BENEDICT POV
Suara hingar bingar musik memenuhi setiap penjuru bar. Dengan pencahayaan remang-remang gemerlap khas dunia malam.
Tidak seperti biasanya yang selalu bersemangat untuk berpesta, aku bahkan merasa pusing dengan suara memekakan telinga itu.
Aku merasa ada yang salah pada diriku malam ini.
Semua terasa membosankan. Bahkan tubuh seksi Vira yang kini sudah setengah telanjang di pangkuanku tidak bisa membuat Albert kesayanganku berdiri tegak seperti biasa.
Kutatap lantai dansa di depan sana yang sudah dipenuhi oleh manusia tanpa minat. Jika bukan karena Kevin yang tidak berhenti mengangguku dengan terus menelpon agar aku datang ke bar, aku pasti lebih memilih untuk tidur dirumah.
Aku bergumam jengah saat Vira mulai mencium leherku, lalu bibirnya bergerak turun menjilat leherku. Aku kembali mengerang. Ingatan tentang ciuman Keyla kembali berputar di kepalaku, bagaimana gadis reaksi polos gadis itu, ciuman amatir yang memberikan efek yang sangat kuat pada diriku. Keyla jelas gadis yang berbeda. Andai saja dia disini sekarang, tentu aku tidak akan terjebak dalam situasi membosankan seperti ini.
"Udah ah, cukup." Tolakku cepat saat jemari Vira bergerak untuk membuka kancing kemejaku, kudorong tubuhnya turun dari pangkuanku, lalu bangkit dari sofa tempat aku duduk.
Kevin, Nathan, dan Diksi yang tengah bermain biliar menatapku heran. Mungkin mereka juga menyadari jika tingkahku tidak biasa.
"Lo enggak papa?" Tanya Kevin dengan stik ditangannya. Mengalihkan matanya dari bola warna-warni di hadapannya untuk menatapku.
"Enggak papa, emang kenapa?" Jawabku balik bertanya, meninggalkan Vira dengan beralih ke sofa lain, lalu duduk disana. Ku tatap gelas anggur ku yang isinya masih tersisa setengah, meraihnya, dan menyesap isinya sedikit.
"Lo impoten?"
Pertanyaan Diksi hampir membuatku menyemburkan anggur yang sedang aku minum, menatapnya tidak percaya.
"Habis gue amatin elo udah kayak nggak doyan cewek." Terang Diksi tanpa melihat kearahku karena sibuk dengan stik dan bola warna warni di papan biliar.
"Atau lo kena HIV?" Kali ini Nathan menatapku curiga.
"Gila ya kalian! Temennya berhenti bikin dosa bukannya didukung malah mikir yang enggak-enggak!"
"Bukan gimana, aneh aja tingkah lo tuh. Elo udah nggak doyan cewek sekarang?" Kata Kevin membela diri.
"Udah ah, terserah kalian mau mikir gimana." Tanggapku malas lalu menyesap anggur di gelasku hingga tandas. "Gue mau pulang." Kataku lagi lalu bangkit dari dudukku.
"Terus gue gimana?" Renggek Vira dengan logat manjanya yang membuatku mual.
"Main aja sama mereka." Jawabku acuh, menunjuk kearah mereka bertiga, sebelum akhirnya melangkah menjauh dari sana.
"Mau jadi kyai lo?!" Teriak Kevin lagi, yang hanya aku balas dengan menggangkat satu tanganku keatas, dan terus berjalan menuju pintu keluar.
*
Aku memacu porche hitamku keluar dari area parkir bar. Melesat cepat membelah jalanan yang sepi dengan kecepatan tinggi. Ku lirik jam di pergelangan tanganku, sekarang sudah jam 12:03.
Ku hela napas panjang, berusaha mengusir rasa jenuh dalam diriku. Otakku terus dipenuhi oleh nama Keyla, tentang penolakannya tadi siang, dan juga fakta yang tadi sore aku ketahui, tetang hutangnya yang sudah akan jatuh tempo besok.
Kenapa aku terus merasa gelisah seperti ini? Apa yang harus kulakukan? Kenapa aku harus peduli? Toh dia yang sudah menolakku.
