KEYLA POV
Aku tidak bisa tidur semalaman. Terus memikirkan hari esok yang akan aku lewati. Otakku melayang, membayangkan anak buah Pak Bani datang membuatku merinding tidak nyaman. Aku merubah posisi tidurku menjadi meringkuk, bergelung di bawah selimut, mencoba kembali memejamkan mataku.
Apa aku melakukan kesalahan saat menolak tawaran Ben tadi? Sebenarnya sekarang aku cukup tergiur dengan tawarannya, tapi hati kecil ku berkata lain. Aku terlalu memikirkan harga diriku tadi.
Sebenarnya aku hanya terlalu malu tadi setelah kami berciuman. Dan aku langsung menolak tawarannya tanpa berpikir panjang.
Aku tidak berniat untuk menjual diri kepada Ben, tapi paling tidak aku bisa bernegosiasi dengannya untuk meminjamiku uang, dan aku akan membayarnya dengan cara mencicil sedikit demi sedikit. Toh dari gaya bicaranya dia terlihat bisa memberiku uang dengan cuma-cuma saat aku mau menjadi pacarnya tadi.
Tapi sekarang semua harapan itu sudah sirna. Tadi sebenarnya saat Ben datang tiba-tiba aku berniat untuk membicarakan ini. Tapi merasa sangat aneh jika aku tiba-tiba membahas hal yang sudah aku tolak mentah-mentah sebelumnya. Aku terlalu malu untuk mengatakannya.
Aku menghela napas panjang, dan kembali ke posisi terlentang. Ku buka mataku dan menatap langit-langit kamar.
"Kamu pasti bisa, Key!" Kataku kepada diriku sendiri. Kembali teringat dengan mama yang selama ini selalu ada untukku. Kecelakaan itu merengut semuanya, merengut mama, kebahagianku. Hanya menyisakan kesedihan di setiap hari yang aku lewati. "Keyla, pasti bisa lewatin ini kan, Ma?" Tanyaku lirih, lalu kembali memejamkan mataku, membiarkan air mata itu mengalir dari sudut mataku yang terpejam.
*
Jam waker yang berada di meja kecil samping ranjangku berdering kencang, langsung membangunkanku dari tidurku. Mataku masih terasa berat, terasa sangat perih saat aku mencoba membuka mataku, membuatku memutuskan untuk kembali menutup mata sembari mengumpulkan nyawaku yang masih berpencar.
Aku memilih untuk mengusir perasaan tidak nyaman tentang hutang yang harus aku lunasi hari ini, dan beranjak jadi ranjang menuju kamar mandi, membasuh mukaku disana.
Mataku terlihat sedikit bengkak karena jam tidurku yang kacau. Tapi aku mengabaikannya, dan memutuskan untuk mandi, dan bersiap untuk sekolah seperti biasa.
Seberapa keras aku mencoba bersikap biasa, hatiku tetap tidak tenang. Bayang-banyang tubuh besar anak buah Pak Bani terus bermunculan di kepalaku. Nada suaranya yang kasar kembali tergiang, membuatku hampir menangis.
Ini semua adalah salahku, memilih untuk berurusan dengan rentenir untuk membiayai pengobatan mama. Tapi waktu itu aku tidak memiliki pilihan lain, aku yang aku pikirkan hanya bagaimana aku bisa mendapatkan uang dengan cepat demi keselamatan mama, dan salah satu kenalanku di tempat kerja paruh waktu, memberitahuku tentang tempat peminjaman uang yang di kelola oleh Pak Bani. Aku tidak memikirkan konsekuensinya waktu itu. Seharusnya aku tahu dari awal, hal seperti ini pasti akan terjadi jika aku berurusan dengan lintah darat.
Untuk kesekian kalinya aku menghela napas panjang, menatap bayanganku sendiri di cermin. Aku sudah mengenakan seragam sekolah lengkap, dengan rambut aku kucir kuda seperti biasa.
Aku harus cepat-cepat pergi dari sekolah, paling tidak di sekolah aku akan aman dari Pak Bani dan anak buahnya. Dan untuk langkah selanjutnya, aku akan memikirkan nanti di sekolah.
Ku raih tas ranselku dari meja belajar, lalu menyandangnya cepat. Aku keluar dari kamar, bergegas menuju pintu depan dan membukanya.
