KEILA POV
"Saya mau dia di keluarkan dari sekolah ini." Suara berat milik Ben terdengar mememecah keheningan, membuat napasku tercekat.
Ya, inilah akhir dari kisahku di sekolah ini..
"Dia, dia, dan juga dia." Lanjutnya, membuatku mengangkat kepalaku cepat untuk menatapnya, dan tidak menunjuk kearahku. Tangan Ben menunjuk ke gadis-gadis disampingku.
"Iya, Bennedict?" Tanya Bu Riana yang sepertinya juga keheranan sepertiku. Menatap Ben dengan pandangan tidak paham.
"Saya mau mereka berempat di keluarkan dari sekolahan ini." Tegasnya sekali lagi, kali ini aku bisa melihat wajah syok dari mereka.
"Kenapa aku?"
"Kenapa?"
"Kenapa?"
"Kenapa bukan dia?"
Tanya mereka berempat kebingungan, begitu pula Bu Riana.
"Tapi, Benedict..,"
"Apa ibu nggak bisa bedain, mana korban mana pelaku?" Potong Ben cepat, kembali membuatku kaget saat dia tiba-tiba menarik ku bangun, untuk berdiri disampingnya. "Dengan wajah babak belur seperti ini, ibu masih nuduh dia yang nyerang mereka?" Tanya Ben lagi, kali ini sambil menunjuk ke wajahku, membuatku menundukan kepala dengan cepat.
"Tolong sampaikan ke kepala sekolah untuk memproses permintaan saya." Tegas Ben lagi, membuat mereka berempat semakin tidak percaya. Ya, tentu mereka tidak percaya, mereka semua disini karena membela Ben. Seperti yang aku bilang, Ben yang mereka bela mati-matian belum tentu akan peduli dengan mereka.
"Pengacara gue mana, kok belum dateng!." Seru gadis berambut cokelat itu histeris.
"Tega lo ben, setelah apa yang gue lakuin demi elo!" Teriak gadis yang satunya.
"Uang keluarga gue bisa beli ini sekolahan!"
"Liat aja besok, gue bakar ini sekolahan!"
Dan masih banyak sumpah serapah lainnya, yang membuat Bu Riana kewalahan untuk menenangkan keempatnya.
"Saya nggak mau tau, pokoknya, saya nggak mau liat mereka berempat lagi di sekolah ini." Kata Ben sebagai penutup, sebelum akhirnya menuntunku keluar dari ruang BK.
"Ben.." panggilku lirih saat kami sudah sampai diluar, kita tengah menyusuri lorong depan ruang BK.
"Hmm?" Dia menoleh sekilas kerahku, lalu kembali menatap ke depan. "Lo nggak perlu bilang terimakasih." Lanjutnya lagi, menyebalkan seperti biasa. Tapi kali ini aku memilih untul diam. Ya, aku harus berterimakasih kepadanya. Tanpa bantuan Ben, aku pasti sudah tidak berada di sini sekarang.
"Gue mau ke kelas." Kataku memecah keheningan, setelah kami saling terdiam cukup lama.
"Enggak, kita ke UKS sekarang." Katanya lagi, dan cepat-cepat aku menolaknya.
"Ngapai ke UKS?"
"Lo nggak sadar ya? Muka lo sekarang itu kaya maling ketangkep, babak belur." Terang Ben lagi, membuatku spontan memegang wajahku dengan tanganku yang bebas. Memang terasa sedikit sakit disana, tapi masa iya separah itu?
"Nggak papa kok, nggak perlu ke UKS. Gue ada ulangan." Tolakku sekali lagi, dan juga aku tidak berbohong soal ulangan, aku baru ingat, jika sekarang aku ada ulangan biologi.
"Nggak. Nurut aja sama gue." Tegas Ben tidak menerima penolakan, dan aku merasakan tangannya mengenggam tanganku semakin erat, membawaku menyusuri lorong panjang menuju UKS.
Setelah aku amati dari kaca yang aku lewati sepanjang lorong, sebenarnya tidak terlalu banyak luka diwajahku, karena aku berhasil melindungi wajahku dengan tangan saat fans fanatik Ben menyerangku tadi. Jadi hanya ada goresan kuku di bawah mataku, dan sedikit lebam di sudut bibir kanan ku. Babak belur seperti maling tentu hanya omong kosong yang dibesar-besarkan oleh Ben.
