Share

BEBAN HIDUP

Penulis: LilyAnnie
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-28 12:37:34

Akash melihat ke sekeliling rumah, sabtu pagi itu dia terbangun pukul sembilan dan mendapati rumah begitu lengang, seolah hanya dia penghuni di rumah itu dan tidak ada yang lain. Akash tahu Humairah–ibu mertuanya sedang ada acara dengan Amerta–ibunya, tapi Asha, kemana dia?

Akash membuka ponselnya, melihat mungkin ada pesan dari Asha yang berpamitan, tapi tidak ada. Yang ada justru ajakan berkumpul dari Cantika dan Farid, dua teman lamanya yang memang sering mengajaknya bertemu.

Akash sebenarnya bingung, sudah beberapa hari ini Asha bersikap aneh, tidak seperti biasanya. Selama ini Asha tidak pernah absen membangunkannya sebelum adzan subuh, kali ini Asha melakukannya setelah dia sendiri menyelesaikan sholat subuh.

Biasanya, Asha akan cerewet dan melarangnya tidur kembali setelah subuh, tapi kali ini bahkan hari ini, Asha tidak membangunkannya sebelum dia pergi meninggalkan rumah.

Kemana dia?

***

Sementara itu Asha ternyata sedang melepas penatnya dengan berjalan santai dan berakhir di Perpustakaan Nasional, tempat paling menenangkan untuk Asha. Beberapa jam di sana, Asha mulai merasakan lapar.

Dan hal itu membawanya melangkah keluar dari perpustakaan, menyusuri jalan raya dengan berjalan kaki lebih dari tiga puluh menit dan berakhir di sebuah cafe.

Tring!

Lonceng yang tergantung di dekat pintu berbunyi saat Asha membuka pintu dan membuatnya disambut hangat oleh seorang waiter yang mulai memberinya tempat duduk di satu sudut yang langsung mengarah ke luar.

Asha memesan roti bakar dan vanilla latte. Saat dia duduk sendiri, telinganya menangkap sebuah pembicaraan dari satu meja di belakang, menyebut nama Akash–suaminya.

“Akash belum datang?” tanya suara seorang perempuan.

“Belum, masih di jalan mungkin,” balas suara laki-laki.

Asha tidak menoleh, tidak juga ingin mendengarkan sebenarnya, tapi suara mereka jelas sekali terdengar.

“Dia gak dilarang keluar sama istrinya yang pembantu itu kan?” Asha menutup matanya, mendengar dirinya disebut-sebut. Asha menatap keluar sambil menghela nafas–sesak.

“Gak lah, mana berani dia ngelarang-larang Akash keluar, mau dia kehilangan ATM berjalannya?” Asha menggigit bibir bagian bawahnya, ATM berjalan kata mereka?

“Kalau sampai ngelarang sih keterlaluan ya? Dia sudah dapat banyak manfaat dari Akash, utang ibunya sudah dilunasi Akash dan kehadiran mereka berdua tentu menambah beban hidup Akash, keterlaluan banget kalau dia ngelarang Akash ngumpul-ngumpul sama kita.” Tangan Asha mengepal, jadi aku dan ibu adalah beban ya?

“Nah tuh Akash.” Asha meneguk salivanya kasar, dia tetap menatap ke arah luar, sudut matanya sudah mulai basah.

“Lama amat Bro, kemana saja? Ngelonin bini ya?” lalu tawa terdengar dari meja belakang.

“Ck!” Akash hanya menjawab sesingkat itu.

“Dapat berapa ronde sebelum kesini Bro!” Gelak tawa kembali terdengar sebelum akhirnya ada sautan lain.

“Pinter gak dia di kasur? Jangan sampai sudah bayar mahal dia gak pinter mainnya.” Dan suara gelak tawa kembali terdengar, membuat hati Asha benar-benar sakit.

“Lagi ada urusan tadi, sudahlah gak usah bicarain dia,” jawab Akash dingin.

Asha menyentuh dadanya yang terasa sesak.

‘Apa kata mereka? ATM berjalan? Beban? Bayar mahal? Astagfirullah.’ Batin Asha.

Secepat mungkin Asha menghabiskan makanan yang ada di piringnya agar hatinya tidak makin sakit mendengar obrolan Akash dan teman-temannya.

Sreeet.

Suara gesekan kursi terdengar membuat beberapa orang menoleh dan termasuk Akash. Dan saat itulah Akash sadar kalau ada Asha di sana. Ditatapnya punggung Asha yang berjalan menjauh, seketika itu juga dia merasa ada yang salah, apa Asha mendengar ucapan teman-teman tadi?

*

Asha kembali ke rumah dengan perasaan kesal yang menumpuk di dadanya. Rasanya ingin sekali bercerita pada ibunya, tapi tidak mungkin, itu hanya akan membuat Kinasih sedih.

