Share

BAB III

Klinik Bunda Mulia.

Hati Sara berdegup kencang, ketika melihat tulisan yang terpampang jelas di depan matanya.

Selangkah demi selangkah ia berjalan, tujuannya semakin dekat. Ada rasa penasaran yang ingin segera ia temukan kebenarannya. Namum, juga ada perasaan takut akan kenyataan yang nantinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. 

Suasana klinik tersebut benar-benar sepi, bahkan di bangku antrean depan hanya ada dua orang yang menunggu. Mungkin karena hampir seharian hujan turun, jadi banyak yang merasa malas untuk keluar rumah. 

       “Selamat siang! Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis  yang duduk di depan pintu pendaftaran. Ia menyapa Sara dengan ramah, lalu tersenyum hingga menonjolkan lesung pipinya yang membuatnya tampak manis. 

      “Iya, Mbak. Perkenalkan saya Sara. Sebenarnya, saya mau ketemu dengan Bidan Anik Masruroh, apa saya bisa sekarang?” Tanpa basa-basi, Sara langsung mengutarakan tujuannya. 

       “Maaf, Mbak. Memangnya ada perlu apa, ya? Soalnya setahu saya, di klinik ini tidak ada bidan yang bernama Anik Masruroh,” jawab resepsionis tersebut kepada Sara.

       “Ah, benarkah? Coba diingat lagi, Mbak. Sekitar 21 tahun yang lalu, ibu saya melahirkan di klinik ini. Dan, ini buktinya kalau yang menangani kelahirannya dulu adalah Bidan Anik,” tutur Sara sambil menunjukkan tulisan tangan ibunya di buku yang ia temukan. 

       “Oh, saya baru ingat, Mbak. Dulu, memang ada bidan yang bernama Anik Masruroh. Namun, bidan tersebut sudah lama tidak bekerja di sini.”

       “Terus, sekarang kerja di mana Bidan Aniknya, Mbak? Tolong kasih tau saya! Saya benar-benar ada kepentingan,” ucap Sara. Wajahnya penuh harap, ketika sedang memohon pada resepsionis  tersebut. 

        “Maaf, Mbak. Saya tidak tahu jelas mengenai Bidan Anik, tetapi saya pernah dengar kalau Bidan Anik pindah tugas ke salah satu rumah sakit swasta di kota,” kata wanita tersebut memberi informasi yang ia ketahui.

        “Bukankah seorang bidan beda sama perawat, Mbak? Setahu saya, di rumah sakit yang ada cuma dokter sama perawat aja.” Lagi-lagi  Sara mengajukan pertanyaan pada resepsionis tersebut dengan sifat polosnya. Ia hanya merasa janggal dengan informasi yang ia terima. Bisa dibilang, Sara sangat cerdas sebagai pengamat lawan bicaranya. 

       “Bidan Anik adalah istri dari salah satu dokter obstetri di rumah sakit itu. Jadi, dia menunjuk istrinya sendiri untuk membantu  tugasnya,” tutur resepsionis tersebut. ia menunjukkan perasaan tidak nyaman dari wajahnya, mungkin karena seolah-olah ia didesak Sara untuk memberi jawaban yang pasti.

 

Sara hanya terdiam membisu. Sekata pun tidak bisa ia ucapkan. Karena memang kelihatannya resepsionis tersebut berbicara jujur, dan apa adanya.  Hati dan pikirannya benar-benar kacau. Ia merasa semua usahanya sia-sia.  

       Cahaya langit makin meredup. Di ufuk barat, terlihat pemandangan perjalanan matahari menuju kediamannya. Sisa-sisa tetesan air hujan masih membasahi beberapa dinding  bangunan yang berdiri kokoh.

Begitu pun Sara, ia menyusuri lorong demi lorong sambil membanting otak untuk segera memutuskan mau ke mana lagi ia melangkah. Antara pulang atau bertahan.

       Hingga pada akhirnya, Sara makin yakin untuk tetap bertahan di kota tersebut demi mencari kebenaran. Pantang pulang sebelum mendapat yang ia inginkan, kurang lebih begitulah prinsipnya saat ini. 

Dengan uang yang hanya tersisa 50 ribu, mustahil bisa digunakan untuk bertahan hidup di kota sebesar ini. Hingga pada akhirnya, ia memutuskan mencari pekerjaan yang bisa dikerjakan. Ada perasaan lega di wajahnya, karena ia sempat membawa ijazah. 