Setelah sampai di UKS, ben membawaku ke salah satu bilik, dan membantuku untuk duduk diatas brankar. Sementara dia sibuk mengaduk-aduk kotak obat disana. Dia kembali menghampiriku dengan beberapa jenis obat-obatan ditangannya.
Ben berdiri di depanku, menaruh obat-obatan yang dia bawa di sampingku. Tangannya meraih wajahku yang tertunduk, menariknya naik, hingga dia bisa melihat wajahku. Aku bisa merasakan rahang Ben mengeras saat mengamati wajahku.
'"Nggak papa kok.." ujarku menyakinkan, membuat Ben menghela napas berat. Masih dalam diam, Dia melepaskan wajahku, dan meraih satu botol alkohol yang tadi dia ambil, menuangkan isinya sedikit ke kapas.
"Angkat kepala lo." Perintah Ben dingin, membuatku menuruti perintahnya dengan cepat.
Ben dengan telaten membersihkan luka di wajahku, dan aku hanya menurut tanpa penolakan.
"Ah.." erangku saat Ben menyeka luka di sudut bibirku dengan alkohol, membuat Ben spontan tersentak dan menjauhkan tangannya dari wajahku.
"Sakit?" Tanya Ben sedikit mengeram, dan aku mengelengkan kepala sebagai jawaban. rasanya memang sedikit nyeri saat Ben menyentuhnya, tapi tidak begitu menyakitkan, aku bisa menahannya.
Ben kembali menghela napas panjang, lalu menundukan kepalanya mendekati wajahku. Aku yang kaget dengan tindakannya tiba-tiba spontan mencondongkan tubuhku kebelakang, dan dengan cepat pula Ben menahanku dengan memegang tengkukku erat.
"Benn.." erangku saat Dia terus menundukan kepalanya, dan aku yang tidak bisa kemana-mana hanya bisa melihat wajahnya semakin dekat dengan wajahku. Jantungku berdegup dengan sangat cepat, lalu ku tutup mataku rapat-rapat, pasrah dengan apa yang terjadi selanjutnya diantara kami.
Aku membuka mataku perlahan saat merasakan hembusan napas di sudut bibir, dan saat mataku terbuka aku menemukan wajah wajah Ben berjarak satu jengkal dengan wajahku, tengah meniup sudut bibirku yang terluka.
Astaga! Apa yang baru saja aku pikirkan?!
Aku malu setengah mati sekarang, malu hingga rasanya ingin mati saja. Bagaimana bisa otakku berpikir kotor seperti itu.
Kulihat Ben kini tersenyum miring di sudut bibirnya, membuatku ingin bunuh diri saja sekarang. Aroma mint menguar dari napasnya yang masih meniup sudut bibirku. Membuat wajahku terasa sangat panas sekarang.
"Udah.." kataku lirih mendorong dada Ben pelan, tapi tubuh kokoh miliknya itu sama sekali tidak bergeming dari tempatnya.
"Apanya?" Tanya Ben mirip gumaman samar, menatapku lekat dengan jarak yang sangat dekat.
Wajahku pasti sudah sangat merah sekarang!
"Niupnya.." ucapku lagi, mengigit bibir bawahku kuat, berusaha bersikap setenang mungkin di hadapan Ben.
Ben menuruti perintahku, membuatku sedikit bernapas lega. Tapi dia sama sekali tidak bergerak mundur, dan kembali mengamati wajahku dengan matanya yang tajam.
"Kenapa wajah lo merah?" Tanya Ben, sepertinya memang sengaja menggodaku, membuatku menundukan kepala cepat-cepat. Tapi hanya sebentar, karena Ben sudah kembali meraup wajahku, dan menariknya naik, hingga mata kami kembali bertemu.
Dan saat Ben kembali menundukan kepalanya, aku tidak lagi menutup mataku, menatap wajahnya yang semakin dekat dengan wajahku di setiap detiknya.
Aku tidak akan berpikiran kotor untuk kedua kalinya!
Dan mataku langsung terbuka lebar saat Ben benar-benar menghapus jarak diantara kami. Bibirnya berada di bibirku. Dan aku yang masih mencerna apa yang tengah terjadi diantara kami, saat merasakan bibir Ben menyapu permukaan bibirku dengan lembut.
