"Kamu serius, Fan? Atau aku yang salah dengar?"
"Aku serius. Kami sudah menikah secara siri."
Kalimat Rafan menghancurkan benteng yang berusaha aku bangun. Tidak ada sakinah lagi dalam rumah tangga kami karena istana kedua sudah ada. Luka yang terpatri dalam hati, aku yakin tidak akan pulih kecuali ada kehendak dari Tuhan.
Tangan kiri ini meremas kuat piyama tidur yang aku kenakan. Sesak dalam dada semakin menjadi, aku lemah hingga jatuh ke lantai. Lelaki itu tetap diam di tempat menyaksikan luka membunuh istrinya secara perlahan.
"Kamu baik-baik saja, Raline?"
Pertanyaan yang bodoh. Lelaki itu kerasukan setan mungkin sampai tidak bisa membedakan ketika aku senang atau terluka. Seharusnya segera mengangkatku ke tempat tidur sekaligus meminta maaf atas kesalahannya, lalu berjanji tidak akan mengulangi.
Mungkin, ini hanya sekadar harapan yang terpendam dalam hati. Nyatanya Rafan tidak melakukan itu, kakinya seperti terpaku di bumi. Untuk sesaat karena sekarang malah masuk kamar mandi.
***
"Beri aku nomor W* Marsha, aku ingin bertemu dengannya."
"Tidak, untuk apa kalian bertemu?" Rafan menolak sambil merapikan dasinya di depan cermin.
"Ada hal yang harus aku katakan padanya. Sebagai adik madu, Marsha harus tahu banyak hal tentangmu juga aku."
Tanpa banyak bicara, Rafan mengeluarkan ponsel dan mencatat di kertas kecil. Aku bernapas lega sekaligus berdebar dalam detik yang sama. "Dengan bertemu Marsha, hatimu akan semakin terluka," gumam Rafan, lalu melangkah keluar dengan membawa tas.
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku mengirim pesan aksara via W* pada nomor itu. Tidak lain adalah ajakan bertemu di sebuah cafe dekat sini, semoga dia menyanggupi.
Marsha : Kamu siapa mengajak bertemu segala?
Aku : Istri pertama suami kita, Rafan Aditia.
Marsha : Oke, jam dua siang.
Begitu cepat waktu bergulir, kini aku sudah berada di cafe dan duduk di kursi dekat pintu utama agar Marsha bisa langsung menebak. Cukup dengan memakai gamis dan make up minimalis sesuai kesukaan Rafan.
Lima belas menit berlalu, perempuan itu belum juga datang. Dengan perasaan kesal, aku kembali mengirim pesan menanyakan posisinya. Tidak ada balasan padahal centang dua sudah berwarna biru.
"Hai, Raline!" sapa seseorang. Aku mengangkat wajah, lalu mengamati. "Aku Marsha, istri kedua Rafan."
Benar kata Rafan bahwa dengan bertemu Marsha akan membuat hati ini semakin sakit. Namun, aku tidak boleh mengalah begitu cepat karena itu hal wajar dalan perkenalan diri. Dengan cepat bibir mengukir senyum tepat ketika perempuan itu duduk.
Istri siri Rafan ini memang cantik dengan model rambut kekinian. Pakaiannya lumayan ketat hingga menampilkan lekuk tubuh. Aku jadi penasaran kenapa Rafan jatuh cinta padahal tidak menutup aurat.
"Aku cinta pertama Rafan. Kami kenal sejak SMA, ia mengejarku berbulan-bulan. Ketika Ujian Nasional sudah selesai, aku mengaku menerima cintanya. Akan tetapi, takdir memisahkan kami karena ada pengusaha yang meminangku," jelas Marsha tanpa kuminta.
"Lalu, kamu menduakan suami sendiri?"
"Tentu saja tidak. Aku sudah dicerai, tinggal menunggu surat resmi. Kami berpisah karena mantan suamiku tahu tentang Rafan. Mereka sempat berkelahi."