Ku ketuk-ketukan jariku di kemudi mobil, berusaha mengendalikan pikiranku yang sangat kacau sekarang. Ku injak pedal gasku semakin dalam, memacu mobilku semakin cepat, tanpa arah.
Dan disinilah aku sekarang, di depan rumah munggil sederhana yang tampak rapi, terawat.
Ya, pasti aku sudah gila!
Aku menghela napas panjang. Kembali menatap rumah dihadapanku itu sekali lagi, dan memutuskan untuk menghidupkan mesin mobilku, berencana untuk pergi dari sana. Tapi yang kulakukan selanjutnya adalah kembali mematikan mesin mobilku, dan turun dari mobil dengan cepat.
Persetan lah! Umpatku dalam hati, sebelum akhirnya melangkah mendekati pagar setinggi pingang yang mengelilingi rumah sederhana tersebut.
Dan saat aku membukanya, ternyata tidak terkunci, membuatku melangkah masuk dengan mudah. Perlahan, aku menyusuri bagian dalam perkarangan rumahnya yang ditumbuhi oleh rumput dan bermacam-macam bunga.
Gadis itu ternyata tidak hanya pintar dalam hal akademik saja, tapi juga cukup pintar mengatur rumahnya yang sederhana menjadi cukup enak untuk dilihat.
Aku sudah mencari tahu tentang Keyla akhir-akhir ini. Ayahnya meninggal saat dia berusia 4 tahun, dan ibunya koma karena kecelakaan saat pulang kerja tahun lalu. Membuatnya tinggal sendirian, dan melewati hidup yang sulit di usianya yang masih muda.
Awalnya aku hanya penasaran dengan kehidupan gadis yang selalu menghindar, bahkan menatapku tidak suka saat aku mendekatinya. Tapi semakin lama aku mengamati, Keyla menjadi semacam obsesi untukku. Ya, ini adalah pertama kalinya aku menghadapi gadis seperti Keyla, karena biasanya, tanpa perlu mengejarpun ,mereka sudah antre, menyodorkan diri kepadaku dengan suka rela.
Aku mengamati bagian depan rumahnya yang remang-remang berkat lampu yang mengantung di teras. Bagian dalam rumahnya gelap, dan mataku tertarik dengan cahaya temaram di sisi lain rumahnya. Satu-satunya cahaya yang aku tangkap dari dalam rumahnya.
Aku melangkah perlahan mendekati cahaya tersebut, berusaha tidak menimbulkan suara berisik, dari derap langkahku. Ya, sepertinya aku sudah benar-benar tidak waras, menyelinap ke rumah orang tengah malam seperti maling. Ini benar-benar tidak masuk akal untuk seorang Benedict, apa aku kerasukan?
Bodo amat lah!
Ku lanjutkan langkahku dengan hati-hati, menghampiri jendela kaca yang terpasang di bagian depan, lalu mengintip ke dalam dari sana.
"HUWAAA!!"
Aku berteriak dan terjungkal kebelakang karena kaget. Tidak, tidak. Kami berteriak kencang bersama, aku dan Keyla yang ternyata tengah duduk di depan meja belajar yang menghadap ke jendela yang tengah aku intip. Dia pasti terkaget dengan kemunculanku yang tiba-tiba, dan aku yang juga sangat kaget saat langsung berkontak mata dengannya, spontan ikut berteriak saat Keyla menjerit.
"Hey! Siapa itu?!" Teriaknya lagi dari dalam, terdengar gugup dan takut yang menjadi satu, disusul dengan terbukanya jendela kaca di hadapanku.
Spontan Aku langung bangun, membersihkan pungungku dari tanah, dan menayap Keyla yang kini sudah berdiri di depan jendela dengan sebuah kayu panjang di tangannya yang entah dia dapat dari mana.
"Ini gue, Ben.." sahutku sedikit gugup, lalu melangkah maju agar Keyla bisa melihatku dengan jelas. Dan aku bisa melihat matanya membulat lebar
"Elo?" Dia terkaget saat melihatku. "Ngapain lo disini?" Tanyanya Keyla lagi jelas tidak suka dengan keberadaaku.
