Share

KURA-KURA MILIK DYSTA

"Bagaimana ceritanya mamamu tega memasukkan ayahmu ke dalam kurungan itu?" terucap tanya di bibirku kepada Dysta yang sedang memandangi langit hitam dengan mata nanar. Dari balik matanya aku tahu ada yang sedang disembunyikannya, atau sebenarnya Dysta ingin bercerita sesuatu tapi tak tahu harus mengawalinya dari mana.

 

"Dulu ada seorang tukang taman bekerja di rumah ini, namanya Pak Darto. Dia sangat dekat dengan mama, aku pun sangat dekat dengannya. Jika ada waktu luang, Pak Darto selalu mengajak aku main. Aku sangat senang bermain dengan Pak Darto. Usiaku masih sebelas tahun ketika itu," bibir Dysta membentuk lengkungan senyum yang sangat indah ketika bercerita. 

 

Namun, air mata seakan tak menunggu persetujuan dari Dysta untuk meluncur keluar, buliran hangat itu mengalir deras di tengah senyuman Dysta. Aku sungguh tak paham apa yang sedang dirasakan Dysta, lagi sedih ataukah senang.

 

Pikiranku sama sekali tak bisa membaca air muka Dysta ketika bercerita. Mataku tetap fokus memandang kedua mata beloknya yang sedang mengalirkan air mata bak anak sungai kecil yang ada di belakang rumah, aku berusaha dengan sangat agar bisa mahami apa yang sedang dirasakannya.

 

Cukup lama aku menatapnya, tanganku seakan bergerak secara otomatis memanjat ke permukaan pipinya yang sedang basah, bukan untuk mengusap air matanya, tapi untuk mengambil satu bulu mata lentik yang jatuh di permukaan pipinya yang memerah. Aku tak rela jika bulu mata itu mengganggu Dysta yang sedang bercerita, karena aku pernah merasakan bagaimana gatalnya. 

 

Dysta menatapku dengan tajam, ternyata bukan bulu mata yang mengganggunya, tapi akulah yang sangat mengganggu dia bercerita. Kutarik tanganku dari pipi Dysta, menunjukkan sebatang bulu mata lentiknya, Dysta kembali tersenyum dan melanjutkan ceritanya.

 

"Aku tak tahu bagaimana hubungan Pak Darto dengan mama, yang kutahu mereka sering mojok berdua. Sering kujumpai mereka salah tingkah ketika lagi berduaan di bangunan kecil yang ada di belakang rumah. Pakaian mereka sering terlihat berantakan ketika membuka pintu saat aku selesai mengetuk pintunya." Dysta menghentikan ceritanya, tangannya berusaha mengeringkan pipinya. 

 

Kuambil sapu tangan berwarna cokelat tua dari dalam saku celana. Tangan kanan Dysta reflek meraihnya dari tanganku, tapi aku dengan segera menghentikan gerakan tangannya. Aku tak mau Dysta mengambil sapu tangan dariku, aku mau akulah yang mengusap air mata itu dan mengeringkan pipinya yang basah.

 

Tangan Dysta menghampiri tanganku yang sedang mengusap pipinya, tangan kami saling bertemu untuk menunaikan tugas yang sama. Kurasakan betapa hangatnya perpaduan telapak tangan dua orang yang sedang dilanda cinta. Mata kami bertautan di bawah jendela, langit hitam semakin pekat melihat kami dari balik jendela yang terbuka.

 

Sayangnya adegan itu tak berlangsung lama, karena aku menutup hidungku tepat di kedua lubangnya. Jujur aku tak tahan dengan bau menyengat yang diproduksi dari dalam tubuhnya, Dysta tertawa dan melanjutkan ceritanya.

 

"Kedekatan mama dengan Pak Darto tak berlangsung lama. Mereka harus berpisah ketika pemilik rumah ini memecat Pak Darto dan mengusirnya dari rumah," ucap Dysta dengan mata fokus memandang langit hitam yang masih tak kunjung indah.

 

"Kenapa pemilik rumah memecat dan mengusir Pak Darto?"

 

"Karena pemilik rumah melihat Pak Darto sedang bermain kura-kura."

 

"Kok bisa? Apa salahnya bermain kura-kura?"

 

"Karena kura-kura itu milik Dysta!" jawab Dysta dengan mata melotot kepadaku.

 

"Maksudnya?"

