Share

LIMA

BENEDICT POV

Aku menoleh sekilas kearah Keyla yang duduk di sampingku, lalu kembali menatap jalanan di depan sana, kembali fokus memacu mobilku menjauh dari rumah Keyla.

Sama denganku, Kayla masih mengenakan seragam sekolahnya, wajahnya memerah dan sesekali terdengar suara isak tangisan. Gadis itu terdiam, sama sekali tidak berbicara selepas meninggalkan rumahnya.

Sepertinya dia masih sangat  shock atau terpukul atas kejadian yang menimpanya tadi. Dan memikirkan hal itu membuatku merasa bersalah.

Mungkinkah caraku bersandiwara tadi berlebihan?

Aku merasa sangat egois sekarang. Hanya karena keinginan untuk menggikat Keyla cepat-cepat, aku sama sekali tidak mempertimbangkan perasaan gadis tersebut.

Its okay, Benedict.. lo bisa bayar rasa bersalah lo nanti.. kataku pada diriku sendiri, lalu kembali fokus mengemudi.

Namun semakin aku berpikir untuk tenang, semakin aku merasa terbebani dengan sisuasi suram diantara kami sekarang.

Apa yang harus aku katakan? Apa yang harus aku lakukan agar bisa membuatnya tenang?

"Kita mau kemana?" Suara lirih dan serak milik keyla menyadarkan aku yang tenggelam dengan pikiranku sendiri, membuatku menoleh, dan menemukan gadis cantik bermata sembab itu juga tengah menatapku dengan pandangan takut-takut.

Akhirnya dia berbicara.

"Mmm.." aku kembali menatap ke depan, berpikir sejenak, berusaha mencari jawaban yang tepat untuk menjelaskan akan kemana kami sekarang. "Gue pikir dengan keadaan lo sekarang, kita nggak bisa pergi sekolah."

Aku menoleh lagi untuk menatap Keyla, di hadiahi dengan sorot mata kebingungan oleh gadis itu.

"Apa lo punya tujuan yang mau di datengin sekarang?" Tanyaku hati-hati, membuat raut wajah gadis itu berubah semakin kalut.

Batinku tersenyum bahagia saat gadis itu mengelengkan kepala lemah.

Ya, sebenarnya aku sudah tahu dengan jawabannya. Keyla itu puteri tunggal, dan tidak memiliki banyak saudara. Satu-satunya kerabat yang dia miliki adalah pamannya yang bernama Fais.

Namun dari hasil penyelidikan singkat yang aku lakukan, Om Fais hanya pekerja kantor biasa yang memiliki penghasilan pas-pasan, dan dari chat yang aku curi baca dari Keyla di UKS waktu itu, sepertinya Om Fais sudah angkat tangan dari masalah ini.

Jadi, aku tahu Keyla tidak memiliki tempat tujuan sekarang, dan itulah alasan kenapa aku diam-diam membayar hutangnya, namun tetap ingin pengusiran itu tetap dilakukan.

Akulah satu-satunya harapan yang di miliki oleh Keyla.

"Lo nggak perlu khawatir, Key." Kataku lagi, kali ini meraih salah satu yangan Keyla yang terlunglai di pangkuannya, berusaha menenangkan. "Ada gue.." kataku lagi menyakinkan. Sementara gadis itu hanya menatapku nanar.

Ya, semua akan baik-baik saja. Selama ada aku, dia akan baik-baik saja. Aku bisa menjanjikan itu sepenuhnya.

*

KEYLA POV

Aku hanya menurut saat Ben menyeretku masuk kedalam mobil. Tidak ada yang bisa aku lakukan, semua terasa buntu untukku.

Entah bagaimana Ben bisa berada di rumahmu saat preman-preman itu menyeretku keluar dari rumah.

Sungguh ini sanggat memalukan. Ben menemukanku saat aku berada dalam situasi terburukku.

Gadis yang biasanya menolaknya dengan congkak, kini bahkan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Namun aku tidak mempunyai waktu untuk memikirkan itu semua. Otakku tersita sepenuhnya untuk memikirkan nasipku selanjutnya.

Apa yang harus aku lakukan?

Tidak, tidak. Lebih tepatnya, aku harus kemana sekarang? Tidak ada tempat tujuan yang bisa aku datangi.

Selain mama, aku hanya memiliki Om Fais. Namun aku tidak bisa merepotinya lagi dengan menampungku sekarang. Om Fais mungkin akan menerimaku, namun Tante Ana, istri Om Fais pasti akan mengusirku mentah-mentah.