"Mmm.." aku bergumam tidak jelas, memberi jeda pada ucapanku sembari berpikir kata apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan Keyla barusan. "Bertamu?" Jawabku sekenanya lebih mirip dengan pertanyaan dari pada peryataan. Ya, karena aku memang tidak memiliki alasan yang jelas, dan tidak ada waktu juga untuk memikirkan jawaban yang tepat.
"Bertamu? Lo gila ya?!" Teriaknya marah, dan..
Brak!
Dia menutup kembali jendela kamarnya dengan cara membantingnya dari dalam tepat di depan mukaku.
Kutatap jendela kaca yang kini sudah tertutup rapat itu sekali, sebelum akhirnya menghembuskan napas berat, dan memutuskan untuk menjauh dari sana.
Ya, Keyla benar, sepertinya aku memang sudah gila. Tidak, tidak, bukan sepertinya, tapi aku sudah sepenuhnya gila. Entah apa yang ada dalam otakku, datang ke rumah orang tengah malam begini.
Memukul kepalaku yang sepertinya bermasalah akhir-akhir ini, aku hanya bisa menghela napas berat di sela langkahku menyusuri area rumah gadis itu yang jauh dari kata terang.
Dia berhemat atau apa sih? Apa salahnya memasang lampu yang sedikit bercahaya? Runtukmu lagi dalam hati menatap lampu kecil yang bersinar kekuningan itu dengan tatapan sebal. Ya, aku berusaha mencari sesuatu yang bisa di salahkan sekarang, agar rasa kesal dalam diriku sedikit berkurang.
Dan saat kakiku yang melangkag tanpa semangat sudah sampai bagian depan rumah, Pintu kayu itu terbuka, disusul munculnya Keyla disana.
Kemunculannya yang tiba-tiba itu hampir membuatku melompat saking kagetnya, beruntung aku bisa mengontrol diriku. Jika sampai aku terjungkal untuk kedua kalinya, pasti itu akan terlihat sangat konyol di mata gadis itu.
"Lo nggak papa?" Tanya Keyla kemudian, membuat dahiku mengerut dalam menatapnya.
"Iya?" Jawabku balik bertanya tidak paham. Dan aku bisa mendengar Keyla mendengus kesal.
"Punggung lo." Jawabnya dengan nada enggan. "Baik-baik aja?" Tanya kayla lagi memastikan.
Ah, ternyata dia mengkhawatirkan pungungku.
"Nggak papa, kok. Gue rasa pungung gue masih dalam posisi normal." Gurauku sambil mengelus bagian pungungku yang sebenarnya sedikit terasa sakit. Sepertinya aku tadi menghantam pot bunga saat jatuh.
"Oh, yaudah. Sana pulang" Kata Keyla lagi, sebelum akhirnya kembali menutup pintu rumahnya.
Udah? Gitu aja?
Aku menatap pintu kayu yang kini sudah tertutup itu, lalu tersenyum. Gadis itu sangat lucu.
Dengan tawa kecil aku kembali melangkah menyusuri perkarangan rumahnya, keluar dari pagar. Kepalaku menoleh sekali lagi untuk menatap rumah kecil di belakangku itu, dan mengamatintq sebentar, sebelum akhirnya berjalan menuju mobilku yang terparkir tidak jauh dari sana.
Jujur saja aku sangat ingin bersama Keyla sekarang. Tapi aku harus bersabar malam ini. Bukan begini cara mainnya. Dan aku sudah memiliki rencana untuk mendapatkannya.
TBC.
