Bab 2. Bertemu Cinta Pertama
"Iya Sayang, aku akan segera terbang kesana. Tunggu aku ya," ucap Daniel sambil menatap keindahan langit dari lantai sepuluh di kantornya. Pria dewasa itu tersenyum lebar, mematikan ponselnya sejenak lalu duduk di kursi putar. Hatinya berbunga-bunga, perasaan yang sama yang ia rasakan sejak empat tahun yang lalu. Meraih gagang telepon yang tersedia di kantor, Daniel segera menelpon Angela untuk memanggil Riko—asisten pribadi sekaligus kawan lamanya untuk hadir di ruangan pribadinya. "Halo Angela, tolong panggil Riko sekarang ya." Pria itu menginstruksi lalu menutup telepon kembali. Beberapa saat kemudian, pria berwajah manis dengan kemeja hitam datang memasuki ruangan pribadi tersebut. Riko menatap Daniel, ia membungkukkan badan lalu duduk di hadapan Daniel. "Kamu tahu, untuk apa aku memanggilmu ke sini?" Daniel melempar pertanyaan pada Riko. Pria itu mengulas senyum sambil menyandarkan punggungnya di kursi putar. "Tidak tahu Tuan," ucap Riko sambil membungkuk. Daniel kembali tersenyum, ia memandang asisten sekaligus kawan lamanya itu dengan hati-hati. "Ayolah jangan bersikap formal seperti itu padaku. Aku ingin kamu memesankan aku tiket pesawat terbang ke Bali hari ini," ucap Daniel memberitahu. Ia lantas meraih kunci mobil dan menyerahkannya pada Riko. "Sekalian bawa mobilku dan serahkan kunci ini pada Devi." Riko mendongak, kali ini ia memandang Daniel dengan pandangan tajam. "Kau ingin pergi untuk berapa hari?" Daniel mengendikkan bahu, "Tidak tahu. Yang penting belikan aku tiket dulu hari ini." "Memangnya ada urusan apa kau ke Bali? Apakah ini mengenai bisnis?" Cecar Riko ingin tahu. Pria di hadapannya terkekeh, "Ya, ini bisnis. Bisnis hati maksudnya." Riko masih tak mengerti, ia memandang Daniel dengan tatapan lekat-lekat. Mendapat tanggapan yang serius dari Riko, Daniel menyudahi tawanya. "Kamu ingat dengan Anggun tidak?" lempar Daniel memberi pertanyaan. Dahi Riko mengerut, ia tampak memikirkan sesuatu hingga akhirnya ia melebarkan mata. "Anggun— teman SMA kita?" "Tepat sekali," ucap Daniel sambil menjentikkan jari. Pria itu terkekeh bahagia, "Aku ingin menemuinya di Bali." Riko termenung beberapa saat, ia menelan ludah lalu menggeleng. "Jangan bilang kamu masih memiliki hubungan sama dia, Daniel." Pria berjas hitam itu lagi-lagi terkekeh, ia menyandarkan punggungnya lagi dengan perasaan tenang. "Memangnya kenapa? Kamu takut sama Devi?" "Ingat Dan, Devi itu sangat mencintai kamu. Dia rela memberikan apa pun demi kamu tapi apa? Apa balasan kamu terhadapnya? Please, jangan aneh-aneh lagi kamu." "Oh, rupanya sahabat baikku ini mulai bersimpati pada Devi ya," ucap Daniel dengan wajah sedikit kecewa. "Tapi sayangnya aku tidak peduli lagi dengan hal itu. Yang terpenting bagiku adalah pergi mengunjungi Anggun dan merayakan ulang tahunku di sana." "Dan—" "Please Riko, jangan campuri urusanku saat ini." Daniel memotong ucapan Riko, keduanya saling pandang hingga akhirnya Daniel menghela napas panjang. "Tolong belikan aku tiket hari ini dan pulangkan mobilku." ** Perasaan Riko tidak menentu, menatap jalanan ramai di depan kantor mendadak ia merasa bodoh dan bersalah. Ya, demi pacar gelapnya itu Daniel rela terbang ke Bali