Share

PERNIKAHAN ANAK SMA
PERNIKAHAN ANAK SMA
Author: Anggiliashinta

SATU

#KEYLA POV

Brak! Brak! Brak! 

"Buka! Buka pintunya!!" 

Aku yang tengah bersiap untuk sekolah di kamar dikejutkan oleh suara orang mengetuk pintu rumahku dengan kasar. Seiring berjalannya waktu teriakannya semakin keras, tidak sabaran. Membuatku segera berlari keluar kamar untuk mengetahui siapa orang tidak punya sopan santun yang datang sepagi ini, walaupun dalam diriku sebenarnya sudah mengetahui siapa orangnya. Tapi aku masih berharap itu adalah orang lain. 

Brak! Brak! Brak! 

"Buka!" 

Ceklek. Ceklek. 

Aku memutar anak kunci pintu depan, dan seperti dugaanku. Aku menemukan empat anak buah Pak Bani tengah berdiri diambang pintu dengan muka garangnya. 

"Lama banget! Budek ya?!" Teriak salah satu dari mereka kesal kepadaku. 

"Maaf, saya tadi lagi siap-siap buat sekolah." Terangku mencoba menjelaskan.

"Halah, alasan! Kita kesini cuma mau ingetin, besok itu hari jatuh tempo buat lunasin semua hutang lo!" 

Deg! Jantungku seolah berhenti berdetak seketika. 

"Bu.. bukannya masih bulan depan ya, pak?" Tanyaku mencoba mengingatkan, karena seingatku masih ada waktu sekitar satu bulan lagi untuk melunasi utang itu.

"Halah, mau besok kek, mau sebulan kek, setahun lagi juga lo juga nggak bakal sanggup bayar!" Teriak pria berpakaian preman itu lagi.

"Enggak, pak. Saya usahain bayar."

"Nggak ada ulur-ulur waktu lagi. Sesuai perjanjian. Kalo lo nggak bisa lunasin hutang, rumah ini bakal di sita sebagai gantinya!" Terang Pria itu kasar membuat tubuhku menggigit ketakutan. 

"Gue kasih waktu lo sampe besok pagi. Lo pergi dari rumah ini, atau lo bisa dateng ke Bos Bani buat jadi istri ke dua belas dia."

Aku hampir menangis sekarang, air mataku sudah memenuhi kedua pelupuk mataku. 

"Tolong kasih saya waktu, pak. Saya pasti bakal lunasin semua utangnya.." isakku memohon, meraih salah satu tangan mereka. Berharap mereka akan merasa tersentuh dengan ketulusanku, dan memberiku waktu tambahan.

"Udah nggak usah nangis! Gada gunanya! Kecuali lo bisa ngeluarin berlian dari mata lo!" Kata Pria itu gusar, menyentakan tanganku lepas lalu melangkah pergi diikuti oleh tiga orang lainnya meninggalkanku yang kini menangis histeris didepan pintu.

Apa yang harus aku lakukan? 250 juta sangat mustahil aku dapatkan dalam sehari. Bahkan kerja paruh waktu yang aku lakukan sepulang kerja sampai tengah malam saja hanya cukup untuk membayar bunganya saja. 

Maa... apa yang harus Keyla lakukan? Keyla bingung, Ma.. Kayla butuh mama disini... 

Otakku berpikir kelas sepanjang perjalanan menuju sekolah. Hari ini aku memilih untuk jalan kaki dari pada naik bus sekolah. Bukan hanya karena jarak sekolah dengan rumahku tidak begitu jauh, juga juga butuh waktu untuk sendirian. Setidaknya dengan jalan kaki aku tidak perlu menjawab pertanyaan Sissy yang pasti curiga dengan mataku yang sembab. 

Ini adalah tahun ketigaku di sekolah menegah atas. Aku sempat berpikir untuk berhenti sekolah dan bekerja sepenuhnya. Namun setelah aku pikir-pikir sangat sayang jika aku tidak melanjutkan sekolahku, toh aku dapat beasiswa,dan pekerjaan apa yang bisa aku lakukan dengan ijasah SMP? Tentu akan lebih baik jika aku menamatkan sekolahku dulu, paling tidak setelah lulus SMA aku bisa melamar sebagai buruh pabrik atau yang lainnya. 

Dan sekarang sepertinya sekarang aku menyesali keputusanku. seharusnya aku berhenti sekolah saja! Jika saja aku bekerja dan memberi Pak Bani lebih banyak uang, dia pasti akan memberiku lebih banyak tambahah waktu! Tapi nasi sudah menjadi bubur, aku tidak bisa mengulang semua itu. 