"Mau kemana?" Suara garang milik seorang pria itu langsung menyambut begitu aku membuka pintu depan, membuatku terperanjat kaget hingga jantungku seakan keluar dari tempatnya.
Mataku menemukan empat anak buah Pak Bani yang datang kemarin sudah menungguku di depan pintu.
"Mau kabur lo?!" Bahkan belum sempat aku menjawab, Suara yang lain kembali mengertakku dengan keras.
"Ng-nggak kok, pak.." jawabku terbata, berusaha untuk terlihat tenang. Aku sangat gugup sekarang, menyadari jika rencanaku untuk sekolah dan kabur sudah hilang.
"Selain nggak bisa bayar utang, lo ternyata pinter bohong juga, ya!"si kumis yang berpakaian serba hitam ity melangkah maju, membuatku mengerut takut dengan gelagatnya.
"Mau sekolah? Udah siapin uang buat bayar utang?!"
"Kasih saya waktu, Pak. Saya usahain buat bayar hari ini.." aku meraih tangan pria itu, berusaha menyakinkannya sekali lagi.
"Halah!" Menyentakan tanganku dengan kasar hinga terlepas, aku tahu apa itu artinya. "Alesan basi! Sampe kapan pun lo juga nggak bisa bayar utang lo itu, jadi percuma!"
"Nggak, pak. Saya janji.. saja bakal..,"
"Ahh! Udah nggak usah banyak bacot!" Bentak preman berambut panjang memotong ucapnku. "Kita nggak butuh alesan!" Dia menarik tubuhku kembali kedalam rumah diikuti oleh yang lainnya, membuatku meronta."Lepasin saya! Lepasin saya!" Teriakku berusaha melepaskan diri dari cengkraman si gondrong yang terus menyeretku masuk ke dalam, menghempaskan tubuhku ke lantai ruang tamu.
"Sana beresin barang lo!" Perintahnya kasar sementara aku terkapar di lantai, menangis kesenggukan.
"Kita kasih waktu setengah jam, pas kita balik, gue harap lo udah pergi dari sini." Tegasnya mutlak, lalu mereka berempat melenggang keluar meninggalkanku.
Tanggisku langsung pecah begitu aku sendirian. Hatiku sakit, aku bingung dan tidak memiliki jalan keluar.
Apa semua orang juga mengalami kehidupan yang berat seperti ini?
Jika aku memikirkan teman-temanku, orang-orang seumuranku. Sepertinya mereka semua bergembira tanpa beban.
Lalu kenapa hidupku seperti ini?Dosa apa yang sudah aku lakukan hingga di beri ujian seperti ini?Ya, Tuhan.. aku yang harus aku lakukan sekarang? Maa.. keyla harus kemana?Mengusap air mata yang masih terus keluar dari sudut mataku dengan pungung tangan, aku bangkit dari lantai, tertatih menuju kamar.
Ya, aku harus bergegas. Jika tidak cepat, preman-preman pasti akan marah kalau aku belum membereskan barang-barangku.Membuka lemari di kamarku, aku mengeluarkan koper dari sana.
Sesekali aku mengusap pipiku yang masih berlinang air mata, aku mulai membereskan barang-barang pribadiku yang bisa aku bawa.
Keyla pasti bisa kan, maa? Keyla pasti bisa lewatin ini.. tekadku dalam hati, memasukan satu persatu barang-barangku kedalam koper.
BENEDICT POV
"Lama banget sih mereka.." runtukku sendirian, dan terus mengamati rumah itu dari kejauhan.
Ya, aku sudah berada di depan rumah Keyla sejak tadi pagi. Saat preman-preman datang sebenarnya aku sudah disana. Aku juga sudah berbicara dengan mereka untuk tidak memakai kekerasan kepada Keyla.
Kenapa aku melakukan ini semua? Kenapa aku tidak membayar semua hutang Keyla agar masalah ini selesai?
Sebenarnya aku sudah membayarnya kemarin. Dua kali lipat malah, tapi aku ingin pengusiran itu tetap dilakukan. Aku ingin Keyla meninggalkan rumah itu hari ini juga.
Kalian tentu masih ingat saat semalam aku bilang memiliki rencana. Ya, inilah rencana yang aku maksud.
