Share

2 Hamil

 

Setibanya di Apartemen Artika muntah dan merasa mual. Yudika baru pulang ketika malam menjelang. 

"Artika, " ketukan di pintu,  ketukan lagi, tapi lebih kuat.

Artika malas sekali untuk bangun namun kemudian menemukan kekuatan untuk membuka pintu.

Artika pergi keluar dan tanpa bicara sepatah kata pun menatap Yudika. 

"Kamu kenapa?" Yudika masuk kedalam. Ia memeluk gadis itu. 

Artika meletakkan kepalanya dibahu Yudika  dan mulai menangis.

"Aku merasa mual, sakit kepala dan kelelahan," sahut Artika.

"Artika, ada apa denganmu? Katakan padaku," kata Yudika dengan perhatian.

"Aku tidak mengerti, tapi aku merasa sangat buruk, " ujar Artika.

 Artika mencoba menenangkan Yudika 

"Tapi sekarang sudah lebih baik," sambungnya lagi. 

Tetapi  saat Artika berlari ke toilet, lagi lagi dia merasa tidak enak badan. Yudika mengejar Artika dan menunggu di luar pintu toilet.

"Ada apa denganmu?" Tanya Yudika.

Artika mendengar suara Yudika melalui pintu.

Artika keluar dari bak mandi dan menuju ke kamar.

"Sebentar," ujar Artika.

 Ia mengambil sesuatu dan kembali ke kamar mandi, Artika mengunci diri lagi. 

Yudika tidak tenang, mengetuk pintu bilik mandi dan mencoba memahami apa yang salah dengan Artika.

Dan saat di kamar mandi, Artika smelihat dua strip pada tanda itu.

Pikirannya menjadi berkecamuk dan ketakutan. 

“Apa yang harus kulakukan? Aku masih ingin kuliah, dan kini..? " Artika berteriak untuk dirinya sendiri. 

Yudika terus  mengetuk pintu.

Untuk beberapa detik, Artika mengangkat wajah yang berlinang air mata ke arah Yudika.

Yudika melihat wajah Artika ketakutan, Artika menangis lebih keras lagi, menundukkan kepalanya. 

Yudika mendatangi Artika memeluk dan mencium dan berbisik kepada gadis itu.

Ia melihat sesuatu ditangan Artika. Tentu saja ia tahu benda apa itu. 

"'Kita akan punya bayi, bukan?" Yudika terus menenangkan Artika menarik  dan memeluknya lebih erat. 

"Tidak Yudika," Artika mulai histeris dan  terisak, 

"Kita masih sekolah, bagaimana dengan sekolahku?"

Tapi Yudika tidak membiarkan Artika menyelesaikan bicaranya. 

" Artika lihat aku."

Yudika mengangkat wajah Artika yang berlinang air mata.

Yudika tidak memiliki rasa takut atau terkejut. Diwajahnya hanya kegembiraan dan cinta.

"Kita bisa mengatasinya, karena aku sangat mencintaimu,"

Yudika mulai mencium pipi Artika dimana air mata mengalir, hidung dan mata yang merah.

" Yudika, aku juga mencintaimu!"

Artika mulai menangis, hanya kali ini dengan kebahagiaan.

Seminggu lagi berlalu. Artika bertahan dengan penyakitnya. Artika duduk di sofa dan menonton serial tv, Lalu tertidur.

Seseorang menggendongnya, dia membuka mata dan melihat bahwa orang itu adalah Yudika.

"Kamu tertidur disofa," Yudika mulai tertawa. Yudika mencium di matanya yang setengah terbuka.

"Yudika aku benar-benar tertidur. Kamu membangunkan aku ketika bermimpi enak.'"

"Ceritakan mimpimu."

Artika mencibirkan bibirnya  seperti anak kecil.

'"Jadi Artika kita  bisa saja pergi menemui ibumu, aku akan secara resmi melamarmu, " kata Yudika memberitahunya dengan tegas.

"Ibuku pasti belum bisa," ujar Artika.

"Artika, tapi aku ingin menikahimu," katanya dan berbaring di tempat tidur, berbaring di samping Artika  dan mencium pelipisnya.

"Kau tahu ibuku?" Artika menahan napas.

" Dia terlalu sibuk dengan suami bulenya dan dua anak yang lahir dari mereka," Artika melepaskan sesak didadanya.

"Jadi bagaimana memberi kabar ibumu, atau bagaimana dia menghubungimu dari Amerika?"

"Dia cuma sekali sekali menelponku, bisa jadi jarang sekali."

"Tapi hidupmu senang," ujar Yudika pula. 

"Kau tidak perlu bekerja mencari uang dan semuanya tersedia," kata Yudika pula.

"Ayahku sebelum meninggal mewariskan uang dan aku harus belajar investasi, deposito dan obligasi," ujar Artika pula.

