Siang itu, Akash dan Rama duduk berhadapan di sebuah kafe yang tak terlalu ramai di kawasan Sudirman. Udara dari pendingin ruangan bercampur dengan aroma kopi yang baru diseduh. Penampilan mereka yang rapi, cara bicara yang serius dan sebuah laptop yang terbuka di atas meja membuat orang-orang di sekeliling mereka akan berpikir kalau mereka sedang membahas pekerjaan. Siapa sangka, keduanya justru membicarakan soal pribadi.
“Aku minta asistenku mencari tahu tentang Erik. Dan barusan aku dapat laporan, kalau tempat dia bekerja sekarang adalah perusahaan milik salah satu keluarga dari ayahnya. Secara profesional sebenarnya dia cukup bagus, tapi secara attitude—” Rama menggeleng.
“Kakek juga tadi minta tolong Pak Bima untuk cari tahu lebih banyak tentang dia, sekaligus mencari celah aga
Siang itu, Akash dan Rama duduk berhadapan di sebuah kafe yang tak terlalu ramai di kawasan Sudirman. Udara dari pendingin ruangan bercampur dengan aroma kopi yang baru diseduh. Penampilan mereka yang rapi, cara bicara yang serius dan sebuah laptop yang terbuka di atas meja membuat orang-orang di sekeliling mereka akan berpikir kalau mereka sedang membahas pekerjaan. Siapa sangka, keduanya justru membicarakan soal pribadi.“Aku minta asistenku mencari tahu tentang Erik. Dan barusan aku dapat laporan, kalau tempat dia bekerja sekarang adalah perusahaan milik salah satu keluarga dari ayahnya. Secara profesional sebenarnya dia cukup bagus, tapi secara attitude—” Rama menggeleng.“Kakek juga tadi minta tolong Pak Bima untuk cari tahu lebih banyak tentang dia, sekaligus mencari celah aga
Malam itu kamar Indira dan Rama terasa hening. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar di antara lembutnya cahaya lampu tidur. Indira menatap langit-langit kamar sambil berbaring di samping suaminya, pikirannya melayang jauh. Bayangan masa lalu yang selama ini berusaha ia kubur, entah kenapa kembali muncul kembali setelah mendengar nama Erik disebut.Rama menoleh pelan ke arah istrinya. Tatapannya lembut, tangannya menyentuh perut Indira yang masih terbilang rata, diusapnya pelan dan memberi kenyamanan untuk si puan. “Kenapa? Masih mikirin Erik?”Pertanyaan itu membuat Indira menoleh pelan pada suaminya. “Maaf ya Mas, aku gak pernah cerita ini sebelumnya, aku pikir—”Rama menggenggam tangannya yang terletak di atas selimut. “Jangan dipikirin terus Yang, aku janji akan jaga kamu dengan baik.”Indira mengangguk pelan. “Aku cuma takut kamu kecewa, Mas. Aku tahu aku salah karena gak cerita dari awal, aku cuma—”“Dir,” potong Rama. Pria itu menarik nafas dalam, menatap wajah
“Erik?”Mendengar nama itu disebut, sontak membuat Indira menoleh pelan, melihat suaminya yang sedang melihat ke arah ponselnya. “Mas, tadi sebut nama siapa?” tanyanya memastikan.“Erik,” jawab Rama.“Siapa? Erik siapa?” tanya Indira.“Aku juga gak tahu sayang, ini Akash yang kirim pesan.” Rama menunjukkan ponselnya ke arah Indira.[Kenal Erik?]Indira spontan mundur perlahan, bayangan beberapa tahun lalu bermain di kepalanya. Rama kaget melihat sikap Indira yang berubah. Wanita itu bahkan terus berjalan mundur bahkan ia abai pada panggilan suaminya, hingga punggungnya membentur dinding.
Erik menoleh, sosok Akash berjalan pelan menghampiri. Melihat Akash datang Gara dan Esa memilih memindahkan food tray milik mereka ke meja lain sambil terus memperhatikan Akash. Berjaga-jaga kalau Erik mencari masalah dan Akash terpancing.“Anda siapa?” tanya Erik dengan tatapan tajam.Akash menarik satu sudut bibirnya, mengulurkan tangannya yang langsung diraih oleh Asha. Melihat itu Erik mengerutkan keningnya, lalu menatap Akash yang menarik pelan Asha ke arahnya.“Seharusnya Pak Arjuna sudah mengatakan apa posisi Asha di CPM, dan kalau anda menganggap kerjasama dengan CPM penting, harusnya anda berhenti membuat ulah dan mengganggu istri saya.”Erik bergeming, matanya menelisik Akash dari ujung rambut ke ujung kaki. Seperti sedang menghitung sia
“Asha,” sapaan halus itu membuat Asha menoleh pelan pada sumber suara. Ternyata, di seberang meja yang ia pilih sudah lebih dulu duduk Rama, Indira dan Anna dengan tiga mangkuk es krim yang menggugah selera.“Hei!” Asha yang menyadari kehadiran keluarga Rama begitu senang dan lekas menghampiri mereka.“Gabung sini aja ante Asha, ini banyak kursi kosong nih,” ajak Anna.Belum juga Asha menjawab, Atha lebih dulu mengambil tempat duduk di samping Anna. Mau tidak mau Akash dan Asha pun di meja yang sama dengan Rama dan Indira.Obrolan ringan tercipta begitu saja, ada canda yang hadir dari obrolan Anna dan Atha. Lalu sedikit mengarah ke haru ketika mereka membicarakan tentang kehamilan Indira dan Asha yang berdekatan waktunya.“Berarti nanti, Anna bakal punya dua adik sekaligus ya. Satu dari Bunda Dira, satu lagi dari Ante Asha.” Mata Anna berbinar ketika mengucapkan hal itu, ia bisa membayangkan akan menggendong dua bayi kecil sekaligus.Asha dan Indira hanya bisa mengulum senyum melihat
Asha merasa seluruh tubuhnya seperti kehilangan tenaga sore itu. Ia menundukkan kepala sebentar, menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa energi yang tersisa setelah seharian penuh rapat dan koordinasi proyek.Tangannya terulur ke belakang leher, memijat pelan bagian yang terasa kaku. Sesekali ia menggeleng kecil, berusaha mengusir rasa pening yang mulai merayap dari pelipis ke belakang kepala.“Ternyata kerja sendiri secapek ini ya?” gumamnya pelan.Ini memang pertama kalinya dia mengurus pekerjaan sendiri tanpa Akash. Biasanya, rasa lelah itu bisa ditepis dengan melihat wajah Akash yang menyungging senyum, tapi hari ini… jangankan senyum, bahkan melihat wajah Akash saja tidak bisa.Asha merapikan tasnya, menatap layar ponsel sekilas&mda