Akash melihat ke sekeliling rumah, sabtu pagi itu dia terbangun pukul sembilan dan mendapati rumah begitu lengang, seolah hanya dia penghuni di rumah itu dan tidak ada yang lain. Akash tahu Humairah–ibu mertuanya sedang ada acara dengan Amerta–ibunya, tapi Asha, kemana dia?
Akash membuka ponselnya, melihat mungkin ada pesan dari Asha yang berpamitan, tapi tidak ada. Yang ada justru ajakan berkumpul dari Cantika dan Farid, dua teman lamanya yang memang sering mengajaknya bertemu.
Akash sebenarnya bingung, sudah beberapa hari ini Asha bersikap aneh, tidak seperti biasanya. Selama ini Asha tidak pernah absen membangunkannya sebelum adzan subuh, kali ini Asha melakukannya setelah dia sendiri menyelesaikan sholat subuh.
Biasanya, Asha akan cerewet dan melarangnya tidur kembali setelah subuh, tapi kali ini bahkan hari ini, Asha tidak membangunkannya sebelum dia pergi meninggalkan rumah.
Kemana dia?
***
Sementara itu Asha ternyata sedang melepas penatnya dengan berjalan santai dan berakhir di Perpustakaan Nasional, tempat paling menenangkan untuk Asha. Beberapa jam di sana, Asha mulai merasakan lapar.
Dan hal itu membawanya melangkah keluar dari perpustakaan, menyusuri jalan raya dengan berjalan kaki lebih dari tiga puluh menit dan berakhir di sebuah cafe.
Tring!
Lonceng yang tergantung di dekat pintu berbunyi saat Asha membuka pintu dan membuatnya disambut hangat oleh seorang waiter yang mulai memberinya tempat duduk di satu sudut yang langsung mengarah ke luar.
Asha memesan roti bakar dan vanilla latte. Saat dia duduk sendiri, telinganya menangkap sebuah pembicaraan dari satu meja di belakang, menyebut nama Akash–suaminya.
“Akash belum datang?” tanya suara seorang perempuan.
“Belum, masih di jalan mungkin,” balas suara laki-laki.
Asha tidak menoleh, tidak juga ingin mendengarkan sebenarnya, tapi suara mereka jelas sekali terdengar.
“Dia gak dilarang keluar sama istrinya yang pembantu itu kan?” Asha menutup matanya, mendengar dirinya disebut-sebut. Asha menatap keluar sambil menghela nafas–sesak.
“Gak lah, mana berani dia ngelarang-larang Akash keluar, mau dia kehilangan ATM berjalannya?” Asha menggigit bibir bagian bawahnya, ATM berjalan kata mereka?
“Kalau sampai ngelarang sih keterlaluan ya? Dia sudah dapat banyak manfaat dari Akash, utang ibunya sudah dilunasi Akash dan kehadiran mereka berdua tentu menambah beban hidup Akash, keterlaluan banget kalau dia ngelarang Akash ngumpul-ngumpul sama kita.” Tangan Asha mengepal, jadi aku dan ibu adalah beban ya?
“Nah tuh Akash.” Asha meneguk salivanya kasar, dia tetap menatap ke arah luar, sudut matanya sudah mulai basah.
“Lama amat Bro, kemana saja? Ngelonin bini ya?” lalu tawa terdengar dari meja belakang.
“Ck!” Akash hanya menjawab sesingkat itu.
“Dapat berapa ronde sebelum kesini Bro!” Gelak tawa kembali terdengar sebelum akhirnya ada sautan lain.
“Pinter gak dia di kasur? Jangan sampai sudah bayar mahal dia gak pinter mainnya.” Dan suara gelak tawa kembali terdengar, membuat hati Asha benar-benar sakit.
“Lagi ada urusan tadi, sudahlah gak usah bicarain dia,” jawab Akash dingin.
Asha menyentuh dadanya yang terasa sesak.
‘Apa kata mereka? ATM berjalan? Beban? Bayar mahal? Astagfirullah.’ Batin Asha.
Secepat mungkin Asha menghabiskan makanan yang ada di piringnya agar hatinya tidak makin sakit mendengar obrolan Akash dan teman-temannya.
Sreeet.
Suara gesekan kursi terdengar membuat beberapa orang menoleh dan termasuk Akash. Dan saat itulah Akash sadar kalau ada Asha di sana. Ditatapnya punggung Asha yang berjalan menjauh, seketika itu juga dia merasa ada yang salah, apa Asha mendengar ucapan teman-teman tadi?
