikah?
Kubukakan mata secara perlahan. Kulihat Mas Hasbi dan Mas Rizki nampak khawatir padaku. Segera aku bangkit untuk duduk, meskipun kepalaku terasa berdenyut nyeri. Tetiba Mas Rizki berlutut di hadapanku dan minta maaf kalau dia khilaf. Ah itu bukannya khilaf mas, tapi memang disengaja. Kau sengaja ingin memukul Mas Hasbi kembali, namun aku menghalanginya. Hingga pukulan itu mengenai kepalaku. Entahlah kenapa dia bersikap seperti itu. Untuk apa dia marah? Bukankah diantara kita sudah tak ada ikatan lagi? Bahkan dia sudah menikah dengan Keysha, Kenapa dia tetap menggangguku. "Sudahlah mas, kau pulang saja. Kasihan istrimu mas," pungkasku. Aku ingin dia pergi saja dari sini dari pada kembali membuat keributan. "Ya sudah, mas pulang dulu. Kamu hati-hati ya, jangan terlalu dekat sama buaya darat," sindir Mas Rizki sembari melirik ke arah Mas Hasbi. Sebenarnya disini
"Aku mau minta bantuanmu Mas, tolong jualkan rumah ini, hasil penjualannya untuk mencicil hutangku padamu." "Hutang?" "Mas, bantuanmu itu aku anggap sebagai hutang, aku tidak mau menerimanya lagi secara cuma-cuma. Kamu sudah memberiku mobil, padahal perasaanku sudah tak enak untuk itu. Aku merasa berhutang padamu. Tolonglah jangan membuatku tak nyaman seperti ini." "Baiklah, untuk rumah kau boleh mencicilnya. Untuk mobil, biarkan saja. Itu pemberianku padamu," jawab Mas Hasbi yang membuatku merasa lega. "Iya mas, aku minta tolong ya mas, jualkan rumah ini, mungkin hasilnya tak banyak tapi..." ucapku lagi. "Kamu yakin mau jual rumah ini?" "Iya mas, aku sangat yakin," sahutku lagi. Lebih baik aku jual rumah ini, agar kenanganku bersama Mas Rizki menghilang bersamaan dengan itu. "Baiklah, akan kubantu." "Tolong kirimkan nomor rekeningmu padaku, mas. Aku punya sedikit tabungan, cuma seratus juta tapi bisa unt
Nadia termenung, cukup lama. Tak ada sahutan apapun darinya. Kuperhatikan wajahnya yang terlihat kuyu. Seperti tak punya semangat, atau karena dia kelelahan, entahlah. Mungkin dia terlalu larut dalam kesedihan dengan masalahnya akhir-akhir ini. Sungguh, dalam hatiku, ingin sekali membahagiakannya atau setidaknya bisa menghapus luka di hatinya. Aku lebih senang melihatnya tersenyum, ia terlihat lebih cantik. Sudah tujuh tahun hubunganku kandas, namun sampai saat ini aku masih sangat mencintainya. Aku sudah berusaha untuk melupakan, tapi semuanya begitu sulit. Sangat sulit. Bayangannya selalu hadir menari-nari dalam pikiranku. "Maaf mas, sepertinya aku belum bisa memikirkan untuk menikah lagi. Berikan aku waktu untuk sendiri. Kau pulang saja, mas..." sahutnya yang membuatku tertegun. Apa sebesar itu rasa cintanya pada Rizki? Hingga menolakku? Atau apakah dia masih trauma? "Kenapa?" "Mas, aku baru bercerai dua bulan yang lalu. Aku bu
Kuhempaskan tubuhku duduk di sofa. Aku tersenyum kembali membayangkan raut wajah Nadia yang tersipu malu. Sungguh menggemaskan."Ciee, yang habis pulang nganterin calon..." sindir Mbak Nisa.Aku menoleh ke arahnya. Dia pasti berpikir aku tersenyum karena Andin."Gimana responnya?" tanya Mbak Nisa kembali."Apaan sih mbak? Ini bukan tentang Andin," jawabku."Terus? Kamu senyam-senyum sendiri kenapa? Kamu kayak orang yang sedang jatuh cinta.""Hmmm...""Tuh benar kan, jadi kamu jatuh cinta juga sama Andin? Benar sih, dia kan cantik, menarik, mbak aja sebagai perempuan suka, apalagi kamu sebagai laki-laki.""Mba, sudah kubilang, ini bukan tentang Andin. Aku memang jatuh cinta mba, tapi bukan dengan dia. Ada orang lain yang aku cintai mba, jadi jangan jodoh-jodohkan aku lagi dengan Andin.""Siapa?" tanya Mbak Nisa ingin tahu."Menurut mbak?""Mbak kan bukan dukun, jadi gak tahu.""Dari dulu sampai