Share

PRS - 7

Penulis: Sity Mariah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-12 14:56:57

FANISA POV

~

Kutatap ponsel meski layarnya hanya gelap. Memantulkan wajahku yang kumal dan lusuh. Hingga tidak ada tanda-tanda ponselku ini menyala. Akhirnya kugenggam dengan menurunkan tangan yang mendekap erat lututku.

Kuhembus napas kasar. Sudah lima hari berlalu, tapi Bang Elang justru tidak ada memberi kabar sama sekali. Hanya kabar terakhir darinya, yang memberitahuku bahwa ia akan langsung bertolak ke Surabaya setelah kukirimkan alamat perempuan itu.

Perempuan yang Mas Rafka panggil dengan nama Purnama. Entah siapa perempuan itu. Namun, tak bisa kupungkiri. Jika namanya memang secantik paras pemiliknya.

Hatiku kembali berdenyut.

Kugelengkan kepala dengan cepat. Mengenyahkan kilasan kejadian saat aku bertemu perempuan itu pertama kalinya. Perempuan yang membuat kepercayaanku terhadap Mas Rafka pecah terbelah dan tak berbentuk lagi.

Drrrt Drrrt Drrt.

Ponsel di genggaman tangan bergetar. Aku pun mengangkatnya berada di hadapanku. Panggilan masuk dari Tia—karyawan butik.

"Halo?" jawabku lesu.

"Bu, hari ini ada klien yang mau ketemu. Mau bicarakan rancangan gaun untuk acara akad nikah dan resepsi," ucap Tia di ujung telepon.

Kuhembus napas kasar. "Bilang saja saya tidak ke butik hari ini," jawabku kemudian.

"Ibu mau membatalkan lagi?" tanya Tia lagi.

"Iya."

"Tapi ... ini sudah klien ke sepuluh lho yang Bu Fanisa tolak."

"Saya sedang tidak ingin diganggu, Ya!" tegasku pada Tia.

"B-baik, Bu ...."

"Jaga butik dengan baik. Saya belum bisa ke sana. Kalau ada yang mau konsul lagi, bilang saja saya sibuk dan sedang tidak ingin diganggu."

"E ... iya, iya. Baik, Bu."

"Hmmm."

Panggilan dengan Tia selesai. Layar ponselku kembali menggelap. Kuhempas begitu saja benda pipih tersebut di atas karpet yang menjadi alasku duduk.

Sudah lima hari aku berdiam di dalam kamar. Pekerjaanku di butik sampai terbengkalai semua. Aku sudah kehilangan pemasukan bernilai puluhan juta, karena kerjasama yang dibatalkan. Aku tidak akan bisa bekerja, saat hati dilanda gundah seperti sekarang.

Aku masih betah duduk sambil memeluk kedua lutut seperti saat ini. Memandangi akuarium bulat berisi sepasang ikan hias di dalamnya.

Hanya seperti ini yang kulakukan sejak pulang dari Surabaya. Hanya seperti ini kegiatanku setelah tahu Mas Rafka mengkhianatiku. Sungguh, aku kehilangan gairah dalam hidup ini.

Aku memang memintanya pergi. Aku telah mengusirnya dari rumah yang susah payah kami bangun bersama. Aku juga memang membenci apa yang sudah dia lakukan terhadap pernikahan ini.

Tapi ternyata, aku tidak bisa menghapus tentangnya begitu saja dalam hati ini.

Kenyataannya, aku tidak mampu melupakan Mas Rafka. Kebersamaan yang kami lalui, terlalu indah untuk dilupakan. Namun juga, terlalu sakit untuk terus dikenang.

Seharusnya pun, aku sudah mendaftarkan gugatan ceraiku terhadapnya. Sehingga kami bisa lebih cepat berpisah dan mengakhiri hubungan ini. Karena saat pergi, Mas Rafka belum menjatuhkan talaknya.

Namun, aku sendiri bahkan tak sanggup keluar dari rumah ini. Aku merasa kerdil dan kehilangan pegangan setelah Mas Rafka pergi.

Aku takut menghadapi dunia. Aku tak mampu melewati hari-hariku sebagaimana biasanya. Aku tak sanggup dan aku rapuh.

