Share

BAB II

          Sara tidak menemukan satu pun fotonya di dalam buku itu. Ia semakin yakin bahwa orang tua kandungnya, tidak pernah menganggapnya ada. Terlepas dari rasa sakit hatinya, ia tetap melanjutkan untuk membuka buku tersebut sampai tuntas. 

Hingga pada akhirnya, ia sampai di halaman paling akhir. Dia  menemukan sebuah informasi tentang kelahirannya. Sara Damayanti, dilahirkan di Klinik Bunda Mulia, Bidan Anik Masruroh, Surabaya. Hanya tulisan itu yang ia temukan.

          Mungkin itu adalah kalimat biasa bagi orang lain, tetapi tidak bagi Sara. Tulisan tersebut bisa ia jadikan sebagai petunjuk untuk menjawab semua pertanyaan yang ada di benaknya selama ini. 

‘Bagaimanapun caranya, aku harus pergi ke sana,' ucapnya dalam hati. Sara jelas-jelas mempunyai tekad yang kuat untuk pergi ke klinik itu.

**

Keesokan harinya, Sara mengemasi beberapa pakainnya untuk di bawa ke Surabaya. Tidak lupa ia membawa boneka panda berukuran 10 cm yang selalu menemaninya dari kecil. Baginya, ia tidak hanya sekedar boneka. Tetapi juga teman kecilnya, tempat ia bercerita, teman tidur, bahkan hampir semua aktifitasnya, ia selalu membawa boneka tersebut. Boneka itu, ia beri nama Mitu.

          Sara memasukkan barang-barangnya ke  koper kecil yang ia dapatkan dari hadiah  acara jalan santai yang diadakan oleh sekolahnya, dua tahun yang lalu. 

Tanpa berpamitan kepada orang tuanya, ia pergi ke terminal bus di Wonorejo. Ini pertama kalinya Sara menaiki angkutan umum. Sara memilih naik bus tidak hanya sekadar karena biayanya lebih murah, tetapi juga karena jarak terminal bus dekat dari rumahnya.

‘Uhm, lama sekali busnya,' protes Sara dalam hati. 

        Sembari menunggu bus datang, Sara duduk di sebelah wanita muda bersama bayi mungilnya. Wanita tersebut memeluk bayinya erat-erat, dan membelai rambutnya yang berwarna pirang kecokelatan dengan sangat lembut.

       “Putriku kedinginan, ya. Tenang, ya, Sayang. Bunda akan selalu memelukmu,” tutur wanita tersebut kepada putrinya sambil memeluknya erat-erat agar bayinya tidak kedinginan. 

Hari ini, memang cuaca tidak terlalu mendukung untuk melakukan perjalanan. Hujan deras turun tiba-tiba, mungkin juga ini yang menyebabkan bus macet di perjalanan. 

‘Andai ibuku seperti ibu bayi itu, pasti aku sangat bahagia.’ Sara membatin.

         Jujur saja, Sara merasa iri. Dari ujung matanya, ia bisa merasakan kehangatan yang bayi itu rasakan. 

Di tengah lamunannya, ia dikagetkan dengan suara rem bus dari sebelah utara. Benar saja, bus arah Surabaya sudah tiba di terminal. Tidak menunggu waktu lama, ia segera bergegas naik ke dalam bus. 

Sara memilih tempat duduk tepat di sebelah jendela. Karena ia pikir, melihat pemandangan di kala hujan melalui kaca jendela, terasa sedikit menyenangkan untuk mengisi waktunya selama perjalanan.

         “Permisi, Mbak. Bolehkah saya duduk di sebelahmu?” tanya seorang wanita. Betapa terkejutnya Sara, kalau wanita tersebut adalah ibu muda yang sempat mencuri perhatiannya tadi. 

        “Oh, iya, Tante. Silakan!” kata Sara mempersilakannya untuk duduk di sebelahnya.

        “Kok, panggil tante. Saya masih muda, loh. Bisa jadi kita seumuran,” sahut wanita itu sambil terkekeh kepada Sara. Kemudian, ia segera duduk di samping Sara.

       “Benarkah? Aku baru berusia 21 tahun. Kamu?” tanya Sara dengan raut muka penasaran. Bagaimana mungkin ia seumuran dengan wanita tersebut. Karena memang jelas dari wajahnya, ia terlihat lebih tua dari dirinya. 

       “Wah, sama, dong.  Kenalin saya Vilda. Memang kebanyakan orang bilang muka saya lebih tua dari pada umur aslinya. Efek punya anak mungkin, ya,” kata wanita tersebut sambil tersenyum.

Senyumnya terlihat sangat manis, ia juga memiliki rambut tebal yang dikucir ke belakang. Meskipun hidungnya tidak terlalu mancung, ia masih tetap terlihat cantik dan menarik. 

      “Saya Sara, Mbak. Senang bisa bertemu dengan Mbak Vilda,” ucap Sara. Matanya memperhatikannya dengan teliti. 

