Share

TUJUH

"Ben..?" Ulangku sekali lagi, kali ini berusaha melepaskan diri dari pelukan Ben, namun cowok itu malah mendekapku semakin erat.

"Gue kira elo pergi.." aku tersikap saat mendengar suara Ben. Membuat alisku mengerut didalam pelukannya

Apa dia masih setengah tidur? Apa kesadarannya belum pulih sepenuhnya? Atau dia mengira aku orang lain?

"Jangan pergi.." pintanya sekali lagi.

"Heii.." kataku berusaha membuatnya tersadar. "Gue disini, Ben. Nggak kemana-mana.." kataku lagi, menepuk punggungnya yang telanjang dengan hati-hati.

Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan ini, namun saat jemariku menyentuh pungungnya, aku bisa merasakan kulit  yang halus dan hangat dengan otot-otot yang tidak berlebihan.

"jangan tinggalin gue.." gumamnya lirih menyadarkanku dari pikiran aneh yang sempat berkelebat di kepalaku. Ben tidak berniat melepaskan pelukannya, dan aku bisa merasakann dia menghirup udara di rambutku.

Tidak ada pilihan lain untukku, selain membiarkan Ben tetap memelukku untuk beberapa saat.

Setelah tenang, Ben mulai melepaskan pelukannya pada tubuhku, tangannya bergerak menuju bahuku. Menatapku dengan matanya yang menyorot sendu.

"Lo nggak papa?" Tanyaku sedikit khawatir dengan prilaku anehnya tadi, dan dia mengelengkan kepala.

Aku tidak tahu jika Benedict memiliki sisi lembut seperti ini, aku kira dia hanyalah badboy kaya dengan sejuta tingkahnya yang menyebalkan.

"Lo nggak mandi? Siap-siap sekolah?" Tanya ku mengingatkan. "Gue udah siapin sarapan buat lo.."

Dia menoleh untuk menatap meja makan, sebelum akhirnya kembali menatapku, kali ini mengamatiku dari atas hingga bawah, yang membuatku tidak nyaman.

"Lo nggak perlu lakuin semua.."

Respon Ben membuatku menciut. Menunduk.

Apa dia tidak menyukai aku membuatkan sarapan?

Apa aku terlalu lancang dengan mengunakan dapur Ben tanpa ijin?

"Maaf.." cicitku lirih, tidak berani untuk menatap Ben.

"Heii.." dia menangkup kedua belah pipiku, mengangkat wajahku, dan aku bisa menatap matanya. "Bukan itu maksud gue.." kata Ben lembut, seolah tahu apa yang tengah aku pikirkan sekarang. "Gue cuma nggak mau lo kerepotan pagi-pagi buat nyiapin sarapan." Terangnya membuatku spontan menggelengkan kepala cepat.

"Nggak ngerepotin kok.." jawabku sungguh-sungguh. Dan Ben tersenyum.

"Oke, kalo gitu gue mandi bentar.. tunggu ya.." pamitnya, dan aku mengangguk. Ben melepaskanku setelah mengusap pipi ku lembut. Untung dia segera berbalik meninggalkanku, jadi dia tidak melihat wajahku yang sekarang memerah karena sentuhannya.

Astaga, Keyla! Apa yang kamu pikirkan?!

Aku mengusap wajahku yang kini terasa sangat panas karena sentuhan Ben, aku menjatuhkan tubuhku ke kursi meja makan yang terletak di sampingku. Berusaha meredakan detak jantungku yang berdebar tiga kali lipat dari biasanya.

Tenang, Keyla! Berhenti berpikir macam-macam!

Kataku pada diriku sendiri, menepuk dua belah pipiku untuk membuatku tersadar.

Aku menatap kearah perginya Ben yang kini sudah menghilang dari pandanganku. Sedikit merasa bingung.

Kenapa dia bersikap seperti itu? Apa dia mimpi buruk? Kenapa dia takut aku pergi?

Hah!

Aku menghela napas panjang, melirik ke arah jam di pergelangan tanganku. Jam enam lewat duapuluh tiga menit.

Masih ada satu jam lebih untuk aku pergi ke sekolah.