Aku spontan mendorong tubuhnya, tapi tidak berhasil. Dia bergerak diantara kakiku, dengan tangan kanan berada di pungungku, sementara tangan kirinya menekan tengkukku kuat.
"Mmmhh.." erangku mencoba menolak saat Ben mulai mengulum bibirku, tapi tangan Ben menahanku, membuatku sama sekali tidak bergerak.
Ku cengkeram kemeja Ben kuat saat merasakan sensasi aneh di perutku efek ciuman dari Ben di bibirku. Akal sehatku berusaha menolak, tapi sebagian dari diriku menuntut agar aku diam dan mengikuti apa yang tengah Ben lakukan padaku. Ini cukup gila, menginggat tadi pagi aku baru saja menampar Ben. Dan sekarang, aku membiarkannya mencium ku? Mengambil ciuman pertamaku?
Ya, aku belum pernah berciuman sebelumnya. Tapi paling tidak aku pernah membaca di sebuah novel romance yang mengambarkan secara gamblang bagaimana rasanya saat seseorang dicium. Tapi aku tidak tahu jika nyatanya, rasanya sangat memabukkan seperti ini. Efeknya sangat kuat dari perkiraanku selama ini.
Dan aku tidak menyadari entah sudah sejak kapan mataku terpejam. Dan Ben masih terus mencium bibir atas bawahku bergantian tanpa jeda, membuatku kembali mengerang, mencengkram blazernya semakin kuat.
Dan saat menyadari aku sudah kesulitan bernapas, Ben menghentikan ciumannya, memisahkahkan bibir kami, membiarkanku bernapas. Napas kami terengah-enggah panas, bersahutan. Dan saat kesadaranku sudah kembali normal, malu adalah hal pertama kali yang aku rasakan. Dan seolah tau dengan perasaan ku, Ben langsung mendekapku, membawaku kedalam pelukannya.
Aku bisa merasakan detak jantung Ben yang berpacu cukup cepat, berpadu dengan aroma cologne menyegarkan yang menguar dari tubuhnya.
Beeb.. Beeb..
Ponsel disaku blazerku berbunyi tanda ada pesan masuk. Membuat Ben melonggarkan pelukannya di tubuhku. Dan segera aku merogoh kantong blazerku, mengeluarkan ponselku dari sana.
Nama Om Fais tertera di layar ponsel yang baru saja aku buka. Membuat jantungku kembali berdegup kencang. Segera ku tap pesan yang baru di kirim oleh Om Faris, mencoba berpikir positif tentang isi pesannya.
Bukannya Om udah bilang nggak perlu lagi mempertahankan mamamu, Key. Dokter juga udah jelasin kalo tidak ada lagi harapan lagi buat mamamu? Obat yang kamu bayar mahal itu gak bisa bikin mamamu sembuh, key. Kalo udah begini siapa yang susah? Kamu sendiri, kan? Maafin om, Key. Untuk urusan ini om udah nggak bisa bantu kamu.
Aku tidak bisa menahan air mataku, dadaku terasa sesak. Bukan karena Om Fais menolak membantuku, namun perkataannya untuk melepaskan mama membuat hatiku sakit. Dan melihat ada yang tidak beres, Ben merebut ponsel itu dari tanganku, dan aku yang masih cukup terpukul dengan hilangnya satu-satunya harapanku untuk mama, membiarkan Ben membaca pesan yang dikirim oleh Om Fais.
Kini aku sudah kehilangan satu-satunya harapanku, Om Fais. Dan itu artinya Aku harus bisa mencari jalan keluar sendiri! Aku harus membuktikan kepada semua orang, aku tidak akan pernah menyerah untuk kesembuhan Ibuku! Aku akan mempertahankannya, bagaimanapun caranya! Aku membulatkan tekadku dalam hati.
"Gue bisa bantu elo.." kata Ben kemudian, membuatku mendongakan kepalaku untuk menatapnya dengan mataku yang sudah di penuhi air mata. "Jadi pacar gue, dan gue bisa bantu elo, apapun itu." Tegasnya lagi kepadaku.
TBC.
