Share

DUA

KEILA POV

"Saya mau dia di keluarkan dari sekolah ini." Suara berat milik Ben terdengar mememecah keheningan, membuat napasku tercekat.

Ya, inilah akhir dari kisahku di sekolah ini..

"Dia, dia, dan juga dia." Lanjutnya, membuatku mengangkat kepalaku cepat untuk menatapnya, dan tidak menunjuk kearahku. Tangan Ben menunjuk ke gadis-gadis disampingku. 

"Iya, Bennedict?" Tanya Bu Riana yang sepertinya juga keheranan sepertiku. Menatap Ben dengan pandangan tidak paham. 

"Saya mau mereka berempat di keluarkan dari sekolahan ini." Tegasnya sekali lagi, kali ini aku bisa melihat wajah syok dari mereka. 

"Kenapa aku?"

"Kenapa?"

"Kenapa?"

"Kenapa bukan dia?" 

Tanya mereka berempat kebingungan, begitu pula Bu Riana.

"Tapi, Benedict..," 

"Apa ibu nggak bisa bedain, mana korban mana pelaku?" Potong Ben cepat, kembali membuatku kaget saat dia tiba-tiba menarik ku bangun, untuk berdiri disampingnya. "Dengan wajah babak belur seperti ini, ibu masih nuduh dia yang nyerang mereka?" Tanya Ben lagi, kali ini sambil menunjuk ke wajahku, membuatku menundukan kepala dengan cepat. 

"Tolong sampaikan ke kepala sekolah untuk memproses permintaan saya." Tegas Ben lagi, membuat mereka berempat semakin tidak percaya. Ya, tentu mereka tidak percaya, mereka semua disini karena membela Ben. Seperti yang aku bilang, Ben yang mereka bela mati-matian belum tentu akan peduli dengan mereka. 

"Pengacara gue mana, kok belum dateng!." Seru gadis berambut cokelat itu histeris.

"Tega lo ben, setelah apa yang gue lakuin demi elo!" Teriak gadis yang satunya.

"Uang keluarga gue bisa beli ini sekolahan!"

"Liat aja besok, gue bakar ini sekolahan!" 

Dan masih banyak sumpah serapah lainnya, yang membuat Bu Riana kewalahan untuk menenangkan keempatnya.

"Saya nggak mau tau, pokoknya, saya nggak mau liat mereka berempat lagi di sekolah ini." Kata Ben sebagai penutup, sebelum akhirnya menuntunku keluar dari ruang BK.

"Ben.." panggilku lirih saat kami sudah sampai diluar, kita tengah menyusuri lorong depan ruang BK.

"Hmm?" Dia menoleh sekilas kerahku, lalu kembali menatap ke depan. "Lo nggak perlu bilang terimakasih." Lanjutnya lagi, menyebalkan seperti biasa. Tapi kali ini aku memilih untul diam. Ya, aku harus berterimakasih kepadanya. Tanpa bantuan Ben, aku pasti sudah tidak berada di sini sekarang. 

"Gue mau ke kelas." Kataku memecah keheningan, setelah kami saling terdiam cukup lama.

"Enggak, kita ke UKS sekarang." Katanya lagi, dan cepat-cepat aku menolaknya. 

"Ngapai ke UKS?"

"Lo nggak sadar ya? Muka lo sekarang itu kaya maling ketangkep, babak belur." Terang Ben lagi, membuatku spontan memegang wajahku dengan tanganku yang bebas. Memang terasa sedikit sakit disana, tapi masa iya separah itu? 

"Nggak papa kok, nggak perlu ke UKS. Gue ada ulangan." Tolakku sekali lagi, dan juga aku tidak berbohong soal ulangan, aku baru ingat, jika sekarang aku ada ulangan biologi. 

"Nggak. Nurut aja sama gue." Tegas Ben tidak menerima penolakan, dan aku merasakan tangannya mengenggam tanganku semakin erat, membawaku menyusuri lorong panjang menuju UKS.

Setelah aku amati dari kaca yang aku lewati sepanjang lorong, sebenarnya tidak terlalu banyak luka diwajahku, karena aku berhasil melindungi wajahku dengan tangan saat fans fanatik Ben menyerangku tadi. Jadi hanya ada goresan kuku di bawah mataku, dan sedikit lebam di sudut bibir kanan ku. Babak belur seperti maling tentu hanya omong kosong yang dibesar-besarkan oleh Ben. 

