Ellshora benar-benar terpukau sekarang, nyaris tak bisa mempercayai Luke. Bagi Ellshora tempat ini menggambarkan sebuah kesempurnaan. Ia bahkan tak pernah membayangkan berada di sini sebelumnya. Tapi, seorang Luke yang mengacuhkannya sepanjang perjalanan tempo hari justru membawanya ke The Golden Sun. Restoran supermewah di Norwich bahkan di Inggris. Konsep royal klasik kental yang disuguhkan oleh tempat ini, membuat Ellshora merasa diseret dalam nuansa di era bangsawan Inggris.
“Permisi, Tuan Luke,” ucap seorang manager yang baru saja datang bersama tiga orang pramusaji berseragam super-rapi di belakangnya. “Pesanan anda sudah siap.”
Pria dengan perkiraan usia empat puluh tahunan itu berdiri di hadapan Luke dengan memberikan senyum terbaiknya. Sementara tiga orang lainnya tengah meletakkan pesanan Luke di meja.
“Ini adalah teh terbaik kami, Tuan. Teh Pu Erh yang langsung kami dapat dari petani Yunnan, Tiongkok,” kata sang manager.
Mendengar kata terbaik, Ellshora menelan ludah. Bibirnya membentuk senyum ragu. “Hm ... maaf, Tuan. Berapa harga untuk pesanan kami ini, ya?” tanyanya pada sang manager.
Pria itu melirik Luke, tapi Luke sendiri hanya membalas tatapan sekilas lalu meraih cangkir dengan tanpa ekspresi. Kemudian manager itu segera memberi jawaban. “500 pound untuk dua cangkir teh terbaik kami, Nona.”
Ellshora yang hendak meraih cangkir dan menikmati teh tersebut, langsung tercengang.
“Hah? Berapa? Bisa kau ulangi, Tuan?” tandasnya.
Usai menyesap teh, Luke kembali meletakkan cangkir. Kini pandangannya datar kepada Ellshora. “Telingamu bermasalah? Dia menjawabnya dengan jelas dan keras tadi.”
“Bukan begitu. Tapi bagaimana bisa mereka memberi harga begitu fantastis dengan dua cangkir kecil minuman ini?” kekeh Ellshora sulit percaya.
Kini mata Luke beralih pada sang manager dan tiga pramusaji itu. “Kalian bisa pergi sekarang.”
“Baik, Tuan. Kami permisi,” pamit sang manager bersama yang lain.
Mereka pergi meninggalkan private room atas nama Luke Whiston. Sementara hanya Luke dan Ellshora berada di dalam ruangan itu sekarang.
“Minumlah. Aku akan menemanimu minum teh di sini sebagai ucapan terima kasihku seperti yang kau minta,” Luke datar.
“Ini semua terlalu berlebihan, Tuan. Kau membuang banyak uangmu hanya untuk sebuah minuman,” ujar Ellshora yang terus menyesali 500 poundsterling hanya demi teh china itu.
“Tak masalah bagiku. Aku juga membuang banyak uang untuk hal tidak penting lainnya. Kulihat mobilmu juga sudah usang, atau mau kubelikan mobil baru juga?” Luke menyombong, namun ruat wajahnya tak berubah sama sekali.
Lirikan Ellshora sangat tajam, ia menangkap sesuatu dari ucapan Luke. Dan sesuatu tersebut seperti bola panas yang ingin sekali ia lempar ke wajah pria itu.
‘Sialan! Sombongnya pria ini! Dia tidak tahu, bahkan mobil yang dia sebut usang juga bukan milikku. Ah, aku hanya pengangguran yang tak punya apa-apa sekarang!’ geramnya dalam hati.
Yang perlu Ellshora lakukan sekarang yakni mengambil nafas dan menghembusnya pelan-pelan. Kemudian menyunggingkan sebuah senyuman palsu untuk seorang Luke Whiston dengan segala kesombongannya. “Terima kasih untuk tawaranmu, Tuan. Teh mahal ini sudah lebih dari cukup untuk kata maaf dan terima kasihmu.”
“Baguslah. Artinya aku tak berhutang kata maaf ataupun terima kasih atas kejadian tadi,” jelas Luke.
Ellshora mulai meraih cangkir kemudian menyesap teh yang membuatnya tercengang. Begitu merasakan, ia seperti mendapat sensasi berbeda. Namun dalam benaknya, ia juga tetap tak menyetujui soal harga yang diberikan restoran mewah ini.
“Aku akan pergi setelah kau habiskan tehmu. Cepatlah.” Luke masih tegas dan datar. Bahkan Ellshora belum mendapati ekspresi lain pria itu.