Sampai di rumah dia disambut hangat ibu dan mertuanya yang sedang bercengkrama di ruang depan, membuatnya harus menunjukkan senyum kepalsuan di depan keduanya.

Beruntung saat itu Amerta sudah akan pulang, hingga dia tidak perlu lama berbasa-basi pada ibu mertuanya.

Selepas kepergian Amerta yang beranjak pulang dan Kinasih yang beranjak masuk ke kamar, Asha berlalu ke kamar, merebahkan dirinya di atas sofa. Saat itu semua obrolan mereka di cafe tadi terngiang kembali di kepalanya.

“Jadi, selama ini dia menganggapku sebagai beban hidup? Dan dia merasa jadi ATM berjalan untukku?” lirih Asha pada dirinya sendiri.

Asha mengeluarkan ATM Akash yang dipegangnya.

“Iya, dia memang ATM berjalan, bukankah aku bisa belanja sepuasnya karena memiliki ini? ATM miliknya yang dihibahkan ke aku setelah kami menikah?” Asha masih terus bicara dengan dirinya sendiri.

“Apa aku bisa bertahan hidup tanpa ATM ini?”

Asha bangkit, mengambil kertas dan mulai berhitung singkat tentang semua pengeluarannya. Ujung pulpen bermain di dekat bibirnya saat dia berpikir, lalu pada akhirnya…

“Tidak bisa, aku gak punya penghasilan apapun tanpa kartu ATM ini, lalu bagaimana aku dan ibu bisa hidup kalau ATM ini aku kembalikan?” tanyanya pada dirinya sendiri.

Lelah berpikir, Asha menghela nafas berat. Dia harus segera mencari cara agar bisa keluar dari masalah ini.

Dia sudah memutuskan untuk berhenti berjuang dalam pernikahan ini, tapi untuk melepaskan diri begitu saja dia tidak bisa.

Dia sudah menggunakan uang mahar pemberian Akash senilai seratus juta untuk membayar hutang ibunya. Meskipun Akash tidak pernah membicarakannya, Asha tetap menganggap itu sebagai utang yang harus dibayar bila ingin melepaskan diri dari pernikahan ini.

“Allah, tolong aku,” lirih Asha sambil memainkan ponsel di tangannya.

Ting!

Tiba-tiba sebuah pesan masuk dari Indira.

[Sha, minggu depan aku ada interview. Kamu gimana, ada panggilan gak?] 

Asha kembali menghela nafas, “kapan aku dapat kerjaan Yaa Allah?” lirihnya.

“Pengen buru-buru dapat kerjaan biar bisa mandiri dan gak jadi beban untuk orang lain,” lanjutnya masih dengan suara lirih.

[Selamat ya Dir, semoga diterima ya. Doakan aku juga dapat panggilan cepat.] - Balas Asha.

Omongan teman-teman Akash kembali terngiang di kepalanya. Kata “beban, ATM berjalan dan sudah bayar mahal’ bermain di kepalanya.

“Tolong aku Allah, aku lelah.”

***

LilyAnnie

Selamat datang di buku pertamaku, semoga buku ini bisa membawa sedikit manfaat untuk kalian semua yang baca. Hatur tengkyu buat kalian semua, selamat membaca.

| 8
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PERNIKAHAN PELUNAS HUTANG   MENCARI JALAN KELUAR

    Siang itu, Akash dan Rama duduk berhadapan di sebuah kafe yang tak terlalu ramai di kawasan Sudirman. Udara dari pendingin ruangan bercampur dengan aroma kopi yang baru diseduh. Penampilan mereka yang rapi, cara bicara yang serius dan sebuah laptop yang terbuka di atas meja membuat orang-orang di sekeliling mereka akan berpikir kalau mereka sedang membahas pekerjaan. Siapa sangka, keduanya justru membicarakan soal pribadi.“Aku minta asistenku mencari tahu tentang Erik. Dan barusan aku dapat laporan, kalau tempat dia bekerja sekarang adalah perusahaan milik salah satu keluarga dari ayahnya. Secara profesional sebenarnya dia cukup bagus, tapi secara attitude—” Rama menggeleng.“Kakek juga tadi minta tolong Pak Bima untuk cari tahu lebih banyak tentang dia, sekaligus mencari celah aga