Tin! Tin! 

Suara klakson mobil itu membuatku cepat-cepat menghapus air mata yang entah sudah dari kapan mengalir di kedua pipiku, menoleh kearah mobil yang kini sudah berhenti tepat disampingku. Mataku menemukan sosok yang paling aku hindari belakangan ini, siapa lagi kalau bukan Benedict Johan Adiguna. Anak pemilik yayasan tempatku sekolah, yang entah kenapa akhir-akhir ini sering muncul dihadapanku. 

Kaya, tampan, populer, dan tipe cowok idaman semua cewek di SMA Bhineka, itulah yang dikatakan oleh Sissy kepadaku tentang Ben. Ya, mereka memanggilnya Ben. Namun bagiku, dia hanyalah seorang badboy yang kebetulan bernasib mujur terlahir di keluarga kaya raya. 

Aku bahkan tidak mengenalnya jika dia tidak mengangguku belakangan ini. Entah apa tujuannya mendekatiku, mungkin dia sedang melakukan sebuah permainan dengan teman-temannya, entah lah! aku sama sekali tidak peduli! 

"Good morning, Keyla.." sapanya sok manis yang membuat hidupku terasa semakin gelap, aku segera melanjutkan langkahku, meninggalkannya tanpa berniat untuk menjawab sapaannya. 

Aku semakin mempercepat langkahku, hampir berlari saat pagar sekolahku mulai terlihat. Aku bisa merasakan mobil Ben masih terus mengikutiku, menyejajarkan mobilnya dengan langkah kakiku. 

"Lo nangis?" 

"Sialan!" Batinku dalam hati. "Apa urusan lo?" Jawabku balik bertanya dengan sengit.

"Semua yang berhubungan sama elo itu urusan gue!" Seru Ben dari dalam mobil membuatku memutar mata jengah. "Kenapa lo pagi-pagi nangis? Perlu bantuan?" Tanyanya lagi. 

"Bukan urusan elo!" Jawabku gusar tanpa menghentikan langkahku.

Aku bisa merasakan mobil itu berhenti, dan dari suaranya aku bisa mendengar Ben keluar dari mobil. Aku berniat untuk mengambil langkah seribu, namun terlambat. Tangannya menarik pergelangan tanganku keras, membuat langkahku langsung terhenti karenanya.

"Apaan sih, lo?!" Protesku kesal, menatap Ben yang kini juga tengah menatapku dengan mata tajam miliknya. Entah kenapa aku bisa merasakan amarahnya dari cara dia menatapku. 

"Jadi pacar gue! Gue bakal turutin semua kemauan elo! Apapun itu!" Kata-kata itu sudah terlalu sering aku dengar. 

"Benedict! Lepasin gue!" Teriakku kesal tidak menghiraukan perkataannya. Dia mencengkram tanganku dengan kuat, membuat pergelangan tanganku sakit. 

"Mau sampe kapan lo nolak gue?! Gue tau lo cuma sok jual mahal! Gausah munafik deh lo! Elo nikmatin kan gue kejar-kejar?!" 

PLAKK!! 

"ELO UDAH GILA, YA?!" Teriaknya murka saat tanganku mendarat di wajahnya yang mulus.

Ya, mungkin aku benar-benar sudah gila. Menampar putera semata wayang orang yang sudah memberiku beasiswa, tentu aku sudah gila! Tapi kata-katanya sangat keterlaluan! Bisa-bisanya dia memiliki pemikiran seperti itu kepadaku.

"Iya, gue udah gila!" Jawabku tidak kalah sengit. "Gausah mikir elo itu hebat! Karena tanpa bokap lo, elo itu cuma sampah ga guna!" Teriakku lagi menyentakan cengkramannya lepas dari tanganku. 

*

"Elo nampar Ben?" Sambut Sissy saat aku baru saja masuk kelas. Gila! Secepat itu gosip menyebar? Memang tidak salah jika tidak ada yang bisa menandingi mulut manusia dalam menyebarkan gosip. "Benedic Johan Adiguna?" Tanya Sissy lagi mengekoriku yang berjalan gontai menuju tempat dudukku, memastikan.

"Hmm.." sahutku setelah menghempaskan tubuhku ke kursi. 

"Udah gila lo ya?!!" Teriak Sissy tidak percaya. Duduk dibangkunya yang memang berada tepat di depan bangku ku. 