Jika ini waktu bersama Luke adalah momen berharga, maka Ellshora harus menggunakannya sebaik mungkin. Jangan biarkan semua berakhir begitu cepat. Ia mulai mengatur siasat.
“Tuan, teh ini memang berbeda. Jika bukan karenamu, aku tak akan pernah mendapat kesempatan merasakan sensasi dari teh terbaik ini. Bagaimana kalau kuminta secangkir lagi?” bujuk Ellshora, dalam benaknya sebuah ide datang begitu saja.
Raut wajah Luke masih datar. Tapi dari pancarannya Ellshora bisa melihat dengan jelas bahwa Luke adalah seoran pria yang besar hati. “Pastinya kau tak akan pernah menemukan seorang yang bersedia membuang waktu dan uang berharganya untukmu. Seperti aku.”
Luke mengambil lonceng klasik berukuran kecil di meja, alat pemanggil pramusaji. Hanya beberapa saat, seorang pramusaji kembali datang.
“Bawakan pesenan yang sama,” pinta Luke.
Pramusaji bersuara. “Untuk makanan pendamping, mau kami siapkan, Tuan?”
“Tidak. Dia hanya minta ditemani minum teh. Tak perlu yang lain.” Jawaban Luke tegas.
Dalam hati Ellshora mendengus. ‘Dia benar-benar tak tahu basa-basi.’
“Baiklah, Tuan, akan kubawakan segera. Permisi,” pamit pramusaji seraya meninggalkan ruangan.
Ellshora sudah menghabiskan secangkir tehnya. Bagi Ellshora, tak ada yang spesial. Jika Luke membuang uang di tempat ini, Ellshora justru tak ingin membuang waktu dan kesempatan bersama Luke hari ini. Begitu pesanan datang, ia memandangi cangkir berharap dapat menahan Luke beberapa waktu lagi.
“Oh, ya, Tuan. Kebetulan kau seorang CEO perusahaan besar, dan aku seorang pengangguran yang sedang mencari pekerjaan. Entah pertemuan kita takdir atau bukan, tapi bisakah kau membantuku bekerja di perusahaanmu?” harap Ellshora, namun percayalah bahwa bukan itu tujuannya. Ia hanya perlu basa-basi.
“Kirim lamaranmu ke bagian HRD. Mereka akan merekrutmu jika kau memang sesuai klasifikasi kami,” jawab Luke.
Wajah Ellshora menunjukkan rasa kecewa. “Hampir dua bulan aku belum mendapat jawaban dari perusahaanmmu.”
“Artinya kau bukan seorang yang kami butuhkan. Atau mungkin kau bisa pergi ke kafe pinggiran, mereka pasti membutuhkan tenagamu.” Saran Luke yang ini benar-benar membuat kedua mata Ellshora melotot.
“Tuan, meski aku bukan lulusan universitas, tapi pengalamanku sebagai staff keuangan sangat bisa diandalkan!” sergah Ellshora membela diri.
“Kalau begitu, datangi perusahaan yang masih mengandalkan pengalamanmu. Bekerjalah di sana agar kau bisa membuang uang untukku nanti,” sentak Luke yang langsung berdiri.
Melihat Luke yang bersiap pergi, Ellshora juga berdiri seketika. “Tuan, kau mau kemana? Tehku belum habis!”
“Aku sudah meluangkan waktu dan uang untuk meminta maaf juga berterima kasih padamu hari ini. Tapi bagaimana jika aku bergantian menuntut terima kasih karena sudah menolongmu tempo hari?” sergah Luke memberi seringai miring.
Bahkan Ellshora tak pernah memikirkan itu. Ia memejamkan mata sembari menggertakkan giginya tanpa berkata-kata.
“Setelah kau mendapat pekerjaan, mungkin kau bisa mentraktirku untuk berterima kasih,” kata Luke yang segera pergi, meninggalkan Ellshora di private room itu.
Ellshora duduk tercengang, membayangkan nominal yang harus ia keluarkan untuk Luke suatu hari nanti. Bersama pria itu hari ini, benar-benar menguras diri bagi Ellshora. Semua sikap Luke, ia tak menyukainya dari segala sisi yang ia lihat.
‘Dia tak hentinya membuatku berapi. Jika bukan karena semua rencana gila ini, aku sudah membakarnya hidup-hidup!’ geram Ellshora dalam hati.