Bang Elang yang seharusnya sudah kembali. Justru menghilang tanpa kabar. Bahkan, aku menunggu saat dia membawa Mas Rafka kembali ke hadapanku. Membuatnya berlutut dan memohon agar aku kembali. Lalu di saat itu, aku akan melupakan perjanjian pernikahan kami. Karena semua tak lagi penting setelah hari ini. Seluruh harta benda ini seakan tak bernilai tanpa dia bersamaku.

Aku justru akan memberinya pilihan andai Bang Elang berhasil membawa Mas Rafka kembali ke hadapanku. Karena aku, tak mampu sendiri. Aku mandiri secara finansial, tapi semua tak akan pernah menjadi sempurna tanpa Mas Rafka.

Hatiku kembali menangis.

Kenapa semua ini harus terjadi padaku?

"Ah ...." Aku mendesah. Merasakan nyerinya hati yang berdenyut.

Drrt Drrt Drrrt!

Ponselku kembali berbunyi disertai vibrasinya. Hingga dengan malas, tanganku terulur mengambilnya. Berharap Bang Elang yang mengabariku. Namun ternyata bukan. Ponselku berbunyi karena sebuah jadwal pengingat.

"Tahun meninggalnya Ibu," ucapku membaca jadwal pengingat yang masih menyala.

Lantas aku mematikan alarm ponsel. Kutarik napas dalam-dalam mengisi rongga dada. Peringatan hari meninggalnya ibu tahun ini tidak tepat. Karena rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja sekarang ini.

Mengumpulkan segenap kekuatan, aku pun akhirnya bangkit. Kemudian bersiap untuk pergi ke makam.

~

"Assalamualaikum yaa ahlal kubur ...," ucapku sembari berjongkok di samping pusara berkepala nisan marmer hitam. Kubersihkan ranting serta dedaunan yang jatuh di atas badan makam. Seluruh permukaan badan makam ini berselimutkan rumput Jepang.

Kulakukan hal yang sama pada makam di sebelahnya. Setelah itu, kubacakan doa ziarah kubur. Lekas mengucurkan air mawar dan menaburkan bunga mawar hingga memenuhi bagian atas dua makam yang bersebelahan.

Kubersihkan kepala nisan yang sedikit berdebu dengan tisu. Kemudian kuusap pelan kepala nisan di hadapanku saat ini.

"Bu, Fanisa datang. Tapi hari ini Fanisa datang sendiri. Tahun ini lain, Bu. Tidak ada Mas Rafka yang ikut bersama Fanisa ke makam Ibu dan adik hari ini ...," ucapku lirih.

Air mataku kembali luruh di samping pusara Ibu. Mengingat setiap tahun, Mas Rafka tidak pernah absen menemaniku ke mari. Bahkan, dia yang selalu mengingatkan sehari sebelumnya. Dia yang juga memetik mawar-mawar putih di taman rumah kemudian dibuatnya menjadi taburan bunga serta buket kecil.

Selama dua belas tahun, maka tahun inilah kedatanganku ke makam Ibu tanpa Mas Rafka. Lalu bagaimana aku bisa kuat untuk hari ini?

Di samping makam Ibu, makam adikku bersemayam. Makam seorang bayi perempuan yang meninggal saat baru berusia enam bulan.

Adikku lahir saat aku masih sekolah menengah pertama. Setelah kelahiran adikku itu, sikap Ayah berubah. Terutama pada Ibu. Bahkan sering kudengar, Ayah memaki-maki Ibu. Mengatai Ibu gendut. Dekil bahkan jelek. Ayah tak lagi berselera melihat Ibu. Di mata Ayah, ibu terlalu memuakkan.

Hingga Ayah pergi meninggalkan aku, Bang Elang dan juga Ibu, setelah sehari sebelumnya Ayah membawa wanita muda dan cantik ke dalam rumah.

Keadaan Ibu tidak stabil. Ibu lebih murung, tak banyak bicara dan kurang memperhatikan bayinya. Aku dan bang Elang mengurus adik kecil kami tanpa tahu apa-apa. Hingga satu hari adik kecil kami harus dilarikan ke rumah sakit karena seluruh tubuhnya panas lalu kejang. Nyawanya tidak lagi tertolong. Tuhan memanggil adik kecilku dan Bang Elang kembali ke pangkuan-Nya.