*
Asha kembali ke rumah dengan perasaan kesal yang menumpuk di dadanya. Rasanya ingin sekali bercerita pada ibunya, tapi tidak mungkin, itu hanya akan membuat Kinasih sedih.
Sampai di rumah dia disambut hangat ibu dan mertuanya yang sedang bercengkrama di ruang depan, membuatnya harus menunjukkan senyum kepalsuan di depan keduanya.
Beruntung saat itu Amerta sudah akan pulang, hingga dia tidak perlu lama berbasa-basi pada ibu mertuanya.
Selepas kepergian Amerta yang beranjak pulang dan Kinasih yang beranjak masuk ke kamar, Asha berlalu ke kamar, merebahkan dirinya di atas sofa. Saat itu semua obrolan mereka di cafe tadi terngiang kembali di kepalanya.
“Jadi, selama ini dia menganggapku sebagai beban hidup? Dan dia merasa jadi ATM berjalan untukku?” lirih Asha pada dirinya sendiri.
Asha mengeluarkan ATM Akash yang dipegangnya.
“Iya, dia memang ATM berjalan, bukankah aku bisa belanja sepuasnya karena memiliki ini? ATM miliknya yang dihibahkan ke aku setelah kami menikah?” Asha masih terus bicara dengan dirinya sendiri.
“Apa aku bisa bertahan hidup tanpa ATM ini?”
Asha bangkit, mengambil kertas dan mulai berhitung singkat tentang semua pengeluarannya. Ujung pulpen bermain di dekat bibirnya saat dia berpikir, lalu pada akhirnya…
“Tidak bisa, aku gak punya penghasilan apapun tanpa kartu ATM ini, lalu bagaimana aku dan ibu bisa hidup kalau ATM ini aku kembalikan?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Lelah berpikir, Asha menghela nafas berat. Dia harus segera mencari cara agar bisa keluar dari masalah ini.
Dia sudah memutuskan untuk berhenti berjuang dalam pernikahan ini, tapi untuk melepaskan diri begitu saja dia tidak bisa.
Dia sudah menggunakan uang mahar pemberian Akash senilai seratus juta untuk membayar hutang ibunya. Meskipun Akash tidak pernah membicarakannya, Asha tetap menganggap itu sebagai utang yang harus dibayar bila ingin melepaskan diri dari pernikahan ini.
“Allah, tolong aku,” lirih Asha sambil memainkan ponsel di tangannya.
Ting!
Tiba-tiba sebuah pesan masuk dari Indira.
[Sha, minggu depan aku ada interview. Kamu gimana, ada panggilan gak?]
Asha kembali menghela nafas, “kapan aku dapat kerjaan Yaa Allah?” lirihnya.
“Pengen buru-buru dapat kerjaan biar bisa mandiri dan gak jadi beban untuk orang lain,” lanjutnya masih dengan suara lirih.
[Selamat ya Dir, semoga diterima ya. Doakan aku juga dapat panggilan cepat.] - Balas Asha.
Omongan teman-teman Akash kembali terngiang di kepalanya. Kata “beban, ATM berjalan dan sudah bayar mahal’ bermain di kepalanya.
“Tolong aku Allah, aku lelah.”
***
Selamat datang di buku pertamaku, semoga buku ini bisa membawa sedikit manfaat untuk kalian semua yang baca. Hatur tengkyu buat kalian semua, selamat membaca.
Akash sudah sering mendengar kata ngidam sebelumnya. Tapi melihat dan ikut merasakan efeknya secara langsung baru kali ini.Asha–istrinya, benar-benar tidak bersikap seperti biasanya. Setelah insiden bau parfum yang tidak enak di penciumannya, beberapa hari kemudian wanita itu jadi banyak maunya, dan akan gampang baper kalau tidak sesuai keinginannya. Anehnya, itu hanya terjadi bila dia bersama Akash.“Mas, kemejanya ganti.” Asha menyodorkan satu kemeja berwarna soft pink pada Akash yang baru saja memakai kemeja putih untuk berangkat ke kantor.“Pink?” ucap Akash sambil menaikkan sebelah alisnya.Asha mengangguk antusias dengan senyum mengembang di wajahnya.“Harus?” tanya Akash ragu.