Terpampang seringai Ellshora yang memberi arti lebih. Ia membutuhkan Luke untuk segera terlepas dari Bibi Mia, untuk cepat kembali dalam hangatnya dekapan Zane. Namun semua keangkuhan Luke, membuat Ellshora bergairah. Selain karena tujuan yang sudah direncanakan, Ellshora ingin menaklukkan Luke Whiston dengan semua keangkuhannya. Agar pria itu menyadari bahwa ia tak sesempurna itu. Setelah keluar dari The Golden Sun dan semua kemewahan tempat itu, Ellshora berjalan melewati trotoar jalan dengan penuh kekesalan. Lantaran Luke bahkan tak mengantarnya kembali ke kantor Sonic Group untuk mengambil mobil Daniel malah menyuruhnya menggunakan taksi. ‘Sebentar lagi, kau akan takluk di tanganku, Luke! Dan kau yang tergila-gila denganku akan memberikan apapun yang kumau!’ gerutu Ellshora yakin. Ellshora hendak menyebrang, langkah kakinya mulai menginjakkan zebra cross. Dengan tatapan yang kosong, ia tak menyadari bahwa lampu di traffic light sudah hijau kembali. Sebuah mobil putih mengkilap m
Ellshora sibuk dengan bola di tangan, melakukan shooting berkali-kali. Meski dalam hati, Daniel berdecak dengan kemampuan permainan Ellshora, ia enggan mengungkapnya. “Tenagamu terisi banyak dengan teh mahal itu sepertinya,” seru Daniel seraya membawa langkah kakinya mendekati Ellshora. Ellshora menoleh, namun tetap melanjutkan permainannya. “Kalau kau mau menguras tenagaku lagi malam ini, aku tak mau. Batas waktu kerjaku sudah habis hari ini.” Daniel menunjukkan seringai lebarnya. “Tidak, Sayang. Aku hanya ingin menemanimu bermain sekarang,” godanya. “Berikan bola itu padaku.” Shooting berikutnya berhasil lagi. Tak terhitung berapa kali Ellshora memasukan bola ke dalam ring dengan bakat terbaiknya. Ia berhenti dan melihat Daniel yang bersiap menangkap bola di tangan Ellshora. Sudut bibir Ellshora terangkat. “Yakin mau kulempar?” Daniel hanya memberi anggukan, tangannya siap melakukan gerakan catching ball. Melihat hal itu, Ellshora melebarkan senyum puas dan cepat melempar bola
Dan Zane yang sudah ditunggu, akhirnya datang. Ia juga terkejut melihat kehadiran Ellshora di rumahnya yang tiba-tiba. “Kenapa kau tidak memberitahuku kalau mau kemari?” “Saat kita bicara di telfon tadi, kau tidak mengatakan apapun,” imbuh Zane. Frida yang menjawab. “Mulai sekarang ini rumahnya juga. Jadi tak perlu memberitahumu kalau dia mau kesini. “Pintu rumah terbuka lebar untukmu, Ell. Jadi datanglah setiap saat,” tambahnya. Apa yang diucapkan Frida membuat Ellshora memancarkan wajahnya yang berseri-seri. Melihat ekspresi itu, Zane tersenyum. Ia menarik kursi dan mengambil posisi duduk bersama dua perempuan tersebut. “Makanlah, Sayang. Ellshora membuat sup terenak yang pernah Ibu makan selama ini,” puji Frida. “Ibu ambilkan mangkuk untukmu.” Ketika Frida bersiap bangkit dari duduknya, Ellshora menahan. “Biar aku saja, Bu,” katanya langsung menghampiri lemari rak dan mengambil piring dan sendok, kemudian cepat kembali ke meja makan. Ellshora menuangkan sup ke mangkuk, dan m
Udara pagi yang segar dan kicauan burung di halaman rumah adalah perpaduan yang serasi. Akan tetapi Ellshora tak cukup terarik keluar dari kamar sekarang. Ia masih duduk di ranjang dengan perasaan yang tak susah dijelaskan. Ellshora memandangi lekat-lekat figura foto sang ibu di tangan, Ellshora menahan diri sekuat mungkin untuk tak menangis. Kini Ellshora membawa dirinya dalam masa-masa dimana ia pernah merasakan kehangatan dekapan Elena-sang ibu. Kebersamaan dan waktu yang mereka habiskan sampai Ellshora berusia tujuh tahun. Hingga takdir benar-benar merenggut semuanya. ‘Ibu. Aku rindu ....’ lirih Ellshora. Ia menepis dua bulir air mata yang nyaris saja membasahi pipinya. Selang beberapa detik, suara ponsel Ellshora terdengar cukup keras. Dengan cepat membawa gadis itu dari bayang-bayang masa lalu dan kerinduan terhadap sang ibu. Ellshora langsung menjawab panggilan masuk dari Zane. “Hallo, Zane?” sapa Ellshora. Zane langsung berbicara. “Hari ini aku meminta izin untuk libur di
