Share

PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU
PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU
Penulis: Betti Cahaya

Tragedi Besar

Penulis: Betti Cahaya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-27 06:21:20

"Ada yang Bunu* diri!"

"Ada yang lompat di jembatan!"

"Ada yang jatuh!"

Suara teriakan segerombolan remaja laki-laki itu menggema, mengguncang udara sore yang mulai gelap, suasana yang harusnya tenang kini menjadi gaduh. Warga yang mendengar langsung bergabung berlarian ke arah jembatan.

Beberapa memekik ngeri, yang lain hanya terpaku dengan wajah tegang. Dari bawah jembatan, suara air sungai mengalir deras bertemu bebatuan menambah suasana mencekam.

Teriakan warga cukup mengusik Utari yang sedang termenung di terasnya, hatinya patah setelah ditinggal kekasihnya menikah. Namun kegemparan ini mengalihkan perhatiannya.

"Ada yang lompat di jembatan!"

Bu Ratna dan Pak Jamal --orang tua Utari, keluar dari rumah, menyambut teriakan warga yang menyebarkan kabar yang sangat tabu dengan wajah yang terkejut dan tidak percaya. Mereka bertiga saling menatap dan bertanya lewat pandangan mata.

"Bener enggak itu? Masa sih?" tanya Bu Ratna tidak percaya hal semengerikan itu terjadi di kampungnya.

Pak Jamal memanggil seorang dari remaja yang ikut berbondong ke arah jembatan. "Siapa yang bunu* diri?"

"Mas Bhama katanya, Pak!" jawab anak itu.

"Bhama?" ulang Pak Jamal kelu.

Bu Ratna dan Pak Jamal langsung menatap Utari dengan cemas.

Sementara Utari menegang, tubuhnya kaku. Nama yang disebut-sebut warga itu membakar telinganya, setengah mati dia berharap indra pendengarnya itu salah.

"Bhama ...," bisik Utari pelan, hampir tak terdengar. Napasnya memburu, tanpa berpikir panjang Utari berlari mengkuti para warga menuju jembatan di perbatasan kampung.

"Tari jangan!" cegah Bu Ratna dan Pak Jamal, tapi percuma.

Utari berlari seiring dunia yang mendadak bisu ditengah ketakutannya. Ketika dia sampai di sana, kerumunan warga sudah memenuhi tepi jalan. Mata mereka tertuju ke dasar sungai dengan pandangan ngeri, di mana tubuh seorang pria terbujur di antara bebatuan, tak lagi bergerak.

"Wah iya, Bhama!"

"Ya Alloh, kenapa Bhama?"

"Penganten baru, harusnya lagi anget-angetnya, kenapa malah nyari mati begini?"

“Jangan dekati! Itu sudah urusan polisi!” teriak seseorang yang mencoba mengatur kerumunan. Tapi suara itu tenggelam dalam kekacauan.

Utari berdiri di pinggir jembatan, cukup dekat untuk melihat semuanya. Matanya membelalak, dadanya sesak, seolah ada tangan besar yang mencengkeramnya kuat-kuat.

Itu Bhama, tubuh yang dulu dia peluk dengan penuh cinta. Kini tergeletak kaku di antara bebatuan sungai.

Air mata tidak langsung keluar. Utari terlalu syok untuk menangis. Kepalanya seperti dipenuhi kabut, kenangan dan kenyataan saling bertabrakan. Dunia seperti berhenti berputar.

Ingatan Utari kembali pada malam itu, Bhama berdiri di depan Utari. Bhama memutuskannya tanpa alasan.

"Kenapa? Jawab!" pinta Utari memohon, suaranya terisak.

Lelaki yang selalu membuatnya nyaman kini berubah, wajahnya muram mengucapkan perpisahan.

"Kita nggak jodoh, Tari. Maaf, kamu layak dapat lelaki yang lebih baik, tidak sepertiku, lelaki miskin, dan bapakku yang gila. Kamu layak mendapat lelaki dari keluarga terhormat," jawah Bhama lesu.

"Kita udah bahas ini! Aku nggak pernah keberatan, aku cinta kamu apa adanya, kamu duniaku, Bhama!" tegas Utari penuh air mata.