BENEDICT POVSuara hingar bingar musik memenuhi setiap penjuru bar. Dengan pencahayaan remang-remang gemerlap khas dunia malam.Tidak seperti biasanya yang selalu bersemangat untuk berpesta, aku bahkan merasa pusing dengan suara memekakan telinga itu.Aku merasa ada yang salah pada diriku malam ini.Semua terasa membosankan. Bahkan tubuh seksi Vira yang kini sudah setengah telanjang di pangkuanku tidak bisa membuat Albert kesayanganku berdiri tegak seperti biasa.Kutatap lantai dansa di depan sana yang sudah dipenuhi oleh manusia tanpa minat. Jika bukan karena Kevin yang tidak berhenti mengangguku dengan terus menelpon agar aku datang ke bar, aku pasti lebih memilih untuk tidur dirumah.Aku bergumam jengah saat Vira mulai mencium leherku, lalu bibirnya bergerak turun menjilat leherku. Aku kembali mengerang. Ingatan tentang ciuman
KEYLA POVAku tidak bisa tidur semalaman. Terus memikirkan hari esok yang akan aku lewati. Otakku melayang, membayangkan anak buah Pak Bani datang membuatku merinding tidak nyaman. Aku merubah posisi tidurku menjadi meringkuk, bergelung di bawah selimut, mencoba kembali memejamkan mataku.Apa aku melakukan kesalahan saat menolak tawaran Ben tadi? Sebenarnya sekarang aku cukup tergiur dengan tawarannya, tapi hati kecil ku berkata lain. Aku terlalu memikirkan harga diriku tadi.Sebenarnya aku hanya terlalu malu tadi setelah kami berciuman. Dan aku langsung menolak tawarannya tanpa berpikir panjang.Aku tidak berniat untuk menjual diri kepada Ben, tapi paling tidak aku bisa bernegosiasi dengannya untuk meminjamiku uang, dan aku akan membayarnya dengan cara mencicil sedikit demi sedikit. Toh dari gaya bicaranya dia terlihat bisa memberiku uang dengan cuma-cuma saat aku mau menjadi pacarn
BENEDICT POVAku menoleh sekilas kearah Keyla yang duduk di sampingku, lalu kembali menatap jalanan di depan sana, kembali fokus memacu mobilku menjauh dari rumah Keyla.Sama denganku, Kayla masih mengenakan seragam sekolahnya, wajahnya memerah dan sesekali terdengar suara isak tangisan. Gadis itu terdiam, sama sekali tidak berbicara selepas meninggalkan rumahnya.Sepertinya dia masih sangat shock atau terpukul atas kejadian yang menimpanya tadi. Dan memikirkan hal itu membuatku merasa bersalah.Mungkinkah caraku bersandiwara tadi berlebihan?Aku merasa sangat egois sekarang. Hanya karena keinginan untuk menggikat Keyla cepat-cepat, aku sama sekali tidak mempertimbangkan perasaan gadis tersebut.Its okay, Benedict.. lo bisa bayar rasa bersalah lo nanti.. kataku pada diriku sendiri, lalu kembali fokus mengemudi.Namun semakin aku berp
KEYLA POVAku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, bahkan tidak sekalipun terlintas di pikiran jika aku akan tinggal bersama Ben dalam satu rumah.Ini terlalu gila.Oke, aku pernah berpikir untuk meminta bantuannya, berpikir untuk menerima tawaran yang dia tawarkan kepadaku waktu itu, tapi aku tidak pernah menyangka jika begini akhirnya.Satu rumah dengan Ben? Aku?Astaga! Ini benar-benar gila, dan yang membuatku semakin gila, aku bahkan tidak memiliki pilihan lain selain menerima tawarannya. Aku tidak memiliki uang, dan aku sama sekali tidak memiliki tempat tujuan.Ini sudah hari kedua sejak Ben membawaku ke apartemennya. Dia memberiku tempat tinggal dan juga sebuah kamar. Kemarin, Ben memaksaku untuk beristirahat, memberikan waktu sendirian seharian, dan menggurusi semua kebutuhanku.Jadi, ha