“Terima kasih, Zane. Tentu aku menerima hadiah ini dengan sangat senang hati,” ucap Ellshora kesenangan dengan gaun pemberian Zane barusan.Ia cepat menjatuhkan diri dalam pelukan Zane di tengah keramaian . Tak peduli pasang-pasang mata yang memperhatikan mereka sekarang. Meski Zane sendiri menyadari hal itu, ia juga tak mempedulikannya.Pelukan itu masih erat, sebelum Ellshora menyadari ada seseorang yang tak asing tengah berjalan ke ke arahnya.Ellshora memutar pelukan, berbalik arah lalu dengan cepat melepas diri. Ia terkejut bukan main lantaran Luke yang harusnya masih berada di Paris justru sekarang ada di tempat yang sama dengannya.‘Dia tidak boleh melihatku!’ gusar Ellshora dalam hati. ‘Zane juga tak boleh tahu ini.’Sikap Ellshora yang drastis langsung ditangkap Zane. “Kenapa, Ell?”“Itu ... aku ....” Ellshora ketar-ketir. “Aku harus ke kamar mandi sekarang!”Secepat kilat, Ellshora berlalu dari situ lalu pergi toilet. Zane yang tengah berjalan mendekati sebuah kursi berpapas
Kafe Olizer, pukul 11.15.Ellshora memasuki kafe sembari mengitari matanya ke semua penjuru. Pandangannya nampak jelas tengah mencari-cari. Namun Zane tak terlihat juga. Ellshora segera duduk di kursi yang terletak di dekat dinding kaca. Titik sempurna yang menyuguhkan pemandangan di luar.Tak lama seorang pelayan kafe datang membawa nampan. “Pesananmu datang, Nona.”Ellshora terkejut melihat segelas moccachino ice dan sepiring kecil waffle di meja.“Hah? Aku belum memesan,” katanya keheranan.“Pacarmu yang memesan, Nona,” jelas pelayan itu menunjuk meja counter pemesanan. Dimana Zane melambaikan tangannya pada Ellshora dari sana.Ekspresi Ellshora berubah, sikap herannya mencair menjadi senyum tersipu. Lalu sang pelayan pergi saat Ellshora melihat sebuah pesan baru masuk di ponselnya.“Tunggu sebentar. Aku akan menemanimu saat waktu istirahatku.” Begitu pesan dari Zane.Ellshora membalas dengan senyum dan anggukan pada Zane dari kejauhan. Selang tiga puluh menit setelah itu, Zane me
The Oneiro adalah nama sebuah rumah mewah dengan konsep klasik country khas eropa yang memiliki halaman superluas. Tempat ini menggambarkanan kesempurnaan keluarga Whiston yang bergelimang uang, dan juga kehangatan di dalam bangunan itu sendiri.Keluarga Whiston memiliki lima sekaligus pengurus rumah dengan beberapa tugas masing-masing. Dan juga empat orang penjaga rumah bertugas mengemban tanggung jawab keamanan bangunan itu.Pagi ini, begitu selesai sesi sarapan, Annami keluar dan bersiap memulai hobi berkebunnya seperti biasa.“Selamat pagi, Sofie!” sapanya pada seorang wanita yagn sudah berada di halaman, kemudian Annami memalingkan pandangannya pada pria di sisi Sofie. “Selamat pagi, Andy!”Sofie dan Andy menjawab bersamaan. “Selamat pagi, Nyonya.”“Ayo kita mulai mengurus anak-anak kita!” ajak Annami pada dua orang itu.Mereka memulai memangkas bonsai cemara yang tumbuh rapi di halaman superluas The Oneiro. Yang mereka rawat seperti anak sendiri. Sofie dan Andy adalah dua pengur
Ketika Ellshora tengah mencari-cari alasan rasional tentang keberadaan Luke yang tiba-tiba di sini, Luke justru bersikap biasa saja. Ia ingin memuaskan hasrat bermain basket yang cukup lama ia abaikan.“Mau melawan kemampuan terbaikku?” tantang Luke.Tantangan Luke yang angkuh cepat menyeret Ellshora dari semua keherannya. Ia menatap Luke, seolah ingin memberitahu pria itu bahwa basket adalah kebanggaan terbesarnya.“Kenapa tidak!”Ellshora merebut kembali bola di tangan Luke. Mereka bermain dengan sangat apik. Membuat semua penonton seolah tengah berada di pertandingan basket sungguhan. Luke mengakui, permainan Ellshora membuat keringatnya bercucuran. Dan juga, bagi Ellshora, Luke memang memiliki kemampuan yang cukup baik.Permainan yang cukup melelahkan. Skor seri, 45:45.Sekarang, bola berada di tangan Ellshora, gadis itu lihai melakukan dribbling. Mata Luke masih mengamati situasi dan bersiap melakukan siasat. Luke dan Ellshora saling menatap satu sama lain. Keduanya tak ingin len