dan meninggalkan istri sahnya, Devi. Meskipun selama ini Daniel tidak mencintai Devi, setidaknya ia harus menghargai keberadaan Devi di sampingnya. Merasa sahabatnya telah salah jalan, Riko terkadang merasa tidak mampu untuk menasehatinya. Setelah membeli tiket dadakan, Riko tidak lantas pergi ke kediaman Daniel. Ia perlu menyiapkan mental kalau-kalau Devi mencercanya dengan berbagai pertanyaan. Setelah senja mulai membayang, barulah pria yang berusia sebaya dengan Daniel itu memberanikan diri untuk memulangkan mobil ke kediaman Daniel di sebuah perumahan mewah. Maka dengan perasaan sama tak menentunya, Riko pergi ke kediaman Daniel dan mulai mempersiapkan diri. Tok ... Tok ... Riko mengetuk pintu dengan hati-hati. Beberapa saat kemudian pintu itu terbuka dan ... "Happy birth —" Riko dan Devi sama-sama termenung, ada perasaan canggung yang kini menimpa keduanya. "Ma-maaf, saya mengejutkan Nyonya," ucap Riko kemudian. Sumpah, di dalam hati pria itu, ia mengutuk setengah mati perbuatan Daniel yang kurang ajar. Bagaimana bisa Daniel pergi disaat Devi telah menyiapkan semuanya demi pesta ulang tahunnya?! Benar-benar Daniel k*parat. "Mas Riko, kenapa datang kemari? Mas Daniel mana?" Devi menanyakan keberadaan Daniel sambil melongok ke belakang Riko. Tentu saja Riko semakin merasa bersalah. Ya Tuhan, apa yang harus ia katakan kepada Devi? Haruskah ia jujur soal Daniel yang pergi ke Bali demi Anggun? Atau ... Ya Tuhan, haruskah ia berbohong? "Maaf Nyonya, saya datang diutus oleh Tuan Daniel. Beliau meminta saya untuk memberikan kunci mobil pada Nyonya." Riko lantas menyodorkan kunci mobil itu ke tangan Devi. "Maksudnya?" "Tuan Daniel pergi ke Bali tadi siang, ia meminta saya untuk mengembalikan kunci mobil dan juga memberitahu perihal ini pada Nyonya." "Apa?!" Wajah Devi tampak syok. Tidak biasanya Daniel meninggalkan Devi secara mendadak seperti ini. Riko semakin menyesal, terlebih saat melihat wanita itu terhuyung mundur dengan perasaan cemas, kalut menjadi satu. Ya Tuhan, dosa apa yang sudah Riko perbuat? Kenapa ... kenapa ia tidak bisa melakukan apa pun di saat seperti ini?! "Nyonya, maafkan saya." Riko menunduk, "Saya baru bisa memberitahu Anda sekarang. Maafkan saya Nyonya." **Bab 70. Ayah BaruAku dan Riko kini akhirnya bisa hidup satu atap. Setelah pernikahan, aku diboyong dan tinggal di sebuah perumahan yang cukup luas dan nyaman. Meski tidak semewah yang dulu, aku merasa hidupku jauh lebih berbahagia.Perumahan yang sekarang adalah hasil keringat Riko sejak tiga tahun yang lalu. Beruntungnya aku hanya tinggal dan menempatinya saja.Kami bertiga hidup di perumahan itu, memiliki kebun kecil yang sering kutanami sayur mayur dan beberapa jenis bunga. Tak heran jika rumahku paling hijau sendiri dibandingkan rumah-rumah yang lain.Jarak dari perumahan ke tempat kerja Riko juga tidak jauh. Tak perlu memakai mobil, Riko lebih senang mengendarai motornya untuk pergi bekerja. Benar-benar hidup yang sederhana namun bahagia."Hallo Alvaro, sudah makan belum nih? Nih ayah belikan biskuit buat kamu," ujar Riko setiap kali pulang dari tempat kerjanya di restoran.Pria itu sangat penyayang, sering mengajak Alvaro main cilukba bahkan saat ia baru pulang kerja dan capek.