Namun kali ini kan sedikit berbeda, aku belum tahu harus naik apa ke sekolah. Mungkin aku bisa menemukan halte bus yang mengarah ke sekolahanku di depan, atau kalau terpaksa, aku bisa memesan ojek online.

Terlebih, aku harus menunggu Ben juga. Ada hal yang harus aku bicarakan dengannya.

Memikirkan semua masalahku, membuat dadaku kembali terasa sesak.

Kamu pasti bisa, Keyla! Tekadku pada diriku sendiri. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Terus menyemangati diriku sendiri, dan terus mencoba untuk tetap berpikir positif. 

Tidak mau terus tenggelam dalam kesedihan, aku memilih untuk bangkit dari dudukku. Kembali melangkah ke dapur untuk membereskan peralatan masak yang tadi gunakan untuk menyiapkan sarapan.

Ku pindahkan barang-barang kotor itu dari kompor ke wastafel, menarik napas panjang, sebelum akhirnya mencucinya satu persatu.

Entah berapa lama aku berkutat dengan  penggorengan, busa dan sabun cuci piring saat suara Ben terdengar dari arah belakang.

"Bukannya udah gue bilang tunggu aja? Ngapain lo disitu?"

Aku menoleh, dan menemukan Ben sudah mengenakan seragam yang sama, dia berdiri di samping meja makan, meletakan tas yang dia sandang ke salah satu kursi kosong yang mengelilingi meja makan.

Tersenyum, aku mengelengkan kepala cepat.

"Ini.. gue cuma cuci bekas masak gue aja kok.." terangku sembari meletakan peralatan mamasak yang sudah aku cuci bersih ke rak untuk di keringkan.

"Nggak perlu, ada helper yang dateng tiap hari buat beresin kok.." kata Ben lagi melangkah menghampiriku.

"Nggak papa, ini tinggal bilas doang.." jawabku kembali tersenyum, lalu kembali melanjutkan pekerjaanku.

Aku bisa mendengar Benedict menghela napas, tanda menyerah. Aku bisa merasakan keberadaannya di belakangku, melihatnya lewat ekor mataku, aku menemukannya tengah membuka salah satu laci kitchen set di belakangku, mengeluarkan dua gelas dari sana.

"Kopi? Teh?" Tanya Ben membuatku kembali menoleh, dia tengah berdiri di belakangku dengan dua gelas di tangannya.

Menawariku minuman?

"Mmm.." aku berpikir sejenak.. "gue sebenernya.."

"Kopi atau teh? Dua itu aja, gue nggak mau jawaban lain." Tegas dia gusar, membuatku menarik napas dalam, mengalah.

"Teh."

"Oke.."

Dia berbalik menuju meja makan, sementara aku kembali menghadap ke wastafel.

Tidak butuh waktu lama, aku sudah menyelesaikan aktivitas mencuciku. Segera aku melepas apron yang aku kenakan, lalu mengantungnya ditempat semula.

Saat aku melangkah menghampiri Ben, aroma kopi langsung menguar masuk ke indra penciumanku. Ternyata dia sibuk dengan mesin pembuat kopi.

"Sini duduk.." kata Ben saat sudah menyadari keberadaan ku, berbalik dengan satu cangkir berisi kopi uang masih mengeluarkan uap,  menyuruhku duduk sembari menunjuk kearah kursi di sampingnya.

"Kenapa nggak duduk?" Tanya Ben saat melihatku masih berdiri. "Gue udah buatin teh buat lo."

"Mmm.. ben.." ucapku hati-hati, dan sudah terlebih dahulu duduk mengangkat kepalanya untuk menatapku, menunggu aku menyelesaikan ucapanku dengan satu alis terangkat.

"Ada apa?" Tanya Ben penasaran.

"Gue rasa gue mau berangkat sekarang.."

Mendengar jawabanku, dia melihat kearah jam yang melingkari pergelangan tangannya.

"Masih ada waktu setengah jam kok, ngapain buru-buru?"

"Tapi kan gue masih harus cari angkutan umum, Ben.."

"What?" Matanya menyipit, menatapku tidak percaya. "Lo berangkat bareng gue, buat apa naik angkutan umum?"

"Tapi..,"

"Nggak ada tapi-tapian, Key." Tegas Ben memotong ucapanku cepat. "Duduk, kita sarapan." Dia meraih tanganku, memaksaku untuk duduk di sampingnya.

