“Tante!” Amerta menoleh pada suara perempuan yang memanggilnya, seorang perempuan berambut bergelombang sebahu yang begitu cantik dan anggun.
“Oh, hai Cantika, lama gak ketemu, kapan balik dari Aussy?” tanya Amerta setelah memberikan pelukan selamat datang.
“Sudah lumayan lama Tan, tapi emang baru sempat ke sini nengok Tante, maaf ya Tan.” Amerta mengangguk pelan dan mengajak Cantika duduk di teras rumah.
“Gimana kabar kamu?” tanya Amerta.
“Sehat Tan, cuma sedih saja karena ditinggal nikah sama Akash.” Amerta terkekeh pelan mendengar ucapan Cantika. Amerta cukup tahu kalau teman kecil Akash itu memang menyukai anaknya sejak lama.
“Harusnya sih, aku datang lebih awal ya Tan, biar Akashnya nikah sama aku saja bukan nikah sama anak pembantu.” Wajah Amerta sedikit berubah, dia tidak begitu senang mendengar ucapan Cantika, meskipun begitu dia tetap berusaha menyunggingkan senyum.
“Harusnya aku gak menunda kepulanganku ke Indonesia, pasti saat itu Akash akan lebih memilih untuk menikah denganku untuk menghindari perjodohan dengan Amora dibanding harus menikah dengan anak pembantu.” Perlahan senyum Amerta lenyap, namun Cantika tidak menyadarinya, dia bahkan masih terus bicara seolah Amerta suka mendengarnya.
“Kasihan tahu Tan, dia pasti diporotin sama istrinya kan? Baru nikah saja sudah disuruh bayar hutang ibunya, terus sekarang harus menghidupi mereka berdua, kan kasian banget Akash.” Wajah Amerta berubah datar. Dia benar-benar ingin marah saat mendengar kata-kata Cnatika.
“Tapi aku senang loh Tan, sampai sekarang mereka belum juga berhubungan, aku yakin ntar lagi juga mereka pisah. Nanti kalau mereka pisah Tante setuju gak kalau aku yang jadi istri Akash?” Amerta makin terkejut mendengar penuturan Cantika.
“Cantika dengar semua ini dari siapa?” tanya Amerta.
“Dari Akash, dia cerita semuanya sama aku dan Farid setelah kami pulang dari Aussie,” jawab Cantika penuh semangat.
“Cantika maaf, Tante harus lanjut siapin makan malam, kalau gak keberatan Cantika bisa pulang dulu ya?” Cantika sedikit kaget saat itu, tapi dia tetap tersenyum.
“Oh iya Tan, malam ini ada acara makan malam ya dengan keluarga besar?” tebak Cantika.
“Iya benar, malam ini ada makan malam keluarga,” jawab Amerta singkat.
“Berarti Akash akan datang dong Tan? Semoga istrinya gak ikut ya Tan, gak level banget dia sama kita.” Kekehan Cantika tidak ditanggapi Amerta.
Perempuan itu lantas berpamitan dan meninggalkan rumah keluarga Kurniawan.
Amerta masuk ke rumah dengan perasaan tidak nyaman. Dia teringat pada Asha, dia meminta Akash membawa Asha malam ini, dia harus bicara dengan menantunya itu.
***
Amerta menatap Asha yang baru saja datang bersama Akash. Sudut mata menantunya itu terlihat sendu meski berusaha disembunyikan dengan senyuman.
“Kalian sehat?” tanya Amerta.
“Sehat Ma,” jawab Akash.
“Sha, bisa kita bicara Nak?” Asha mengangguk pelan.
“Mama mau bicara sama Asha dulu ya Kash, gak papa kan?” ucap Amerta pada anaknya dan Akash tentu tidak melarang.
“Ayo ikut Mama ke kamar.”
Amerta menggiring Asha masuk ke kamar meninggalkan Akash yang lebih memilih masuk ke ruang kerja kakeknya.
Mereka berdua duduk di sofa di dalam kamar, Amerta memutuskan untuk bertanya langsung pada Asha tentang rumah tangga mereka, dia tidak ingin mendengar dari orang lain. Dia sudah cukup kaget mendengar penuturan Cantika sebelumnya.
“Sha,” panggilan Amerta membuat Asha melihat ke arah ibu mertuanya. “Bagaimana hubunganmu dengan Akash Nak? Apa dia memperlakukanmu dengan baik?” tanyanya.
“Alhamdulillah Mas Akash baik Ma,” jawab Asha berusaha jujur.
Amerta meraih tangan Asha, menggenggam dan mengusapnya, berusaha menyalurkan perhatian lebih agar Asha merasa aman dan nyaman dengannya.