Kedua tanganku terkepal dengan rahang mengeras. Pantas saja Rafan pernah pulang dalam keadaan babak belur. Ternyata berkelahi dengan suami selingkuhannya. Sementara waktu itu ia mengaku dikeroyok preman. Aku sampai menangis semalaman karena merasa kasihan.
Air mata itu, aku menyesal telah mengizinkannya jatuh membasahi pipi. Perbuatan Rafan sangat tidak pantas untuk dikasihani.
"Lalu, kenapa kamu tertarik ingin bertemu denganku, Lin? Apakah untuk mengetahui Rafan akan memilih istri sah atau sirinya?"
Diam-diam aku menelan saliva, lalu menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Pasalnya rasa sesak memenuhi rongga dada. Ingin menangis, tetapi tidak sanggup. Lagi pula malu jika menjadi tontonan, di depan Marsha pula.
"Aku perhatikan kamu ini perempuan baik-baik. Rafan tega sekali menduakanmu, Lin. Lagian jika kita saling berebut posisi, aku yakin akan menang dengan mudah!" lanjut Marsha.
"Kenapa seyakin itu?"
"Karena kamu lemah!" tegasnya, lalu berdiri. Aku dengan gerak cepat mencekal tangannya. Marsha melirik tajam.
"Duduklah, pembahasan kita belum selesai. Kamu harus tahu kalau aku tidak semudah itu untuk mengalah."
Marsha tertawa mengejek membuat hati seakan tercabik berulang kali. Namun, aku harus tetap tegar dan menahan air mata agar tidak membentuk anak sungai di pipi. Tanpa merespons apa pun, perempuan itu melangkah ke luar setelah meletakkan tiga lembar uang merah.
Notifikasi W* mengusik perhatian. Ketika aku cek, rupanya dari perempuan tadi.
Marsha : Pakai uang itu ke salon, aku kasihan melihat kulitmu yang tidak terawat. Jika ingin bersaing, maka harusnya rawat diri. Mata suami itu mau dimanjakan dengan yang bening. Seperti aku misalnya.
Bersambung
POV AUTHORBaru saja selesai mandi, Raline merasakan nyeri di bagian pinggangnya. Dia memanggil Rafan dengan suara sangat lemah. Beruntung lelaki itu memang berada di depan kamar. Melihat sang istri kesakitan, dia langsung membopongnya."Kenapa, Sayang?" tanya Rafan khawatir."Sakit, Fan. Kayaknya udah mau lahiran deh!" pekik Raline sambil memejamkan mata. Dia benar-benar lemah.Rafan dengan gerak cepat membawa sang istri ke mobil. Di depan dia bertemu sahabatnya. "Raline mau lahiran, kalian tolong bawa perlengkapan, susul segera!""Oke, Fan!" Mei dan Farah melangkah cepat sementara mobil yang membawa Raline sudah meninggalkan halaman rumah. Ibu Raline memilih tidak ikut karena terlalu takut. Dia berdoa di rumah saja.Setibanya di rumah sakit tepat di ruang persalinan setelah tiga jam menunggu, Raline mengalami kontraksi hebat. Para perawat dan bidan yang sejak tadi menunggu mulai mengecek pembukaan.Sementara di ruang tunggu, Farah d
Mentari pagi telah menyapa begitu hangat. Hujan tadi malam menyisakan genangan yang berangsur hilang. Aku jalan-jalan pagi di depan rumah sambil melafazkan zikir untuk perlindungan dari mata jahat.Sepagi ini pula Rafan menyalakan mesin motor dan melajukan menuju pasar karena harus membeli tiga potong ayam ukuran jumbo. Mei dan Farah itu raja makan sehingga kalau dua potong saja tidak akan cukup.Tidak lupa aku menitip beberapa cemilan juga pada Rafan karena ingat pada Salsa. Ah, bukan sepenuhnya pada anak Mei itu tetapi juga ibu dan sahabat ibunya.“Olaraga, Bu?”Aku menoleh, rupanya itu Diva dan Sita. Baru kali ini aku melihat Diva memakai gamis dan jilbab panjang.“Iya.”“Kamu gak nanya aku mau ke mana?”“Enggak.”“Meski gak nanya aku tahu kamu kepo, Lin. Aku sebenarnya lagi jogging ngikutin calon suami. Ya sudah, bye!”Aku memutar bola mata malas, sungguh ti