"Itu juga bekerja," Artika tersenyum dengan kening berkerut. 

"Lalu kenapa kamu masuk ke Akademi Perawat, seharusnya fakultas yang bergengsi begitu, " tanya Yudika lagi. 

"Tadinya begitu, kedokteran seperti cita-cita ayahku. Tapi aku tidak bisa, karena aku tidak pintar matematika."

"Jadi?"

"Ayah sebelum meninggal ingin aku di kesehatan, membuka rumah sakit dan belajar manajemen rumah sakit. "

Artika diam sebelum melanjutkan. 

"Aku juga suka menjadi Perawat," ujarnya. 

"Tapi jurusannya berbeda," ujar Yudika pula. 

"Nantinya kesana, aku akan belajar program studi manajemen rumah sakit," berkata lagi Artika.

Yudika belum puas dengan kehidupan Artika yang sedikit rumit. 

"Sebenarnya kamu tak perlu susah, ikut saja ibumu dan ayah bulemu ke Amerika."

Jadinya Artika tersenyum pahit.

"Mereka tidak suka memelihara anak tiri," ujar Artika pula lirih. 

Ia seperti mengenang sesuatu. 

"Nah, sekarang kamu yang bercerita," Artika mengalihkan pembicaraan. 

 Yudika menelan ludah. 

"Aku? Ayahku seorang mantri kesehatan. Dia menjadi Perawat setelah tamat SMP."

"Waktu dulu masih mudah untuk menjadi Perawat," kata Artika.

"Iya, bekerja di rumah sakit, namanya sekolah pengatur rawat."

Kata Yudika pula. 

"Aku sering melihat ayah mengobat pasien, mereka belum merasa berobat kalau belum disuntik, jadi ayah sering menyuntik vitamin."

Setelah itu Yudika berkata lagi.

"Aku masih saja dibiayai orang tua, mereka mengeluarkan biaya cukup besar," ujar Yudika.

"Kita bisa hidup berdua dengan uangku," kata Artika pula.

"Tidak, sama sekali tidak, aku tidak mau hidup dengan uang perempuan."

"Kalau kita sudah menikah?"

"Tetap saja tidak," kata Yudika dengan tegas.

***

Setelah berbaring diam sekitar lima menit, Yudika bangun dan pergi ke kamar mandi untuk mandi.

Dia pergi ke Apartemen Artika dan melihatnya di dapur.

Yudika memeluk dan mencium pipinya.

"Apa yang kamu masak,"

"Biasa, sebentar lagi kita makan."

Sedang makan, Artika terus dengan kekhawatirannya.

"Kita masih sekolah, kita adalah anak sekolah Yudika, apakah anak ini bisa bertahan?" Artika masih saja kawatir dengan kehamilannya. 

"Jangan dipikirkan, kita akan mengatasinya," kata Yudika dengan percaya diri, memeluk pinggang Artika yang masih kawatir dengan kehamilannya.

Dan bagaimana dengan  ibunya?  Artika bahkan tidak  memberi tahu sesuatu apapun kepada ibunya.

Ibunya dengan suami bulenya dan tidak begitu peduli padanya.

Jadi dia mungkin masih tetap  berahasia.  kepada ibu yang  disayanginya. 

Dia tahu ibunya pasti setuju, tapi dia tidak akan punya waktu untuk pulang ke Indonesia .

"Artika saya ingin menikah denganmu secepatnya!" Desak Yudika.

Artika diam dan melihat ke lantai sementara Yudika tidak sabar. 

"Baiklah dan terima kasih," ujar Artika.

 Yudika menciumnya dengan lembut di bibir.

Jadi,  mereka harus pergi  segera ke kantor Agama yang akan meresmikan pernikahan mereka. 

"Saya akan menata rambut dan riasannya," kata Artika. 

Dia berkata dengan nada sambil tersenyum.

"Jangan menangis," ujar Yudika

“Aku tidak pernah menangis sebanyak ini ?!" Kata Artika. 

"Boleh saja, menangis sedih dan bahagia, itu yang kuinginkan."

Artika mengenakan pakaian islami, menata rambut dan merias wajah.

Artika meninggalkan kamar, tanpa khawatir lagi. 

Yudika berdiri dengan setelan biru dan kemeja putih.

Mereka meninggalkan apartemen dan dalam waktu sekitar tiga puluh menit.

Pejabat Agama itu menikahkan mereka dengan Artika setelah melafaskan kata kata pernikahan. 

Dari pejabat Agama mewakili orang tua Artika sebagai wali gaib karena ayahnya sudah meninggal. 

Mereka resmi menjadi suami istri dan mendapatkan buku pernikahan.

Segala galanya begitu cepat, karena Yudika telah mengurusnya dengan berbagai cara. 

Setelah itu mereka pulang dan resmi menjadi suami istri dan tinggal bersama. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status