"Maaf," jawab Bhama teguh pada perpisahan.

Utari buntu, pertanyaan menjejali benak dan kepalanya, marah, dan mendadak Utari merasa tidak berharga.

Utari melepas kalung yang menggantungkan sebuah cincin sederhana untuk masa depan mereka dan melemparkannya ke arah Bhama.

Bhama bergeming meski kalung itu menabrak wajahnya cukup keras. Utari pergi begitu saja meninggalkan Bhama yang diam, tanpa ekspresi.

Perlahan, kabar rencana pernikahan Bhama dengan Vina yang sudah hamil 5 bulan menyebar, Utari mulai mengerti alasan dia dicampakan.

"Dia mengkhianatiku. Dia memilih perempuan itu? Dia berselingkuh hingga perempuan itu hamil, jahatnya kamu, Bhama!"

Utari tersadar ketika seorang wanita merangsek dari belakang dan sedikit menabrak tubuhnya. Utari menengok. Hanum berdiri dengan tampilan sama terkejut dengannya, wajahnya pucat, tubuhnya gemetaran, wajahnya penuh air mata. Dia adalah adik Bhama.

"Mas Bhama?" gumam Hanum dengan bibir bergetar tidak percaya. Tubuhnya terhuyung-huyung dan warga langsung memegangi tubuh Hanum, menuntunnya menjauh.

Utari menatap Hanum menjauh dirangkul warga. Gadis itu menangis histeris setelah dipapah jauh dari tepi jembatan. Suara tangisnya mengudara, menambah sedih dari hal tragis yang menjadi tragedi kelam tempat itu.

Utari hanya bisa memandang ke arah sungai. Napasnya tersengal-sengal, dadanya terbakar oleh rasa yang tidak bisa dia jelaskan.

Bu Mirah, ibu Bhama, berteriak histeris di belakang kerumunan. “Bhama! Anakku!"

Wanita itu terjatuh, tubuhnya ditahan oleh beberapa tetangga. Wajahnya memerah karena menangis terlalu keras, tangannya memukul-mukul udara seolah ingin menangkap sesuatu yang hilang.

Utari tidak bergerak mendekati Bu Mirah. Bukan karena tidak peduli, tapi karena kakinya tidak mampu melangkah. Dia teringat seminggu yang lalu, saat dia datang ke rumah itu untuk meminta penjelasan dari Bhama. Bu Mirah hanya memandangnya dengan dingin. Kata-katanya masih terngiang di telinga.

“Jangan ganggu Bhama lagi. Dia sudah memilih jalan hidupnya!”

Utari mengepalkan tangan, menahan perih di dadanya.

Dari dasar sungai, beberapa Polisi dan Petugas Medis mulai mengangkat tubuh Bhama. Tandu darurat itu penuh dengan darah, membuat Utari mual. Tapi dia tidak bisa mengalihkan pandangan.

Ingatannya melayang ke saat-saat indah bersama Bhama, tawa mereka di bawah pohon rindang, janji-janji yang pernah mereka buat, dan cinta yang dulu begitu kuat dan indah.

“Kenapa?” Utari berbisik, air mata mulai mengalir deras di pipinya.

Namun, bukan hanya kesedihan yang dia rasakan. Ada kemarahan. Ada luka yang menganga yang dijejali dengan pertanyaan yang mungkin kini tidak akan ada yang menjawabnya.

Mengikuti hatinya, Utari menyeret kakinya mendekat ke arah ambulance. Menghalau kerumunan orang di depannya agar bisa sedekat mungkin.

"Bhama!" gumam Utari memanggil, meski suara itu tidak bisa keluar.

Tepat saat itu, tangan Bhama terjatuh dan menggantung begitu saja dari tandu. Utari melihatnya, sebuah tangan kekar yang selalu penuh semangat dan kerja keras, kini tidak berdaya dengan lumuran darah.

Utari menyadari, Bhama mengenakan kalung yang dijadikan gelang. Sebuah benda berkilau tergantung di tangan itu. Cincin sederhana. Cincin yang Utari kembalikan saat Bhama mencampakannya.