Keyla harus pergi kemana, ma?

Kembali terisak, aku menyeka air mata yang membasahi wajahku. Paling tidak aku harus berhenti menangis di hadapan Benedict.

Mencoba untuk tenang, dan setelah itu mungkin aku bisa berpikir sedikit jernih tentang apa yang harus aku lakukan selanjutnya.

Haruskah aku meminta bantuan Ben? Apa dia masih mau membantuku?

Entah bagaimana, aku tidak tahu bagaimana cara memulai berbicara dengan Ben tentang ini.

Bukankah akan sangat aneh jika aku mengungkit tentang perkataannya yang sudah aku tolak mentah-mentah waktu itu.

Aku juga tidak tahu jika Ben sudah berubah pikiran tentang tawarannya.

Menghela napas panjang, aku memilih untuk menepis pikiran itu, menatap sekeliling, berusaha mengenali jalanan yang di lewati oleh mobil Ben.

Tadi aku mengira jika Ben akan membawaku ke sekolah, namun sekarang aku tidak yakin Ben akan membawaku kemana karena aku sama sekali tidak mengenali jalan yang tengah kami lewati sekarang.

Ragu-ragu aku menoleh kearah Ben yang sedang mengemudi disampingku, menemukan dia tengah fokus menatap jalanan di depan sana.

"Kita mau kemana?" Tanyaku setengah takut, dan Ben langsung menoleh untuk menatapku.

Dia bergumam tidak jelas sebagai tanggapan, kembali menatap ke depan seolah bingung harus menjawab bagaimana.

"Gue pikir dengan keadaan lo sekarang, kita nggak bisa pergi sekolah." Jawabnya kemudian setelah terdiam beberapa saat.

"Apa lo punya tujuan yang mau di datengin sekarang?" Giliran Ben yang bertanya, dan aku kebingungan harus menjawab apa.

Tidak ada pilihan lain bagiku selain jujur terhadap Ben, mengelengkan kepala lemah sebagai tanggapan, aku hanya bisa menundukan kepala dalam-dalam.

"Lo nggak perlu khawatir, Key." Suara Ben kembali terdengar, dan aku tersentak kaget saat tangannya meraih tangan di pangkuanku, mengenggamnya kembut disana.

Mengangkat kepalaku untuk menatapnya, mataku menemukan Ben juga tengah menatapku.

"Ada gue.." kata Ben lagi dengan sorot mata sungguh-sungguh, seolah ingin menyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja.

Apa aku bisa mempercayainya? Untuk saat ini.. apa aku bisa mengandalkanya?

*

Setelah berkendara sekitar duapuluh menit dari rumahku, Ben mengemudikan mobilnya keluar dari jalan raya, memasuki area sebuah gedung.

Mataku menatap sekeliling dengan penasaran, dan jantungku berdegup kencang saat menemukan tulisan besar yang terpasang di sekitar area lobby gedung tersebut.

Rose residence, dari namanya aku tahu tempat ini merupakan komplek apartemen mewah yang berada di pusat kota.

Apa yang Ben lakukan disini? Kenapa dia membawaku kemari?

Aku masih sibuk memikirkan itu saat mobil Ben melewati area lobby, terus bergerak menuju area parkir.

"Ayo turun."

Suara Ben menyadarkanku dari lamunan, membuatku tergagap. Mobil sudah berhenti dan terparkir, sementara Ben menatapku dengan mata menyipit.

"Ayo.." ulang Ben lagi, dia mematikan mesin mobilnya, dan membuka pintu mobil sebelum akhirnya melangkah keluar, meninggalkan aku sendirian.

Ben melangkah berputar menuju pintu mobil tempat aku duduk, membukakan untukku yang masih terdiam tidak bergerak.

"Yuk.." Ben mengulurkan tangannya untukku, dan tanpa paksaan, aku menerima uluran tangannya, membiarkan dia menuntun ku turun dari mobil.

"Karena lo nggak punya tempat tinggal, mulai sekarang lo tinggal sama gue." Kata Ben saat aku sudah turun, sukses membuat mataku melebar.

BENEDICT POV

Aku berjalan melintasi area parkir dengan Keyla yang aku gandeng di tangan kiriku, sementara tangan kananku membawakan kopernya.