“Jika sabar itu ada ujungnya, mungkin aku telah menjauh dari sumber luka. Jika sabar itu tidak berbuah surga, maka tidak mungkin aku terus bermain dalam taman penuh luka. Pun jika sabar menghadapi cobaan bukan bagian dari titah dalam agamaku, maka aku akan berlari dari takdir.”—Putri Raline.***Seperti hari-hari sebelumnya aku hanya bisa banyak bergerak di depan rumah. Rafan membuka toko lebih pagi karena ada Ibu yang membantu kami mengurus rumah. Tidak ada agenda jalan-jalan seperti pasangan pada umumnya.Dulu kami selalu menanti weekend, sekarang semua hari pun sama saja. Tidak harus liburan ke luar juga karena kondisi yang tidak memungkinkan. Ibu hamil sebaiknya banyak di rumah dan olahraga kecil agar proses lahiran lancar.Matahari sudah semakin menyengat, aku kembali masuk dalam kamar karena keringat sudah sedikit membasahi tubuh. Aku langsung masuk kamar mandi agar tubuh segar lagi.Setelah mandi dan mengenakan daster ukura
“Percayalah! Beratnya memaafkan bukanbesarnya kezhaliman orang kepadamu, melainkan hatimu yang kurang luas untuk menampung semua beban.Kala hatimu lapang, kesalahan orang hanyalah warna-warna gelap yang justru memperkaya lukisan di kanvas kehidupanmu.”—S.Aminah Al Attas***“Ibu bahas apa saja sama Rafan?” tanyaku saat Ibu tengah mencuci piring bekas makan tadi.“Ibu bahas semua yang kamu ceritakan. Kenapa memangnya?”“Rafan belum mengajak kamu ngobrol semalam?” tanya Ibu lagi setelah hening dua menit. Ia ikut duduk di kursi meja makan.“Belum, Bu. Aku pura-pura tidur karena mau tahu dulu Ibu bahas apa saja.”Ibu hanya tersenyum, lalu memintaku menyusul Rafan dalam kamar. Tanpa menunggu waktu lagi kaki menuntun diriku masuk kamar.Aku meraih gagang pintu dan membuka perlahan. Rafan terlihat duduk di kursi rias seperti sedang latihan drama atau entahlah.
Jam sepuluh pagi aku baru selesai mandi karena lepas salat subuh tadi ketiduran. Bagaimana tidak tidur, sepanjang malam begadang karena jadi langganan kamar kecil.Setelah makan, aku melangkah pelan ke toko menghampiri Rafan. Butuh beberapa menit baru sampai, ternya sedang sepi. Mungkin baru pulang atau entah.Dari dalam muncul Diva sambil tersenyum manis. “Rafan, sejak kapan ....”“Anu tadi, an–”“Tadi ke sini karena ada satu hal. Kalau begitu aku pulang dulu, ya.”“Fan, jangan lupa. Siang atau sore nanti aku balik,” tambah Diva, lalu melenggang pergi.Aku diam menantikan penjelasan. Namun, lelaki itu hanya bisa menunduk. Entahlah, aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya.“Assalamualaikum.”Aku menoleh pada pemilik suara itu. Ia tersenyum, di kantong mata dan beberapa bagian wajahnya tergambar keriput.“Waalaikumussalam, Ibu,&rdqu