"Ben..?" Ulangku sekali lagi, kali ini berusaha melepaskan diri dari pelukan Ben, namun cowok itu malah mendekapku semakin erat."Gue kira elo pergi.." aku tersikap saat mendengar suara Ben. Membuat alisku mengerut didalam pelukannyaApa dia masih setengah tidur? Apa kesadarannya belum pulih sepenuhnya? Atau dia mengira aku orang lain?"Jangan pergi.." pintanya sekali lagi."Heii.." kataku berusaha membuatnya tersadar. "Gue disini, Ben. Nggak kemana-mana.." kataku lagi, menepuk punggungnya yang telanjang dengan hati-hati.Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan ini, namun saat jemariku menyentuh pungungnya, aku bisa merasakan kulit yang halus dan hangat dengan otot-otot yang tidak berlebihan."jangan tinggalin gue.." gumamnya lirih menyadarkanku dari pikiran aneh yang sempat berkelebat di kepalaku. Ben tidak berniat melepaskan pelukannya, dan aku bisa merasakann d
BENEDICT POVAku mengemudikan mobilku keluar dari tempat parkir, meninggalkan area apartemenku menuju sekolah bersama dengan Keyla yang kini duduk terdiam di jok sampingku.Dia sama sekali tidak bersuara sejak keluar dari lift, dan bodohnya, aku juga melakukan hal yang sama.Jujur saja, aku merasa bersalah dengan kelakuanku saat di lift tadi. Tapi perkataan Keyla benar-benar membuatku marah.Pergi dari rumahku? Dia merepotkan? Dia tidak akan menggangguku lagi?Bahkan sekarang saat aku memikirkan perkataannya lagi, amarahku kembali naik tanpa undangan.Menghirup napas dalam untuk menenangkann diri, Aku mencengkram kemudi mobilku hingga buku-buku jariku memutih, berusaha menahan emosiku sekuat tenaga. Sebagai gantinya, aku menekan pedal gas mobilku dalam-dalam, memacu mobilku semakin cepat, meliuk-liuk diantara kendaraan yang melaju begitu lambat dimataku.
KEYLA POVAku menarik tangan Sissy menuju pintu kelas, meninggalkan Benedict yang kini menatap kepergian kami berdua dengan pandangan tidak percaya. Membawa sahabatku itu keluar dari kelas, aku bisa merasakan kilatan marah di mata Ben. Namun, aku memilih untuk mengabaikannya, aku tidak siap untuk bertemu dengan pria itu sekarang, setelah apa yang kami lakukan tadi pagi. Ciuman di lift, dan juga adegan di gedung parkir. Memikirkan itu semua saja sudah membuat jantungku berdebar dengan begitu cepat. Wajahku juga terasa begitu panas sekarang. "Keyla!" Sentakan dan juga suara Sissy yang meninggi membuatku terdasar, dan menarikku keluar dari lamunan panjang. Aku berhenti melangkah, menoleh untuk menatap sahabatku itu dengan tatapan tidak paham. "Apaan?" Aku bertanya dengan nada sedikit cangung, bayangan yang terlintas di otakku tadi membuatku merasa tidak nyaman."Lo di panggilin berkali-kali nggak nyahut!" Protes gadis cantik itu dengan bibir mengerucut, menandakan dirinya tengah k
Note : chapter ini dan seterusnya akan menggunakan AUTHOR POV/ sudut pandang orang ke 3. ⬇️⬇️⬇️Benedict tidak bisa menyembunyikan senyuman di bibirnya. Memilih untuk mengabaikan mata-mata yang terus menatapnya sepanjang jalan menuju kelas Keyla, tangannya masih mengenggam erat pergelangan cewek yang berjalan di sampingnya itu.Bagaimana bisa hanya dengan bergandengan tangan bisa membuatnya begitu bahagia? Batin Ben bertanya-tanya. Ya, mungkin dirinya benar-benar sudah gila sekarang, atau apapun itu namanya, Ben benar-benar tidak peduli. Tidak butuh waktu lama, mereka berdua sampai di depan kelas Keyla dan dengan berat hati, Benedict melepaskan tangan cewek tersebut. "Gue.. masuk dulu.." pamit Keyla kepada Benedict dengan nada ragu-ragu. Tangannya meraih sejumput rambut yang jatuh ke wajahnya, lalu menyematkannya ke belakang telinga untuk menutupi rasa gugup yang menguasai dirinya. "Oke." Jawab Ben mengangguk, merasa gemas dengan tingkah Keyla sekarang. Jika mereka tidak sedang be