Sejak kematian adik kecilku itu, Ibu sering sakit. Kondisinya semakin tidak stabil.

Hari-hari sulit kulalui bersama abangku. Jatuh bangun hidup tanpa seorang Ayah dan mengurusi Ibu yang sakit-sakitan.

Bang Elang bahkan sangat dekat dengan dunia malam. Sedangkan aku, tertolong karena memiliki Mas Rafka.

Berbanding terbalik denganku yang besar di keluarga broken home. Mas Rafka justru berada di tengah-tengah keluarga yang begitu hangat, tulus, dan penuh cinta.

Keluarga Mas Rafka sangatlah harmonis dan saling melindungi. Jika tidak bersama dengannya, mungkin masa-masa SMA-ku sangatlah suram. Mas Rafka dan keluarganya, bagai pelita yang menerangi jalan hidupku. Hingga aku lulus sekolah menengah atas. Ibu pun menyusul putri kecilnya.

Pengkhianatan Ayah pada Ibu. Penderitaan Ibu hingga akhirnya tutup usia. Menjadikan alasan kuat bagiku untuk tidak ingin memiliki seorang anak.

Aku tidak ingin berubah gendut. Aku tidak ingin terlihat jelek. Aku tidak ingin terlihat memuakkan di mata Mas Rafka. Aku tidak ingin kehilangan dia sama seperti saat ayah meninggalkan ibu yang tak menarik lagi di matanya.

Apa itu salah?

Apa itu satu kesalahan? Hingga Mas Rafka melakukan hal yang sama seperti Ayah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 26

    "Kenapa, Dek?" Mas Rafka datang menyusul. Suaranya pun terdengar khawatir karena aku memang berteriak memanggilnya tadi.Aku menggeleng dengan air mata yang sudah berjatuhan. Tanganku terulur menunduk pada Bang Elang yang berada di atas tempat tidurnya. Tidak mampu untuk bersuara, hanya bisa menunjuk sambil terus menangis. Berharap apa yang kulihat, hanya sebuah mimpi buruk saja.Mas Rafka sudah mendekat dan berdiri di samping kasur., sedangkan aku terduduk di depan lemari. Kulihat Mas Rafka memeriksa kondisi Bang Elang. Mulai dari menempatkan jarinya di ujung hidung Bang Elang. Memeriksa denyut pada lehernya, kemudian pergelangan tangan.Terlihat suamiku itu menggeleng sembari menghela napas. Kemudian mengambil cermin kecil dari selama laci nakas. Menempelkan pada wajah terutama bagian hidung Bang Elang beberapa saat. Lalu menariknya dan mengangkat ke atas."Innalilahi wa Inna ilaihi rooji'un ... tidak ada jejak napas, artinya bang Elang sudah tiada," ucap Mas Rafka sembari mengusap

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 25

    POV Fanisa 💞💞💞Seratus hari berlalu sejak meninggalnya Purnama, kesedihan dan kehampaan atas kepergiannya kian terasa. Apalagi sore tadi, baru saja selesai acara pengajian memperingati seratus harinya. Luka ini kian dalam terasa. Mengingatkan pada sosok Purnama yang begitu shalehah semasa hidup. Benar-benar perhiasan dunia yang dimiliki Bang Elang.Tidak ada yang baik-baik saja usia kepergiannya hari itu. Kepergian yang dirasa mendadak dan begitu tiba-tiba, karena Bang Elang mengatakan bahwa perempuan jelita itu sudah sembuh dari sakit yang pernah diderita. Tapi ternyata, kematian itu benar-benar sebuah rahasia yang paling dekat pada setiap makhluk yang bernyawa.Hari-hari setelah Purnama tiada, kami semua merasa benar-benar terpuruk. Aku dan Belfania seperti kehilangan gairah hidup. Kami sangat bersedih tetapi Mas Rafka mampu menguatkan dan menghibur kamu.Sementara Bang Elang, bahkan hingga hari ini, dia tidak lagi seperti Abang yang kukenal. Dia tidka banyak bicara padaku dan M