Aku menghela napas dalam, lalu duduk dengan setengah hati.

Aku ingin berangkat sekarang, sendirian. Aku tidak ingin terus hidup mengandalkan Ben.

"Makan, Key. Lo belom sarapan kan?" Dia bertanya, menyesap cangkir kopinya sebentar, kemudian kembali menatapmu.

"Udah kok.." bohongku kepadanya, memilih untuk menyesap teh hangat ku untuk meredakan rasa gugupku.

"Kapan?"

"Tadi.."

"Sarapan apa? Angin?" Ledeknya membuatku menciut. "Gue inget cuma punya nasi satu bungkus, dan roti dua lembar. Semuanya masih di sini." Dia menunjuk kearah piring sarapan diatas meja. "Jadi, lo makan apa?"

Ketahuan berbohong, aku hanya meringgis sebagai tanggapan.

Ben menghela napas, mengeser piring nasi goreng ke hadapanku.

"Makan.." perintahnya menatapku saat tangannya meraih satu potong sandwich, lalu mengigitnya.

Menatap sepiring nasi goreng yang di sodorkan oleh Ben, aku merasa bingung. Aku kan menyiapkan semua ini untuknya. Dan sekarang aku harus memakan ini sendiri?

"Gue nggak biasa sarapan nasi kalo pagi." Terang Ben lagi seolah bisa membaca pikiranku. "Jadi lo makan aja.."

"Atau mau gue suapin?" Kata Ben lagi saat melihatku tidak bergeming, membuatku menggelengkan kepala sebagai tanggapan.

"Nggak perlu, nggak perlu." Tolak ku cepat membuat Ben tertawa, meraih kepalaku dan mengacak rambutku lembut.

"Yaudah cepet makan, nanti telat loh."

Aku menundukan kepala cepat saat Ben menyentuh kepalaku. Menyembunyikan wajahku yang terasa panas karena skinship singkat yang di lakukan oleh Ben kepadaku.

Ayolah, Keyla!

Runtukku kesal pada diriku sendiri yang sangat mudah terpengaruh oleh perlakuan Benedict, meraih garpu sendok dari piring nasi goreng berusaha untuk mengusir perasaan aneh yang mulai menguasai diriku.

"Gue makan, ya.." aku meminta ijin Ben,  dan cowok itu mengangguk sebagai jawaban.

Rasanya sia-sia aku menyiapkan sarapan untuk Ben, jika akhirnya aku sendiri yang memakannya.

Ben kembali menggigit sandwich di tangannya dan aku mulai menyendok nasi goreng buatanku sendiri, menyantapnya dalam diam.

Rasanya tidak buruk.

"Sandwichnya enak, lo jago masak juga ya.." puji Ben memecah keheningan, membuatku mengangkat kepala untuk menatap cowok itu.

"Nggak jago kok.." aku menggelengkan kepala cepat, sadar akan pujian Ben sangat berlebihan. "Cuma bisa aja."

"Gue mau coba nasi gorengnya dong.." pinta Ben tidak menggubris ucapanku, membuatku kembali menatapnya tidak percaya.

Tadi menyuruhku untuk makan, sekarang dia ingin mencoba.

"Dikit aja," pinta dia sekali lagi. "Lo nggak jijik kan makan bareng gue?"

"Eh, Enggak kok." Aku menggelengkan kepala cepat saat menjawab.

"Yaudah suapin."

Aku menghela napas, mengalah. Menyendokan nasi goreng bersama potongan telur mata sapi, menyorkannya kepada Ben yang langsung membuka mulutnya.

Aku menatap Ben yang tengah mengunyah nasi goreng suapanku dengan antusias, penasaran dengan reaksinya.

"Enak.." kata Ben setelah menelan nasi goreng di mulutnya, membuat senyumku secara otomatis mengembang.

"Mau lagi?" Tawarku pada Ben, dan cowok itu mengangguk cepat. Segera aku kembali menyendokan nasi goreng dari piring untuknya, dan Ben memakannya dengan lahap.

Jam menunjuk ke angka tujuh saat kami selesai sarapan dan membereskan sisa-sisanya.

