Share

ENAM

KEYLA POV

Aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, bahkan tidak sekalipun terlintas di pikiran jika aku akan tinggal bersama Ben dalam satu rumah. 

Ini terlalu gila. 

Oke, aku pernah berpikir untuk meminta bantuannya, berpikir untuk menerima tawaran yang dia tawarkan kepadaku waktu itu, tapi aku tidak pernah menyangka jika begini akhirnya. 

Satu rumah dengan Ben? Aku?

Astaga! Ini benar-benar gila, dan yang membuatku semakin gila, aku bahkan tidak memiliki pilihan lain selain menerima tawarannya. Aku tidak memiliki uang, dan aku sama sekali tidak memiliki tempat tujuan. 

Ini sudah hari kedua sejak Ben membawaku ke apartemennya. Dia memberiku tempat tinggal dan juga sebuah kamar. Kemarin, Ben memaksaku untuk beristirahat, memberikan waktu sendirian seharian, dan menggurusi semua kebutuhanku.

Jadi, hari ini aku memutuskan untuk bangun pagi-pagi sekali. 

Jam di atas nakas samping ranjangku menunjukan pukul lima lebih delapan menit saat aku selesai mandi dan berganti pakaian dengan seragam sekolah. Cepat-cepat aku merapikan ranjangku. Melirik sebentar kearah pintu yang berada di sudut kamarku. 

Ben bilang, kamar kami berdampingan, dan pintu itu merupakan pintu penghubung antara kamarku dengan kamarnya. Aku tidak mendengar suara apapun dari sana, membuatku bernapas lega.

Ya, pasti Ben belum bangun. Siapa pula yang akan bangun jam lima pagi. Jika aku jadi Ben, aku juga akan bangun paling tidak jam tujuh pagi, bersiap sebentar, lalu berangkat sekolah. 

Setelah selesai membereskan kamarku, segera aku keluar dari kamar. Menyusuri tempat yang masih sangat asing di mataku dengan langkah hati-hati. 

Setelah aku amati, apartemen Ben sangat mewah dan indah, yang di dominasi dengan warna gading untuk lantai dan temboknya. 

Ya, tentu saja sangat indah. Ini adalah tempat tinggal Benedict Johan Adiguna, Putera semata wayang dari keluarga Adiguna. Dan dari yang pernah aku dengar, apartemen ini termasuk dalam hunian termahal yang berada di pusat kota. 

Beralih dari ruang tamu, aku berjalan menghampiri area dapur. Kembali mengamati sekeliling dengan hati-hati.

Aku berniat membalas perbuatan Ben kepadaku kemarin. Dan setelah memikirkan harus melakukan apa, hal yang bisa aku lakukan untuk saat ini adalah menyiapkan sarapan untuk Ben.

Bukan bermaksud mencari muka atau apa, tapi aku merasa harus berterimakasih kepada Ben atas apa yang dia lakukan untukku kemarin.

Dia sudah membantuku, dan juga memberiku tempat tinggal, jadi aku merasa harus melakukan sesuatu untuk membalas semua perbuatannya. 

Ya, walaupun aku tahu apa yang aku lakukan ini tidak sebanding dengan apa yang dia lakukan untukku. Paling tidak, niatku tulus  untuknya. 

Namun niat baikku langsung luruh saat aku sudah berada di dapur milik Ben, semuanya terlalu asing bagiku. 

Tentu saja aku sudah terbiasa berkutat dengah area dapur sejak kecil, terlebih dalam satu tahun terakhir, semenjak mama kecelakaan, aku selalu melakukan semua pekerjaan rumah sendirian.

Namun tentu saja dapur Ben sangat berbeda dengan milikku dirumah. 

Aku bahkan tidak tahu dimana dia menyimpan peralatan memasaknya. Atau bahkan tidak punya? 

Karena aku yakin dia pasti sangat jarang mengunakan atau bahkan tidak pernah menyentuh area dapur miliknya ini. 

Menarik napas, aku membulatkan tekad. Melangkah menuju kulkas, lalu membuka pintunya. 

Mataku melebar saat menemukan gambaran isi kulkas milik Ben. 

Hampir kosong, hanya ada beberapa kaleng minuman dan juga beberapa bungkus makanan ringan. 

Aku sedikit bernapas lega saat menemukan beberpa butir telur dan juga nasi instan disana.  

Mengeluarkan telur dari kulkas, aku beralih menuju kitchen set, berencana memulai rencanaku dengan mencari peralatan masak milik Ben. Membuka satu persatu laci kitchen set dengan hati-hati, berharap bisa menemukan sesuatu yang aku butuhkan. 

Setelah membuka beberapa laci dan kabinet, akhirnya aku menemukan alat-alat yang aku butuhkan.

"Okee.." aku mengeluarkan barang-barang yang aku gunakan, meletakan di meja. "gue pasti bisa.." gumamku sendirian, menyakinkan diriku sendiri. 

Ku raih apron yang kebetulan aku temukan tergantung di samping wastafel, menggunakannya dengan cepat, menggelung rambut panjangku keatas agar aku bisa lebih leluasa untuk memasak. 

