Share

TIGA

BENEDICT POV

Suara hingar bingar musik memenuhi setiap penjuru bar. Dengan pencahayaan remang-remang gemerlap khas dunia malam. 

Tidak seperti biasanya yang selalu bersemangat untuk berpesta, aku bahkan merasa pusing dengan suara memekakan telinga itu. 

Aku merasa ada yang salah pada diriku malam ini.

 Semua terasa membosankan. Bahkan tubuh seksi Vira yang kini sudah setengah telanjang di pangkuanku tidak bisa membuat Albert kesayanganku berdiri tegak seperti biasa. 

Kutatap lantai dansa di depan sana yang sudah dipenuhi oleh manusia tanpa minat. Jika bukan karena Kevin yang tidak berhenti mengangguku dengan terus menelpon agar aku datang ke bar, aku pasti lebih memilih untuk tidur dirumah. 

Aku bergumam jengah saat Vira mulai mencium leherku, lalu bibirnya bergerak turun menjilat leherku. Aku kembali mengerang. Ingatan tentang ciuman Keyla kembali berputar di kepalaku, bagaimana gadis reaksi polos gadis itu, ciuman amatir yang memberikan efek yang sangat kuat pada diriku. Keyla jelas gadis yang berbeda. Andai saja dia disini sekarang, tentu aku tidak akan terjebak dalam situasi membosankan seperti ini.

"Udah ah, cukup." Tolakku cepat saat jemari Vira bergerak untuk membuka kancing kemejaku, kudorong tubuhnya turun dari pangkuanku, lalu bangkit dari sofa tempat aku duduk. 

Kevin, Nathan, dan Diksi yang tengah bermain biliar menatapku heran. Mungkin mereka juga menyadari jika tingkahku tidak biasa. 

"Lo enggak papa?" Tanya Kevin dengan stik ditangannya. Mengalihkan matanya dari bola warna-warni di hadapannya untuk menatapku. 

"Enggak papa, emang kenapa?" Jawabku balik bertanya, meninggalkan Vira dengan beralih ke sofa lain, lalu duduk disana. Ku tatap gelas anggur ku yang isinya masih tersisa setengah, meraihnya, dan menyesap isinya sedikit.

"Lo impoten?" 

Pertanyaan Diksi hampir membuatku menyemburkan anggur yang sedang aku minum, menatapnya tidak percaya. 

"Habis gue amatin elo udah kayak nggak doyan cewek." Terang Diksi tanpa melihat kearahku karena sibuk dengan stik dan bola warna warni di papan biliar. 

"Atau lo kena HIV?" Kali ini Nathan menatapku  curiga.

"Gila ya kalian! Temennya berhenti bikin dosa bukannya didukung malah mikir yang enggak-enggak!" 

"Bukan gimana, aneh aja tingkah lo tuh. Elo udah nggak doyan cewek sekarang?" Kata Kevin membela diri.

"Udah ah, terserah kalian mau mikir gimana." Tanggapku malas lalu menyesap anggur di gelasku hingga tandas. "Gue mau pulang." Kataku lagi lalu bangkit dari dudukku.

"Terus gue gimana?" Renggek Vira dengan logat manjanya yang membuatku mual.

"Main aja sama mereka." Jawabku acuh, menunjuk kearah mereka bertiga, sebelum akhirnya melangkah menjauh dari sana.

"Mau jadi kyai lo?!" Teriak  Kevin lagi, yang hanya aku balas dengan menggangkat satu tanganku keatas, dan terus berjalan menuju pintu keluar. 

*

Aku memacu porche hitamku keluar dari area parkir bar. Melesat cepat membelah jalanan yang sepi dengan kecepatan tinggi. Ku lirik jam di pergelangan tanganku, sekarang sudah jam 12:03.

Ku hela napas panjang, berusaha mengusir rasa jenuh dalam diriku. Otakku terus dipenuhi oleh nama Keyla, tentang penolakannya tadi siang, dan juga fakta yang tadi sore aku ketahui, tetang hutangnya yang sudah akan jatuh tempo besok.

