Share

EMPAT

KEYLA POV

Aku tidak bisa tidur semalaman. Terus memikirkan hari esok yang akan aku lewati. Otakku melayang, membayangkan anak buah Pak Bani datang membuatku merinding tidak nyaman. Aku merubah posisi tidurku menjadi meringkuk, bergelung di bawah selimut, mencoba kembali memejamkan mataku.

Apa aku melakukan kesalahan saat menolak tawaran Ben tadi? Sebenarnya sekarang aku cukup tergiur dengan tawarannya, tapi hati kecil ku berkata lain.  Aku terlalu memikirkan harga diriku tadi.

Sebenarnya aku hanya terlalu malu tadi setelah kami berciuman. Dan aku langsung menolak tawarannya tanpa berpikir panjang.

Aku tidak berniat untuk menjual diri kepada Ben, tapi paling tidak aku bisa bernegosiasi dengannya untuk meminjamiku uang, dan aku akan membayarnya dengan cara mencicil sedikit demi sedikit. Toh dari gaya bicaranya dia terlihat bisa memberiku uang dengan cuma-cuma saat aku mau menjadi pacarnya tadi.

Tapi sekarang semua harapan itu sudah sirna. Tadi sebenarnya saat  Ben datang tiba-tiba aku berniat untuk membicarakan ini. Tapi merasa sangat aneh jika aku tiba-tiba membahas hal yang sudah aku tolak mentah-mentah sebelumnya. Aku terlalu malu untuk mengatakannya.

Aku menghela napas panjang, dan kembali ke posisi terlentang. Ku buka mataku dan menatap langit-langit kamar.

"Kamu pasti bisa, Key!" Kataku kepada diriku sendiri. Kembali teringat dengan mama yang selama ini selalu ada untukku. Kecelakaan itu merengut semuanya, merengut mama, kebahagianku. Hanya menyisakan kesedihan di setiap hari yang aku lewati.  "Keyla, pasti bisa lewatin ini kan, Ma?" Tanyaku lirih, lalu kembali memejamkan mataku, membiarkan air mata itu mengalir dari sudut mataku yang terpejam.

*

Jam waker yang berada di meja kecil samping ranjangku berdering kencang, langsung membangunkanku dari tidurku. Mataku masih terasa berat, terasa sangat perih saat aku mencoba membuka mataku, membuatku memutuskan untuk kembali menutup mata sembari mengumpulkan nyawaku yang masih berpencar.

Aku memilih untuk mengusir perasaan tidak nyaman tentang hutang yang harus aku lunasi hari ini, dan beranjak jadi ranjang menuju kamar mandi, membasuh mukaku disana.

Mataku terlihat sedikit bengkak karena jam tidurku yang kacau. Tapi aku mengabaikannya, dan memutuskan untuk mandi, dan bersiap untuk sekolah seperti biasa.

Seberapa keras aku mencoba bersikap biasa, hatiku tetap tidak tenang. Bayang-banyang tubuh besar anak buah Pak Bani terus bermunculan di kepalaku. Nada suaranya yang kasar kembali tergiang, membuatku hampir menangis.

Ini semua adalah salahku, memilih untuk berurusan dengan rentenir untuk membiayai pengobatan mama. Tapi waktu itu aku tidak memiliki pilihan lain, aku yang aku pikirkan hanya bagaimana aku bisa mendapatkan uang dengan cepat demi keselamatan mama, dan salah satu kenalanku di tempat kerja paruh waktu, memberitahuku tentang tempat peminjaman uang yang di kelola oleh Pak Bani. Aku tidak memikirkan konsekuensinya waktu itu. Seharusnya aku tahu dari awal, hal seperti ini pasti akan terjadi  jika aku berurusan dengan lintah darat.

Untuk kesekian kalinya aku menghela napas panjang, menatap bayanganku sendiri di cermin. Aku sudah mengenakan seragam sekolah lengkap, dengan rambut aku kucir kuda seperti biasa.

Aku harus cepat-cepat pergi dari sekolah,  paling tidak di sekolah aku akan aman dari Pak Bani dan anak buahnya. Dan untuk langkah selanjutnya, aku akan memikirkan nanti di sekolah.

