Maeera dan Ayla berjalan masuk ke sebuah ruangan berukuran super besar di salah sudut Lotus Hall. Begitu masuk, kedua wanita itu dibuat terkagum-kagum dengan betapa luasnya ruangan itu.
Para asisten rumah tangga dan juga Ayla, menyebut ruangan itu dengan sebutan walk-in closet. Ruangannya sangat luas, hampir seluas lapangan tenis.
Di dalamnya, tersimpan berbagai jenis pakaian karya desainer ternama, sepatu dan tas dari merek-merek terkenal, serta aksesoris-aksesoris mahal bernilai ratusan juta hingga miliaran.
Tak hanya luas, ruangan itu juga memiliki desain interior yang sangat mewah dan elegan, dengan dominasi warna putih di setiap sudutnya.
Lantainya terbuat dari marmer putih, tampak bersih dan mengkilap, dengan dinding kaca besar menghadap langsung ke laut.
Di dalamnya terdapat deretan almari kaca dengan rangka kayu jati solid yang lapisi dengan cat lacquer warna putih, membuatnya terlihat lebih mengkilap dan
Sebuah sedan mewah berwarna hitam, terlihat berhenti tak jauh dari bangunan utama Lotus Hall. Seorang pria duduk di bagian pengemudi, sedangkan pria satunya lagi duduk di kursi belakang sebagai penumpang. Keduanya terlibat dalam sebuah percakapan. "Bagaimana, apa dia keluar dari mansion?" tanya Gin. Asisten Eri menggelengkan kepala. "Dia tidak keluar dari kediaman sejak datang bersama temannya," jawab Eri. Gin mengangguk mendengar penjelasan Eri. "Terus pantau gerak geriknya," perintah Gin. "Baik!" sahut Eri. "Kau sudah mendapatkan datanya?" tanya Gin lagi. "Sudah. Akan langsung saya laporkan kepada anda usai makan malam," balas Eri. "Ok," kata Gin singkat. Ia kemudian melemparkan pandangannya ke luar jendela mobil, ke deretan pepohonan cemara yang menjual tinggi. Pria berdarah Kanada-Jepang itu terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Hemmm ... ini cukup menarik. Aku sudah memberinya kesempatan untuk kabur, tapi dia memilih kembali. Artinya dari awal dia memang memiliki tuju
Duduk di meja kerja yang terbuat dari kayu ek berwarna cokelat tua, di sebuah ruangan besar mirip perpustakaan dengan rak penuh berisi buku-buku tebal dari berbagai bahasa, sang ketua mafia Rin Leung, terlihat sibuk memoles pistol semi otomatis FN Five-seven kaliber 5,7 mm di tangan kirinya. Ia terlihat fokus membersihkan pistol kesayangannya itu dengan hati-hati. Ruangan itu terlihat sangat nyaman, interiornya di desain dengan gaya neoklasik, yang menonjolkan penggunaan kubah bulat melengkung di langit-langitnya. Rak-rak kayu berwarna gelap dan lukisan-lukisan yang rumit di dinding, terlihat mendominasi. Deretan lampu gantung kristal, terlihat ditata secara horizontal mengikuti alur rak buku. Ditengah ruangan, terdapat sebuah meja kerja lengkap dengan lampu baca dan sebuah jam pasir kuno. Suasana ruangan itu hening dan sepi, yang terdengar hanya suara gesekan lembut antara kain katun dengan permukaan pistol, bercampur dengan bau kayu ek dan buku-buku tua. "Bagaimana pengirima
Rin Leung berjalan pelan menyusuri jalanan beraspal, menikmati semilir angin sore sembari mendorong kursi roda Avani menuju sebuah padang bunga di tepi pantai tak jauh dari Sango Side Manor. Hamparan bunga nemophila atau baby blue eyes yang sedang mekar, terlihat memenuhi seluruh area padang.Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya hamparan bunga kecil berwarna biru cerah bermekaran, nampak berayun ke kanan dan ke kiri diterpa hembusan angin. Bunga berwarna biru muda dengan aksen putih di tengah mahkotanya itu, tampak menyatu indah dengan birunya ombak samudra Hindia dan langit senja. "Kau menyukainya," tanya Rin.Avani menganggukkan kepala. Perhatiannya tersita pada segerombolan kupu-kupu yang sedang terbang di antara bunga-bunga nemophila yang sedang mekar.Sejenak, Avani melupakan semua duka di hatinya, melupakan betapa manipulatifnya Rin Leung pada dirinya. Ia sibuk menikmati hamparan bunga nan indah itu.Dengan senyum merekah di bibirnya, gadis berambut panjang itu memejamk
Sebuah ruangan besar berdinding kaca, menampilkan pemandangan malam yang indah dari lantai dua sebuah restoran bergaya Asia-Eropa di pusat kota. Di tengah ruangan, terlihat meja makan besar dengan lima buah kursi mengelilinginya. Terlihat seorang wanita berusia sekitar 45 tahun, memakai cocktail dress warna hitam, dengan kalung mutiara di lehernya, sedang duduk manis di salah satu kursi.Wanita cantik itu duduk di samping seorang pria paruh baya berpenampilan rapi dalam balutan dinner suits warna hitam. Mereka adalah Josrg Yuta dan istrinya Isihiika Reiner. Ayah Gin dan ibu sambungnya.Di samping wanita paruh baya itu, duduk seorang pria muda memakai setelan jas single breasted warna putih dengan gaya rambut acak-acakan, ia terlihat sedang sibuk bermain ponsel.Pria berjas putih itu terlihat beberapa tahun lebih muda dari Gin Yuta, namun keduanya terlihat sama tampannya. Dari kejauhan, terlihat Maeera berjalan masuk ke ruang besar itu sembari menuntun suami palsunya, Gin Yuta. Deng