Sepertinya aku memang sudah gila, saat satu orang mengatakan aku gila, bisa jadi orang itu yang salah. Tapi jika sudah dua orang menganggapku gila, mungkin aku benar-benar sudah gila. Dan dalam hatiku aku juga mengakuinya, menampar wajah Ben memang sedikit berlebihan. Tapi ini sepenuhnya bukan salahku! Dia mengganguku disaat yang tidak tepat! 

"Lo tau apa akibat dari yang lo lakuin ini?" 

"Udah ah, males bahas! Bodo amat dia mau ngapain!" Jawabku kesal, meletakan kepalaku yang rasanya sudah mau meledak keatas meja. 

"Bikin Ben marah bukan sesuatu yang harus di bodo amatin, Key!" Seru Sissy yang sepertinya sangat tidak terima dengan sikap bodo amatku. 

"Terus gue harus ngapain?" 

"Minta maaf sekarang!"

"Yaudah, gue minta maaf.." 

"Bukan sama gue lah!!" Kata Sissy bertambah kesal. 

"Iya, iya. Nanti gue pikirin." 

Bel istirahat terdengar, disusul oleh keluarnya murid-murid SMA Bhineka dari kelas masing-masing. Begitu pula aku dan Sissy, aku mau mengembalikan buku ke perpustakaan, sedangkan Sissy akan makan siang di kantin.

"Kenapa Ben gangguin gue akhir-akhir ini? Padahal tahun pertama dan kedua dia sama sekali nggak tertarik sama gue." Tanya ku penasaran kepada Sissy yang berjalan disampingku. 

"Karena tinggal elo cewek disekolah ini yang belom dia pacarin!" 

"Elo udah?" Tanyaku tidak percaya, karena Sissy tidak pernah cerita kepadaku tentang ini. Padahal setahuku dia selalu menceritakan semua detail kehidupannya kepadaku. 

"Plis deh, Keyla. Maksud gue cewek cantik di sekolah ini!" 

"Kan elo lebih cantik dari pada gue."

"Iya gue cantik, kata elo sama Mama gue." Jawab Sissy memutar matanya. "Tapi di mata Ben, gue nggak lebih dari rontokan indomie yang nggk ada artinya!" 

"Semua cewek itu cantik, sy." 

"Iya, cantik dalam artian enggak ganteng!" 

Aku hanya bisa terkekeh gemas dengan tingkah sahabatku ini. Hanya dia satu-satunya teman yang aku miliki, karena sangat jarang atau bisa dibilang tidak ada anak-anak orang kaya yang sekolah disini mau berteman dengan murid miskin seperti ku. 

"Udah ah yuk ikut gue ke kantin aja, ngapain ke perpus? Kayak kutu buku aja!" Kata Sissy kemudian mengandeng lenganku. 

"Enggak, sy. Gue harus balikin bukunya hari ini. Udah jatuh tempo nih, nanti kena denda bu Rini lagi." Terangku menjelaskan.

"Gue tlaktir makan siang nih.." sogok Sissy menyikut pingang ku pelan. 

"Enggak ah, galaper gue."

"Temenin gue makan, Key... plisss.." dan sepertinya dia tahu, kalau aku tidak bisa menolaknya jika dia sudah memohon seperti ini.

"Iya, iya. Aku nyusul kamu habis dari perpus."

"Janji?"

"Iyaa."

"Okee, awas aja bohong."

"Iya, bawelll" 

Dan kami harus berpisah di lorong dekat ruang guru, karena memang letak perpus dan kantin berlawanan arah. 

Aku berjalan cepat melewati lorong yang ramai oleh murid-murid. Semua orang menatap ku sinis setiap berpas-pasan denganku. Terutama murid cewek yang aku tebak sebagai pengemar garis keras si Benedict sialan itu. Aku tidak begitu ambil pusing. Setelah selesai mengembalikan novel di perpustakaan aku langsung kembali ke kelas, mengabaikan janjiku yang akan menyusul Sissy ke kantin.

Aku bernapas lega saat menemukan kelasku dalam keadaan kosong, aku butuh waktu untuk sendiri sekarang. Ku raih handphone yang berada di laci mejaku. Mengirimkan pesan ke Sissy kalau aku tidak bisa menyusulnya dengan alasan sakit perut. 

Setelah selesai, aku kembali mencari kontak Om Fais, adik dari Mamaku yang sedari pagi tidak mengangkat teleponku. Kembali ku pencet tombol Call dikontaknya, dan hanya berakhir pada pemberitahuan jika nomer yang aku hubungi tidak bisa menerima panggilanku. 

Apa yang harus aku lakukan? Aku kembali meletakan kepalaku keatas meja, berusaha mengurangi rasa pening di kepalaku saat aku dikejutkan oleh seseorang menggebrak mejaku keras.

