Ellshora sibuk dengan bola di tangan, melakukan shooting berkali-kali. Meski dalam hati, Daniel berdecak dengan kemampuan permainan Ellshora, ia enggan mengungkapnya.
“Tenagamu terisi banyak dengan teh mahal itu sepertinya,” seru Daniel seraya membawa langkah kakinya mendekati Ellshora.
Ellshora menoleh, namun tetap melanjutkan permainannya. “Kalau kau mau menguras tenagaku lagi malam ini, aku tak mau. Batas waktu kerjaku sudah habis hari ini.”
Daniel menunjukkan seringai lebarnya.
“Tidak, Sayang. Aku hanya ingin menemanimu bermain sekarang,” godanya. “Berikan bola itu padaku.”
Shooting berikutnya berhasil lagi. Tak terhitung berapa kali Ellshora memasukan bola ke dalam ring dengan bakat terbaiknya. Ia berhenti dan melihat Daniel yang bersiap menangkap bola di tangan Ellshora.
Sudut bibir Ellshora terangkat. “Yakin mau kulempar?”
Daniel hanya memberi anggukan, tangannya siap melakukan gerakan catching ball. Melihat hal itu, Ellshora melebarkan senyum puas dan cepat melempar bola ke arah Daniel sekeras mungkin.
Dgggg!!!
Daniel terjatuh karena gagal menangkap bola dari Ellshora. Dan Ellshora tak dapat menahan tawa puas yang lepas begitu saja.
“Kau terlalu keras!” kilah Daniel seraya berusaha bangkit.
Tapi Ellshora mengabaikannya. “Ada apa kau menganggu waktuku sekarang? Katakan langsung dan segeralah pergi kalau sudah selesai.”
Langkah Ellshora mendekati sebuah kursi panjang di tepi lapangan. Daniel mensejajarkan gadis itu dan mereka duduk bersama di sana. Usai meneguk mineral, Ellshora mengelap keringat yang membasahi wajah dan kedua tangannya.
“Rencana kita berjalan lebih cepat dari dugaanku. Kau memang bisa diandalkan, Ell,” kata Daniel.
Pujian itu benar-benar tak membuat Ellshora tertarik.
“Selanjutnya, aku akan memberitahumu lagi nanti. Satu minggu ini, Luke akan ada pertemuan pemegang saham di Paris. Kau bisa terbebas sampai Luke kembali.” Daniel menerangkan.
“Terbebas?” Ellshora menyunggingkan bibir. “Selama masih bersama kalian, hidupku tak akan pernah ada kebebasan!”
Daniel justru menunjukkan deretan giginya dengan seringai lebar.
Ellshora melempar wajah tegas pada Daniel. “Aku akan menghabiskan waktu bersama Zane. Kuharap kalian tak memberiku gangguan.”
“Dengan pesona dan daya tarik kuat yang kau miliki, kau bisa memikat siapa saja. Tapi kenapa kau masih mempertahankan pria itu?” tandas Daniel.
Ekspresi Ellshora datar, pandangannya kosong.
Sudah jelas jawabannya adalah cinta. Pria seperti Daniel dan bahkan kelurganya, tentu tak akan memahami Ellshora. Mereka yang menganggap uang adalah segalanya, berpikir cinta hanya sesuatu yang perlu dikesampingkan.
Hati Ellshora seutuhnya milik Zane. Di dalam sana, hanya ada satu tempat, dan Zane sudah menempatinya sejak tiga tahun lalu. Meski ia menghabiskan banyak waktu untuk pria-pria kaya, semuanya hanya bagian dari rencana Bibi Mia. Dan Ellshora bersyukur, Zane sangat memahami betapa pelik garis kehidupan yang tengah ia jalani.
Tapi bagi Daniel, tidak demikian. “Tinggalkan saja dia. Setelah kau bisa menaklukan Luke, hiduplah bersama pria kaya itu selamanya. Hidupmu pasti akan sangat terjamin, Ell.”
Ellshora masih bungkam, ia justru bangkit dari kursi panjang dan bersiap memulai bermain basket lagi.
“Apa kau takut Luke seperti ayahmu?” sergah Daniel yang langsung membuat gerakan Ellshora terhenti.
Lalu ia menambahkan, “kalau kau tak selemah ibumu, Luke tak akan bisa mempermainkanmu, Ell.”
Kali ini, Daniel sudah tidak bisa ditoleransi lagi menurut Ellshora. Ia benci diseret dengan semua pembicaraan tentang ayahnya.
“Jangan bicara apa yang tidak kau ketahui. Diamlah!” tegasnya menggertakan gigi.
