BAB 88Mandala langsung berjalan tergesa-gesa meninggalkan Daffa. Setelah mendengar saran dari Daffa, dia telah membulatkan tekadnya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.Sementara Daffa yang melihat sahabatnya hanya menggeleng pelan dan tersenyum kecil. “Kayaknya bentar lagi kamu bakal dapat kabar bahagia, Ris,” gumam Daffa.Membayangkan bagaimana ekspresi bahagia Klarisa ketika dia pulang nanti dan mendengar kabar bahwa Mandala telah menemukan gadis impiannya di sini. Itu adalah harapan Klarisa selama ini.Sementara Mandala yang telah berdiri di depan kediaman Buya menghentikan langkahnya sejenak, ia mengeluarkan ponselnya dan memutuskan untuk menelepon ibunya dahulu.Tak membutuhkan waktu lama Raida langsung mengangkat panggilan Mandala dan menyapa Mandala dari seberang sana.“Tumben pagi-pagi begini menelepon. Kamu baik-baik aja kan?” tanya Raida.“Ada hal penting yang mau aku tanya ke Mama,” ucap Mandala cemas.Ia berjalan mondar-mandir dengan hati ketar-ketir, berharap ibun
Usai menentukan tanggal dan segala persiapan, Mandala dan Humairah memutuskan untuk tidak mengadakan acara pernikahan yang besar-besaran. Hanya sebuah acara kecil di pesantren yang dihadiri oleh orang-orang terdekat mereka saja.Bagi kedua mempelai, bukan meriahnya yang dicari, tetapi keberkahan di dalam acara tersebut.Hari ini akad nikah antara Mandala dan Humairah akan dilaksanakan, Raida dan keluarga Klarisa telah datang di Tasik sejak semalam untuk menemani Mandala.“Assalamualaikum,” ucap Raida, ia memasuki kamar tempat Humairah dirias. “Masyaallah, cantiknya.”Raida benar-benar dibuat terpana dengan kecantikan calon menantunya, walaupun riasan di wajah Humairah tidak terlalu tebal dan berlebihan. Mandala tak berbohong, Humairah benar-benar cantik.Humairah langsung menyambut Raida dan menyalimi tangan calon mertuanya. Sementara Raida tak berhenti tersenyum melihat calon istri putranya yang benar-benar sempurna.“Maaf ya Mama baru bisa ketemu sama kamu sekarang,” ucap Raida meny
BAB 89 “Saya terima nikah dan kawinnya Humairah Nur Hafidzah binti Almarhum Abdul Aziz dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Mandala menyelesaikan kalimat ijabnya hanya dalam satu tarikan nafas dengan intonasi yang mantap dan tanpa ragu. Dia telah latihan selama seminggu hanya untuk menghafal kalimat sakral ini dan memastikan tidak salah ketika di pernikahannya. “Bagaimana para saksi? Sah?” “Sah!” Teriakan orang-orang yang menjadi saksi pernikahan Mandala dan Humairah terdengar menyambut meriah, membuat hati Mandala bergetar saking terharunya. “Alhamdulillah,” ucap Buya penuh syukur. Pria itu juga tampak sangat bahagia karena telah menunaikan tugasnya sebagai paman dari Humairah. Dia telah menjalankan amanah saudaranya untuk menikahkan Humairah dengan pria yang baik dan bertanggungjawab. Selang beberapa menit, Humairah dibawa masuk ke dalam masjid dengan diapit oleh Umi dan Raida. Wajah Humairah tertutup cadar dan hanya menyisakan kelopak matanya yang indah. Sepanjang jala
Mandala yang baru saja keluar dari kamar mandi dibuat terpana dengan penampilan Humairah. Untuk pertama kalinya dia melihat Humairah tanpa tertutup hijab, ada desiran aneh yang menguasai tubuh Mandala. “Mas? Sudah selesai?” tanya Humairah. Sedikit canggung harus terbiasa tidur dengan orang lain di kamarnya, tetapi Humairah berusaha membiasakan diri. “I-iya,” sahut Mandala. Ia kembali duduk di pinggir ranjang, dan Humairah bergabung di sebelahnya dengan malu-malu. “Terima kasih sudah mau terima aku jadi istri Mas. Aku janji bakal berusaha jadi istri yang baik, sholehah, dan patuh pada kamu, Mas,” ucap Humairah lembut. “Sekarang kamulah surgaku, dan aku akan mengabdi untuk mendapatkan surga itu.” Sudut bibir Mandala berdenyut. Mendengar Humairah yang begitu memuliakannya membuat Mandala merasa minder. Mendengar harapan Humairah untuk mendapat surga membuat Mandala kembali berintrospeksi. Dirinya tidaklah sempurna. Begitupun agamanya, masih sangat kurang. Apa dia bisa memberikan s