“Jujur Sha, apa dia benar-benar memperlakukanmu dengan baik?” tanya Amerta sekali lagi.
“Iya Ma, Mas Akash baik.” Amerta tahu Asha tidak benar-benar jujur saat itu, dia bisa menangkap sorot mata kecewa dari menantunya. Dia masih bisa bersyukur karena yang dia lihat bukan sorot mata kebencian.
“Apa benar Akash belum pernah menyentuhmu Nak?” Asha mengangkat wajahnya, menatap ibu mertuanya yang baru saja bertanya.
Kali ini Amerta menangkap ketakutan di mata Asha saat itu.
“Jangan takut, Mama cuma mau kamu jujur, apa benar dia belum pernah menyentuhmu?” Asha menundukkan kepalanya, berpikir keras darimana mertuanya tahu hal yang harusnya hanya dia dan Akash yang tahu.
“Bisakah pertanyaan itu diberikan ke Akash Ma? Asha gak bisa jawab.” Akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Asha, karena dia tidak tahu harus menjawab apa lagi.
Dan jawaban itu cukup untuk meyakinkan Amerta kalau anaknya memang belum memberi menantunya nafkah batin.
“Mama minta maaf, Mama gak tahu anak Mama selama ini menelantarkanmu seperti itu,” ucap Amerta lirih.
Asha membalas mengusap lembut tangan ibu mertuanya, senyum masih terpatri di wajah Asha.
“Mas Akash baik Ma dan apapun yang terjadi dalam rumah tangga kami, itu sudah atas kesepakatan kami berdua. Maaf kalau Asha mengecewakan Mama dan keluarga besar.”
Entah kenapa, Asha merasa ini akan menjadi akhir dari hubungannya dengan Akash.
Amerta pasti akan mengatakan semuanya pada Cakra dan hal itu akan membuat pernikahan ini berakhir lebih cepat dari yang dipikirkannya.
“Apa Kinasih tahu masalah ini?” Asha menggeleng pelan.
“Ibu gak tahu apapun, semua yang terjadi dengan kami itu semua keputusan kami berdua Ma, Ibu gak pernah tahu.” Amerta mengangguk.
“Kamu pasti kecewa kan dengan Akash?” Asha hanya mengulum senyum.
“Asha cuma manusia biasa Ma, bohong kalau Asha gak kecewa. Tapi ini memang yang terbaik untuk kami, Asha sendiri gak bisa melayani Mas Akash tanpa rasa.” Kali ini Asha sedikit berbohong.
“Kamu gak punya perasaan pada Akash Nak?” Asha diam, dia memilih untuk tidak menjawab, karena sejujurnya dia belum tahu apakah dia sudah punya khusus untuk Akash atau tidak.
“Mama sangat berharap pernikahan kalian bisa dipertahankan Sha, jujur Mama suka banget sama kamu. Kamu sangat santun, sabar, dan Mama tahu banget kalau kamu pintar masak,” ujar Amerta.
“Kalau kamu ada rasa, Mama harap kamu mau berjuang, Mama yakin Akash bisa diluluhkan. Tapi kalau kamu sendiri gak ada rasa…” Amerta menjeda kalimatnya, “Mama izinkan kamu mengajukan khulu bila dirasa perlu.”
Deg!
Khulu???