Brakk!

Aku mendongakan kepalaku, dan mataku menemukan empat cewek yang tidak aku kenal tengah kerkacak pinggang menatapku. 

"Jadi ini yang namanya Keyla Andara?" Kata salah satu dari mereka dengan nada mencemooh.

"Kenapa ya?" Tanyaku bingung. Karena aku tidak merasa punya hutang kepadanya.

"Gausah sok cantik deh lo!" Hardik si rambut kriting itu sambil menoyor kepalaku keras. 

"Apaan sih ini?!" Balasku sengit, karena aku merasa mereka sudah kelewat batas dengan toyorannya di kepalaku.

"Apa?! Enggak terima?! Itu akibatnya kalo elo macem-macem sama Ben gue!!" 

"Ben gue?" Aku menatap mereka tidak percaya, jadi ini semua mereka lakukan karena aku nampar pujaan hati mereka? Cih! 

"Emang orang yang kalian bela mati-matian gini bakal peduli sama elo pada?!" 

Bukannya sadar, mereka malah bagai kesetanan setelah mendengar perkataanku. Mereka berempat mulai menyerangku serentak, menjambak, menyakar, meraih apapun yang bisa mereka gapai. Suasana kelas mulai ramai, aku bisa mendengar sorak sorai dari murid-murid yang mengelilingi kami, memberi semangat tanpa berniat memisahkan mereka yang terus menyerangku dengan membabi buta. 

"APA-APAAN KALIAN INI!! STOPP!!"

Kami berlima sekarang duduk di hadapan guru kedisiplinan di ruang BK. Aku memilih untuk terus menundukan kepalaku, menatap lantai dan juga sepatuku dibawah sana. Sementara mereka berempat tampak santai, ada yang memainkan rambutnya, ada yang asyik selfie, salah satunya duduk biasa, bertingkah cukup normal, sementara satu lagi tengah menelpon ibunya, meminta untuk disambungkan dengan pengacara keluarga mereka, karena aku menyentuh rambutnya. 

Aku benar-benar dalam masalah sekarang. 

"Keyla Andara.." rapal Bu Riana, Guru kedisiplinanku menyebut namaku bagai mantra. Aku yang sedari tadi menunduk, perlahan mengangkat kepala. Menatap takut-takut kearah wanita paruh baya yang kini tampak mengamati lembaran kertas putih ditangannya dengan teliti. "Mendapat beasiswa tiga tahun penuh, dan selalu mendapat nilai sempurna selama sekolah disini." Lanjut Bu Riana mengangguk-anggukan kepalanya, sementara aku mendengar decihan mencemooh dari gadis-gadis disebelahku.

"Tapi apa kamu sadar, hal yang kamu lakukan tadi itu bisa mempengaruhi segalanya. Pihak sekolah bisa mencabut beasiswa kamu karena kelakuan kamu sendiri, Keyla.." Ucap Bu Riana, membuatku kembali menundukan kepalanya.

"Udah cabut aja, Bu. Nggak pantes jadiin contoh buat murid lain, murid teladan kok kelakuannya bar-bar." Celetuk salah satu dari mereka, membuatku menarik napas panjang. Aku tidak bisa menyangkal ataupun melawan sekarang. Atau keadaan bisa menjadi lebih buruk lagi jika emosiku terpancing. 

"Udah miskin, bertingkah lagi." Satu lagi menyahut, disambut gelak tawa yang lainnya. 

"Udah, udah, cukup!" Kata Bu Riana menenangkan, dan tawa mereka langsung berhenti, diganti dengan suara bisik-bisik dari mulut mereka. 

"Keyla, saya dengan berat hati...," 

Brakk! 

Aku tersentak kaget dengan suara Pintu ruang BK mendadak terbuka dengan keras, disusul dengan munculnya sosok yang membuat mereka berempat menjerit histeris. Siapa lagi kalau bukan Benedict. 

Dia melangkah gontai dengan kedua tangannya tersimpan di saku celananya. Tampak arogan, dengan wajah tampannya yang angkuh. 

Aku menghela napas berat, berusaha menenangkan jantungku yang kini berpacu dengan cepat.

Hidupku sudah berakhir sekarang. Kedatangan Ben pasti untuk menendangku dari sekolahan ini. Ya, aku sudah sangat keterlaluan tadi pagi. Apapun alasannya, main tangan adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. 

"Saya mau dia di keluarkan dari sekolah ini." Suara berat milik Ben terdengar mememecah keheningan, membuat napasku tercekat.

Ya, inilah akhir dari kisahku di sekolah ini. 

                                    TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status