Setelah sampai di UKS, ben membawaku ke salah satu bilik, dan membantuku untuk duduk diatas brankar. Sementara dia sibuk mengaduk-aduk kotak obat disana. Dia kembali menghampiriku dengan beberapa jenis obat-obatan ditangannya. 

Ben berdiri di depanku, menaruh obat-obatan yang dia bawa di sampingku. Tangannya meraih wajahku yang tertunduk, menariknya naik, hingga dia bisa melihat wajahku. Aku bisa merasakan rahang Ben mengeras saat mengamati wajahku. 

'"Nggak papa kok.." ujarku menyakinkan, membuat Ben menghela napas berat. Masih dalam diam, Dia melepaskan wajahku, dan meraih satu botol alkohol yang tadi dia ambil, menuangkan isinya sedikit ke kapas. 

"Angkat kepala lo." Perintah Ben dingin, membuatku menuruti perintahnya dengan cepat. 

Ben dengan telaten membersihkan luka di wajahku, dan aku hanya menurut tanpa penolakan. 

"Ah.." erangku saat Ben menyeka luka di sudut bibirku dengan alkohol, membuat Ben spontan tersentak dan menjauhkan tangannya dari wajahku. 

"Sakit?" Tanya Ben sedikit mengeram, dan aku mengelengkan kepala sebagai jawaban. rasanya memang sedikit nyeri saat Ben menyentuhnya, tapi tidak begitu menyakitkan, aku bisa menahannya.

Ben kembali menghela napas panjang, lalu menundukan kepalanya mendekati wajahku. Aku yang kaget dengan tindakannya tiba-tiba spontan mencondongkan tubuhku kebelakang, dan dengan cepat pula Ben menahanku dengan memegang tengkukku erat. 

"Benn.." erangku saat Dia terus menundukan kepalanya, dan aku yang tidak bisa kemana-mana hanya bisa melihat wajahnya semakin dekat dengan wajahku. Jantungku berdegup dengan sangat cepat, lalu ku tutup mataku rapat-rapat, pasrah dengan apa yang terjadi selanjutnya diantara kami. 

Aku membuka mataku perlahan saat merasakan hembusan napas di sudut bibir, dan saat mataku terbuka aku menemukan wajah wajah Ben berjarak satu jengkal dengan wajahku, tengah meniup sudut bibirku yang terluka. 

Astaga! Apa yang baru saja aku pikirkan?!

Aku malu setengah mati sekarang, malu hingga rasanya ingin mati saja. Bagaimana bisa otakku berpikir kotor seperti itu. 

Kulihat Ben kini tersenyum miring di sudut bibirnya, membuatku ingin bunuh diri saja sekarang. Aroma mint menguar dari napasnya yang masih meniup sudut bibirku. Membuat wajahku terasa sangat panas sekarang. 

"Udah.." kataku lirih mendorong dada Ben pelan, tapi tubuh kokoh miliknya itu sama sekali tidak bergeming dari tempatnya. 

"Apanya?" Tanya Ben mirip gumaman samar, menatapku lekat dengan jarak yang sangat dekat. 

Wajahku pasti sudah sangat merah sekarang! 

"Niupnya.." ucapku lagi, mengigit bibir bawahku kuat, berusaha bersikap setenang mungkin di hadapan Ben. 

Ben menuruti perintahku, membuatku sedikit bernapas lega. Tapi dia sama sekali tidak bergerak mundur, dan kembali mengamati wajahku dengan matanya yang tajam.

"Kenapa wajah lo merah?" Tanya Ben, sepertinya memang sengaja menggodaku, membuatku menundukan kepala cepat-cepat. Tapi hanya sebentar, karena Ben sudah kembali meraup wajahku, dan menariknya naik, hingga mata kami kembali bertemu.

Dan saat Ben kembali menundukan kepalanya, aku tidak lagi menutup mataku, menatap wajahnya yang semakin dekat dengan wajahku di setiap detiknya. 

Aku tidak akan berpikiran kotor untuk kedua kalinya!