Dada Utari sesak, napasnya semakin sulit, kenyataan di depannya telah menghancurkan dunia Utari. Apalagi, menyadari benda itu ada di nadi Bhama. Nadi yang harus dipaksa berhenti sebelum waktunya.

Di ujung kesadarannya, Utari melihat sosok perempuan dengan perut yang mulai membuncit. Dia menangis menghampiri jenazah.

Utari ingin berlari, mendorong perempuan itu menjauh, tapi tubuhnya kehilangan kekuatan, pandanganya semakin gelap, dan perlahan suara riuh orang-orang menghilang.

"Tari ...!"

Dukung cerita ini, yuk! Jangan lupa like, subcribe, komen dan follow. Terimakasih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Cincin Istimewa

    "Bu ... doain ya, aku mau bicara sama Pak Jamal soal permintaanya untuk segera menikahi Utari," ucap Bhama berpamitan pada Bu Mirah yang tengah sibuk dengan setrikaan tetangga."Iya, Bham, mudah-mudahan mereka ngerti, kalau kalian berjodoh pasti semuanya dipermudah, kok!" jawab Bu Mirah merestui."Bagus nggak, Bu?" tanya Bhama menunjukan sesuatu.Mata Bu Mirah berbinar, "cantik, Bham ... semoga Tari suka."Lalu saat malam tiba, sepeda motor keluaran lama berhenti di depan rumah Utari, Bu Ratna melihat anak gadisnya turun dan mengajak lelaki yang mengantarnya pulang untuk masuk."Pak ... ada Bhama itu, sini!" seru Bu Ratna memanggil suaminya.Beberapa waktu yang lalu mereka mempertanyakan keseriusan Bhama pada Utari."Assalamualaikum ...." Utari masuk disambut ibu dan bapaknya, Bhama pun mengucap salam dan menyalami kedua orang tua Tari dengan sopan."Aku ke dalam dulu," ucap Tari, dia baru saja pulang dari kampus, secara sengaja dia membiarkan Bhama bicara dulu dengan orang tuanya, se

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Nikahi

    "Sialan, Anggara!" Damar menahan geram, tangannya terkepal erat, sementara hatinya tidak tega mendengar setiap kalimat yang keluar dari Hanum."Ayo laporkan dia ke polisi!" ajak Utari di puncak kemarahannya."Jangan ...!" Hanum menggeleng lemah, wajahnya pucat."Jangan takut, Num!" Damar mencoba menenangkan, nada suaranya melunak, meski masih diliputi kemarahan.Hanum menggeleng lagi, kali ini lebih kuat, air mata mengalir di pipinya. "Dia pernah bilang, kalau pun dia masuk penjara, paling tidak akan lama. Dia punya uang, Kak. Dia punya banyak orang dalam. Setelah dia keluar ... dia akan ngejar aku lagi." Suaranya bergetar, napasnya tersengal. "Sementara aku ... malunya akan seumur hidup."Utari menatap Hanum dengan mata basah. "Num, kita ada di sini untuk kamu. Kamu nggak sendiri." Tapi kata-kata itu terasa hampa ketika Hanum menunduk, menghindari tatapan mereka."Melaporkan Mas Anggara, artinya mengungkap aibku," ucap Hanum akhirnya, suaranya lirih, hampir tak terdengar. "Rasanya ..

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Anggara Baji*ngan

    PERHATIAN.Bacanya pelan-pelan, Kakak. Di sini alurnya mundur, terus mundur lagi. Selamat membaca."Betul, Num. Kami nggak bisa apa-apa dan akan terus kelimpungan begini kalau nggak tahu masalah sebenarnya apa, tolong jujur pada kami, kami janji akan membantu dan melindungimu dari Anggara," tegas Damar.Hanum menunduk tanpa berani menatap Damar apalagi Utari, tangan yang memegang segelas teh manis pun bergetar, dia mencengkram erat-erat pegangan di gelas itu."A-aku ...."Tangan Utari terulur meraih tangan Hanum yang gemetaran, meski kepalanya masih berat dia berusaha bangun untuk lebih dekat dan memberi Hanum kenyamanan. Damar yang melihat inisiatif Utari pun sigap membantu Utari untuk duduk tegak.Hanum sontak menatap mata Damar, pandangannya memancarkan cinta yang begitu tulus pada Utari. Hatinya sakit mengingat Bhama, meski harusnya dia baik-baik saja. Hanum berusaha keras menekan perasaannya. Bagaimana pun Utari berhak melanjutkan hidup dan bahagia."Num ... berat ya? Sejahat itu