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 24

    Bersama linangan airmata, aku memetik mawar-mawar indah yang bermekaran pagi hari ini. Mawar yang mekar sempurna dan begitu cantik ini tidak bisa dilihat lagi oleh Purnama. Mawar-mawar ini justru akan mengantarnya ke pemakaman."Bang, kita harus segera ke makam." Rafka merangkul pundakku.Aku pun hanya bisa mengangguk. Kelopak mawar sudah selesai aku kumpulkan meski hanya dalam kresek. Gegas aku masuk ke dalam rumah dan keranda mayat sudah siap untuk diangkat.Hatiku hancur dan air mata tak hentinya luruh membasahi wajahku."Kalau Abang tidak sanggup, biar aku dan remaja mesjid saja yang menggotong kerandanya, Bang." Rafka kembali berucap.Namun aku cepat-cepat menggeleng. "Jangan, Raf. Biar abang saja." Aku pun melangkah gontai mendekati keranda. Mengumpulkan segenap kekuatan untuk turut serta menggotong keranda berisikan jasad istriku.Purnama wafat. Dia menghembuskan napas terakhir saat sedang bersujud. Setelah aku memanggil d

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 23

    Dua Minggu berlalu, masa penyembuhan pasca operasi yang dilakukan Purnama terbilang cepat. Perempuan berstatus istriku itu sekarang sudah bisa beraktifitas di rumah walau terbatas. Bukan, bukan terbatas. Tetapi aku lah yang membatasi. Andai tidak kucegah, Purnama tidak lah mau diam.Seperti pagi ini, karena pekerjaan rumah sudah selesai kukerjakan, Purnama pasti berada di halaman. Merawat mawar-mawar yang sempat layu dan kering karena tak tersentuh olehku. Hingga kini, tanaman-tanaman itu mulai segar kembali."Kasihan, bunga-bunga ini hampir mati. Pasti kamu tidak merawatnya 'kan?" ucap Purnama yang sedang membongkar satu tanaman dalam pot berukuran kecil.Aku yang berdiri di sampingnya tak ayal mengangguk. "Bagaimana lagi? Kamu lebih penting dari sekedar bunga-bunga ini," jawabku cepat.Hanya helaan napas yang terdengar dari Purnama. Tangannya masih sibuk dengan tanaman yang sudah kering kerontang karena telah mati itu. Hingga satu pot sudah kos

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 22

    Lampu ruangan operasi menyala. Artinya, sebuah tindakan sedang berlangsung di dalam sana. Setelah tiga hari menunggu, operasi Purnama pun dijadwalkan malam ini. Setelah sebelumnya menjalani puasa selama delapan jam, kini Purnama menjalani operasi yang sudah kami sepakati.Fanisa menemaniku. Duduk di samping kananku mengisi ruang tunggu. Sedangkan Rafka, harus menemani Belfania dalam pagelaran seni yang diikutinya.Detik demi detik berlalu, dan tindakan operasi belum juga selesai. Hatiku rasanya tak karuan selama menunggu. Fanisa berulangkali menepuk pahaku, karena aku tak bisa diam. Terus menggerakkan kaki sebagai luapan rasa gelisahku."Abang mau ke mushola. Kamu jaga di sini, ya?" ucapku seraya berdiri dengan cepat."Iya, Bang."Aku pun melangkah pergi. Menuju mushola yang terpisah dengan gedung rumah sakit tetapi masih satu area. Mengambil wudhu, cepat-cepat aku menunaikan shalat hajat. Zikir dan wirid tak henti kulafalkan seiring deng