Daniel mulai mendekati Ellshora dengan rasa yakin bahwa ia mengetahui lebih banyak tentang masa lalu gadis itu. Bahkan lebih tahu dari Ellshora sendiri.
“Apapun alasanmu membenci pria kaya, tapi Luke harus takluk di tanganmu jika kau ingin cepat memulai hidup baru dengan Zane.” Daniel menegaskan suaranya, kemudian ia segera meninggalkan Ellshora sendirian.
Gadis itu mengepal erat tangannya. Ia benci Daniel lantaran telah membuka luka lamanya malam ini.
Tapi ia lebih benci Sam-ayahnya. Kebencian Ellshora pada Sam seolah membekas dalam hatinya sangat dalam. Pria kaya raya yang menikahi ibunya bertahun-tahun silam itu pergi begitu saja ketika Ellshora masih berada dalam kandungan. Dan kondisi Elena-Ibu Ellshora, makin melemah hingga tak bisa tertolong karena sakit yang dideritanya.
Ellshora meluruhkan diri, dan jatuh terduduk di lapangan. Membiarkan bolanya menggelinding jauh. Tangisnya pecah, ia menyesali sikap pecundang ayahnya. Yang pada akhirnya membuat Ellshora harus mengemban kehidupan yang pelik ini.
Ia membatin dalam isakan tangis. ‘Dengan kekayaan, mereka bebas melakukan apapun yang mereka mau. Tanpa peduli ada hati yang terluka karenanya.’
Beberapa hari kemudian.
“Ellshora?”
Frida berdiri terkejut dengan kedatangan Ellshora yang tak terduga. Wanita lima puluh tiga tahun itu masih di bibir pintu ketika gadis di hadapannya melempar senyuman yang teramat hangat.
“Apa kedatanganku mengganggu waktumu, Bu?” ucap Ellshora.
Frida tersentak. “Tentu tidak, Sayang.”
“Masuklah, Ell,” ajaknya.
Mereka kemudian masuk ke dalam rumah sederhana keluarga Zane. Rumah itu hanya ditempati Zane dan ibunya-Frida. Sang ayah telah pergi ketika Zane berusia tujuh belas tahun karena sebuah kecelakaan.
“Zane tidak memberitahu Ibu kau akan datang. Apa dia tahu kau kemari?” tanya Nyonya Frida yang baru saja duduk di kursi ruang tengah bersama Ellshora.
Ellshora meletakan sebuah kantong plastik cukup besar di meja. “Sepertinya dia pulang terlambat, Bu. Jadi aku bawakan sayur dan bahan makanan lain untuk Ibu.”
Pandangan Ellshora ia arahkan pada Frida, dan mereka saling berpandangan sekarang.
“Mau kumasakkan sup krim kentang dan ayam, Bu?” tanya Ellshora.
Frida mengangguk. “Itu sangat menggugah seleraku.”
Dan artinya, Ellshora mulai mencuci dan memotong lau segera menyalakan kompor. Setelah berkutatdi dapur kurang lebih empat puluh menit, sup di panci mualai meletup-letup. Ellshora segera mematikan kompor, kemudian menuangkan sup krim kentang ayam itu ke dalam wadah.
Ellshora membawa wadah menghampiri Frida. “Makanan siap!”
Frida tengah menata mangkuk dan sendok ketika Ellshora meletakan sup di meja makan. Berikutnya, mereka mengambil posisi duduk masing-masing untuk bersiap menikmati makan malam.
Aroma harum tercium melewati indera penciuman Frida. “Harumnya menggugah selera.”
“Mari makan, Bu!” Ellshora menuangkan sup ke dalam mangkuk Frida.
Begitu Frida mulai menyuap sendok ke dalam mulut, lidahnya berpadu dengan cita rasa sempurna. Ia menikmati masakan Ellshora yang tanpa kekurangan. “Bakat masakmu luar biasa, Ell. Setelah Zane menikahimu, dia pasti tidak bisa mengontrol nafsu makannya.”
Ellshora tersipu, sembari membayangkan masa-masa itu tiba. Dimana ia akan memulai paginya di dapur, menyiapkan sarapan untuk Zane dan anak-anak mereka, juga Frida. Ellshora benar-benar menunggu kebahagiaan itu tiba.