Aku tidak bisa berhenti tersenyum di dalam hati, melirik kearah gadis yang tengah berjalan di sampingku dengan perasaan puas.

Semua berjalan sesuai keinginanku.

Siapa sangka semua rencanaku berjalan lancar tanpa hambatan?

Keyla sekarang bersamaku. Dan ini terasa seperti mimpi bagiku. Gadis yang selalu mendorongku menjauh, kini berjalan di sampingku, di genggamanku.

Dulu, berbagai cara sudah aku lakukan untuk menjelaskan perasaan ku kepada Keyla, setulus yang aku bisa, namun gadis itu selalu menolakku mentah-mentah, seolah perasaanku itu adalah hal yang menjijikan.

Walaupun sekarangpun Keyla juga belum membalas perasaanku, namun paling tidak sekarang aku selangkah lebih dekat dengannya.

Dengan dia tinggal bersamaku, mungkin aku bisa menunjukan betapa tulusnya perasaanku kepadanya.

Keyla sama sekali tidak berbicara, terdiam sepanjang perjalanan menuju apartemenku yang berada di lantai 42.

Ruang lift yang hanya berisi aku dan Keyla terasa begitu menyesakan dengan situasi hening diantara kami.

Ini pertama kalinya aku merasakan perasaaan seperti ini. Aneh sekali, tidak biasanya aku merasa gugup saat berada di dekat para wanita.

Aku cukup ahli menangani wanita. Tidak, tidak. Aku sangat ahli menangani wanita. Entah sudah berapa banyak wanita cantik yang jatuh ke tanganku. Namun Keyla berbeda.

Entah apa yang salah denganku, keyla tidak pernah menerima keberadaanku.

Aku juga tidak menyangka dengan kejadian di UKS waktu itu. Fakta Keyla membalas ciumanku sangat membuatku bahagia, walaupun akhirnya dia juga menolakku lagi.

Lift berhenti di lantai 42, berdenting sebagai tanda kami sudah sampai.

Aku menuntun Keyla keluar dari lift, dan gadis itu masih tidak bersuara saat aku membawanya menyusuri lorong menuju apartemenku.

"Benedict.." suara Keyla terdengar, disusul dengan berhentinya langkah gadis itu, membuatku melakukan hal yang sama, lalu menoleh.

"Kenapa?" Tanyaku hati-hati, saat melihat gadis itu terus menundukan kepala menyembunyikan wajahnya dengan rambutnya yang terurai.

"Kenapa, Key?" Tanyaku lagi saat gadis itu hanya terdiam, menghadap kearahnya.

"Gue.. gue.." katanya terbata, seolah kesulitan untuk menyelesaikan ucpannya.

"Heii.." suara ku melembut, melepaskan koper dari tanganku. Mengulurkan tanganku untuk  menangkup sisi wajah Keyla, mengangkatnya naik agar aku bisa melihat wajahnya.

"Gue.. nggak tau harus gimana.." ucapnya sambil terisak.

"Heii.. hei.." aku terkejut saat menemukan wajahnya kini sudah berlinang air mata. "Its okay, Key.." entah apa yang aku pikirkan, spontan aku langsung menarik tubuhnya kepelukanku.

"Ada gue, key.." aku menepuk pungungnya lembut, membiarkan gadis itu menangis di dekapanku.

Setelah melihatnya sedikit tenang, aku meraih bahunya, mendorongnya sedikit kebelakang agar aku bisa melihat wajahnya.

Kusisir rambut yang tergerai menutupi separuh wajahnya dengan jariku, menyisipkan ke belakang telinga.

"Ini akan baik-baik aja, Key.. lo nggak perlu khawatir.." kataku berusaha menyakinkannya, namun kata-kataku malah membuat tanggisnya kembali pecah.

Tidak ada pilihan lain untukku selain kembali memeluk tubuh munggik itu sekali lagi. Mendekapnya seerat dan selembut mungkin.

Mungkin bagimu kata-kataku sekarang hanya omong kosong belaka, Key. Tapi aku janji sama diriku sendiri, aku akan selalu melindungimu, apapun yang terjadi.

Setelah sudah sedikit lebih tenang, aku kembali menuntun Keyla menuju apartemenku. Aku bisa melihat keraguan yang di rasakan okeh gadis itu, tidak ada yang bisa aku lakukan, selain terus mengatakan jika semua akan baik-baik saja, aku akan berada di sisinya untuk melindunginya.