Sepanjang perjalanan pulang Asha lebih banyak diam. Entah kenapa dia merasa sikap Akash berlebihan. Matanya lebih banyak menatap ke arah jendela mobil, melihat lampu jalan yang menerangi trotoar, beberapa pejalan kaki sedang bertransaksi dengan pedagang kaki lima.Akash sendiri lebih fokus pada jalan. Dia tahu Asha sedang tidak hati, tapi dia tidak tahu apa yang salah, bukankah sekarang harusnya dia yang marah, kesal atau ngambek karena Asha tidak bisa dihubungi? Bagaimana kalau tadi apa-apa di jalan sementara tidak ada yang menemaninya. Dan dia tidak bisa dihubungi.Akash menghela nafas, matanya sesekali melirik Asha yang diam menghadap jendela.“Sha,” panggilnya lirih.“Hm,” jawab Asha singkat.
Pada akhirnya drama hari itu makin bertambah parah di jam pulang kerja. Saat keluar dari ruangan Akash, Asha bahkan tidak bisa bertahan sedetik saja berdiri di depan ruangan itu karena begitu banyak yang lewat dengan bau berbeda. Alhasil, ia mengurung diri dalam ruangan Akash.Masalahnya, Akash yang sejak siang tadi ada meeting di luar tidak menyadari kalau istrinya masih berada di kantor dan belum pulang. Selepas meeting di luar kantor dia bergegas pulang ke rumah karena berpikir Asha sudah sampai di rumah, ternyata ia masih belum pulang, padahal jam pulang sudah berlalu satu jam.“Belum pulang Bu?” tanya Akash saat menyadari ketidakhadiran Asha di rumah.Ia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi istrinya setelah mendapat jawaban dari Kinasih.Tapi dicoba hubungi beberapa kali, wanita itu tidak menjawab.Ia mencoba menghubungi Ranti dan jawabannya, “tadi saya pulang Mbak Asha masih di kantor Pak.”Mendengar jawaban itu Akash segera mengambil kunci mobilnya dan kembali meluncurkan
Akash menyelesaikan ritual penyatuannya dengan Asha pagi itu sesuai permintaan istrinya. Permintaan yang tidak pernah diminta Asha sebelumnya, tapi pagi ini… wanita itu justru memulai lebih dulu.“Terima kasih,” ucap Akash sambil mengecup pipi istrinya.Wanita itu malah menutup wajahnya dengan selimut, nampaknya dia malu setelah memulai semuanya lebih dulu.“Mau mandi bareng gak?” tawar Akash.Asha tidak menjawab, tapi melihat selimut itu bergerak ke kanan kiri, Akash menebak istrinya tidak ingin mandi bersama. Pria itu mendekatkan wajahnya pada Asha dan berbisik, “tadi pintar banget mancing, kok udahannya Mas dicuekin?”“Maaaas.” Akash terkekeh mendengar teriakan pelan i
Pagi merambat pelan di kamar Asha, selesai melaksanakan sholat subuh tadi dia gegas menuju dapur, seperti biasa ia berniat membuat sarapan untuk keluarga kecilnya. Tapi baru selangkah kakinya menginjak dapur, bau bumbu dapur mengusik penciumannya. Tiba-tiba saja dia diserang rasa mual yang begitu berat. Itu membuatnya masuk ke kamar mandi dan menumpahkan isi perutnya yang bahkan belum diisi apa-apa.“Kenapa Sha?” Kinasih menegur anaknya yang terlihat menggunakan kamar mandi samping dapur. Padahal biasanya dia tidak pernah ke sana.“Perut Asha mual Bu, bau di dapur gak enak banget,” keluhnya saat keluar dari kamar mandi sambil mengusap perutnya.“Bau?” Kinasih berjalan ke dapur, memastikan bau apa yang dimaksud putrinya. Tapi saat Ia sampai di dapur, ia tidak mencium bau apapun. La
Asha berlari turun dari lantai dua dan mencari keberadaan Akash. Saat melihatnya berada di ruang tengah Asha kembali berlari dan menghampirinya. Akash sampai menegur istrinya yang terus berlari itu.“Sayang, jangan lari-lari, ada baby di perut kamu.” Asha mengerjap, dia benar-benar lupa.“Maaf Mas,” ucapnya.“Ada apa? Kenapa lari-lari begitu?” tanya Akash setelah memastikan istrinya tenang dan duduk di sofa–di sebelahnya.Asha menatap suaminya lekat dengan tatapan curiga. “Apa?” tanya Akash bingung.“Jujur sama aku, Mas habis ngomong apa sama Pak Rama kemarin?” Akash mengernyit, ekspresi itu seolah mewakili pertanyaan