Dan Zane yang sudah ditunggu, akhirnya datang. Ia juga terkejut melihat kehadiran Ellshora di rumahnya yang tiba-tiba. “Kenapa kau tidak memberitahuku kalau mau kemari?” “Saat kita bicara di telfon tadi, kau tidak mengatakan apapun,” imbuh Zane. Frida yang menjawab. “Mulai sekarang ini rumahnya juga. Jadi tak perlu memberitahumu kalau dia mau kesini. “Pintu rumah terbuka lebar untukmu, Ell. Jadi datanglah setiap saat,” tambahnya. Apa yang diucapkan Frida membuat Ellshora memancarkan wajahnya yang berseri-seri. Melihat ekspresi itu, Zane tersenyum. Ia menarik kursi dan mengambil posisi duduk bersama dua perempuan tersebut. “Makanlah, Sayang. Ellshora membuat sup terenak yang pernah Ibu makan selama ini,” puji Frida. “Ibu ambilkan mangkuk untukmu.” Ketika Frida bersiap bangkit dari duduknya, Ellshora menahan. “Biar aku saja, Bu,” katanya langsung menghampiri lemari rak dan mengambil piring dan sendok, kemudian cepat kembali ke meja makan. Ellshora menuangkan sup ke mangkuk, dan m
Udara pagi yang segar dan kicauan burung di halaman rumah adalah perpaduan yang serasi. Akan tetapi Ellshora tak cukup terarik keluar dari kamar sekarang. Ia masih duduk di ranjang dengan perasaan yang tak susah dijelaskan. Ellshora memandangi lekat-lekat figura foto sang ibu di tangan, Ellshora menahan diri sekuat mungkin untuk tak menangis. Kini Ellshora membawa dirinya dalam masa-masa dimana ia pernah merasakan kehangatan dekapan Elena-sang ibu. Kebersamaan dan waktu yang mereka habiskan sampai Ellshora berusia tujuh tahun. Hingga takdir benar-benar merenggut semuanya. ‘Ibu. Aku rindu ....’ lirih Ellshora. Ia menepis dua bulir air mata yang nyaris saja membasahi pipinya. Selang beberapa detik, suara ponsel Ellshora terdengar cukup keras. Dengan cepat membawa gadis itu dari bayang-bayang masa lalu dan kerinduan terhadap sang ibu. Ellshora langsung menjawab panggilan masuk dari Zane. “Hallo, Zane?” sapa Ellshora. Zane langsung berbicara. “Hari ini aku meminta izin untuk libur di
“Terima kasih, Zane. Tentu aku menerima hadiah ini dengan sangat senang hati,” ucap Ellshora kesenangan dengan gaun pemberian Zane barusan.Ia cepat menjatuhkan diri dalam pelukan Zane di tengah keramaian . Tak peduli pasang-pasang mata yang memperhatikan mereka sekarang. Meski Zane sendiri menyadari hal itu, ia juga tak mempedulikannya.Pelukan itu masih erat, sebelum Ellshora menyadari ada seseorang yang tak asing tengah berjalan ke ke arahnya.Ellshora memutar pelukan, berbalik arah lalu dengan cepat melepas diri. Ia terkejut bukan main lantaran Luke yang harusnya masih berada di Paris justru sekarang ada di tempat yang sama dengannya.‘Dia tidak boleh melihatku!’ gusar Ellshora dalam hati. ‘Zane juga tak boleh tahu ini.’Sikap Ellshora yang drastis langsung ditangkap Zane. “Kenapa, Ell?”“Itu ... aku ....” Ellshora ketar-ketir. “Aku harus ke kamar mandi sekarang!”Secepat kilat, Ellshora berlalu dari situ lalu pergi toilet. Zane yang tengah berjalan mendekati sebuah kursi berpapas
Kafe Olizer, pukul 11.15.Ellshora memasuki kafe sembari mengitari matanya ke semua penjuru. Pandangannya nampak jelas tengah mencari-cari. Namun Zane tak terlihat juga. Ellshora segera duduk di kursi yang terletak di dekat dinding kaca. Titik sempurna yang menyuguhkan pemandangan di luar.Tak lama seorang pelayan kafe datang membawa nampan. “Pesananmu datang, Nona.”Ellshora terkejut melihat segelas moccachino ice dan sepiring kecil waffle di meja.“Hah? Aku belum memesan,” katanya keheranan.“Pacarmu yang memesan, Nona,” jelas pelayan itu menunjuk meja counter pemesanan. Dimana Zane melambaikan tangannya pada Ellshora dari sana.Ekspresi Ellshora berubah, sikap herannya mencair menjadi senyum tersipu. Lalu sang pelayan pergi saat Ellshora melihat sebuah pesan baru masuk di ponselnya.“Tunggu sebentar. Aku akan menemanimu saat waktu istirahatku.” Begitu pesan dari Zane.Ellshora membalas dengan senyum dan anggukan pada Zane dari kejauhan. Selang tiga puluh menit setelah itu, Zane me