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 21

    Hari demi hari aku lalui bersama Purnama. Hingga berganti bulan dan aku dengan setia menemani berikhtiar untuk mencapai kesembuhannya. Namun, sudah hampir enam bulan kami jalani, kondisi Purnama tidak kunjung membaik. Bobot tubuhnya justru kian menyusut. Badannya yang mungil makin terlihat kurus. Pasca kemo, helaian demi helaian rambutnya berjatuhan. Rambutnya yang pendek, kian tipis saja sekarang. Satu bulan terakhir, ia bahkan harus memakai kursi roda saat berada di rumah. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda akan kesembuhannya.Hari ini, pemeriksaan kembali dilakukan. Aku dan Purnama berada di ruangan dokter untuk mengetahui hasil pemeriksaannya."Jaringan kankernya semakin meluas. Kemo yang dilakukan tidak begitu efektif, karena sejak penyakit ini diketahui, sudah masuk stadium empat yang artinya sudah cukup parah," jelas sang dokter membuat hati ini rasanya tercabik-cabik."Kalau operasi bagaimana, Dok?" tanyaku lemas.Dokter berkacamata di ha

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 20

    "Purnama kenapa? Sakit apa?" tanya Fanisa yang baru saja datang. Dia adalah orang pertama yang kuhubungi, setelah Purnama masuk ruang IGD lima belas menit lalu.Aku menggeleng pelan. "Masih ditangani," jawabku lesu.Fanisa menghempas bobotnya di sebelahku. Dia menepuk-nepuk pundakku. Seolah menyalurkan ketenangan. Aku menunduk. Mengusap wajah dengan kedua tangan seraya menarik napas panjang. Sebelum kemudian aku menoleh pada Fanisa."Apa kamu tahu sebelumnya, Purnama mengidap sakit apa?" tanyaku kepada Fanisa.Adik perempuanku itu nampak diam seolah tengah berpikir, sampai kemudian ia menggeleng. "Aku dan Mas Rafka gak tahu, Bang. Tapi sempat Purnama juga pingsan saat dia menginap di rumah kami waktu itu. Setelah sholat Subuh. Saat itu dia menolak untuk diperiksa. Meskipun aku dan Mas Rafka terus membujuk dan memaksa. Sampai akhirnya dia kembali ke pondok dan aku gak pernah tahu Purnama itu sakit apa," jelasnya kemudian.Aku pun terdiam.

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 19

    19.Tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Namun tanpa aba-aba, mataku seketika ringan terbuka. Tersadar dan melihat Purnama masih berada di atas dadaku.Aku menoleh untuk melihat jam duduk di atas nakas. Rupanya pukul tiga dini hari. Sejak tinggal di pondok, bangun dini hari seperti ini sudah menjadi kebiasaanku.Purnama nampak masih lelap. Sangat terpaksa aku harus menggeser kepalanya dengan hati-hati sampai akhirnya berpindah ke bantal. Kutatap sejenak wajah cantiknya saat tertidur, hingga bibirku tersenyum karenanya.Pelan-pelan aku bangkit. Gerakanku amat pelan sampai kemudian berhasil turun dari kasur. Karena aku tidak ingin mengganggu tidurnya.Lekas aku ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Berdiam sejenak sebelum kemudian mengambil wudhu. Sehingga wajah ini terasa lebih segar setelah terkena air. Membiarkan wajah ini tetap basah, gegas aku keluar.Langkahku terhenti di depan pintu kamar mandi. Kulihat Purnama ju

  • PERNIKAHAN RAHASIA SUAMIKU    S2 - BAB 18

    18.Aku menarik diri. Namun di luar dugaan, ternyata Purnama sudah membuka matanya kembali. Aku menunduk dan tak ayak pandangan kami pun bertemu. Tanganku yang seharusnya membelai anak rambut di keningnya, kini justru menangkup pipi Purnama.Jarak kami begitu dekat. Aku bahkan tak bisa berkedip menatapnya dari jarak sedekat ini. Hingga kurasakan telapak tangan Purnama menyentuh pipiku. Dia mengusapnya, membuatku kian menundukkan kepala. Aku benar-benar terbawa suasana.Hidung mancungnya bahkan telah beradu dengan ujung hidungku. Pandangan kami masih saling mengunci, aku memiringkan kepala, hingga menemukan posisi yang pas untuk kemudian mendaratkan bibirku di bibirnya.Aku butuh tali, untuk mengikat jantungku yang seperti akan melompat meninggalkan tempatnya.Ini ciuman pertamaku.Rasanya begitu hangat dan menggetarkan hati.Tidak ada hal lebih yang kulakukan. Hanya membiarkan bibir kami saling menempel. Begini saja, ali

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status