KEYLA POVAku tidak bisa tidur semalaman. Terus memikirkan hari esok yang akan aku lewati. Otakku melayang, membayangkan anak buah Pak Bani datang membuatku merinding tidak nyaman. Aku merubah posisi tidurku menjadi meringkuk, bergelung di bawah selimut, mencoba kembali memejamkan mataku.Apa aku melakukan kesalahan saat menolak tawaran Ben tadi? Sebenarnya sekarang aku cukup tergiur dengan tawarannya, tapi hati kecil ku berkata lain. Aku terlalu memikirkan harga diriku tadi.Sebenarnya aku hanya terlalu malu tadi setelah kami berciuman. Dan aku langsung menolak tawarannya tanpa berpikir panjang.Aku tidak berniat untuk menjual diri kepada Ben, tapi paling tidak aku bisa bernegosiasi dengannya untuk meminjamiku uang, dan aku akan membayarnya dengan cara mencicil sedikit demi sedikit. Toh dari gaya bicaranya dia terlihat bisa memberiku uang dengan cuma-cuma saat aku mau menjadi pacarn
BENEDICT POVAku menoleh sekilas kearah Keyla yang duduk di sampingku, lalu kembali menatap jalanan di depan sana, kembali fokus memacu mobilku menjauh dari rumah Keyla.Sama denganku, Kayla masih mengenakan seragam sekolahnya, wajahnya memerah dan sesekali terdengar suara isak tangisan. Gadis itu terdiam, sama sekali tidak berbicara selepas meninggalkan rumahnya.Sepertinya dia masih sangat shock atau terpukul atas kejadian yang menimpanya tadi. Dan memikirkan hal itu membuatku merasa bersalah.Mungkinkah caraku bersandiwara tadi berlebihan?Aku merasa sangat egois sekarang. Hanya karena keinginan untuk menggikat Keyla cepat-cepat, aku sama sekali tidak mempertimbangkan perasaan gadis tersebut.Its okay, Benedict.. lo bisa bayar rasa bersalah lo nanti.. kataku pada diriku sendiri, lalu kembali fokus mengemudi.Namun semakin aku berp
KEYLA POVAku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, bahkan tidak sekalipun terlintas di pikiran jika aku akan tinggal bersama Ben dalam satu rumah.Ini terlalu gila.Oke, aku pernah berpikir untuk meminta bantuannya, berpikir untuk menerima tawaran yang dia tawarkan kepadaku waktu itu, tapi aku tidak pernah menyangka jika begini akhirnya.Satu rumah dengan Ben? Aku?Astaga! Ini benar-benar gila, dan yang membuatku semakin gila, aku bahkan tidak memiliki pilihan lain selain menerima tawarannya. Aku tidak memiliki uang, dan aku sama sekali tidak memiliki tempat tujuan.Ini sudah hari kedua sejak Ben membawaku ke apartemennya. Dia memberiku tempat tinggal dan juga sebuah kamar. Kemarin, Ben memaksaku untuk beristirahat, memberikan waktu sendirian seharian, dan menggurusi semua kebutuhanku.Jadi, ha
"Ben..?" Ulangku sekali lagi, kali ini berusaha melepaskan diri dari pelukan Ben, namun cowok itu malah mendekapku semakin erat."Gue kira elo pergi.." aku tersikap saat mendengar suara Ben. Membuat alisku mengerut didalam pelukannyaApa dia masih setengah tidur? Apa kesadarannya belum pulih sepenuhnya? Atau dia mengira aku orang lain?"Jangan pergi.." pintanya sekali lagi."Heii.." kataku berusaha membuatnya tersadar. "Gue disini, Ben. Nggak kemana-mana.." kataku lagi, menepuk punggungnya yang telanjang dengan hati-hati.Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan ini, namun saat jemariku menyentuh pungungnya, aku bisa merasakan kulit yang halus dan hangat dengan otot-otot yang tidak berlebihan."jangan tinggalin gue.." gumamnya lirih menyadarkanku dari pikiran aneh yang sempat berkelebat di kepalaku. Ben tidak berniat melepaskan pelukannya, dan aku bisa merasakann d
BENEDICT POVAku mengemudikan mobilku keluar dari tempat parkir, meninggalkan area apartemenku menuju sekolah bersama dengan Keyla yang kini duduk terdiam di jok sampingku.Dia sama sekali tidak bersuara sejak keluar dari lift, dan bodohnya, aku juga melakukan hal yang sama.Jujur saja, aku merasa bersalah dengan kelakuanku saat di lift tadi. Tapi perkataan Keyla benar-benar membuatku marah.Pergi dari rumahku? Dia merepotkan? Dia tidak akan menggangguku lagi?Bahkan sekarang saat aku memikirkan perkataannya lagi, amarahku kembali naik tanpa undangan.Menghirup napas dalam untuk menenangkann diri, Aku mencengkram kemudi mobilku hingga buku-buku jariku memutih, berusaha menahan emosiku sekuat tenaga. Sebagai gantinya, aku menekan pedal gas mobilku dalam-dalam, memacu mobilku semakin cepat, meliuk-liuk diantara kendaraan yang melaju begitu lambat dimataku.