PGK 90Setelah mengobrol panjang sepanjang malam, Mandala tak kunjung melakukan apapun sesuai dengan harapan Humairah. Pria itu malah mengajaknya untuk tidur karena hari yang sudah larut.“K-kamu mau langsung tidur, Mas?” tanya Humairah ragu, memastikan.Mandala mengangguk. “Kamu pasti capek kan? Yuk tidur,” ajak Mandala.Dia sudah lebih dulu membaringkan tubuhnya di atas ranjang, tertidur dengan posisi membelakangi Humairah. Sikap Mandala yang seperti itu sedikit banyaknya menyakiti hati Humairah.Apa suaminya sedang berpura-pura tidak tahu? Bukankah malam pertama tidak dihabiskan hanya dengan tidur seperti ini?Namun, Humairah tak ingin mengambil pusing, dia berpikir bahwa mungkin saja Mandala benar-benar sedang lelah sehabis acara tadi. Dia pun memilih ikut berbaring di sebelah Mandala, menatap punggung suaminya.**Keesokan harinya, Mandala terbangun dan sedikit bingung melihat kabarnya yang berbeda dari biasa. Ia menatap sekeliling, mengumpulkan kesadarannya. Setelah beberapa men
Seminggu setelah pernikahan mereka, tak kunjung ada peningkatan apapun dari hubungan Humairah dan Mandala, apalagi masalah ranjang yang tak kunjung selesai.Saat sedang tertidur, mendadak Mandala merasa haus dan terbangun. Dia tak sengaja mendengar suara isak tangis lirih, membuat Mandala seketika menegang. Mandala menatap jam yang masih menunjukkan pukul dua dini hari.Apakah dia sedang berhalusinasi?Dengan keberanian yang dikumpulkan, Mandala membalikkan tubuhnya perlahan karena penasaran. Matanya membulat terkejut melihat bahwa Humairah lah yang sedang menangis itu.“Ya Allah, Ya Rabb. Apakah hamba termasuk istri yang gagal? Apakah ada yang salah dari diri hamba sehingga suami hamba tidak ingin menyentuh hamba?”Humairah menumpahkan isi hatinya yang selama beberapa hari belakangan ini membebani hatinya. Tangisnya pecah sepanjang dia menceritakan keluh kesahnya dalam doa.Mandala yang mendengar doa Humairah yang sangat dalam itu mendadak menjadi merasa bersalah. Ia buru-buru bangk
PGK 91Keduanya melaksanakan salat sunnah dengan penuh khidmat dipimpin oleh Mandala sebagai imam.Selepas mengucapkan kalimat salam, Mandala pun berbalik memposisikan tubuhnya berhadapan dengan Humairah. Tangannya diambil oleh Humairah, diciumi punggung tangannya.Mandala pun mencium kening Humairah, ia mengambil ponselnya dan membacakan doa yang telah dia cari sebelumnya. Walaupun ada perasaan malu, tetapi Mandala berusaha menyingkirkan perasaan itu karena rasa sayangnya pada Humairah yang lebih besar.Humairah sendiri sangat menghargai usaha suaminya, dia tak menertawakan atau meremehkan Mandala yang membaca doa sambil melihat ponsel.“Aamiin,” ucap Mandala mengakhiri doanya.Keduanya saling menatap malu-malu, sedikit canggung. Mandala berinisiatif untuk memulai duluan, ia menciumi kening istrinya, turun pada kedua pipi, hidung, dan berakhir pada bibir istrinya.Awalnya hanya kecupan biasa, tetapi Mandala kembali melanjutkannya menjadi lebih panas. Setelah berciuman beberapa menit,
PGK 92 Humairah membawakan secangkir kopi untuk Buya, meletakkannya dengan sopan dan hati-hati di atas meja, juga bersama sepiring pisang goreng yang menemani. “Terima kasih, ya, Nak,” ucap Buya, mengalihkan pandangannya dari kitab yang sedang dia baca. “Suamimu ke mana?” “Mas Mandala sedang ada kelas buat ajar para santri Buya, baru pulang satu jam lagi kayaknya,” ucap Humairah. Ia tak langsung pergi setelah memberikan kopi untuk Buya, melainkan tetap berdiri di sebelah Buya. Hal itu disadari oleh Buya, beliau seketika menutup dan meletakkan kitab yang dibacanya tadi. “Ada apa, Nak? Mau bicara apa?” tanya Buya. Humairah tersenyum kecil, ia duduk di kursi dan menatap Buya. “Begini Buya ... beberapa hari ini Mas Mandala menceritakan keinginannya untuk belajar agama lebih dalam, Mas Mandala katanya ingin memperbaiki lagi ilmu agamanya.” Ia memainkan jemarinya gugup. “Jadi, Maira dan Mas Mandala berharap kalau Buya bisa membantu mengajarkan ilmu agama pada Mas Mandala,” ucap Humai