Suasana di meja makan itu tiba-tiba berubah menjadi tegang. Semua mata kini tertuju pada Maeera. Mereka penasaran, dengan apa yang dikatakan oleh putra bungsu mereka, Kai Yuta. Bahwa ada yang aneh dengan penampilan menantu mereka malam ini. "Menantuku kau tak apa?" tanya nyonya Isihiika. Sadar menjadi pusat perhatian, Maeera cepat-cepat menyembunyikan wajahnya dibalik jari jemarinya yang lentik. Ingin rasanya ia menghilang dari tempat itu, dan pergi jauh entah kemana. Beruntung sebuah ide cemerlang namun gila muncul di benaknya. Jika dalam kondisi normal, mungkin ia tak akan mau melakukannya, tapi karena ini dalam kondisi mendesak, tanpa banyak berpikir, ia langsung merealisasikan ide tersebut. Ia letakkan telapak tangannya di depan mulut, lalu mengeluarkan suara paling menggelikan di dunia. "Hoeeek ... hoeeek ... hoeeek ... " pekik Maeera Ibu tiri Gin langsung panik mengetahui menantunya mual-mual ingin muntah. "Menantuku kau tak apa, apa kau hamil?" tanyanya. "Suamiku, kita
Sebuah sedan mewah berwarna hitam, melaju cepat meninggalkan restoran bergaya Asia-Eropa, tempat keluarga Gin mengadakan jamuan makan malam. Di kursi belakang sedan mewah itu, duduk Maeera yang sedang sibuk melepas sepatu hak tingginya. Ia lepas sepatu mahal itu satu per satu, kemudian memeriksa bagian belakang kakinya yang terasa nyeri. Terlihat, ada luka lecet yang cukup dalam di kedua tumitnya. "Auwh ... " teriak gadis manis itu kesakitan, saat tangannya menyentuh pinggiran luka. "Ini mengerikan sekali," gumamnya. Asisten Eri yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Maeera, terlihat penasaran dengan apa yang dilakukan oleh istri tuannya itu. Dengan suara pelan dan sopan, ia mencoba bertanya pada Maeera. "Nyonya, anda ingin saya antar ke rumah sakit mana?" tanya pria berambut belah tengah itu. Mendengar pertanyaan asisten Eri, Maeera gelapan. Ia lupa jika ayah mertuanya tadi mengizinkannya pergi dari jamuan makan malam karena menyuruhnya memeriksakan diri ke dokter. "Rum
Di tengah dinginnya malam musim kemarau yang panjang. Maeera berjalan pelan menyusuri trotoar di sepanjang kota Bulan yang mulai sepi. Terlihat beberapa pedagang mulai menutup tokonya, karena malam mulai larut. Meski suasana di sekitar trotoar cukup sepi, tapi gadis miskin itu tak merasa takut sedikit pun. Senyum cerah tersungging di wajahnya. Rasa senang di hatinya, mengalahkan rasa takut yang ada. "Menyenangkan sekali, bisa jalan-jalan seperti ini. Ah, andai nenek masih hidup dan aku memiliki banyak uang," kata gadis berkulit kuning langsat itu, sembari terus berjalan menyusuri trotoar.Setelah apa yang terjadi selama jamuan makan malam bersama orang tua Gin, di mana identitasnya sebagai pengantin palsu hampir terbongkar, Maeera lega bisa berada di sini.Di trotoar yang sepi ini, ia yang miskin bisa kembali menjadi dirinya sendiri, tak lagi berpura-pura menjadi nona muda Avani Lie, sosok yang bahkan tak pernah ia temui. Setelah cukup lama berjalan menyusuri trotoar seorang diri,
Seorang pria berusia sekitar 25 tahun, memakai sweater turtle neck warna abu-abu mengenakan masker warna hitam, berkacamata, terlihat berdiri tegap di belakang Maeera.Dia adalah pria baik hati yang mengatakan akan membayar tagihan makanan Maeera. Begitu melihat sosok yang telah menolongnya, Maeera segera membalikkan badan lalu menghampiri pria itu."Terima kasih, terima kasih banyak," ucap Maeera sambil berkali-kali membungkukkan badan. Pria itu menatap tajam Maeera melalui lensa kecamatanya, kemudian berkata, "Temani aku makan," perintahnya. Pria itu lalu balik badan dan berjalan menuju kursi kosong yang tersedia di luar tenda. Dengan ekspresi bingung, Maeera berjalan mengikuti pria itu dari belakang sembari berkata, "Kau ingin aku menemanimu makan?" tanya Maeera penasaran. Pria itu hanya diam lalu duduk di kursi plastik berwarna orange di luar tenda. "Duduklah," pinta pria itu sembari menarik satu kursi plastik di sampingnya. Maeera melihat kursi itu kemudian mendudukinya. S