Share

WARUNG BU INAH

"Kamu Joni, kan?" tanya laki-laki yang duduk di sebelahku ketika aku baru masuk ke warung Bu Inah. Laki-laki berumur sekitar setengah abad itu memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki, mungkin sedang menelusuri maksud kedanganku kesini.

 

"Iya, benar," jawabku agak risih dilihat seperti itu. Dua orang lainnya juga memandang aku dengan cara yang sama. Detak jantungku mulai berlompatan kemana-mana, tapi aku tetap berusaha terlihat biasa aja di depan mereka.

 

"Kamu sudah sehat?" salah satu dari dua orang yang duduk di sebelahnya mengajukan pertannyaan yang terdengar aneh bagiku. 

 

"Bagaimana mereka tahu kalau aku baru sembuh?" timbul tanda tanya di pikiranku.

 

"Apakah mereka mengenalku?" muncul satu pertannyaan lagi walaupun belum ada jawaban dari pertanyaan sebelumnya.

 

Kedatangannku ke warung Bu Inah bermaksud untuk mencari tahu siapa tukang taman yang telah membunuh isteri dan anak pemilik rumah. Di tempat ini sepertinya aku bisa memperoleh banyak informasi dari mereka.

 

"Iya. Aku baru sembuh sekitar dua minggu yang lalu," jawabku kepada orang yang bertanya kepadaku.

 

"Kamu masih mengenalku?" satu pertanyaan lagi dari orang ketiga yang duduk di meja itu.

 

"Tidak. Aku kehilangan ingatanku," sahutku sambil makan pisang goreng bikinan Bu Inah.

 

"Bu Inah, aku pesan satu kopi goyangnya, ya?" teriakku kepada Bu Inah yang sedang berada di dapur.

 

Dari yang aku dengar, kopi bikinan Bu Inah sangat istimewa karena cara pengadukannya sangat berbeda. Bu Inah selalu membaca jampi-jampi ketika tangan kiri memegang dan mendiamkan sendok di tengah cangkir, sedangkan tangan kanan Bu Inah dengan semangatnya menggoyang dan menggeyol cangkirnya searah jarum jam. Kedua bibir Bu Inah selalu terlihat komat-kamit, dibarengi pinggul yang juga ikut bergoyang dan bergeyol mengikuti irama putaran cangkirnya. Orang-orang biasa menyebutnya dengan kopi goyang Bu Inah.

 

Setelah tercium aroma kopi yang khas, Bu Inah mengangkat sendok dari dalam cangir, menempelkan dari pangkal hingga ke ujung lidahnya sebagai ritual terakhir untuk mencicipi rasa kopi goyangnya sebelum dipersembahkan kepada pembeli. 

 

"Kopi goyang sudah siap, Mas Joni!" teriak Bu Inah dari dapur. 

 

Aku sudah tak sabar mencicipi kopi goyang Bu Inah. Jujur aku sangat penasaran dengan rasa kopi hasil goyangan dan geyolan Bu Inah, benar-benar istimewa atau hanya sekedar 'hoax' belaka. Belum sempat aku mencicipi kopinya, pak tua yang berada di hadapanku berdiri dan mengulurkan tangannya.

 

"Aku Darsono, yang baju merah Tejo, dan yang kaos putih Minto," tutur Pak Darsono memperkenalkan diri dan kedua temannya yang duduk di sampingnya. Umur mereka kelihatannya sama, hanya Tejo yang terlihat lebih muda dari keduanya. Kuperkirakan umur Tejo dan umurku tak jauh berbeda.

 

"Dulu Tejo pernah meminang Dysta, tapi batal nikah karena tak mendapat restu dari mamanya Dysta," ucap Pak Darsono sambil tertawa. Pak Minto dan Tejo pun ikut tertawa.

 

"Sampai sekarang aku masih teringat mata belok, bulu mata lentik, dua lesung pipi, dan senyum manis Dysta yang menggerogoti tubuhku. Sepertinya aku tidak salah meminangnya," sahut Tejo sambil tertawa.

 

"Hubungan Tejo dengan Dysta tak bertahan lama, Tejo takut disemprot dengan daun sirih dan buah pinang oleh mamanya Dysta" Pak Minto menimpali ucapan Tejo. Kemudian mereka bertiga kembali tertawa bersama.

 

"Tapi untungnya Surti si Janda Kembang mendengar curhatanku dan mau bersanding di pelaminan menggantikan Dysta," balas Tejo dengan bangganya.

 

"Tapi Surti beranak dua, sedangkan Dysta masih perawan ting-ting," kata Pak Darsono kemudian tertawa.

 

"Maka dari itu sampai sekarang aku masih teringat mata belok, bulu mata lentik, dua lesung pipi, dan senyum manis Dysta yang menggerogoti tubuhku. Sepertinya aku tidak salah pernah meminangnya," sahut Tejo sambil memutar-mutar potongan pisang goreng yang tinggal setengah. Mereka kembali tertawa. Tejo juga terlihat tertawa bersama mereka. 