Selangkah demi selangkah, Sara mengangkat kakinya secara bergantian untuk menyusuri jalanan. Sesekali ia memegang perutnya, lalu duduk di atas gazebo tua berwarna cokelat, rupanya cacing-cacing di perutnya saat ini tidak bisa diajak kompromi lagi. Sara terus mengunci perutnya dengan tegukan air mineral yang ia beli di dalam bus. 

DIBUTUHKAN KARYAWATI.

       Penglihatan Sara terfokus pada selembar kertas yang ditempelkan pada kaca jendela toko kue yang letaknya tidak jauh dari gazebo yang Sara duduki. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, ia pun memutuskan untuk mengajukan lamaran pekerjaan ke toko kue itu.

       “Permisi, Mbak. Benarkah toko kue ini sedang membutuhkan karyawan baru?” tanya Sara pada salah satu karyawan yang bekerja di situ.

       “Benar, Mbak. Kebetulan saya kepala toko di sini. Mari, Mbak, duduk di sebelah sini!” kata perempuan tersebut sambil mengacungkan jempolnya ke tempat duduk pelanggan. 

       “Baik, Mbak. Bisa dikeluarkan surat lamaran serta berkasnya, ya, sekalian interview juga.” Tanpa basa-basi lagi, kepala toko tersebut langsung memberi instruksi pada Sara. 

       “Maaf, Mbak. Saya sebenarnya cuma membawa salinan ijazah saja,” jawab Sara,  wajahnya sedikit tertunduk. 

       “Berarti kamu tidak niat, ya, melamar di sini?” gertak perempuan tersebut pada Sara. Seolah-olah ingin segera mendengar jawaban Sara. 

       “Bukan begitu, Mbak. Saya sebenarnya dari Lumajang, Mbak. Tadi, saya turun di terminal dan kecopetan. Yang tersisa ijazah ini saja. Tolong saya, Mbak. Saya butuh kerja untuk makan.” Sebenarnya Sara tidak kecopetan, ia hanya tidak ingin orang lain tahu bahwa sebenarnya ada tujuan lain kenapa ia datang Surabaya. Sekaligus mengharapkan rasa iba dari wanita itu. 

Wanita tesebut menghela napas panjang. Sambil memandangi tubuh dan wajah Sara dengan saksama. Sedangkan Sara, ia merasa waswas, ada perasaan khawatir jika ia ditolak di toko

       “Baiklah. Kalau begitu saya mau lihat ijazah kamu.” 

Mendengar jawaban tersebut, mata Sara langsung berbinar, ada juga rasa lapar yang terus mengetuk dinding perutnya. Seperti ada harapan baru di hatinya. Ia pun langsung menyodorkan selembar salinan ijazah yang berada di tangannya. 

       “Hm, nama kamu Sara Damayanti,” gumam wanita tersebut, sambil memandangi salinan ijazah yang diberikan Sara. 

       “Baiklah, aku Zea. Coba perkenalkan diri kamu dengan singkat. Alasan kamu mengapa pingin bekerja di sini dan menurut kamu apa hubungannya kue dengan kehidupan,” tuturnya pada Sara.

“Siap! Perkenalkan, saya Sara Damayanti, usia saya 21 tahun. Alasan saya mengapa pingin bekerja di toko kue ini adalah, karena saya sangat menyukai kue. Bagi saya, kue adalah salah satu lambang cinta bagi pembuatnya, dan kue tidak akan memiliki rasa yang enak jika tidak ada cinta dalam membuatnya. Rasa kue juga dominan manis, tetapi juga ada rasa asin, sedap, dan gurih.  Itulah kehidupan, tidak hanya soal bahagia, melainkan juga soal memperjuangkan dan diperjuangkan,” jawab Sara tanpa ada keraguan. 

Seketika ia langsung ingat, bahwa sejujurnya dirinya makan kue hanya dua kali seumur hidupnya. Itu pun dikasih salah satu temannya saat ulang tahun. Ia juga mengingat begitu jelas ketika ibunya sendiri, membelikan kue hanya untuk adiknya tanpa memikirkan perasaan Sara.

     Sedangkan Sara saat itu, hanya bisa melihat dari lorong pintu seraya menelan ludah dan menahan rasa sakit, lantaran tidak diperlakukan secara adil. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status