Kenapa aku terus merasa gelisah seperti ini? Apa yang harus kulakukan? Kenapa aku harus peduli? Toh dia yang sudah menolakku. 

Ku ketuk-ketukan jariku di kemudi mobil, berusaha mengendalikan pikiranku yang sangat kacau sekarang. Ku injak pedal gasku semakin dalam, memacu mobilku semakin cepat, tanpa arah. 

Dan disinilah aku sekarang, di depan rumah munggil sederhana yang tampak rapi, terawat. 

Ya, pasti aku sudah gila! 

Aku menghela napas panjang. Kembali menatap rumah dihadapanku itu sekali lagi, dan memutuskan untuk menghidupkan mesin mobilku, berencana untuk pergi dari sana. Tapi yang kulakukan selanjutnya adalah kembali mematikan mesin mobilku, dan turun dari mobil dengan cepat. 

Persetan lah! Umpatku dalam hati, sebelum akhirnya melangkah mendekati pagar setinggi pingang yang mengelilingi rumah sederhana tersebut. 

Dan saat aku membukanya, ternyata tidak terkunci, membuatku melangkah masuk dengan mudah. Perlahan, aku menyusuri bagian dalam perkarangan rumahnya yang ditumbuhi oleh rumput dan bermacam-macam bunga. 

Gadis itu ternyata tidak hanya pintar dalam hal akademik saja, tapi juga cukup pintar mengatur rumahnya yang sederhana menjadi cukup enak untuk dilihat. 

Aku sudah mencari tahu tentang Keyla akhir-akhir ini. Ayahnya meninggal saat dia berusia 4 tahun, dan ibunya koma karena kecelakaan saat pulang kerja tahun lalu. Membuatnya tinggal sendirian, dan melewati hidup yang sulit di usianya yang masih muda. 

Awalnya aku hanya penasaran dengan kehidupan gadis yang selalu menghindar, bahkan menatapku tidak suka saat aku mendekatinya. Tapi semakin lama aku mengamati, Keyla menjadi semacam obsesi untukku. Ya, ini adalah pertama kalinya aku menghadapi gadis seperti Keyla, karena biasanya, tanpa perlu mengejarpun ,mereka sudah antre, menyodorkan diri kepadaku dengan suka rela. 

Aku mengamati bagian depan rumahnya yang remang-remang berkat lampu yang mengantung di teras. Bagian dalam rumahnya gelap, dan mataku tertarik dengan cahaya temaram di sisi lain rumahnya. Satu-satunya cahaya yang aku tangkap dari dalam rumahnya. 

Aku melangkah perlahan mendekati cahaya tersebut, berusaha tidak menimbulkan suara berisik, dari derap langkahku. Ya, sepertinya aku sudah benar-benar tidak waras, menyelinap ke rumah orang tengah malam seperti maling. Ini benar-benar tidak masuk akal untuk seorang Benedict, apa aku kerasukan? 

Bodo amat lah!

Ku lanjutkan langkahku dengan hati-hati, menghampiri jendela kaca yang terpasang di bagian depan, lalu mengintip ke dalam dari sana. 

"HUWAAA!!" 

Aku berteriak dan terjungkal kebelakang karena kaget. Tidak, tidak. Kami berteriak kencang bersama, aku dan Keyla yang ternyata tengah duduk di depan meja belajar yang menghadap ke jendela yang tengah aku intip. Dia pasti terkaget dengan kemunculanku yang tiba-tiba, dan aku yang juga sangat kaget saat langsung berkontak mata dengannya, spontan ikut berteriak saat Keyla menjerit. 

"Hey! Siapa itu?!" Teriaknya lagi dari dalam, terdengar gugup dan takut yang menjadi satu, disusul dengan terbukanya jendela kaca di hadapanku. 

Spontan Aku langung bangun, membersihkan pungungku dari tanah,  dan menayap Keyla yang kini sudah berdiri di depan jendela dengan sebuah kayu panjang di tangannya yang entah dia dapat dari mana. 

