Share

MENGUNGKAP IDENTITAS LAKI-LAKI TUA (POV GULA PASIR)

Aku dan ratusan juta butir gula ditampung dalam satu wadah oleh perempuan cantik, bermata belok dengan bulu mata lentik, berbibir tipis, bersenyum manis, berhidung mancung, dengan tubuh sintal, seakan membopong dua bola ketika menyilangkan kedua tangannya di depan. Panas, pengap, tanpa ada sirkulasi udara, sesak, sakit di sekujur tubuh akibat saling tumpang tindih, betapa menderitanya berada di dunia ini.

 

Keadaan seperti ini bukan hanya sekali dua kali kami alami, tapi berulang-ulang kali. Kami akan menceritakan bagaimana roda kehidupan berputar dalam hidup kami. Kami lahir sebagai tebu yang ditanam, dirawat dan disayangi oleh penanam kami. Disiram, dipupuk, dibersihkan dan dilindungi dari ancaman semut dan serangga-serangga yang berniat buruk kepada kami. Sampai beberapa bulan hingga kami tumbuh dewasa dan terlihat matang dimata penanam kami.

 

Masa-masa itu adalah masa bahagia bagi kami, bisa berkumpul dan tumbuh dengan jutaan batang tebu disekitar kami. Canda, tawa selalu tercipta setiap hari. Jutaan obrolan tentang cita-cita menjadi rutinitas penyambut pagi. Terbitnya matahari adalah anugerah terindah yang tak henti-hentinya kami syukuri. Betapa Tuhan sangat menyayangi kami.

 

Kami pernah dengar obrolan dari penanam kami bahwa Tuhan akan menguji hambanya yang disayangi. Tapi kami sama sekali percaya dengan ucapan penanam kami. Tuhan sangat menyayangi kami, mana mungkin Dia akan tega menguji kami. 

 

Hingga datang hari penebangan massal. Tanpa belas kasihan para penebang mengayunkan parang ke tubuh kami, hingga tak satu pun dari kami yang mampu berdiri. Kami tak bisa melawan, kami hanya pasrah dan berdo'a yang terbaik untuk kami.

 

Kami dikumpulkan menjadi satu di atas bak truk pengangkut, tak diberi kesempatan barang sehari pun merasakan istirahat setelah parang menebas tubuh kami. Bertumpang tindih di atas bak truk adalah pengalaman pertama kami sebelum akhirnya berkali-kali mengalami saling tumpang tindih dalam hidup yang kami jalani.

 

Penderitaan tak berhenti sampai disitu, tubuh kami digiling berulang kali, dipanaskan, diendapkan, disaring, kemudian dipanaskan lagi dengan suhu di atas seratus derajat celcius sampai menguap. Proses berubah wujud menjadi uap adalah satu proses yang sangat menyiksa bagi kami. Hingga suhu mulai dingin dan mengkristal. Selanjutnya kami dimasukkan ke dalam mesin pemutar untuk diputar berulang kali dan didinginkan sampai tubuh kami menjadi bersih dan padat kembali dalam bentuk kristal.

 

Kami bisa mengambil hikmah dari semua penderitaan yang kami lalui, kami menjadi putih, bersih, dianugerahi dengan rasa manis sehingga banyak hewan dan manusia yang suka kepada kami. Kami sangat bahagia bisa berkumpul di wadah ini meskipun harus tumpang tindih dengan ratusan juta teman-teman kami. 

 

Perempuan cantik yang sering main ke dapur menjadi salah satu penghibur bagi kami setiap hari. Tuhan masih sayang kepada kami dengan mendatangkan perempuan itu sebagai bahan cuci mata dan bahan obrolan bagi kami. Menikmati cantiknya perempuan itu merupakan kebahagiaan tersendiri bagi kami.

 

Petang ini, perempuan cantik itu mengambilku dan ribuan temanku dengan sebuah sendok kecil yang ada di tangannya. Memindahkanku dan ribuan temanku ke dalam satu cangkir dan ribuan temanku yang lain ke dalam cangkir yang berbeda. Kami hanya bisa saling pandang dari kaca cangkir untuk yang terakhir kalinya. Betapa terkejutnya ketika jutaan benda hitam yang terasa pahit menimpa tubuh kami.

 

Kemudian perempuan itu melemparkan senyumnya yang sangat manis sambil menuangkan air penderitaan bagi kami, dia menyiram kami dengan air mendidih. Kami menjerit kesakitan, namun perempuan itu tak mau mendengar, hingga perlahan-lahan suara kami menghilang larut ke dalam air mendidih. Dia mengaduk campuran kami dengan benda hitam itu memakai sendok yang telah diperalatnya. Dengan bangganya sendok itu menyiduk sedikit larutan dan memasukan ke dalam mulut perempuan yang telah memperalatnya demi memuaskan hasrat perempuan itu. 

 

"Manisnya kopi ini sudah pas," suara perempuan yang membuat sendok itu bangga.