Siang itu, Akash dan Rama duduk berhadapan di sebuah kafe yang tak terlalu ramai di kawasan Sudirman. Udara dari pendingin ruangan bercampur dengan aroma kopi yang baru diseduh. Penampilan mereka yang rapi, cara bicara yang serius dan sebuah laptop yang terbuka di atas meja membuat orang-orang di sekeliling mereka akan berpikir kalau mereka sedang membahas pekerjaan. Siapa sangka, keduanya justru membicarakan soal pribadi.“Aku minta asistenku mencari tahu tentang Erik. Dan barusan aku dapat laporan, kalau tempat dia bekerja sekarang adalah perusahaan milik salah satu keluarga dari ayahnya. Secara profesional sebenarnya dia cukup bagus, tapi secara attitude—” Rama menggeleng.“Kakek juga tadi minta tolong Pak Bima untuk cari tahu lebih banyak tentang dia, sekaligus mencari celah aga
Malam itu kamar Indira dan Rama terasa hening. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar di antara lembutnya cahaya lampu tidur. Indira menatap langit-langit kamar sambil berbaring di samping suaminya, pikirannya melayang jauh. Bayangan masa lalu yang selama ini berusaha ia kubur, entah kenapa kembali muncul kembali setelah mendengar nama Erik disebut.Rama menoleh pelan ke arah istrinya. Tatapannya lembut, tangannya menyentuh perut Indira yang masih terbilang rata, diusapnya pelan dan memberi kenyamanan untuk si puan. “Kenapa? Masih mikirin Erik?”Pertanyaan itu membuat Indira menoleh pelan pada suaminya. “Maaf ya Mas, aku gak pernah cerita ini sebelumnya, aku pikir—”Rama menggenggam tangannya yang terletak di atas selimut. “Jangan dipikirin terus Yang, aku janji akan jaga kamu dengan baik.”Indira mengangguk pelan. “Aku cuma takut kamu kecewa, Mas. Aku tahu aku salah karena gak cerita dari awal, aku cuma—”“Dir,” potong Rama. Pria itu menarik nafas dalam, menatap wajah
“Erik?”Mendengar nama itu disebut, sontak membuat Indira menoleh pelan, melihat suaminya yang sedang melihat ke arah ponselnya. “Mas, tadi sebut nama siapa?” tanyanya memastikan.“Erik,” jawab Rama.“Siapa? Erik siapa?” tanya Indira.“Aku juga gak tahu sayang, ini Akash yang kirim pesan.” Rama menunjukkan ponselnya ke arah Indira.[Kenal Erik?]Indira spontan mundur perlahan, bayangan beberapa tahun lalu bermain di kepalanya. Rama kaget melihat sikap Indira yang berubah. Wanita itu bahkan terus berjalan mundur bahkan ia abai pada panggilan suaminya, hingga punggungnya membentur dinding.
Erik menoleh, sosok Akash berjalan pelan menghampiri. Melihat Akash datang Gara dan Esa memilih memindahkan food tray milik mereka ke meja lain sambil terus memperhatikan Akash. Berjaga-jaga kalau Erik mencari masalah dan Akash terpancing.“Anda siapa?” tanya Erik dengan tatapan tajam.Akash menarik satu sudut bibirnya, mengulurkan tangannya yang langsung diraih oleh Asha. Melihat itu Erik mengerutkan keningnya, lalu menatap Akash yang menarik pelan Asha ke arahnya.“Seharusnya Pak Arjuna sudah mengatakan apa posisi Asha di CPM, dan kalau anda menganggap kerjasama dengan CPM penting, harusnya anda berhenti membuat ulah dan mengganggu istri saya.”Erik bergeming, matanya menelisik Akash dari ujung rambut ke ujung kaki. Seperti sedang menghitung sia
“Asha,” sapaan halus itu membuat Asha menoleh pelan pada sumber suara. Ternyata, di seberang meja yang ia pilih sudah lebih dulu duduk Rama, Indira dan Anna dengan tiga mangkuk es krim yang menggugah selera.“Hei!” Asha yang menyadari kehadiran keluarga Rama begitu senang dan lekas menghampiri mereka.“Gabung sini aja ante Asha, ini banyak kursi kosong nih,” ajak Anna.Belum juga Asha menjawab, Atha lebih dulu mengambil tempat duduk di samping Anna. Mau tidak mau Akash dan Asha pun di meja yang sama dengan Rama dan Indira.Obrolan ringan tercipta begitu saja, ada canda yang hadir dari obrolan Anna dan Atha. Lalu sedikit mengarah ke haru ketika mereka membicarakan tentang kehamilan Indira dan Asha yang berdekatan waktunya.“Berarti nanti, Anna bakal punya dua adik sekaligus ya. Satu dari Bunda Dira, satu lagi dari Ante Asha.” Mata Anna berbinar ketika mengucapkan hal itu, ia bisa membayangkan akan menggendong dua bayi kecil sekaligus.Asha dan Indira hanya bisa mengulum senyum melihat
Asha merasa seluruh tubuhnya seperti kehilangan tenaga sore itu. Ia menundukkan kepala sebentar, menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa energi yang tersisa setelah seharian penuh rapat dan koordinasi proyek.Tangannya terulur ke belakang leher, memijat pelan bagian yang terasa kaku. Sesekali ia menggeleng kecil, berusaha mengusir rasa pening yang mulai merayap dari pelipis ke belakang kepala.“Ternyata kerja sendiri secapek ini ya?” gumamnya pelan.Ini memang pertama kalinya dia mengurus pekerjaan sendiri tanpa Akash. Biasanya, rasa lelah itu bisa ditepis dengan melihat wajah Akash yang menyungging senyum, tapi hari ini… jangankan senyum, bahkan melihat wajah Akash saja tidak bisa.Asha merapikan tasnya, menatap layar ponsel sekilas&mda