"Ini gue, Ben.." sahutku sedikit gugup, lalu melangkah maju agar Keyla bisa melihatku dengan jelas. Dan aku bisa melihat matanya membulat lebar

"Elo?" Dia terkaget saat melihatku. "Ngapain lo disini?"  Tanyanya Keyla lagi jelas tidak suka dengan keberadaaku. 

"Mmm.." aku bergumam tidak jelas, memberi jeda pada ucapanku sembari berpikir kata apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan Keyla barusan. "Bertamu?" Jawabku sekenanya lebih mirip dengan pertanyaan dari pada peryataan. Ya, karena aku memang tidak memiliki alasan yang jelas, dan tidak ada waktu juga untuk memikirkan jawaban yang tepat. 

"Bertamu? Lo gila ya?!" Teriaknya marah, dan..

Brak! 

Dia menutup kembali jendela kamarnya dengan cara membantingnya dari dalam tepat di depan mukaku. 

Kutatap jendela kaca yang kini sudah tertutup rapat itu sekali, sebelum akhirnya menghembuskan napas berat, dan memutuskan untuk menjauh dari sana. 

Ya, Keyla benar, sepertinya aku memang sudah gila. Tidak, tidak, bukan sepertinya, tapi aku sudah sepenuhnya gila. Entah apa yang ada dalam otakku, datang ke rumah orang tengah malam begini. 

Memukul kepalaku yang sepertinya bermasalah akhir-akhir ini, aku hanya bisa menghela napas berat di sela langkahku menyusuri area rumah gadis itu yang jauh dari kata terang. 

Dia berhemat atau apa sih? Apa salahnya memasang lampu yang sedikit bercahaya? Runtukmu lagi dalam hati menatap lampu kecil yang bersinar kekuningan itu dengan tatapan sebal. Ya, aku berusaha mencari sesuatu yang bisa di salahkan sekarang, agar rasa kesal dalam diriku sedikit berkurang. 

Dan saat kakiku yang melangkag tanpa semangat sudah sampai bagian depan rumah, Pintu kayu itu terbuka, disusul munculnya Keyla disana.

Kemunculannya yang tiba-tiba itu hampir membuatku melompat saking kagetnya, beruntung aku bisa mengontrol diriku. Jika sampai aku terjungkal untuk kedua kalinya, pasti itu akan terlihat sangat konyol di mata gadis itu. 

"Lo nggak papa?" Tanya Keyla kemudian, membuat dahiku mengerut dalam menatapnya.

"Iya?" Jawabku balik bertanya tidak paham. Dan aku bisa mendengar Keyla mendengus kesal.

"Punggung lo." Jawabnya dengan nada enggan. "Baik-baik aja?" Tanya kayla lagi memastikan. 

Ah, ternyata dia mengkhawatirkan pungungku. 

"Nggak papa, kok. Gue rasa pungung gue masih dalam posisi normal." Gurauku sambil mengelus bagian pungungku yang sebenarnya sedikit terasa sakit. Sepertinya aku tadi menghantam pot bunga saat jatuh.

"Oh, yaudah. Sana pulang" Kata Keyla lagi, sebelum akhirnya kembali menutup pintu rumahnya. 

Udah? Gitu aja? 

Aku menatap pintu kayu yang kini sudah tertutup itu, lalu tersenyum. Gadis itu sangat lucu. 

Dengan tawa kecil aku kembali melangkah menyusuri perkarangan rumahnya, keluar dari pagar. Kepalaku menoleh sekali lagi untuk menatap rumah kecil di belakangku itu, dan mengamatintq sebentar, sebelum akhirnya berjalan menuju mobilku yang terparkir tidak jauh dari sana. 

Jujur saja aku sangat ingin  bersama Keyla sekarang. Tapi aku harus bersabar malam ini. Bukan begini cara mainnya. Dan aku sudah memiliki rencana untuk mendapatkannya. 

TBC.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status