 

Aku suka tipe orang seperti Tejo yang dengan bangga menertawakan dirinya. Sekarang sudah jarang ada tipe orang seperti Tejo, kebanyakan tipe orang di pasaran adalah suka menertawakan orang lain daripada menertawakan dirinya.

 

Aku pun ikut tertawa bersama mereka, bahkan tawaku lebih keras dari tawa mereka. Aku tertawa karena Tejo sampai sekarang masih teringat mata belok, bulu mata lentik, dua lesung pipi, dan senyum manis Dysta yang menggerogoti tubuhnya. Sepertinya dia salah pernah meminangnya.

 

Tubuh Tejo sekarang benar-benar tinggal tulang-belulang dan kentut saja. Senyum manis Dysta telah tega menggerogoti tubuhnya, bahkan sampai ke dalam tulang-tulangnya. Kemudian tawaku kembali membahana.

 

"Apakah ada yang mengenal tukang taman yang pernah bekerja di rumah besar seberang sana?" potongku kepada mereka. Tiba-tiba mereka berhenti tertawa, suara bergemuruh menjadi hening seketika. Bagai angin puting beliung yang telah memporak-porandakan seisi warung sudah pergi dan berpindah, hanya meninggalkan angin sepoi-sepoi yang tenang, hening, hanya sisa buing-buing kulit kacang dan putung rokok yang masih mengepul mengeluarkan asap tanpa suara.

 

"Maksudmu Pak Dasuki?" celetuk Tejo memecahkan keheningan.

 

"Dia sekarang menjadi Lurah di desa ini," timpal Pak Darsono sambil minum kopi dari tatakannya.

 

"Agak sulit menemui Pak Dasuki saat ini, beliau sangat memilih-milih tamunya. Misalnya kami-kami yang datang ke rumahnya, kemungkinan besar hanya ditemui oleh anak buahnya," ujar Tejo setelah menyulut rokok kretek yang diapit dengan kedua ujung jarinya.

 

"Kenapa kamu menanyakan Pak Dasuki?" cakap Pak Minto sambil memandang kembali tubuhku dari atas sampai bawah, seolah belum pernah bertemu denganku sebelumnya. Mungkin dia sedang menggerayangi maksud dari pertanyaanku.

 

"Aku ingin mengetahui cerita tentang rumah besar yang berada disana, ada orang tua yang sedang dikurung di bangunan kecil yang ada di belakang rumah," paparku kepada mereka.

 

"Oh, Supardi? Dia adalah ayah Dysta. Dia punya rumah di dekat sini, tapi sudah diambil alih oleh Pak Lurah karena Supardi telah dianggap gila semenjak sering berkunjung ke rumah besar yang ada disana," ungkap Pak Darsono sambil membersihkan sisa makanan di sela-sela giginya. Mengambil kotoran yang tertancap di ujung tusuk gigi dengan tangannya, membaunya, kemudian membuangnya di kolong meja.

 

"Apakah Pak Lurah terlibat dengan kejadian itu?" tanyaku untuk menghilangkan rasa penasaran yang sudah memuncak sampai di ujung kepala.

 

"Sudah pasti terlibat. Pak Lurah yang menyeret, memasukkan ke dalam mobil, dan membawanya ke rumah besar yang ada di sana untuk mengurungnya," sambung Pak Minto dengan santainya.

 

"Mamanya Dysta bagaimana?" lanjutku bertanya.

 

"Justru Durgandini-lah yang mengusulkan agar suaminya dikurung di sana. Kami mencium ada bau kedekatan antara Pak Lurah dengan Durgandini," penjelasan Pak Minto masih dengan santainya.

 

Ternyata nama nenek tua pemakan sirih itu adalah Durgandini, seperti nama penyihir tua yang ada di sinetron Angling Dharma. Namun aku merasa sedikit lega. Aku sudah menemukan garis merah atas kejadian ini, setidaknya aku punya bahan obrolan dengan Dysta.

 

Aku akan menyusun sebuah sebuah rencana dengan Dysta. Aku pamit kepada ketiga bapak-bapak yang ada di warung Bu Inah. Bersalaman sebelum akhirnya mengundurkan diri dari sana.

 

"Bu Inah, ini uangnya. Sekalian bayar punya bapak-bapak yang ada di sana, ya. Kembaliannya untuk Bu Inah," ucapku kepada Bu Inah sambil memberi selembar uang berwarna merah.

 

"Terima kasih, Mas Joni," sahut Bu Inah sambil menunjukkan semua gigi depannya. Senyum Bu Inah juga sangat indah meskipun masih kalah dengan senyum manis Dysta.

 

"Nitip salam kepada Dysta, ya! Sampai sekarang aku masih teringat mata belok, bulu mata lentik, dua lesung pipi, dan senyum manis Dysta yang menggerogoti tubuhku. Sepertinya aku tidak pernah salah telah meminangnya," teriak Tejo sambil tertawa. Mereka pun turut tertawa. Aku juga terpaksa ikut tertawa walaupun hanya sebatas basa-basi saja.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status