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Jujur Pada Kami

    "Antar anak gadis Pak Jamal ini pulang. Kalau dia melawan ... bolehlah kasih sedikit pelajaran," ucap Anggara dengan nada dingin.Anggara menyeret Hanum masuk ke dalam gudang. Hanum meronta, tapi kekuatannya tidak sebanding. Di luar, Utari berusaha mengejar, tapi langkahnya dihadang oleh Raka, Tegar, dan Januar."Hanum!" seru Utari."Pergi, Kak! Aku nggak apa-apa!" teriak Hanum dari dalam gudang, mencoba menyembunyikan rasa takutnya sebelum pintu gudang itu dibanting menutup. Hanum tidak ingin ada orang lain yang terbawa oleh masalahnya."Hanum!" Utari menatap pintu itu dengan panik, tapi tiga lelaki di depannya menahan langkahnya."Kalian nggak malu ngelawan perempuan rame-rame begini?" Utari mencoba menekan ketakutannya, suaranya penuh keberanian yang hampir memudar."Kita nggak ngelawan, Kak," ucap Raka, suaranya terdengar tenang, tapi ada nada ancaman yang samar. "Ayo, aku antar Kakak pulang. Hanum cuma mau dibantu belajar sama Anggara. Ujian dia sudah dekat, kan?"Utari menatap R

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Permainan Kotor Anggara

    Tegar masuk ke dalam ruangan dengan langkah tergesa-gesa, wajahnya datar, tapi sorot matanya menyiratkan keraguan yang mulai tumbuh. "Saka udah beres, Bos," ucapnya singkat, suaranya nyaris tanpa intonasi.Anggara, yang duduk santai di kursi sambil memainkan pemantik api, tersenyum penuh kemenangan. "Bagus ... biar dia tahu siapa yang dia tantang!" ucapnya sambil tertawa kecil, suaranya dingin seperti ancaman terselubung.Tegar hanya mengangguk, senyumnya getir. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, bagaimana pun Saka adalah teman kecilnya, tapi dia memilih diam."Mas Damar juga udah pergi lagi. Sekarang aman," tambah Raka dari sudut ruangan, memastikan semua berjalan sesuai rencana.Anggara berdiri, memasukkan pemantik api ke sakunya. "Kan udah kubilang. Semua bakal beres. Kalau aku yang urus, hasilnya pasti sempurna."Januar, yang berdiri di dekat pintu, ikut bersuara sambil tertawa kecil. "Nggak ada yang bisa ngalahin Bos Anggara. Emang keren banget!"Mereka tertawa bersama, sepe

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Fitnah Keji

    "Aku bilang bukan satu, mungkin bukan satu orang, atau satu orang tapi tidak sekali! Yang jelas, orang yang tidur di sebelahku tanpa busana adalah Mas Bhama!" tegas Vina, sorot matanya tajam menusuk, seakan ingin memojokkan Utari hingga tak ada ruang untuk bernapas."Bhama nggak mungkin ngelakuin hal itu!" seru Utari, suaranya pecah karena emosi. Matanya memanas, seolah-olah api membakar hatinya yang kini dipenuhi rasa sakit bercampur marah."Dia mabuk, apa pun bisa terjadi, Mba! Aku nggak mengada-ada!" balas Vina dengan nada yang tak kalah tinggi, bersikukuh mempertahankan klaimnya.Utari berdiri mendadak. Napasnya memburu, jemarinya mengepal erat. "Kamu!" serunya penuh geram, kata-katanya tertahan di kerongkongan karena dadanya begitu sesak.Beberapa detik yang lalu, Utari merasa simpati terhadap Vina, perempuan yang dikiranya korban permainan kotor Anggara dan teman-temannya. Tapi sekarang? Sikap Vina memusnahkan rasa iba itu. Yang tersisa hanya kemarahan."Tari..." Saka, yang dudu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status