POV ELANGAku masih betah memandangi sepasang manik hazel di hadapanku saat ini. Tanganku bahkan telah menangkup kedua pipinya.Garis wajahnya, hidung mancung serta rambutnya yang ikal sebahu. Seperti aku sedang memandangi foto masa kecilku.Kulitnya yang hitam kecoklatan dan bibirnya yang tipis. Nyaris tidak diturunkan dari perempuan berwajah bak bulan purnama itu. Melainkan lebih condong sepertiku.Tanpa dikomando, tanganku tiba-tiba saja terulur membelai puncak kepalanya. Mengusapnya lembut hingga ujung rambutnya.Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Terasa menggetarkan dan menyeruak memenuhi hati ini. Rasa yang aku sendiri tidak mengerti."Hey!"Suara teriakan membuatku menoleh ke arah lobi rumah sakit.Anak kecil di pangkuanku itu, cepat-cepat menarik dirinya hingga akhirnya berdiri. "Om, sekali lagi aku minta maaf. Aku buru-buru karena ingin menemui Ibu," tukasnya seolah panik.Aku meraih tangannya dengan cepat. "Jangan takut. Om akan bicara dengan petugasnya," ucapku mencegah ke
"Rumah sakit jiwa?" gumamku dengan tangan terulur melayang tanpa sambutan. Rafka telah hilang dari pandangan mata. Dibawa lajunya mobil ambulance yang mulai menjauh dari gedung rumah sakit.Tanpa membuang waktu. Aku membawa kaki ini untuk berlari. Begitu lebar hingga akhirnya pun keluar melewati pagar rumah sakit.Kebetulan sekali, sebuah taksi melintas di depanku. Buru-buru aku menghentikannya dan duduk di kursi belakang."Ikuti ambulans di depan sana, Pak!" titahku segera.Sopir taksi tak banyak bertanya. Mobil seketika kembali melaju membelah jalanan lengang pagi hari. Di dalam mobil, hati ini resah. Segala kemungkinan terlintas dalam benakku.Mungkinkah perempuan bernama Purnama itu sengaja merusak ketenangan rumah tangga Fanisa dan Rafka? Karena Purnama tahu, jika Fanisa adalah adikku. Mungkinkah Purnama sengaja melakukannya, sehingga dalam satu tembakan peluru, dia berhasil menghancurkan dua target sekaligus?Aku meremas rambutku kasar seraya mendengkus. Aku pusing dengan apa ya
Malam menyapa. Bulan bersinar penuh di singgasananya.Aku sudah kembali berada di dalam rumah sakit jiwa. Mengenakan sweater dan juga masker penutup wajah. Aku berjalan seperti biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan para pekerja di sini.Langkahku berhenti tepat di depan kamar yang diisi Purnama. Terlebih aku mendengar suara Rafka dari dalam sana.Aku mendekatkan tubuhku pada tembok. Mengintip dari celah tralis besi ke arah dalam. Ranjang itu masih ditempati Purnama. Perempuan itu nampak memejamkan matanya. Di sisi ranjang, terdapat Rafka duduk di dekat kepala Purnama. Sementara di hadapan Rafka, duduk seorang perempuan yang lebih tua darinya. Kutaksir usianya sudah sampai kepala lima. Namun masih terlihat sehat."Pak Rafka, saya Bu Rianti. Saya melakukan pendekatan pada pasien-pasien di sini dengan cara mendengarkan mereka. Berdasarkan laporan, Bu Purnama ini baru masuk hari ini dan keadaannya benar-benar kacau. Bahkan tadi pagi, ia sempat melakukan percobaan bunuh diri. Satu jam ya
POV FANISA—Bip Bip Bip!Ponselku berbunyi. Deretan pesan masuk, tertuju ke dalamnya. Aku menghentikan sejenak aktivitas di depan layar laptop. Meraih benda pipih di atas meja yang sama dengan laptop di hadapanku.Aku melihatnya malas. Namun, seketika pun terkesiap. Saat tahu yang mengirimkan pesan adalah Abangku.Kedua tangan memegangi ponsel. Lalu membuka satu demi satu pesan yang masuk dari Bang Elang dan membacanya dengan seksama.Keningku mengernyit. Kala pesan di urutan pertama memunculkan satu buah foto. Seseorang nampak tersungkur dengan seluruh badan tengkurap.Wajahnya nampak dari samping. Namun terlihat begitu jelas babak belur. Lebam dan bersimbah darah. Begitu juga kedua lengan yang dipenuhi luka. Kedua kakinya berada dalam keadaan terikat.Aku menatapnya lekat. Meski wajahnya dipenuhi luka, lebam, serta darah. Tapi aku bisa mengenalinya. Dari postur tubuh dan potongan rambutnya yang juga berlumur darah
Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan."Argh! Bang Elang ke mana?" tanyaku lirih seorang diri.Usai kepergian Mba Inayah dari ruangan kerjaku ini. Aku buru-buru menghubungi Bang Elang. Sudah hampir lima kali aku menghubungi nomornya. Namun selalu saja sama. Suara operator perempuan yang kudengar.Aku ingin memastikan keadaan Mas Rafka.Entah untuk apa.Namun setelah kepergian Mba Inayah dari hadapanku. Sejenak aku merenung. Aku pun teringat, bagaimana sebelum Mas Rafka menerima keputusanku untuk tidak memiliki anak, ia selalu membujuk dan meyakinkan bahwa kehidupanku akan tetap baik-baik saja setelah memiliki buah hati.Aku pun merasa ditarik oleh memori. Bagaimana sejak masa SMA, keluarga Mas Rafka begitu menerimaku. Mereka sangat terbuka, merangkul serta memberiku rasa nyaman. Keluarga besar Mas Rafka begitu harmonis. Aku seperti memiliki keluarga yang utuh saat berada bersama mereka.Aku mendesah mengingat masa-masa silam. Rasa nyeri semakin menyebar dan menggerogoti
Tok Tok Tok!Kriet!Baru saja tanganku akan membuka salah satu amplopnya, pintu ruangan diketuk dan dibuka seketika. Membuatku menoleh ke arah pintu di mana Helena muncul."Maaf, Bu. Tia tadi menyusul dan meminta Ibu segera ke butik," jelasnya di ambang pintu sana.Aku pun hanya mengangguk. Lantas bangkit seraya memasukkan amplop tadi ke dalam tas. Kubawa kaki melangkah menuju pintu hingga keluar.Helena telah berjalan lebih dulu meninggalkanku di depan ruang kerja Mas Rafka. Kuusap sudut-sudut mataku bergantian, memastikan tidak ada jejak air mata yang tertinggal. Lepas itu, barulah aku melangkahkan kaki menjauh dari pintu ruangan kerja di belakangku. Melewati kembali meja bundar yang hanya diisi Helena dan Aldi."Maaf, Bu. Kalau boleh tahu, Pak Bos ke mana?" tanya Aldi yang berhasil menghadang langkahku.Lelaki yang merupakan orang kepercayaan Mas Rafka di kantor ini berdiri menjulang di depanku. Kepalaku bahkan sampai
Tapi Mas Rafka sudah terkapar di tangan Bang Elang.Akh, aku tak mengerti.Aku hanya bisa menikmati kembali pemandangan yang indah antara Ibu dan anak di hadapanku saat ini."Fanisa, apa kabar?" Suara lelaki membuatku menoleh. Hingga mataku menangkap sosok suami Sabia, memasuki ruang kerjaku ini.Aku memaksakan senyum di bibir. "Aku baik. K-kamu?" jawab serta tanyaku."Aku juga baik. Rafka ke mana? Aku gak lihat dia ada di sini," jawab serta tanya Arda yang kemudian menghempas bobotnya di sisi Sabia. Arda meraih tubuh putra lelakinya dari Sabia."Emm ... Mm?mas Rafka ada pekerjaan," jawabku sesantai mungkin. Menutupi yang sebenarnya terjadi dari mereka."Quenara gak ikut?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Quenara sama Oma-nya, udah besar dia. Udah gak mau buntutin Mami Papinya," kekeh Sabia yang diikuti anggukan kepala oleh sang suami. Aku pun hanya mengangguk kecil.
POV RAFKA"Jangan ... kumohon hentikan ... tolong ... siapa pun tolong aku ...."Lagi.Kudengar rintihan serta racauan meluncur dari mulut Purnama. Perempuan yang telah aku nikahi delapan tahun silam, kini terbaring tak berdaya di atas ranjang besi.Kakinya terpaksa diikat, pun dengan kedua tangannya. Purnama sangat sulit dikendalikan. Entah apa yang sudah membuatnya begitu kacau. Jika tidak diikat seperti sekarang, ia pasti akan kembali berbuat nekat.Aku hanya bisa menemaninya di sisi ranjang besi dalam ruangan berukuran 4 x 4 m saat ini. Aku tidak tahu, apa yang membuat Purnama seakan mengingat lagi trauma masa lalunya. Trauma yang susah payah kusembuhkan. Trauma yang telah hilang sejak bayi kecilnya lahir.Namun seingatku, Purnama mulai kacau setelah kedatangan Bang Elang ke rumah kecil kami, yang tanpa aba-aba langsung menghajarku hingga wajahku memar.Purnama tiba-tiba mengamuk saat m