Sebuah sedan mewah berwarna hitam, melaju cepat meninggalkan restoran bergaya Asia-Eropa, tempat keluarga Gin mengadakan jamuan makan malam. Di kursi belakang sedan mewah itu, duduk Maeera yang sedang sibuk melepas sepatu hak tingginya. Ia lepas sepatu mahal itu satu per satu, kemudian memeriksa bagian belakang kakinya yang terasa nyeri. Terlihat, ada luka lecet yang cukup dalam di kedua tumitnya. "Auwh ... " teriak gadis manis itu kesakitan, saat tangannya menyentuh pinggiran luka. "Ini mengerikan sekali," gumamnya. Asisten Eri yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Maeera, terlihat penasaran dengan apa yang dilakukan oleh istri tuannya itu. Dengan suara pelan dan sopan, ia mencoba bertanya pada Maeera. "Nyonya, anda ingin saya antar ke rumah sakit mana?" tanya pria berambut belah tengah itu. Mendengar pertanyaan asisten Eri, Maeera gelapan. Ia lupa jika ayah mertuanya tadi mengizinkannya pergi dari jamuan makan malam karena menyuruhnya memeriksakan diri ke dokter. "Rum
Di tengah dinginnya malam musim kemarau yang panjang. Maeera berjalan pelan menyusuri trotoar di sepanjang kota Bulan yang mulai sepi. Terlihat beberapa pedagang mulai menutup tokonya, karena malam mulai larut. Meski suasana di sekitar trotoar cukup sepi, tapi gadis miskin itu tak merasa takut sedikit pun. Senyum cerah tersungging di wajahnya. Rasa senang di hatinya, mengalahkan rasa takut yang ada. "Menyenangkan sekali, bisa jalan-jalan seperti ini. Ah, andai nenek masih hidup dan aku memiliki banyak uang," kata gadis berkulit kuning langsat itu, sembari terus berjalan menyusuri trotoar.Setelah apa yang terjadi selama jamuan makan malam bersama orang tua Gin, di mana identitasnya sebagai pengantin palsu hampir terbongkar, Maeera lega bisa berada di sini.Di trotoar yang sepi ini, ia yang miskin bisa kembali menjadi dirinya sendiri, tak lagi berpura-pura menjadi nona muda Avani Lie, sosok yang bahkan tak pernah ia temui. Setelah cukup lama berjalan menyusuri trotoar seorang diri,
Seorang pria berusia sekitar 25 tahun, memakai sweater turtle neck warna abu-abu mengenakan masker warna hitam, berkacamata, terlihat berdiri tegap di belakang Maeera.Dia adalah pria baik hati yang mengatakan akan membayar tagihan makanan Maeera. Begitu melihat sosok yang telah menolongnya, Maeera segera membalikkan badan lalu menghampiri pria itu."Terima kasih, terima kasih banyak," ucap Maeera sambil berkali-kali membungkukkan badan. Pria itu menatap tajam Maeera melalui lensa kecamatanya, kemudian berkata, "Temani aku makan," perintahnya. Pria itu lalu balik badan dan berjalan menuju kursi kosong yang tersedia di luar tenda. Dengan ekspresi bingung, Maeera berjalan mengikuti pria itu dari belakang sembari berkata, "Kau ingin aku menemanimu makan?" tanya Maeera penasaran. Pria itu hanya diam lalu duduk di kursi plastik berwarna orange di luar tenda. "Duduklah," pinta pria itu sembari menarik satu kursi plastik di sampingnya. Maeera melihat kursi itu kemudian mendudukinya. S
Malam sudah semakin larut, jam di dinding bahkan telah menunjukkan pukul 23:00. Tapi Avani, masih belum bisa memejamkan mata. Pikirannya masih carut marut dipenuhi berbagai pertanyaan, terutama setelah apa yang terjadi antara dirinya dengan Rin Leung, di padang bunga sore tadi.Kini, satu per satu pertanyaan mengenai siapa Rin Leung, mulai muncul di benaknya, dan entah bagaimana, pertanyaan-pertanyaan itu muncul secara otomatis di otaknya, tanpa bisa ia cegah. Ini membuatnya gelisah dan sulit tidur."Apa dia benar-benar menyukaiku?" tanya Avani pada dirinya sendiri. "Ini pertama kalinya seorang pria begitu blak-blakan menyatakan cintanya padaku."Iihhh... aku bahkan masih merinding jika mengingatnya," ucap Avani sembari bergidik.Gadis cantik itu, lalu memiringkan tubuhnya ke sisi kiri, sembari menggigit ujung kukunya."Tapi, apa pria di Oxford itu benar-benar dia?" Avani terlihat ragu. "Tapi memang terlihat sama," belanya.