The Oneiro adalah nama sebuah rumah mewah dengan konsep klasik country khas eropa yang memiliki halaman superluas. Tempat ini menggambarkanan kesempurnaan keluarga Whiston yang bergelimang uang, dan juga kehangatan di dalam bangunan itu sendiri.Keluarga Whiston memiliki lima sekaligus pengurus rumah dengan beberapa tugas masing-masing. Dan juga empat orang penjaga rumah bertugas mengemban tanggung jawab keamanan bangunan itu.Pagi ini, begitu selesai sesi sarapan, Annami keluar dan bersiap memulai hobi berkebunnya seperti biasa.“Selamat pagi, Sofie!” sapanya pada seorang wanita yagn sudah berada di halaman, kemudian Annami memalingkan pandangannya pada pria di sisi Sofie. “Selamat pagi, Andy!”Sofie dan Andy menjawab bersamaan. “Selamat pagi, Nyonya.”“Ayo kita mulai mengurus anak-anak kita!” ajak Annami pada dua orang itu.Mereka memulai memangkas bonsai cemara yang tumbuh rapi di halaman superluas The Oneiro. Yang mereka rawat seperti anak sendiri. Sofie dan Andy adalah dua pengur
Ketika Ellshora tengah mencari-cari alasan rasional tentang keberadaan Luke yang tiba-tiba di sini, Luke justru bersikap biasa saja. Ia ingin memuaskan hasrat bermain basket yang cukup lama ia abaikan.“Mau melawan kemampuan terbaikku?” tantang Luke.Tantangan Luke yang angkuh cepat menyeret Ellshora dari semua keherannya. Ia menatap Luke, seolah ingin memberitahu pria itu bahwa basket adalah kebanggaan terbesarnya.“Kenapa tidak!”Ellshora merebut kembali bola di tangan Luke. Mereka bermain dengan sangat apik. Membuat semua penonton seolah tengah berada di pertandingan basket sungguhan. Luke mengakui, permainan Ellshora membuat keringatnya bercucuran. Dan juga, bagi Ellshora, Luke memang memiliki kemampuan yang cukup baik.Permainan yang cukup melelahkan. Skor seri, 45:45.Sekarang, bola berada di tangan Ellshora, gadis itu lihai melakukan dribbling. Mata Luke masih mengamati situasi dan bersiap melakukan siasat. Luke dan Ellshora saling menatap satu sama lain. Keduanya tak ingin len
“Berikan pada Luke,” perintah Luke pada Ellshora ketika gadis itu sedang menikmati acara televisi di ruang tengah. Daniel melempar sebuah map di sofa.Ellshora hanya melirik. “Apa itu?”“Kau bilang, akan melakukannya dengan caramu sendiri. Jadi bagaimanapun caranya, dua jam lagi berkas itu harus sampai di tangan Luke!” jelas Daniel.Penasaran, Ellshorapun membuka map itu.“Lamaran pekerjaan?” Ellsora mengernyit, membuat garis-garis di keningnya.“Perusahaan itu tak membutuhkan orang sepertiku. Aku sudah mengirimkan lamaran ke sana, hasilnya? Aku masih jadi pengangguran!” keluh Ellshora dengan kesal, teringat apa yang dikatakan Luke di The Golden Sun tempo hari.Daniel mengambil posisi duduk, lalu mengambil keripik kentang di tangan Ellshora. “Berikan itu pada Luke. Bukan pada orang di perusahaannya.”“Maksudmu?” Ellsora kembali mengenyit. “Aku harus memberikannya langsung pada Luke dan berharap dia akan memberiku pekerjaan?”Ellshora menambahkan. “Kau lupa dia siapa? Apa bosmu itu jug
Annami dan Chris menikmati suasana malam di gazebo modern dekat kolam renang rumah mereka. Membiarkan hembusan angin menyentuh kulit. Mereka duduk di sebuah kursi jenis lounge chair warna abu tua. Sementara, di meja sudah disuguhkan teh hangat dan pie apel sebagai pelengkap. Chris meraih cangkir teh dan menyesapnya selagi masih hangat. Sedangkan Annami, baru saja menghabiskan sepotong pie apel kecil. “Luke belum pulang juga?” tanya Chris seraya meletakkan kembali cangkir di atas meja kayu. Annami melempar pandang pada pintu kaca yang menghubungkan ruang tengah dengan ruang santai terbuka. Ia tak mendengar tanda kepulangan putranya sama sekali. “Pasti banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan malam ini.” Chris tersenyum. “Dia pemilik perusahaan. Tidak akan ada yang berani memintanya untuk lembur. Dia bisa selesaikan besok lagi, kan?” Bukan Luke namanya. Seorang Luke tak akan mengesampingkan pekerjaan dari apapun, termasuk dirinya sendiri. Seharian banyak agenda pertemuan dengan beb