Dua belas tahun menjalani pernikahan yang harmonis dan bahagia, meski tanpa adanya anak karena kesepakatan untuk hidup childfree. Namun dalam sekejap duniaku luluh lantak, saat seorang anak perempuan datang padaku dan menanyakan suamiku yang disebutnya Ayah. Bagaimana bisa?
View More15.Aku mendecih pelan. “Denda?”Aku mengulang tanya dan Purnama mengangguk cepat.“Berapa?” tanyaku lagi.Jari Purnama mengetuk-ngetuk dagunya. “Emm, satu piring satu juta, deh,” ucapnya sambil tertawa kecil.Aku pun mengulum senyum dengan kepala terangguk. “Boleh … tapi kalau bersih, kamu yang didenda gimana?”Purnama menggeleng. “Enggak mau. Aku pengawas, masa' kena denda juga?” Suaranya terdengar manja persis anak kecil merengek, dan aku sangat menyukainya.Aku terkekeh pelan. “Ya gak adil dong kalau kamu gak ikut kena dendanya,” ucapku menimpali.Terdengar helaan napas berat darinya. “Ya udah, aku ikut,” balasnya lesu dan seperti terpaksa.Sambil mengulum senyum, aku manggut-manggut. Setuju dengan kesepakatan ini. Entah lah ide dari mana, tapi ternyata Purnama sangat mengasyikkan. Tidak kaku dan tidak membuat pernikahan kami ini berjarak. Selagi tanganku berg
14.Sejenak hening menyelimuti. Aku terpaku menatap sepasang mata sebening embun milik Purnama itu.Aku berdehem pelan. “Tapi kalau kamu keberatan, aku tidak memaksa. Kamu tetap pakai saja meskipun di rumah. Kita akan jalani pernikahan ini pelan-pelan,” ujarku seraya tersenyum padanya.Purnama mengedipkan kedua matanya. Meski tidak jelas, tapi bisa terlihat kedua pipinya naik yang mungkin ia juga sedang tersenyum.“Aku tidak keberatan. Kita sudah menikah. Sudah mahrom. Sudah berada dalam ikatan yang halal dan sah. Kamu berhak melihat wajahku,” sahutnya membuat mulutku membentuk huruf O. Ada rasa tidak percaya, tapi sungguh jawaban yang Purnama terdengar begitu indah.Purnama menairk tangannya yang semula bertengger di atas punggung tanganku. Ia menunduk. Mengarahkan kedua tangannya ke belakang. Perlahan-lahan, kain cadarnya diturunkan dari wajah.Maka untuk pertama kalinya, aku bisa melihat wajah itu lagi.Aku terpaku. Mataku bahkan berat untuk berkedip. Melihat wajah bak bulan purnam
Keesokan harinya, aku memboyong Purnama untuk tinggal di rumahku. Diantar Rafka dan Fanisa yang telah kembali ke rumah mereka setengah jam yang lalu. Sehingga tinggalah aku dan Purnama di rumah ini. Rumah yang tidak seberapa besar dan sempat kosong selama aku mondok beberapa tahun. Setelah Fanisa menikah. Aku dan dia sepakat untuk menjual rumah almarhumah Ibu yang sebelumnya kami tempati. Hasilnya kami bagi dua. Fanisa dan aku lalu menggunakan uang itu untuk mengontrak ruko dan membuka usaha.Fanisa dan Rafka merintis sebuah toko pakaian yang kemudian berkembang menjadi butik. Sementara aku merintis usaha konveksi. Aku dan Fanisa menjual rumah almarhumah Ibu, demi mengubur segala kenangan buruk dan pahit yang pernah kami alami. Kemudian membuka lembaran hidup di tempat yang baru. Fanisa bersama Rafka, dan aku hanya sendirian.Pahit getir kehidupan sudah banyak aku lalui. Dan menyakiti Purnama adalah hal terbej*t yang pernah aku lakukan. Mem
"Saya terima nikah dan kawinnya Purnama Intania binti Ahmad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas seberat dua puluh gram dibayar tunai!""Saksi?""SAHHH!""Alhamdulillah ... Barakallahu ...."Kuhembus napas lega. Benar-benar lega. Dilanjut mendengar dan mengaminkan doa pernikahan yang dibaca oleh Abah, selaku pemimpin pondok. Hingga doa selesai lalu aku mengusap wajah dengan kedua tangan. Meyakinkan diri jika semua ini bukan mimpi, tetapi nyata.Menarik kedua tanganku lalu menoleh dengan leher terasa kaku pada sosok Purnama yang duduk di sebelah. Entah bagaimana reaksinya, karena wajahnya tertutup oleh cadar dan aku hanya bisa menatapnya, tanpa tahu harus apalagi. Hingga muncul instruksi, agar Purnama mencium tanganku dan aku mengecup keningnya.Gemetaran, aku pun mengulurkan tangan, hingga Purnama meraihnya, lalu mencium takdzim punggung tangan ini.Huh, aliran darahku tera