"Aww! Aww! Sakitt!" Teriakan memilukan itu membuatku yang tengah menatap ke depan menoleh cepat kearah rumah Keyla. Tampak pria gempal berambut gondrong tengah menyeret Keyla keluar dari rumah seperti menyeret sebuah karung beras.
Rahangku mengeras, menahan amarah saat melihat pemandangan itu di depan mataku.
Bukankah sudah ku bilang jangan sampai ada kekerasan! Umpatku dalam hati, mengutuk perbuatan si gondrong itu terhadap Keyla.
"Tolong, pak. Apa nggak bisa kasih saya kesempatan sekali lagi.." Keyla memohon, membuat hatiku sakit. Dia pasti sangat ketakutan sekarang. Apa yang aku lakukan sudah berlebihan?
Segera aku turun dari mobil. Sepertinya sudah cukup aku bersembunyi, sekarang waktunya untuk keluar dan mengakhiri ini semua.
"Kita udah sering kasih elo kesempatan." Kata si gondrong sambil melempar koper ditangannya tepat di samping Keyla. "Jangan paksa kita buat lebih kasar lagi ke elo."
"Satu kali lagi, Pak. Saya mohon, saya janji saya bakal lunasin hutang saya."
"Halah, janji-janji doang! Kita udah kenyang makan janji!"
Aku melangkah gontai memasuki perkarangan rumah Keyla, dan menatap gadis yang kini bersimpuh di lantai itu membuat hatiku sakit.
Perasaan yang tidak pernah aku rasakan kepada manusia lain sebelumnya. Apa ini penyakit?
"Apa-apaan ini?!" Bentakku saat sudah sampai di hadapan mereka. Membuat Keyla yang tadinya menundukan kepala mendongak, dan matanya membulat saat melihatku.
"Ben..benedict?" Dia menyebut namaku lirih, dengan binar mata yang menunjukan rasa tidak percaya dengan kedatanganku.
"Siapa lo?!" Suara itu mengalihkan mataku dari Keyla kearah preman-preman yang kini tengah berkacak pingang di sampingku. Terlihat galah namun sekarang sangat cangung dengan ke hadiranku, mungkin mereka tidak terbiasa untuk berakting.
"Pagi-pagi udah ribut aja di rumah orang. Nggak ada kerjaan?" Tanyaku santai kepada mereka melirik kearah Keyla yang kini tampak ketakutan.
"Mau jadi pahlawan lo?!" Bentak salah satu dari mereka yang berambut botak membuatku hampir tertawa. Mereka sangat buruk dalam berakting, pasti mereka sangat gugup berhadapan denganku.
"Lo nggak papa?" Tanyaku mengabaikan mereka, dan menatap Keyla yang bersimpuh di lantai. Dia menggeleng, lalu berkata.
"Cepet pergi dari sini, mereka berbahaya.." perintahnya masih sempat mengkhawatirkan keselamatan orang lain, padahal keadaannya sendiri lebih buruk sekarang.
"Nggak papa, santai aja." Kataku menyakinkan, dan kembali menatap mereka berempat, mengedipkan sebelah mataku kepada mereka tanpa sepengetahuan Keyla, isyarat agar mereka melanjutkan adegan sandiwara ini.
"Pacar lo dah dateng nih, cepet pergi dari sini, sebelum gue seret lo ke jalanan!" kata si Gondrong lagi sesuai naskah.
Keyla kebingungan, dan aku segera menariknya bangun.
"Ayo.." ajakku kemudian, mengenggam tangannya dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku mengambil alih koper yang di ulurkan oleh si Gondrong.
Ini adegan cukup aneh, tapi aku rasa Keyla tidak menyadari ke tololan si Gondrong yang terlihat sangat patuh denganku.
"Setelah dapet apa yang kalian mau, Gue harap kalian nggak ganggu gadis ini lagi." Kataku menatap mereka memperingatkan. Lalu menuntun Keyla menyusuri perkarangan rumahnya, menuju ke mobilku yang terparkir tidak jauh dari pintu pagarnya.
TBC.