Ku raih tas ranselku dari meja belajar, lalu menyandangnya cepat. Aku keluar dari kamar, bergegas menuju pintu depan dan membukanya.

"Mau kemana?" Suara garang milik seorang pria itu langsung menyambut begitu aku membuka pintu depan, membuatku terperanjat kaget hingga jantungku seakan keluar dari tempatnya.

Mataku menemukan empat anak buah Pak Bani yang datang kemarin sudah menungguku di depan pintu.

"Mau kabur lo?!" Bahkan belum sempat aku menjawab, Suara yang lain kembali mengertakku dengan keras.

"Ng-nggak kok, pak.." jawabku terbata, berusaha untuk terlihat tenang. Aku sangat gugup sekarang, menyadari jika rencanaku untuk sekolah dan kabur sudah hilang.

"Selain nggak bisa bayar utang, lo ternyata pinter bohong juga, ya!"si kumis yang berpakaian serba hitam ity melangkah maju, membuatku mengerut takut dengan gelagatnya.

"Mau sekolah? Udah siapin uang buat bayar utang?!"

"Kasih saya waktu, Pak. Saya usahain buat bayar hari ini.." aku meraih tangan pria itu, berusaha menyakinkannya sekali lagi.

"Halah!" Menyentakan tanganku dengan kasar hinga terlepas, aku tahu apa itu artinya. "Alesan basi! Sampe kapan pun lo juga nggak bisa bayar utang lo itu, jadi percuma!"

"Nggak, pak. Saya janji.. saja bakal..,"

"Ahh! Udah nggak usah banyak bacot!" Bentak preman berambut panjang memotong ucapnku. "Kita nggak butuh alesan!" Dia menarik tubuhku kembali kedalam rumah diikuti oleh yang lainnya, membuatku meronta.

"Lepasin saya! Lepasin saya!" Teriakku berusaha melepaskan diri dari cengkraman si gondrong yang terus menyeretku masuk ke dalam, menghempaskan tubuhku ke lantai ruang tamu.

"Sana beresin barang lo!" Perintahnya kasar sementara aku terkapar di lantai, menangis kesenggukan.

"Kita kasih waktu setengah jam, pas kita balik, gue harap lo udah pergi dari sini." Tegasnya mutlak, lalu mereka berempat melenggang keluar meninggalkanku.

Tanggisku langsung pecah begitu aku sendirian. Hatiku sakit, aku bingung dan tidak memiliki jalan keluar.

Apa semua orang juga mengalami kehidupan yang berat seperti ini?

Jika aku memikirkan teman-temanku, orang-orang seumuranku. Sepertinya mereka semua bergembira tanpa beban.

Lalu kenapa hidupku seperti ini?

Dosa apa yang sudah aku lakukan hingga di beri ujian seperti ini?

Ya, Tuhan.. aku yang harus aku lakukan sekarang? Maa.. keyla harus kemana?

Mengusap air mata yang masih terus keluar dari sudut mataku dengan pungung tangan, aku bangkit dari lantai, tertatih menuju kamar.

Ya, aku harus bergegas. Jika tidak cepat, preman-preman pasti akan marah kalau aku belum membereskan barang-barangku.

Membuka lemari di kamarku, aku mengeluarkan koper dari sana.

Sesekali aku mengusap pipiku yang masih berlinang air mata, aku mulai membereskan barang-barang pribadiku yang bisa aku bawa.

Keyla pasti bisa kan, maa? Keyla pasti bisa lewatin ini.. tekadku dalam hati, memasukan satu persatu barang-barangku kedalam koper.

BENEDICT POV

Aku menatap rumah kecil itu dari dalam mobil, merasa sedikit tidak sabar.

"Lama banget sih mereka.." runtukku sendirian, dan terus mengamati rumah itu dari kejauhan.

Ya, aku sudah berada di depan rumah Keyla sejak tadi pagi. Saat preman-preman datang sebenarnya aku sudah disana. Aku juga sudah berbicara dengan mereka untuk tidak memakai kekerasan kepada Keyla.

Kenapa aku melakukan ini semua? Kenapa aku tidak membayar semua hutang Keyla agar masalah ini selesai?

Sebenarnya aku sudah membayarnya kemarin. Dua kali lipat malah, tapi aku ingin pengusiran itu tetap dilakukan. Aku ingin Keyla meninggalkan rumah itu hari ini juga.