      Sebenarnya Vilda adalah wanita yang sangat cantik, namun karena ia tidak begitu memperhatikan penampilannya, ia malah terlihat seperti tidak terurus.

Sepanjang perjalanan, mereka berbincang-bincang. Penumpang bus yang tidak terlalu banyak, membuat mereka semakin asyik mengobrol. Sebenarnya, bus yang Sara tumpangi bukanlah bus elit. Bukan hanya soal uang yang diperhitungkan, melainkan juga karena jika Sara menggunakan bus elit, pasti perjalanannya akan ditemani dengan bau AC yang hanya membuat dirinya merasa mual. Ya, Sara tidak menyukai bau AC. 

Ia hanya merogoh uang sebesar enam puluh ribu saja, untuk bisa sampai ke Surabaya. Namun, kalau ia menggunakan bus eksekutif AC, ia harus merelakan uang senilai 350 ribu hanya untuk sekali naik.

       Hari makin siang, matahari makin berani  menampakkan dirinya ke atas bukit. Ini sebagai pertanda bahwa hujan benar-benar reda. 

Bus telah berhasil mendaratkan rodanya di kota Surabaya. Itu artinya, Sara dan Vilda, harus berpisah untuk mencapai kepentingan mereka masing-masing. Keduanya sama-sama berharap, bahwa suatu saat nanti, takdir akan mempertemukan mereka kembali.

       Hati Sara berdecak kagum, ia benar-benar terngangah dengan kemegahan kota ini. Deretan gedung yang menjulang tinggi, membuat matanya makin menjelajah lingkungan sekitar. Sebenarnya sudah tidak perlu merasa heran, karena Surabaya memang dikenal dengan memiliki banyak bangunanan tinggi, pencakar langit yang meliputi perkantoran, pusat pembelanjaan, apartemen, kondominium, dan hotel.  

Ia juga melihat mall besar yang terpampang nyata di depannya. Ingin sekali ia masuk ke mall tersebut. Namun, ia akan sangat malu apabila  masuk untuk sekadar melihat-lihat tanpa membeli sebiji pun. Ditambah lagi ia hanya mengenakan pakaian lusuh, dan kusam, pasti dikira gembel yang memaksakan diri untuk masuk ke dalam mall

       “Mau ke mana, Neng?” tanya lelaki paruh baya yang berhasil merusak lamunan Sara. Lelaki tersebut memiliki penampilan yang sangat sederhana, dengan sandal japit sebagai alas kakinya.

      “Oh, saya mau ke Klinik Bunda Mulia, Pak,” jawab Sara gugup. 

Rupanya laki-laki tersebut adalah sopir angkot yang sedang menunggu beberapa penumpang untuk memenuhi kuota angkotnya. 

      “Saya tau, Neng. Klinik tersebut berada di Jalan Raya Pinang, nomor 12. Kebetulan angkot saya searah dengan jalan tersebut,” tutur supir tersebut.

Sudah bisa ditebak dari raut wajahnya, kalau ia berharap Sara bisa menjadi salah satu penumpangnya.

 

     “Benarkah? Jadi, Bapak bisa antar saya ke sana?” tanya Sara. Wajahnya mulai semringah karena ia tidak perlu susah payah lagi untuk mencari keberadaan klinik tersebut. 

    “Iya, Neng. Monggo naik ke angkotnya!” 

Tidak hanya Sara yang senang, sopir angkot tersebut juga ikut senang. Karena penumpangnya bertambah satu, sekaligus sebagai penumpang terakhir untuk memenuhi jumlah kuota angkotnya. Sungguh simbiosis yang saling menguntungkan.

Sara pun segera masuk ke dalam angkot. Ia sadar  bahwa sebagai penumpang terakhir, ia harus rela duduk di tempat yang lebih sempit dari lainnya.  Sara duduk berdesakan dengan anak sekolah yang mengenakan seragam putih abu-abu, yang dilengkapi rompi bermotif kotak-kotak. 

      Jika dilihat lebih teliti, ia sepertinya berasal dari keluarga yang berada. Karena sepatu yang ia kenakan sangatlah bagus dan bermerk, tentunya  bukan seperti sepatu murahan yang biasa Sara beli. Tidak hanya itu, anak sekolah tersebut juga mempunyai handphone yang harganya pasti tidaklah murah. Entah ada alasan apa, sehingga ia harus naik angkot untuk bisa pulang ke rumahnya. 

Sedangkan di sisi kiri Sara, terdapat seorang pengamen jalanan yang memiliki usia kisaran tujuh belas tahun. Pada usia yang tergolong muda, ia seharusnya masih bersekolah menengah atas, tetapi karena keadaan, ia harus rela memilih jalan sebagai pengamen. Dari dua remaja di atas, sudah jelas takdir kehidupan lebih berpihak pada siapa. Dua garis kehidupan yang berbeda, dan bertolak belakang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status