POV ELANG*************Senja menggelayut di langit barat. Matahari hampir tenggelam sempurna. Hari kian beranjak siap untuk berganti malam. Namun, hingga detik ini pula, tak juga ada kabar yang datang.Kuhembus napas kasar. Kusudahi merenung dan bangkit dari kursi rotan di teras rumah. Menghembus napas kasar kemudian berjalan menuju pintu rumahnya. Menutup serta menguncinya. Aku akan pergi ke masjid untuk bersiap shalat magrib, daripada terus merenung dan memikirkan Purnama. Hari ini, tepat sudah empat puluh hari berlalu, dan jawaban itu belum juga kudapatkan.Mungkin seharusnya aku sadar diri, jika Purnama tidak pernah benar-benar meminta waktu tetapi hanya ingin mengulur waktu. Seharusnya aku sadar, jika kesempatan itu tidak mungkin Purnama berikan.Siapa aku yang begitu berharap bisa bersanding dengannya?Sepertinya, aku memang harus menyudahi harapan ini dan belajar untuk sadar diri. Dengan begitu, mungkin per
"Aku berjanji. Ini terakhir kalinya aku mengatakan hal seperti ini pada kamu, Purnama. Jika kesempatan itu benar-benar tidak ada untukku. Jika kesempatan untuk bersama dengan kamu tidak pernah bisa kamu berikan, aku tidak akan lagi memintanya. Aku tidak akan pernah mengganggu hidupmu lagi. Jika kamu tetap menolak dan tidak pernah bisa memberikan kesempatan itu, tidak apa-apa. Aku sadar diri, dan tidak ada yang akan kulakukan lagi selain terus berbenah dan memperbaiki diri sendirian," ucap Elang lagi yang masih berlutut di hadapanku.Aku tidak tahu apa yang kurasa. Namun hari ini, semua terasa berbeda. Aku masih terdiam, terpaku dengan bibir kelu. Bingung dengan perasaanku sendiri."Purnama?" Fanisa menyenggol lenganku, aku tergeragap dan akhirnya menyadari kebekuan yang menimpaku."Bisa berikan jawaban untuk Bang Elang?" tanya Fanisa dengan lembut serta tatapan teduhnya. Sontak pandanganku tertuju pada Elang yang belum juga berdiri.
Acara makan siang bersama akhirnya selesai. Aku bersama yang lainnya bergegas keluar dari dalam resto. Masuk ke dalam mobil milik Rafka kembali untuk pulang ke rumahnya. Mobil sudah melaju, meninggalkan parkiran resto dan tiba di jalan besar.Sepanjang jalan, aku hanya menjadi pendengar obrolan di antar mereka bertiga. Sekarang, putri kecilku itu lebih dekat dengan Fanisa. Aku berbesar hati menerimanya. Karena semua itu adalah konsekuensi dari keputusanku sendiri.Selama perjalanan pulang menuju rumah Fanisa, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Entah kenapa, aku terus saja teringat akan sosok Elang. Terlebih, dia tidak ikut makan bersama tadi. Membuatku merasa, jika dia ingin menghindar dariku. Harusnya, aku tak perlu ambil pusing. Harusnya, aku tak perlu memikirkan itu. Tapi, hatiku berkata lain. Lebih-lebih, penampilannya sekarang sudah jauh berbeda. Aku sendiri tidak bisa menghilangkannya dari dalam pikiran.Lima belas menit perjalanan, akhirnya mobil berhenti tepat di depan pagar
Acara sudah dimulai. Namun, aku tidak bisa fokus. Perhatianku justru tersita pada lelaki yang duduk tepat di samping Rafka. Lelaki dengan koko putih dan potongan rambut cepak, tak lain ialah Elang.Aku, Fanisa, Rafka dan Elang duduk di deret kursi yang sama. Mengisi kursi di baris kedua dari panggung besar di depan sana. Entah kenapa, aku dibuat penasaran dengan sosok Elang yang baru aku jumpai kembali hari ini.Penampilan lelaki itu sudah jauh berubah. Aku tidak mengerti, kenapa rasanya aku menyukai penampilan barunya.Saat awal tadi, dia juga menyapaku. Suaranya terdengar begitu lembut. Aku hanya membalas dengan anggukan kepala tanpa bisa menjawab. Anehnya aku gugup sendiri. Aku tidak mengerti, rasanya hatiku tidak baik-baik saja sekarang.Diam-diam, aku meliriknya yang ada di sebelah kanan. Meski terhalang Fanisa dan Rafka, tapi aku masih bisa melihatnya. Melihat senyum dan gerak-geriknya sesekali.Hatiku rasanya berdebar.Aku benar-benar tidak mengerti dengan diriku sendiri. Ada p
7.Semilir angin sore berembus syahdu. Menemaniku yang sedang duduk di bangku kayu di bawah pohon angsana yang rindang. Terhampar halaman yang luas di depanku, dan kurang lebih limapuluh meter dari sini merupakan gapura pembatas area putra dan putri. Satu tahun sudah berlalu sejka Fanisa mengutarakan keinginan abangnya untuk meminta kesempatan padaku. Sejak hari itu pula kudengar lelaki bernama Elang itu sudah tidak menjadi santri di pondok ini lagi. Setelah tahu bahwa Elang mengikutiku ke mari, tentu aku mencari tahu tentangnya, tetapi pihak pondok mengatakan jika lelaki itu sudah tidak lagi di sini.Entah. Aku tidak tahu alasannya. Hanya saja, aku memang tidak memberikannya kesempatan seperti yang dia minta. Karena untuk apa? Jika untu bertanggungjawab, tentu sudah begitu lama kejadian itu berlalu. Darah dagingnya sudah berusia 12 tahun sekarang. Lalu untuk apa kesempatan yang dia minta? Putrinya bahkan sudah bahagia tinggal bersama Rafk
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.