[Kamu ke sana jam berapa, Lin?]Pesan WhatsApp pribadi yang dikirim Mei subuh tadi baru aku baca setelah hampir pukul delapan pagi.[Jam delapan, insya Allah, Mei. Kamu sama siapa?][Nebeng sama sepupu. Kebetulan ia mau keluar dan lewatin rumah Farah.][Oke, kalau begitu kita ketemu di sana saja.][Sip.]Aku meletakkan ponsel dan melangkah ke cermin. Sudah bagus dengan make up minimalis. Untung saja Farah ingat kalau aku sedang hamil tua jadi diberi baju ukuran jumbo.Rafan pun telah siap, aku gegas mengambil tas kecil berwarna putih, lalu melangkah ke luar bersama Rafan. Diva berdiri setelah melihat kami.Sejak pukul enam pagi tadi ia sudah ada di sini. Entah ia mandi sebelum subuh atau entahlah. Make up ia poles di ruang tamu, bahkan jilbabnya sekalian. Ia benar-bemar tidak ingin ketinggalan.Aku jadi semakin penasaran seperti apa rupa calon suaminya. Ia memakai dress warna silver untung saja tidak senada dengank
“Hunna libaasun lakum wa antum libaasun lahunna. Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka.”—QS. Al-Baqarah ayat 187.***Badai pernikahan pasti berlalu meski dalam waktu yang lama. Aku hanya harus bersabar sedikit lagi. Tentang foto Marsha kemarin, biarlah dilupakan dahulu.Aku menghampiri Rafan yang tengah menyeduh teh hangat. Besok pernikahan Farah, barangkali ia lupa. “Fan?”“Raline. Duduklah!”“Besok kita ke nikahan Farah, 'kan?” tanyaku setelah mengempas bokong di kursi.“Insya Allah, kenapa?”“Aku pikir kamu lupa.Rafan memamerkan gigi putihnya. Benar-benar bosan kala pembicaran habis. Seperti anak remaja akan badmood saat tidak ada bahasan yang harus dibahas lagi.Entah untuk pacar, sahabat atau gebetan. Tepatnya kehabisan kata-kata.Sudah tiga hari hujan mengguyur menjadikan pakaian kadang tidak kering te
“Aku pulang dulu, ya, Lin. Sudah mau pukul lima sore. Nanti orang di rumah nyariin lagi,” ucap Farah dengan raut sedih.Memang kami sering bertemu, tetapi ketahuilah bahwa jika kita punya teman yang bisa membawa kedamaian pasti akan selalu rindu untuk bertemu dan seperti itulah kawan terbaik. “Hum.”“Tenang saja, aku bakal ke sini lagi. Namun, harus kamu dulu yang datang ke pernikahan aku.”“Aku hamil tua, Far.” Aku mengucapkan kalimat itu dengan suara sedih. Dilema.“Yang penting hadir. Kamu sama Mei di dalam kamar saja. Nanti aku sediain kamar si samping kamar pengantin khusus untuk sahabat tercinta. Oke?”“Jangan mencoba beralasan lagi atau persahabatan kita cukup sampai di sini.”“Kalau misal aku lahiran?”“Kamu boleh tidak hadir kalau lagi sakit, lahiran atau semoga enggak, meninggal. Oke?”“Insya Allah, Farah. Kamu sahaba
Minggu ini Rafan izin jogging sebentar karena badannya pegal. Aku mengiyakan dengan syarat tidak membawa ponsel dan dompet. Jika membawa keduanya tentu bisa jauh perginya.Teringat saat pertama ia bertemu dengan Diva. Hal itu bisa terjadi lagi jika tidak berusaha dihindari. Netra memandang ke nakas, di sana ada dompet Rafan sementara ponsel ia charger.Aku beranjak dari kursi rias, lalu menuju nakas. Dompet kulit berwarna cokelat kini dalam genggaman. Sungguh sudah lama aku tidak memegan dompet ini sehingga penasaran dengan isinya.Ada dua atm di sana yang aku tidak tahu berapa saldonya. Aku cek lagi ada beberapa lembar uang merah bergambar presiden pertama, Soekarno Hatta. Namun, saat melihat ke arah KTP, jantung berdebar cepat karena ada sesuatu yang mengganjal.Aku mencopot KTP itu dan ternyata berhasil membuat lidah kelu. Jantung memompa cepat dan aku langsung menjatuhkan diri di tepi ranjang.“Foto Marsha?” gumamku.Pa