Kalian tentu masih ingat saat semalam aku bilang memiliki rencana. Ya, inilah rencana yang aku maksud.

"Aww! Aww! Sakitt!" Teriakan memilukan itu membuatku yang tengah menatap ke depan menoleh cepat kearah rumah Keyla. Tampak pria gempal berambut gondrong tengah menyeret Keyla keluar dari rumah seperti menyeret sebuah karung beras.

Rahangku mengeras, menahan amarah saat melihat pemandangan itu di depan mataku.

Bukankah sudah ku bilang jangan sampai ada kekerasan! Umpatku dalam hati, mengutuk perbuatan si gondrong itu terhadap Keyla.

"Tolong, pak. Apa nggak bisa kasih saya kesempatan sekali lagi.." Keyla memohon, membuat hatiku sakit. Dia pasti sangat ketakutan sekarang. Apa yang aku lakukan sudah berlebihan?

Segera aku turun dari mobil. Sepertinya sudah cukup aku bersembunyi, sekarang waktunya untuk keluar dan mengakhiri ini semua.

"Kita udah sering kasih elo kesempatan." Kata si gondrong sambil melempar koper ditangannya tepat di samping Keyla. "Jangan paksa kita buat lebih kasar lagi ke elo."

"Satu kali lagi, Pak. Saya mohon, saya janji saya bakal lunasin hutang saya."

"Halah, janji-janji doang! Kita udah kenyang makan janji!"

Aku melangkah gontai memasuki perkarangan rumah Keyla, dan menatap gadis yang kini bersimpuh di lantai itu membuat hatiku sakit.

Perasaan yang tidak pernah aku rasakan kepada manusia lain sebelumnya. Apa ini penyakit?

"Apa-apaan ini?!" Bentakku saat sudah sampai di hadapan mereka. Membuat Keyla yang tadinya menundukan kepala mendongak, dan matanya membulat saat melihatku.

"Ben..benedict?" Dia menyebut namaku lirih, dengan binar mata yang menunjukan rasa tidak percaya dengan kedatanganku.

"Siapa lo?!" Suara itu mengalihkan mataku dari Keyla kearah preman-preman yang kini tengah berkacak pingang di sampingku. Terlihat galah namun sekarang sangat cangung dengan ke hadiranku, mungkin mereka tidak terbiasa untuk berakting.

"Pagi-pagi udah ribut aja di rumah orang. Nggak ada kerjaan?" Tanyaku santai kepada mereka melirik kearah Keyla yang kini tampak ketakutan.

"Mau jadi pahlawan lo?!" Bentak salah satu dari mereka yang berambut botak membuatku hampir tertawa. Mereka sangat buruk dalam berakting, pasti mereka sangat gugup berhadapan denganku.

"Lo nggak papa?" Tanyaku mengabaikan mereka, dan menatap Keyla yang bersimpuh di lantai. Dia menggeleng, lalu berkata.

"Cepet pergi dari sini, mereka berbahaya.." perintahnya masih sempat mengkhawatirkan keselamatan orang lain, padahal keadaannya sendiri lebih buruk sekarang.

"Nggak papa, santai aja." Kataku menyakinkan, dan kembali menatap mereka berempat, mengedipkan sebelah mataku kepada mereka tanpa sepengetahuan Keyla, isyarat agar mereka melanjutkan adegan sandiwara ini.

"Pacar lo dah dateng nih, cepet pergi dari sini, sebelum gue seret lo ke jalanan!" kata si Gondrong lagi sesuai naskah.

Keyla kebingungan, dan aku segera menariknya bangun.

"Ayo.." ajakku kemudian, mengenggam tangannya dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku mengambil alih koper yang di ulurkan oleh si Gondrong.

Ini adegan cukup aneh, tapi aku rasa Keyla tidak menyadari ke tololan si Gondrong yang terlihat sangat patuh denganku.

"Setelah dapet apa yang kalian mau, Gue harap kalian nggak ganggu gadis ini lagi." Kataku  menatap mereka memperingatkan.  Lalu menuntun Keyla menyusuri perkarangan rumahnya, menuju ke mobilku yang terparkir tidak jauh dari pintu pagarnya.

TBC.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status