Dan mataku langsung terbuka lebar saat Ben benar-benar menghapus jarak diantara kami. Bibirnya berada di bibirku. Dan aku yang masih mencerna apa yang tengah terjadi diantara kami, saat merasakan bibir Ben menyapu permukaan bibirku dengan lembut. 

Aku spontan mendorong tubuhnya, tapi tidak berhasil. Dia bergerak diantara kakiku, dengan tangan kanan berada di pungungku, sementara tangan kirinya menekan tengkukku kuat. 

"Mmmhh.." erangku mencoba menolak saat Ben mulai mengulum bibirku, tapi tangan Ben menahanku, membuatku sama sekali tidak bergerak. 

Ku cengkeram kemeja Ben kuat saat merasakan sensasi aneh di perutku efek ciuman dari Ben di bibirku. Akal sehatku berusaha menolak, tapi sebagian dari diriku menuntut agar aku diam dan mengikuti apa yang tengah Ben lakukan padaku. Ini cukup gila, menginggat tadi pagi aku baru saja menampar Ben. Dan sekarang, aku membiarkannya mencium ku? Mengambil ciuman pertamaku?

Ya, aku belum pernah berciuman sebelumnya. Tapi paling tidak aku pernah membaca di sebuah novel romance yang mengambarkan secara gamblang bagaimana rasanya saat seseorang dicium. Tapi aku tidak tahu jika nyatanya, rasanya sangat memabukkan seperti ini. Efeknya sangat kuat dari perkiraanku selama ini. 

Dan aku tidak menyadari entah sudah sejak kapan mataku terpejam. Dan Ben masih terus mencium bibir atas bawahku bergantian tanpa jeda, membuatku kembali mengerang, mencengkram blazernya semakin kuat. 

Dan saat menyadari aku sudah kesulitan bernapas, Ben menghentikan ciumannya, memisahkahkan bibir kami, membiarkanku bernapas. Napas kami terengah-enggah panas, bersahutan. Dan saat kesadaranku sudah kembali normal, malu adalah hal pertama kali yang aku rasakan. Dan seolah tau dengan perasaan ku, Ben langsung mendekapku, membawaku kedalam pelukannya. 

Aku bisa merasakan detak jantung Ben yang berpacu cukup cepat, berpadu dengan aroma cologne menyegarkan yang menguar dari tubuhnya. 

Beeb.. Beeb.. 

Ponsel disaku blazerku berbunyi tanda ada pesan masuk. Membuat Ben melonggarkan pelukannya di tubuhku. Dan segera aku merogoh kantong blazerku, mengeluarkan ponselku dari sana.

Nama Om Fais tertera di layar ponsel yang baru saja aku buka. Membuat jantungku kembali berdegup kencang. Segera ku tap pesan yang baru di kirim oleh Om Faris, mencoba berpikir positif tentang isi pesannya. 

Bukannya Om udah bilang nggak perlu lagi mempertahankan mamamu, Key. Dokter juga udah jelasin kalo tidak ada lagi harapan lagi buat mamamu? Obat yang kamu bayar mahal itu gak bisa bikin mamamu sembuh, key. Kalo udah begini siapa yang susah? Kamu sendiri, kan? Maafin om, Key. Untuk urusan ini om udah nggak bisa bantu kamu.

Aku tidak bisa menahan air mataku, dadaku terasa sesak. Bukan karena Om Fais menolak membantuku, namun perkataannya untuk melepaskan mama membuat hatiku sakit. Dan melihat ada yang tidak beres, Ben merebut ponsel itu dari tanganku, dan aku yang masih cukup terpukul dengan hilangnya satu-satunya harapanku untuk mama, membiarkan Ben membaca pesan yang dikirim oleh Om Fais.

Kini aku sudah kehilangan satu-satunya harapanku, Om Fais. Dan itu artinya Aku harus bisa mencari jalan keluar sendiri! Aku harus membuktikan kepada semua orang, aku tidak akan pernah menyerah untuk kesembuhan Ibuku! Aku akan mempertahankannya, bagaimanapun caranya! Aku membulatkan tekadku dalam hati. 

"Gue bisa bantu elo.." kata Ben kemudian, membuatku mendongakan kepalaku untuk menatapnya dengan mataku yang sudah di penuhi air mata. "Jadi pacar gue, dan gue bisa bantu elo, apapun itu." Tegasnya lagi kepadaku.

TBC.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status