“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya.
“Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe.
“Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu.
“Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum.
“Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima berdiri di terminal menunggu bus yang akan membawanya ke Jakarta, gadis itu sudah membulatkan tekadnya. Dia tidak akan kembali ke kampung Almarhum orang tuanya jika belum sukses. Sebelum berangkat, Naima menyempatkan diri berziarah, meminta restu dan izin kepada kedua orang tuanya. Walau hanya lewat doa, namun Naima yakin orang tuanya akan merestui keputusan Naima. Keluarga Naima di kampung memang baik, namun beban mereka sudah sangat berat. Apalagi pamannya hanya sebagai buruh tani. Rumah peninggalan orang tuanya masih berdiri kokoh. Akan Naima jadikan sebagai kenangan yang orang tuanya tinggalkan. Bus yang membawa Naima perlahan meninggalkan kota kelahirannya. Naima sudah mempunyai tujuan, di zaman canggih seperti ini Naima bisa menemukan kost murah dengan cepat. Dengan sisa uang peninggalan orang tuanya, Naima akan bertahan hidup hingga dia menemukan pekerjaan. &
Naima terbangun saat matahari sudah condong kearah barat, rasa lapar mendera perutnya. Naima segera bangun, membersihkan diri dan merapikan barang bawaan dari tascarier ke lemari kecil di pojok ruangan. Naima teringat dengan korban kecelakaan yang ia tinggalkan sendiri. Naima bergegas merapikan diri, mengambil sling bag kecil mengisinya dengan dompet dan ponsel. Naima segera memesan ojek online. Begitu sampai di lobby rumah sakit, Naima segera berlari menuju kamar inap yang pagi tadi dia tinggalkan. Namun perawat yang berjaga sudah berganti, Naima gamang ingin langsung masuk atau menanyakan terlebih dahulu. “Mbak permisi, bapak yang di dalam sudah sadar?” Naima mencoba bertanya pada perawat jaga. “Maaf mbak bapak yanga mana ya? Siapa nama pasiennya?” Perawat sedikit kebingungan dengan pertanyaan Naima. “Alberico kalau tidak salah” “Oh bapak Alberico, sudah meninggalkan kamar sejak 1
Albe dan Viran segera menjalankan misi mencari penolongnya. Mobil Viran menjadi trasportasi kali ini karena mobil Albe masih dalam perbaikan. “Lo naik busway aja bro, enak dari apartemen lo sekali doang.” Viran memberi saran Albe, Albe walau orang kaya namun paling benci jika harus menggunakan taxi, alasannya malas berduaaan dengan cowok. Nah ini dengan Viran bukannya cowok. “Aku pertimbangkan, aku malas mendengarkan curhatan pengemudi jika menggunakan taxi.” Viran tertawa terbahak. “Gak usah lo dengerin, pura-pura aja ngorok, pasti diem.” “Aku tidak pandai berpura-pura, tidak seperti kamu.” Albe mencibir kelakuan Viran. Namun, sang empunya hanya mendengus. “Nanti pakai kartu gue, gue ada banyak.” Albe hanya mengacungkan jempol. Tiba di jalan yang di sebutkan bapak ojek, Viran melajukan mobilnya pelan, mencari rumah dengan nomor 80. Hingga sampai ujung jalan dan sudah berganti nama jalan, mereka tidak menemukan angka 80 pada masing masing rumah. Viran memutar balikkan mobil, Kem
Mentari pagi mengintip dari tirai tipis berwarna merah muda, sang gadis dengan rambut terurai di bantal tipis mulai membuka dua kelopak mata dengan netra coklat gelap. Suara keramaian pagi menyadarkan dari tidurnya. melirik ke arah jam di dinding kamarnya Naima segera beranjak, mempersiapkan diri untuk kegiatan pagi ini. Seporsi nasi uduk dengan semur tahu dan bala bala sebagai menu sarapan paginya, sarapan yang murah meriah di temani segelas teh hangat. Naima bersyukur untuk nikmat yang tuhan beri, tidak perlu mewah namun mengenyangkan. Setelah selesai, Naima bergegas menjemput peruntungannya. Semoga kebrtuntungan memang memihak kepada dirinya. Suasana pagi yang padat, begitupun jalan menuju Cafe Kita, padat merayap. Sempat terbersit rasa takut jika terlambat. Naima salah memperhitungkan waktu, hari kerja berbeda dengan hari libur. Naima melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya setengah delapan sudah terlewati. Naima berdoa dalam hati pekerjaan ini masih menj