Avani duduk bersandar diatas tempat tidur, sembari mengenakan selimut tebal menutupi tubuhnya. Ia letakkan album foto besar itu di atas bantal, lalu mulai melihat satu per satu foto yang ada di dalamnya dengan penuh antusias. Avani tersenyum kecil begitu membuka bagian awal photobook, yang penuh berisi dengan foto masa kecil Rin Leung. Dengan pipi chubby, kulit putih dan mata berwarna hijau tosca, Rin Leung kecil tampak sangat lucu dan menggemaskan. "Wah, dia terlihat sangat menggemaskan," seru Avani saat melihat deretan foto Rin Leung berseragam kindergarten. Tak sabar, ia segera membuka halaman photobook berikutnya yang penuh berisi foto masa kanak-kanak Rin Leung. Terlihat deretan foto Rin kecil membawa botol minuman, sedang berpose bersama seekor kura-kura besar di sebuah kebun binatang. "Wajah tampannya sudah terlihat sejak kecil," komentar Avani saat melihat foto-foto itu. Usai melihat foto itu, perhatian Avani langsung teralihkan pada foto Rin kecil bersama Ayah ibunya
Asisten Eri kembali ke Lotus Hall seorang diri, setelah meninggalkan Maeera sendirian di tepi trotoar kota Bulan. Ia kembali ke mansion mewah itu untuk menemui bosnya, Gin Yuta. Berada di kediaman utama, pria berkacamata itu terlihat berjalan terburu-buru masuk ke sebuah ruangan besar di lantai dua mansion. Sebuah ruangan besar nan mewah bergaya modern, dengan desain home office, berdinding panel kayu warna cokelat, dengan langit-langit plafon berwarna putih. Sebuah meja kerja lengkap dengan segala pernak perniknya, terlihat membelakangi rak dinding dari kayu jati berwarna cokelat tua yang berisi buku-buku tebal dan tertata rapi. Sebuah laptop mahal, tampak masih menyala di atas meja, saat asisten Eri berjalan masuk ke ruangan tersebut. Sang pemilik rumah, Gin Yuta, terlihat sedang duduk di sofa panjang, menghadap ke arah laut sembari menyeruput teh hangat dari cangkirnya. "Bagaimana? Apa kalian pergi ke rumah sakit?" tanya Gin begitu mendengar derap langkah kaki Eri mendekat
Gelisah, Maeera seharian merasa gelisah. Hatinya tak tenang, pikirannya belingsatan, ia masih belum bisa berpikir jernih jika belum mendapat jawaban pasti mengenai apa terjadi. Apakah Gin sudah tau siapa dirinya yang sebenarnya atau tidak. Dengan perasaan tak menentu, ia mondar-mandir mengitari kamar besar itu sembari terus menganalisa semua kemungkinan yang mungkin saja terjadi. "Jika dia sudah tau aku bukan istrinya, kenapa dia masih bersikap baik padaku?" Maeera mencoba mencari jawaban lain dari apa yang terjadi. "Atau jangan-jangan asisten Eri masih belum memberitahunya?—" Maeera tersenyum senang "—Jika ya, sebaiknya aku segera berkompromi dengan asisten Eri?" ujar Maerra sembari mencoba mencari sesuatu untuk berkomunikasi dengan asisten Eri, tapi sadar ia tak memiliki ponsel. "Tapi, aku tidak bisa bertemu dengannya jika tidak pergi ke kantor, Arrggghh... " keluh Maeera lalu membanting dirinya ke atas sofa. Ia benar-benar putus asa. "Apa yang harus aku lakukan jika pria buta
Menahan rasa takutnya, Maeera mulai memainkan ujung kukunya, menggesekkan kedua kuku jarinya dengan gerakan yang sangat cepat tanpa jeda. Ia gelisah sangat gelisah. Bibir pucatnya tampak gemetar, dengan telapak tangan mulai terasa dingin. Ia takut, sangat-sangat takut. Lebih takut dibandingkan saat di teror oleh para rentenir penagih hutang. "Kenapa diam," seru Gin. "Apa pertanyaanku kurang jelas, aku bertanya padamu, apa kau tak penasaran kenapa aku masih tetap membiarkanmu tinggal di sini?" tanya pria bermata biru itu dengan nada suara yang sedikit lebih tinggi. Maeera tak bergeming, ia masih tetap mematung tanpa memberikan respon apapun. Ia masih bergelut dengan pikirannya dan rasa takutnya. Rasa takut yang bermuara dari rasa bersalahnya pada Gin Yuta. Ia merasa berdosa telah membohongi pria buta itu. Menghancurkan pernikahannya dan tak pernah jujur mengatakan bahwa ia bukan Avani. Andai ia jujur, mungkin semua tak akan serumit ini. Kini ia di hadapkan pada dilema, menga