  • PERNIKAHAN PELUNAS HUTANG   PERINTAH CAKRA

    Malam itu kamar Indira dan Rama terasa hening. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar di antara lembutnya cahaya lampu tidur. Indira menatap langit-langit kamar sambil berbaring di samping suaminya, pikirannya melayang jauh. Bayangan masa lalu yang selama ini berusaha ia kubur, entah kenapa kembali muncul kembali setelah mendengar nama Erik disebut.Rama menoleh pelan ke arah istrinya. Tatapannya lembut, tangannya menyentuh perut Indira yang masih terbilang rata, diusapnya pelan dan memberi kenyamanan untuk si puan. “Kenapa? Masih mikirin Erik?”Pertanyaan itu membuat Indira menoleh pelan pada suaminya. “Maaf ya Mas, aku gak pernah cerita ini sebelumnya, aku pikir—”Rama menggenggam tangannya yang terletak di atas selimut. “Jangan dipikirin terus Yang, aku janji akan jaga kamu dengan baik.”Indira mengangguk pelan. “Aku cuma takut kamu kecewa, Mas. Aku tahu aku salah karena gak cerita dari awal, aku cuma—”“Dir,” potong Rama. Pria itu menarik nafas dalam, menatap wajah

  • PERNIKAHAN PELUNAS HUTANG   TRAUMA INDIRA

    “Erik?”Mendengar nama itu disebut, sontak membuat Indira menoleh pelan, melihat suaminya yang sedang melihat ke arah ponselnya. “Mas, tadi sebut nama siapa?” tanyanya memastikan.“Erik,” jawab Rama.“Siapa? Erik siapa?” tanya Indira.“Aku juga gak tahu sayang, ini Akash yang kirim pesan.” Rama menunjukkan ponselnya ke arah Indira.[Kenal Erik?]Indira spontan mundur perlahan, bayangan beberapa tahun lalu bermain di kepalanya. Rama kaget melihat sikap Indira yang berubah. Wanita itu bahkan terus berjalan mundur bahkan ia abai pada panggilan suaminya, hingga punggungnya membentur dinding.

  • PERNIKAHAN PELUNAS HUTANG   TENTANG ERIK

    Erik menoleh, sosok Akash berjalan pelan menghampiri. Melihat Akash datang Gara dan Esa memilih memindahkan food tray milik mereka ke meja lain sambil terus memperhatikan Akash. Berjaga-jaga kalau Erik mencari masalah dan Akash terpancing.“Anda siapa?” tanya Erik dengan tatapan tajam.Akash menarik satu sudut bibirnya, mengulurkan tangannya yang langsung diraih oleh Asha. Melihat itu Erik mengerutkan keningnya, lalu menatap Akash yang menarik pelan Asha ke arahnya.“Seharusnya Pak Arjuna sudah mengatakan apa posisi Asha di CPM, dan kalau anda menganggap kerjasama dengan CPM penting, harusnya anda berhenti membuat ulah dan mengganggu istri saya.”Erik bergeming, matanya menelisik Akash dari ujung rambut ke ujung kaki. Seperti sedang menghitung sia

  • PERNIKAHAN PELUNAS HUTANG   BERTEMU ERIK KEMBALI

    “Asha,” sapaan halus itu membuat Asha menoleh pelan pada sumber suara. Ternyata, di seberang meja yang ia pilih sudah lebih dulu duduk Rama, Indira dan Anna dengan tiga mangkuk es krim yang menggugah selera.“Hei!” Asha yang menyadari kehadiran keluarga Rama begitu senang dan lekas menghampiri mereka.“Gabung sini aja ante Asha, ini banyak kursi kosong nih,” ajak Anna.Belum juga Asha menjawab, Atha lebih dulu mengambil tempat duduk di samping Anna. Mau tidak mau Akash dan Asha pun di meja yang sama dengan Rama dan Indira.Obrolan ringan tercipta begitu saja, ada canda yang hadir dari obrolan Anna dan Atha. Lalu sedikit mengarah ke haru ketika mereka membicarakan tentang kehamilan Indira dan Asha yang berdekatan waktunya.“Berarti nanti, Anna bakal punya dua adik sekaligus ya. Satu dari Bunda Dira, satu lagi dari Ante Asha.” Mata Anna berbinar ketika mengucapkan hal itu, ia bisa membayangkan akan menggendong dua bayi kecil sekaligus.Asha dan Indira hanya bisa mengulum senyum melihat

  • PERNIKAHAN PELUNAS HUTANG   DIJEMPUT YANG TERKASIH

    Asha merasa seluruh tubuhnya seperti kehilangan tenaga sore itu. Ia menundukkan kepala sebentar, menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa energi yang tersisa setelah seharian penuh rapat dan koordinasi proyek.Tangannya terulur ke belakang leher, memijat pelan bagian yang terasa kaku. Sesekali ia menggeleng kecil, berusaha mengusir rasa pening yang mulai merayap dari pelipis ke belakang kepala.“Ternyata kerja sendiri secapek ini ya?” gumamnya pelan.Ini memang pertama kalinya dia mengurus pekerjaan sendiri tanpa Akash. Biasanya, rasa lelah itu bisa ditepis dengan melihat wajah Akash yang menyungging senyum, tapi hari ini… jangankan senyum, bahkan melihat wajah Akash saja tidak bisa.Asha merapikan tasnya, menatap layar ponsel sekilas&mda

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status