 

"Waktu itu Dysta masih umur sebelas tahun, Dysta main ke bangunan kecil di belakang rumah utama. Pak Darto menemui Dysta untuk di ajak main seperti biasa. Pak Darto menarik Dysta masuk dan bertanya, 'Apakah di dadamu ada sepasang kura-kura?' Dysta merasa tertantang untuk menyingkap kaos pink yang Dysta kenakan. Pak Darto terkekeh ketika melihat kedua kura-kura Dysta, dia memegang dan memainkan kedua kepala kecil kura-kura yang berwarna merah muda dengan gemasnya."

 

"Lalu apa yang terjadi?" aku bertanya dengan mata melotot kepada Dysta, tapi Dysta tetap kukuh memandang langit hitam. Sama sekali tak menghiraukan tatapan mataku yang sedang melotot kepadanya.

 

"Tiba-tiba pemilik rumah ini datang dan melihat Pak Darto yang sedang semangat-semangatnya bermain dengan kura-kura milik Dysta. Pemilik rumah ini sangat marah, beliau memukul kepala Pak Darto berkali-kali sebelum akhirnya memecat dan mengusirnya."

 

"Syukurlah," sahutku berbarengan dengan mengusap dada, aku benar-benar merasa lega setelah mendengarnya.

 

"Anehnya, sebelum meninggalkan rumah ini Pak Darto menghampiri mama yang sedang masak di dapur, dia menceritakan bahwa dia dipecat dan diusir dari rumah. Pak Darto bercerita seolah-olah pemilik rumah ini yang salah, mama sangat marah kepada pemilik rumah."

 

"Setelah itu?"

 

"Pak Darto menyusun sebuah rencana untuk membunuh pemilik rumah."

 

"Apakah dia berhasil membunuhnya?" tanyaku dengan sangat antusias kepada Dysta.

 

"Mama melarangnya, karena tahu Pak Darto tak akan menang melawan pemilik rumah. Mama merencanakan sesuatu yang lebih mengerikan. Mama berencana memfitnah pemilik rumah."

 

"Bagaimana caranya?"

 

"Mama menyuruh Pak Darto membunuh isteri dan anak pemilik rumah, kemudian berteriak kepada semua warga bahwa pemilik rumah sudah gila, dia telah membunuh isteri dan anaknya. Lalu semua warga datang dan memukuli pemilik rumah hingga babak belur. Warga sangat takut jika kejadian itu terulang kembali kepada mereka, maka warga mengurung pemilik rumah di kandang yang berada disana." Dysta bercerita sambil tangannya menunjuk ke arah kandang yang berada di bangunan kecil yang ada di belakang rumah utama.

 

"Waktu itu ayahmu dimana?"

 

"Ayahku selalu pergi ke sawah setiap matahari baru terbit dan pulang ke rumah setelah matahari hampir tenggelam. Sore itu, ketika ayah mendengar bahwa pemilik rumah dipukuli dan dikirung oleh warga, beliau langsung menjenguknya. Sejak itulah ayah selalu datang untuk mengirim makanan dan minuman kepada pemilik rumah."

 

"Karena alasan itu ayahmu menceritakan yang sebenarnya kepada warga?"

 

"Iya. Naasnya ayah juga dikurung disana bersama pemilik rumah," jawab Dysta sambil melihat kedua ujung jempol kakinya. Aku hanya bisa merangkulnya, menempatkan diriku berada di sisinya, selalu menemaninya dalam keadaan suka dan duka.

 

"Sebaiknya kita menyusun sebuah rencana agar bisa membebaskan ayahmu dari sana," bisikku.

 

Dysta masih diam, seolah ujung jempolnya lebih menarik perhatiannya daripada kata-kata yang kubisikkan di telinganya. Hal terbaik yang bisa kulakukan saat ini adalah menemani Dysta memandang ujung jempol kaki yang sama.

 

Dysta menoleh ke wajahku, aku diam, tetap fokus menatap kedua jempolnya. Kemudian Dysta menurunkan wajahnya, melihat wajahku sambil tertawa. Kami pun tertawa bersama.

 

"Apa rencanamu, Mas?"

 

"Rencanaku adalah mengikuti rencana yang akan kamu buat," kataku sambil menunjukkan senyum miring di bibirku.

 

"Dysta juga mempunyai rencana yang sama denganmu, Mas."

 

"Kalau begitu besok atau lusa aku harus buat rencana yang berbeda," ucapku dengan tegas kepada Dysta.

 

"Setuju! Dysta juga akan membuat rencana yang berbeda!" tegas Dysta sambil mengangkat tangan kanannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status