BENEDICT POVAku menoleh sekilas kearah Keyla yang duduk di sampingku, lalu kembali menatap jalanan di depan sana, kembali fokus memacu mobilku menjauh dari rumah Keyla.Sama denganku, Kayla masih mengenakan seragam sekolahnya, wajahnya memerah dan sesekali terdengar suara isak tangisan. Gadis itu terdiam, sama sekali tidak berbicara selepas meninggalkan rumahnya.Sepertinya dia masih sangat shock atau terpukul atas kejadian yang menimpanya tadi. Dan memikirkan hal itu membuatku merasa bersalah.Mungkinkah caraku bersandiwara tadi berlebihan?Aku merasa sangat egois sekarang. Hanya karena keinginan untuk menggikat Keyla cepat-cepat, aku sama sekali tidak mempertimbangkan perasaan gadis tersebut.Its okay, Benedict.. lo bisa bayar rasa bersalah lo nanti.. kataku pada diriku sendiri, lalu kembali fokus mengemudi.Namun semakin aku berp
KEYLA POVAku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, bahkan tidak sekalipun terlintas di pikiran jika aku akan tinggal bersama Ben dalam satu rumah.Ini terlalu gila.Oke, aku pernah berpikir untuk meminta bantuannya, berpikir untuk menerima tawaran yang dia tawarkan kepadaku waktu itu, tapi aku tidak pernah menyangka jika begini akhirnya.Satu rumah dengan Ben? Aku?Astaga! Ini benar-benar gila, dan yang membuatku semakin gila, aku bahkan tidak memiliki pilihan lain selain menerima tawarannya. Aku tidak memiliki uang, dan aku sama sekali tidak memiliki tempat tujuan.Ini sudah hari kedua sejak Ben membawaku ke apartemennya. Dia memberiku tempat tinggal dan juga sebuah kamar. Kemarin, Ben memaksaku untuk beristirahat, memberikan waktu sendirian seharian, dan menggurusi semua kebutuhanku.Jadi, ha
"Ben..?" Ulangku sekali lagi, kali ini berusaha melepaskan diri dari pelukan Ben, namun cowok itu malah mendekapku semakin erat."Gue kira elo pergi.." aku tersikap saat mendengar suara Ben. Membuat alisku mengerut didalam pelukannyaApa dia masih setengah tidur? Apa kesadarannya belum pulih sepenuhnya? Atau dia mengira aku orang lain?"Jangan pergi.." pintanya sekali lagi."Heii.." kataku berusaha membuatnya tersadar. "Gue disini, Ben. Nggak kemana-mana.." kataku lagi, menepuk punggungnya yang telanjang dengan hati-hati.Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan ini, namun saat jemariku menyentuh pungungnya, aku bisa merasakan kulit yang halus dan hangat dengan otot-otot yang tidak berlebihan."jangan tinggalin gue.." gumamnya lirih menyadarkanku dari pikiran aneh yang sempat berkelebat di kepalaku. Ben tidak berniat melepaskan pelukannya, dan aku bisa merasakann d
BENEDICT POVAku mengemudikan mobilku keluar dari tempat parkir, meninggalkan area apartemenku menuju sekolah bersama dengan Keyla yang kini duduk terdiam di jok sampingku.Dia sama sekali tidak bersuara sejak keluar dari lift, dan bodohnya, aku juga melakukan hal yang sama.Jujur saja, aku merasa bersalah dengan kelakuanku saat di lift tadi. Tapi perkataan Keyla benar-benar membuatku marah.Pergi dari rumahku? Dia merepotkan? Dia tidak akan menggangguku lagi?Bahkan sekarang saat aku memikirkan perkataannya lagi, amarahku kembali naik tanpa undangan.Menghirup napas dalam untuk menenangkann diri, Aku mencengkram kemudi mobilku hingga buku-buku jariku memutih, berusaha menahan emosiku sekuat tenaga. Sebagai gantinya, aku menekan pedal gas mobilku dalam-dalam, memacu mobilku semakin cepat, meliuk-liuk diantara kendaraan yang melaju begitu lambat dimataku.