Melihat Ben memakan masakanku dengan lahap seperti tadi, membuatku merasa gembira. Fakta bahwa Ben menikmati sarapan buatanku membuatku bahagia.

Walaupun sebagai gantinya, aku malah belum sempat berbincang banyak dengan Ben tadi. Tentang ucapan terimakasihku, dan yang lainnya.

Ya, mungkin nanti.

Setelah semua beres, aku segera mengambil tas sekolahku ke kamar. Ben sudah menunggu di depan pintu, dan kami keluar dari apartemennya bersama.

Menyusuri lorong panjang menuju lift dalam diam, aku mencuri-curi pandang kearah Ben yang berjalan di sampingku.

Selain kaya raya, aku tidak memungkiri jika Ben itu bisa dibilang sempurna dari segi fisik. Postur tubuhnya tinggi dan tegap, dengan wajah tampan tanpa cela.

Tidak heran jika banyak kaum hawa yang jatuh hati dan rela melakukan apa saja untuknya.

Sesampainya di depan lift, Ben menekan tombol disana, dan tidak lama kemudian pintu lift terbuka.

Aku dan Ben masuk kedalam lift, dan Ben kembali menekan tombol sekali lagi, membuat pintu lift tertutup.

Masih dalam diam, aku memikirkan hal yang belum aku katakan kepada Ben. Mungkin ini saatnya.

"Mmm.." aku ragu-ragu untuk memulai berbicara, membuat Ben Menoleh, menatapku.

"Ada apa?" Dia bertanya.

"Thanks ya, Buat semuanya." Alis Ben naik satu saat aku mulai berbicara. "Lo udah bantuin gue kemarin, kasih tempat tinggal juga..,"

"Its okay, Key. Kan udah gue bilang, lo nggak usah pikirin itu." Ben terlihat sedikit jengkel dengan pembahasan ini.

"Okay.." aku mengalah, merasa tidak enak hati. "Koper gue, gue ambil sepulang sekolah, ya.. maaf masih ngerepotin lo lagi." Aku menatap kearah Ben takut-takut.

"Gue janji, gue nggak bakal ngerepot—ah!" Ucapanku terpotong oleh pekikan kaget saat Ben tiba-tiba menerjang tubuhku dan mendesakku ke dinding lift. Raut wajahnya kini sudah sepenuhnya berubah, menahanku di dinding, menatapku dengan matanya yang tajam dan rahang mengeras.

"Ben.." rintihku lirih merasa takut dengan reaksi berlebihan Benedict.

"Udah gue bilang, lo nggak perlu bahas ini lagi, Key. Lo tinggal sama gue, dan gue nggak ngijinin lo kemana-mana."

"Tapi, Ben—mmph.." mataku melebar saat Ben memotong ucapanku dengan ciuman dibibirku.

Aku mencoba memberontak saat Ben mulai mengulum bibirku, mendorong tubuhnya menjauh, namun sia-sia. Tubuh ku yang munggil, tidak sebanding dengan kekuatan Benedict yang terus mendesakku ke dinding.

Dengan gerakan cepat Ben mencekal kedua tanganku yang masih memukuli dadanya membabi buta ke atas kepala dengan satu tangannya, sementara tangannya yang lain bergerak ke pungungku, mendekapku semakin merapat ke tubuhnya.

Jantungku berdegup kencang, kepalaku terasa pening dengan bibir Benedict yang masih berada di bibirku, melumat bibir atas bawahku bergantian. Perutku bergolak, dan tanpa sadar aku mengerang, memberi celah bagi lidah Ben untuk masuk kedalam mulutku, memberi sensasi nikmat yang membuatku semakin gila.

Aku sudah hampir kehabisan napas saat suara dentingan lift terdengar begitu nyaring. Ben melepaskan dan menjauh dariku dalam sekejap, disusul dengan terbukanya pintu lift menandakan kami sudah sampai di lantai dasar.

Beruntung tidak ada orang disana.

Aku masih sangat terkejut dengan apa yang baru saja aku alami saat Ben dengan tanpa rasa bersalah ataupun berdosa meraih tanganku, dan membawaku keluar dari lift.

TBC

Komen (1)
goodnovel comment avatar
May Puju
Lanjutkan bosss kuuhhh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status