Dan sebagai langkah awal, aku memasukkan nasi instan yang aku keluarkan dari kulkas ke microwave untuk di panaskan. Selama dua menit sesuai dengan petunjuk yang tertera di bagian bungkusnya. 

Sembari menunggu nasi di hangatkan, aku beralih untuk menyiapkan bumbu-bumbu. Aku cukup beruntung, dapur Ben ternyata menyediakan bumbu-bumbu sederhana yang aku butuhkan. 

Jarum jam hampir menunjuk ke angka 6 saat aku mulai menyalakan kompor, dengan penuh perhitungan agar tidak menimbulkan suara berisik, aku meletakan frying pan yang aku temukan di kabinet ke atas kompor yang sudah menyala. 

Dengan bahan-bahan sederhana yang aku temukan di kulkas, aku memutuskan membuat nasi goreng sebagai menu sarapan untuk Ben. 

Tidak butuh waktu lama, dengan keahlianku memasak selama ini, aku berhasil memasak satu porsi nasi goreng untuk sarapan Ben. 

Aku tidak berhenti tersenyum saat membawa nasi goreng hasil masakanku ke meja makan. 

Ku letakan piring nasi gorengku disana, dan mataku menatap kearah bungkus roti tawar yang tergeletak di meja makan. 

Tertarik, ku raih bungkusan itu dan mengamatinya. Masih tersisa dua lembar roti di dalamnya, dan terlihat masih bisa dikonsumsi karena aku tidak menemukan jamur atau tanda-tanda aneh yang menandakan roti rusak. 

Aku berpikir sejenak, dengan telur yang masih tersisa, aku bisa menyiapkan satu macam sarapan lagi untuk Ben. 

Senyum simpul menghiasi bibirku saat aku meninggalkan meja makan, kembali  menuju dapur dengan roti tawar yang aku temukan. 

Mungkin Ben terbiasa sarapan dengan roti, jadi aku berinisiatif untuk membuat sandwich sederhana dengan roti dan telur yang masih tersisa. 

Kembali menyalakan kompor, aku mulai mengocok telur yang masih tersisa dan menambahkannya sedikit lada, aku berniat untuk membuat dadar telur sebagai isian sandwich. 

Beralih dari telur, aku kembali menghampiri kulkas, kalau tidak salah aku tadi semlat melihat mayones disana. 

Dan benar, mataku berbinar seolah menemukan harta karun saat berhasil menemukan mayones disana. Dengan mayonaise yang aku temukan, aku mulai mengolesi roti tawar dengan cairan kental berwarna putih kekuningan tersebut. 

Mungkin karena aku cukup ahli memasak, dan aku menyukainya. Memasak untuk sarapan Ben, membuatku lupa dengan kesedihan yang aku rasakan. Aku bahkan bersenandung lirih tanpa sadar.

Menggangkat telur dadar yang sudah matang, aku meletakannya diantara roti tawar yang sudah aku olesi dengan mayones. Langkah terakhirnya, aku hanya perlu memanggang kedua sisi roti tawar sebantar, dan sandwich sederhanaku sudah siap di hidangkan. 

Aku tidak bisa berhenti tersenyum saat  menatap kearah roti yang kini tengah aku pangang. Ku usap keningku yang berkeringat mengunakan pungung tangan, ini cukup melelahkan, namun aku merasa puas bisa menyiapkan sarapan untuk Ben. 

Mengeluarkan satu piring lagi dari laci penyimpanan, aku menggangkat sandwichku dari pangganggan, meletakannya diatas piring, dan memotongnya menjadi dua bagian.

"Selesai juga.." gumamku sendirian, menatap puas kearah sandwich sederhana yang berhasil aku buat dengan baahan sederhana. Ini akan lebih lezat jika aku menambahkan bacon, namun karena tidak ada, aku hanya mengunakan telur sebagai isian. 

Tidak terlalu buruk lah.

Namun aku sama sekali tidak tahu selera Ben pada makanan. 

Ya, paling tidak aku sudah berusaha. 

Menarik napas, aku membawa piring sandwichku ke meja makan saat mendengar suara pintu kamar terbuka, dan terbanting menutup dengan cukup keras. Aku berhenti di tempat, menoleh kearah datangnya suara derap langkah yang terdengar terburu-buru itu.

"Benedict?" Gumamku setengah heran saat menemukan Ben yang terlihat tengah mengejar sesuatu. Aku menoleh kekiri ke kanan, spontan mencari apa yang sembuat Ben tampak begitu panik.

Perlahan dia berhenti, setengah telanjang, dengan napas memburu, wajahnya yang panik masih terlihat begitu berantakan khas bangun tidur. 

"Ada apa?" Tanyaku menatap cowok yang keluar kamar hanya mengenakan celana piyama berwarna hitam itu keheranan. 

"Elo.." gumam Ben tidak jelas, melangkah mendekat kearahku. Gelagatnya sungguh aneh, dengan sorot mata yang tidak bisa aku tebak. 

Ada apa dengannya? Kenapa? Apa yang salah? Apa yang membuatnya panik saat bangun tidur?

Aku tidak bergeming dari tempatku berdiri dengan kepala dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban, belum sempat aku menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas. Aku kembali dikagetkan dengan apa yang dilakukan Benedict selanjutnya...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status