Bab 69. Aku Mengaku KalahHari pernikahan telah ditentukan, seluruh keluarga kembali berkumpul untuk mendiskusikan berbagai hal mulai dari wedding organizer, konsep pernikahan, souvernir apa yang akan mereka beri untuk tamu, hingga jenis hidangan yang akan mereka suguhkan nanti.Semua orang begitu ribut membahas hal ini, beda dengan diriku dan Riko yang hanya pasrah dan menunggu clear saja.Setelah melakukan banyak persiapan yang hampir disiapkan sebulan penuh, hari bahagia itu akhirnya sampai juga di depan mata. Kami menggunakan konsep adat Jawa dimana kami memang sama-sama keturunan orang Jawa.Pernikahan digelar di sebuah gedung yang besar, mewah, meriah, dan banyak tamu yang diundang. Tentu saja penikahan kali ini tak kalah semarak dari pernikahanku yang dulu. Hanya bedanya, dulu pasanganku adalah pria dingin yang sama sekali tidak berniat untuk membalas cintaku sedangkan saat ini, pria yang berdiri di sampingku adalah pria baik hati yang akan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk
Bab 68. Kedatangan MantanMenahan napas beberapa detik, aku sadar jika kejadian seperti ini pasti bakal terjadi suatu saat. Ya, semenjak pisah dengan Daniel, aku memutuskan akur demi Alvaro. Akur di sini bukan berarti tidak ada lagi masalah, hanya saja aku memilih menghindar tiap kali bertemu Daniel.Pria itu akan datang beberapa bulan sekali untuk menjenguk Alvaro. Hanya Alvaro dan sama sekali tidak bertemu denganku. Bagaimana pun luka tetap saja luka, butuh waktu untuk benar-benar bisa menyembuhkannya."Ini bukan saat yang tepat Mas, aku masih bekerja." Aku mengucapkan alasan sambil menunduk, "mungkin nanti selepas dhuhur kamu bisa menemui Alvaro di rumah."Daniel menggeleng, tidak setuju dengan saran yang kuberikan."Tidak bisa, aku ada pekerjaan lain selepas dhuhur nanti." Daniel menolak ideku, matanya yang tajam kini memandangku, "aku bisa mengubahnya misal kau juga mau menemuiku nanti."Aku menelan ludah. Sulit rasanya menerima penawaran itu, selama ini setiap kali bertemu Alva
Bab 67. Lamaran"Iya, kamu jangan kaget." Ayah menepuk lenganku dengan lembut. "Ternyata Pak Effendi ini dulu temen perjuangan ayah waktu SMA. Kami punya hobi yang sama, sama-sama menyukai bonsai. Hanya baru akhir-akhir ini kami bertemu saat reuni sekolah."Ayah terkekeh, menggelengkan kepala sesaat. "Ternyata dunia ini tidak selebar daun kelor ya. Kukira siapa, ternyata kamu toh.""Dan yang lebih mengejutkannya lagi, si Devi ini sudah kenal Riko beberapa tahun belakangan. Bener-bener jodoh nggak sih Yah?" Ibu turut berbaur dengan perbincangan itu. Kedua keluarga saling terkekeh, berbagi kebahagiaan satu sama lain."Iya Pak, Bu, saya juga kaget ternyata ayah saya malah jauh lebih kenal keluarga ini ketimbang saya," ucap Riko dengan sopan. Pria itu sesekali melirikku yang tengah memangku Alvaro sambil tersenyum."Berarti memang benar-benar jodoh," timpal Pak Effendi mantap dan disambut tawa ceria yang lain."Oh ya Pak, Bu, silakan diminum dulu tehnya. Dimakan juga cemilannya," ucap ibu
Bab 66. Pernyataan Cinta"Ini?" Riko lalu mengalihkan pandangannya sendiri ke arah dekapannya. Ia lantas tertawa, "bukan. Ini keponakanku Dev. Anak dari kakak perempuanku, baru berusia sepuluh bulan.""Oh kirain anakmu," sahutku dengan wajah sedikit malu. Pria berkaos hitam itu hanya terkekeh sambil menimang-nimang keponakannya yang berjenis kelamin perempuan."Bukan. Aku masih single, belum memiliki istri apalagi anak," ujar Riko selaki lagi. "Oh ya, bisa kita ngobrol di sana nggak? Sambil minum kopi atau makan roti."Riko menunjuk pada salah satu stand yang menjajakan kopi dan juga roti. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Riko, tanpa basa-basi aku pun langsung mengiyakan saja."Kamu pesan apa? Aku hari ini yang akan mentraktirmu," ujar Riko setibanya di stand itu. Sambil mendudukkan keponakannya di pangkuan, Riko begitu luwes ketika memomong bayi berumur sepuluh bulan tersebut."Terserah kau saja," jawabku tanpa keberatan. Riko mengangguk, ia lantas melambaikan tangannya pada penj
Bab 65. Siapa yang Lebih Munafik?POV DeviAku masih diam, saat ini aku nggak tahu harus bersikap bagaimana. Dengan kaki gemetar, aku melangkah untuk melihat bayi mungil tersebut dari dekat.Benar saja, kini terlihat jelas bagaimana wajah, dagu, alis, hingga warna kulitnya sama persis dengan Daniel. Aku menelan ludah, bagaimana pun aku benar-benar seperti ditusuk dari belakang oleh Daniel. Dia bilang nggak berbuat, dia bilang mungkin itu bayi orang lain tapi apa? Buktinya bayi ini bahkan amat sangat mirip dengannya. Memang, dosa akan bicara pada waktunya."Lihat Dev, bayinya mirip dengan Mas Daniel bukan?! Aku tidak berbohong. Aku memang hanya berbuat dengan dia seorang," ucap Anggun sambil menarik tanganku dengan lembut. "Tapi aku nggak tahu harus kukemanakan bayi ini. Mas Daniel terus saja mengelak, ia tidak ingin mengakui anak ini."Anggun mulai terisak, ada kesedihan di wajahnya kali ini. Sebagai seseorang yang sudah menjadi ibu, tentu saja aku tahu bagaimana perasaan Anggun saat