KEYLA POVAku menarik tangan Sissy menuju pintu kelas, meninggalkan Benedict yang kini menatap kepergian kami berdua dengan pandangan tidak percaya. Membawa sahabatku itu keluar dari kelas, aku bisa merasakan kilatan marah di mata Ben. Namun, aku memilih untuk mengabaikannya, aku tidak siap untuk bertemu dengan pria itu sekarang, setelah apa yang kami lakukan tadi pagi. Ciuman di lift, dan juga adegan di gedung parkir. Memikirkan itu semua saja sudah membuat jantungku berdebar dengan begitu cepat. Wajahku juga terasa begitu panas sekarang. "Keyla!" Sentakan dan juga suara Sissy yang meninggi membuatku terdasar, dan menarikku keluar dari lamunan panjang. Aku berhenti melangkah, menoleh untuk menatap sahabatku itu dengan tatapan tidak paham. "Apaan?" Aku bertanya dengan nada sedikit cangung, bayangan yang terlintas di otakku tadi membuatku merasa tidak nyaman."Lo di panggilin berkali-kali nggak nyahut!" Protes gadis cantik itu dengan bibir mengerucut, menandakan dirinya tengah k
Note : chapter ini dan seterusnya akan menggunakan AUTHOR POV/ sudut pandang orang ke 3. ⬇️⬇️⬇️Benedict tidak bisa menyembunyikan senyuman di bibirnya. Memilih untuk mengabaikan mata-mata yang terus menatapnya sepanjang jalan menuju kelas Keyla, tangannya masih mengenggam erat pergelangan cewek yang berjalan di sampingnya itu.Bagaimana bisa hanya dengan bergandengan tangan bisa membuatnya begitu bahagia? Batin Ben bertanya-tanya. Ya, mungkin dirinya benar-benar sudah gila sekarang, atau apapun itu namanya, Ben benar-benar tidak peduli. Tidak butuh waktu lama, mereka berdua sampai di depan kelas Keyla dan dengan berat hati, Benedict melepaskan tangan cewek tersebut. "Gue.. masuk dulu.." pamit Keyla kepada Benedict dengan nada ragu-ragu. Tangannya meraih sejumput rambut yang jatuh ke wajahnya, lalu menyematkannya ke belakang telinga untuk menutupi rasa gugup yang menguasai dirinya. "Oke." Jawab Ben mengangguk, merasa gemas dengan tingkah Keyla sekarang. Jika mereka tidak sedang be
Setelah menunggu hampir tiga puluh menit sendirian di ruang santai, akhirnya Benedict mendengar pergerakan yang berasal dari pintu kamar Keyla. Menoleh ke arah suara, Ben menemukan Keyla tengah berjalan gontai ke arahnya. Gadis itu mengenakan kaos oversize yang di padukan dengan celana pendek sepaha. Sederhana, namun di mata Benedict, penampilan Keyla sekarang tampak begitu sempurna. Kecantikan natural dari gadis yang baru saja selesai membersihkan diri itu membuat Benedict terkesima hingga terpaku di tempatnya duduk sekarang. Tatapan lekat dari mata tajam milik Ben kepadanya membuat Keyla sangat tidak nyaman. Gadis itu salah tingkah, memilih berdiri di dekat sofa yang di duduki oleh Ben, merasa gugup dan bingung dengan apa yang harus dia lakukan sekarang. "Kok malah bengong di situ," Tegur Benedict memecah keheningan di antara mereka, membuat gadis itu terlihat terperanjat. "Sini duduk." Kata Benedict lagi, menepuk ruang kosong di samping dia duduk sekarang. Dengan ekspresi waja
Dan seiring berjalannya waktu, ciuman lembut Benedict pada bibir Keyla berubah menjadi pagutan liar. Entah sejak kalan mata Keyla terpejam, gadis itu tidak menyadari tangannya kini pun sudah mengalung di leher Ben, semantara tangan cowok milik cowok tersebut yang tadinya merangkup kedua sisi wajah Keyla, sekarang bergetak menuju belakang lehernya, menekan tengkuk gadis itu untuk memperdalam ciuman mereka. Geleyar aneh mulai menguasahi tubuh gadis itu sepenuhnya. Otot perutnya bergolak seolah ada ribuan kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya secara bersamaan disana. Kepalanya terasa sangat pusing karena sensasi dari ciuman Benedict yang begitu memabukkan. Keyla mengerang di sela ciuman panas mereka. Mencengkram kuat segumpal rambut dari bagian belakang kepala Ben saat merasakan lidah milik cowok itu melesak masuk kedalam mulutnya. Perasaan asing saat daging kenyal dan panas itu mulai membelai lidahnya berubah menjadi kenikmatan intens yang begitu candu bagi Keyla. Sekali lagi gadis it