"Mulai sekarang, lo tinggal disini.." kataku sebagai salam menyambutan, saat kami sudah memasuki apartemenku. Dan Keyla sama sekali tidak menyahut.

Menatap Keyla, aku meraih kedua tangannya, mengenggamnya.

"Tenang aja, gue udah tinggal sendirian sejak masuk SMA. Jadi lo nggak perlu khawatirin ada orang lain, cuma ada gue." Kataku menyakinkan, berusaha membuatnya tenang.

Tidak membuang banyak waktu, aku menariknya masuk. Menyusuri bagian dalam apartemenku, menuntunnya ke ruang tamu.

"Lo duduk sini, biar gue ambilin minum.." perintahku lembut, membimbing Keyla untuk duduk di sofa.

Setelah gadis itu duduk, aku bergegas menuju area dapur untuk mengambilkan minuman untuk Keyla.

Ya, aku benar-benar hidup sendirian sejak masuk SMA dan orang tuaku tidak begitu ambil pusing dengan keputusanku. Mereka terlalu sibuk dengan urusan bisnis mereka, hingga tidak memiliki waktu luang untuk mengurusi hidupku.

Selain itu, sejak usiaku menginjak tujuh belas tahun, orang tuaku sudah memberiku aset atas namaku sendiri, termasuk beberapa unit apartemen mewah. Jadi aku leluasa hidup dimana pun aku suka.

Berpikir sebentar tentang minuman apa yang harus aku berikan untuk Keyla, aku memutuskan untuk membuatkannya teh hangat.

Tidak butuh waktu lama, aku sudah meninggalkan area dapur, kembali menghampiri Keyla dengan satu gelas teh hangat di tangan.

"Hey.." sapaku saat sudah sampai di hadapan Keyla, lalu ikut duduk di sampingnya.

"Nih minum dulu.." kataku mengulurkan gelas di tanganku kepadanya. Aku tersenyum saat gadis itu mengambil alih gelas teh hangat di tanganku dengan ragu-ragu.

"Thanks, Ben.." ucapnya sambil menatapku, membuatku mengangguk dan kembali tersenyum. Mengamati gadis yang kini tengah menyesap teh ditangannya dengan hati-hati, dan itu membuatku tidak bisa berhenti tersenyum sekarang.

Ini terdengar sangat salah, bagaimana bisa aku merasa bahagia diatas penderitaan Keyla? Bukankah ini sangat kelewatan?

Menarik napas, aku tidak bisa menahan diri untuk mengulurkan tanganku untuk menyentuhnya. Keyla sedikit tersentak saat telapak tanganku menyentuh pipinya, menangkup sisi wajahnya, mengusapnya lembut.

Ini sangat gila, namun nyata. Disaat aku menyentuhnya seperti ini, ada bagian dari tubuhku hang bereaksi berlebihan. Seolah tidak pernah menyentuh wanita sebelumnya, sisi bejat Benedict seolah langsung bangkit saat aku bersama Keyla.

Membuatku ingin melakukan yang tidak-tidak saja.

"Lo.. nggak penasaran dengan apa yang terjadi sama gue?" Suara Keyla kembali terdengar, menarikku keluar dari pikiran kotor yang hampir mengusai otakku sepenuhnya.

Dia meletakkan gelas di tangannya ke meja, menatapku dengan matanya yang sembab.

"Gue nggak akan maksa lo buat ceritain masalah lo sekarang.." jawabku beralih untuk mengenggam tangannya lagi. "Tapi kalo lo mau cerita, gue akan dengerin, kapan pun lo mau."

Setelah aku menyelesaikan ucapanku, entah kenapa air mata Keyla kembali membanjiri wajahnya, disusul dengan isak tangis memilukan yang sudah sempat reda.

"Heii.." ku rengkuh tubuhnya kepelukan. "Jangan nangiss.." kataku berusaha menenangkannya.

"Kenapa.. kenapa lo baik sama gue?" Tanya dia dengan nada terbata. Dan pertanyaan itu membuatku kebingungan harud menjawab apa.

Mungkin jika aku menjawab karena aku mencintainya, Keyla akan menganggap jawabanku hanyalah omong kosong semata.

"Karena.. karena gue peduli sama lo.." ku hirup aroma shampo yang menguar dari rambutnya dalam-dalam, mendekap tubuhnya semakin erat.

Maaf jika aku mengunakan kelemahanmu untuk membuatmu dekat denganku, Key.

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status