 

Kami hanya bisa terdiam, mengetahui benda hitam yang terasa pahit itu bernama kopi. Anehnya kopi hitam pahit itu dibilang manis, tanpa mau mengakui bahwa kamilah yang membuat kopi itu terasa manis. Dia membawa dua cangkir berisi aku dan teman-tamanku ke sebuah kamar. Tak lama kemudian, benda hitam pahit yang mengotori warna larutan kami mengendap ke bawah cangkir.

 

Dia mengangkat dan mencium aroma kami. Dia bilang aroma kopinya mantap. Tanpa sadar yang dicium sebenarnya adalah aroma penderitaan kami. Aku tak mengerti kenapa dia terus memuji benda hitam itu? Dia meletakkan kami di atas meja, melangkah ke bawah jendela dan menatap ke arah langit yang mulai menghitam. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, wajahnya pun terlihat muram.

 

Tak berselang lama terlihat ada seorang laki-laki tampan memasuki kamar mengarahkan langkahnya ke sisi perempuan itu. "Dysta, siapa laki-laki tua yang berada di bangunan kumuh dan hampir runtuh di belakang rumah utama? Aku baru saja dari sana," tanya laki-laki itu kepada perempuan yang memberikan penderitaan bagi kami.

 

Dysta hanya diam, tak menghiraukan ucapan laki-laki yang berada di sebelah kananya. Laki-laki itu semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Dysta, pandangannya mulai menyusuri wajah hingga kaki Dysta. Tangan kirinya perlahan melingkar ke pinggul sebelah kiri Dysta, namun Dysta masih saja diam. Seakan diberi kesempatan, laki-laki itu mendekatkan bibirnya ke bibir Dysta, anehnya Dysta tetap diam.

 

Aku hampir tak sanggup melihatnya, tapi tak kusangka laki-laki itu menghentikan tindakannya. Dia memutar bibirnya ke telinga kanan Dysta, "Kamu belum mandi, ya?" bisik laki-laki itu terdengar lirih, sontak aku ingin tertawa mendengarnya. 

 

Wajah Dysta berubah menjadi merah padam, tangannya mengarah ke belakang kepala laki-laki itu, meraih dan mengarahkan ke bawah. Laki-laki itu hanya menurut, mukanya juga mulai terlihat memerah ketika bibir Dysta menempel pada daun telinganya. "Aku juga dari sana, Mas," desis Dysta di telinga laki-laki itu. Sontak wajah laki-laki itu berubah menjadi merah padam, sama persis seperti muka Dyata barusan. 

 

Aku tak tahu apakah geli menjalar keseluruh tubuhnya, atau karena menahan nafas cukup lama agar bau badan Dysta tidak menyeruak memasuki hidungnya. Kini laki-laki itu bisa memaklumi bau badan Dysta, karena tau kurungan orang tua itu sangat pesing bercampur dengan bau kotoran yang sudah mengering.

 

Mereka berdua terdiam, mengarahkan pandangannya keluar jendela. Menatap langit yang mulai menghitam. Aku tak tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan, menunggu bintang-bintang yang tak kunjung datang, kah? Rasa penasaranku memuncak, apa yang sebenarnya terjadi pada mereka? Jujur, aku sangat gemas melihat tingkah mereka.

 

Tak terasa suhu air mendidih yang menyiramku sudah turun menjadi hangat, sehangat hubunganku dengan kopi yang sudah mengendap di dasar cangkir. Bersama terendapnya kopi di dasar cangkir, terendap pula rasa sakitku yang tersiram air mendidih barusan. Aku heran, kenapa segala yang ada di dunia ini sangat cepat berubah?

 

"Orang tua yang dikurung itu adalah ayahku, Mas." suara Dysta mengejutkanku. Laki-laki itu pun sama terkejutnya denganku, dia menoleh sekuat tenaga ke arah Dysta. Aku yakin laki-laki itu sangat kaget mendengar pengakuan Dysta.

 

"Apa benar warga yang mengurungnya di sana?" tanya laki-laki itu kepada Dysta.

 

"Sebenarnya warga hanya menganggap dia gila dan memukulinya rame-rame di warung Buk Inah. Mama memergoki mereka, mama juga yang mengusulkan agar ayah dikurung di sana," ungkap Dysta kepada laki-laki di sebelahnya.

 

Aku tak tahu apa yang dirasakan Dysta, yang pasti dia sangat sedih. Ingin rasanya aku memasuki tubuh Dysta, menyatu dengan jiwa dan hatinya, agar aku bisa merasakan apa yang dirasakan olehnya. 

 

Sepertinya Tuhan mendengar keinginanku, Dia mengarahkan Dysta ke cangkirku, mengangkat dan menempelkan bibir manisnya ke bibir cangkirku. Perlahan-lahan aku pun terseret mendekati bibir Dysta. Kebahagiaan terakhirku adalah bisa menikmati keindahan bibir Dysta dari dekat sebelum dia meminumku.

 

Aku sangat bersyukur kepada Tuhan, meskipun memberikanku banyak penderitaan, tapi Dia menyatukan jiwaku dengan jiwa Dysta. Aku sangat bersyukur atas anugerah terindah yang sangat menakjubkan bagiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status