KEYLA POVAku menarik tangan Sissy menuju pintu kelas, meninggalkan Benedict yang kini menatap kepergian kami berdua dengan pandangan tidak percaya. Membawa sahabatku itu keluar dari kelas, aku bisa merasakan kilatan marah di mata Ben. Namun, aku memilih untuk mengabaikannya, aku tidak siap untuk bertemu dengan pria itu sekarang, setelah apa yang kami lakukan tadi pagi. Ciuman di lift, dan juga adegan di gedung parkir. Memikirkan itu semua saja sudah membuat jantungku berdebar dengan begitu cepat. Wajahku juga terasa begitu panas sekarang. "Keyla!" Sentakan dan juga suara Sissy yang meninggi membuatku terdasar, dan menarikku keluar dari lamunan panjang. Aku berhenti melangkah, menoleh untuk menatap sahabatku itu dengan tatapan tidak paham. "Apaan?" Aku bertanya dengan nada sedikit cangung, bayangan yang terlintas di otakku tadi membuatku merasa tidak nyaman."Lo di panggilin berkali-kali nggak nyahut!" Protes gadis cantik itu dengan bibir mengerucut, menandakan dirinya tengah k
Note : chapter ini dan seterusnya akan menggunakan AUTHOR POV/ sudut pandang orang ke 3. ⬇️⬇️⬇️Benedict tidak bisa menyembunyikan senyuman di bibirnya. Memilih untuk mengabaikan mata-mata yang terus menatapnya sepanjang jalan menuju kelas Keyla, tangannya masih mengenggam erat pergelangan cewek yang berjalan di sampingnya itu.Bagaimana bisa hanya dengan bergandengan tangan bisa membuatnya begitu bahagia? Batin Ben bertanya-tanya. Ya, mungkin dirinya benar-benar sudah gila sekarang, atau apapun itu namanya, Ben benar-benar tidak peduli. Tidak butuh waktu lama, mereka berdua sampai di depan kelas Keyla dan dengan berat hati, Benedict melepaskan tangan cewek tersebut. "Gue.. masuk dulu.." pamit Keyla kepada Benedict dengan nada ragu-ragu. Tangannya meraih sejumput rambut yang jatuh ke wajahnya, lalu menyematkannya ke belakang telinga untuk menutupi rasa gugup yang menguasai dirinya. "Oke." Jawab Ben mengangguk, merasa gemas dengan tingkah Keyla sekarang. Jika mereka tidak sedang be
Setelah menunggu hampir tiga puluh menit sendirian di ruang santai, akhirnya Benedict mendengar pergerakan yang berasal dari pintu kamar Keyla. Menoleh ke arah suara, Ben menemukan Keyla tengah berjalan gontai ke arahnya. Gadis itu mengenakan kaos oversize yang di padukan dengan celana pendek sepaha. Sederhana, namun di mata Benedict, penampilan Keyla sekarang tampak begitu sempurna. Kecantikan natural dari gadis yang baru saja selesai membersihkan diri itu membuat Benedict terkesima hingga terpaku di tempatnya duduk sekarang. Tatapan lekat dari mata tajam milik Ben kepadanya membuat Keyla sangat tidak nyaman. Gadis itu salah tingkah, memilih berdiri di dekat sofa yang di duduki oleh Ben, merasa gugup dan bingung dengan apa yang harus dia lakukan sekarang. "Kok malah bengong di situ," Tegur Benedict memecah keheningan di antara mereka, membuat gadis itu terlihat terperanjat. "Sini duduk." Kata Benedict lagi, menepuk ruang kosong di samping dia duduk sekarang. Dengan ekspresi waja