Aku menuruti saran Aina. Keesokan harinya, lebih dulu kujemput Adel bersama Mang Eri menggunakan mobil Bapak."Kenapa, sih Mas? Apa nggak bisa lewat pesan aja?" Adel menggerutu sambil masuk ke dalam mobil "Nggak bisa, Del. Oya, mertua kamu masih ada di sini?""Sudah kembali ke Bandung kemarin, Mas!""Kamu nggak jagain Niko lagi disana?""Aku udah malas, Mas. Yang penting, semua aset udah atas nama aku, jadi aku nggak perlu ngemis-ngemis dia buat balik lagi sama aku!" Adel mendengkus kesal."Lha, terus ngapain waktu itu kamu minta anter ke Bandung?" tanyaku gemas."Aku cuma mau tahu bagaimana sikap mertuaku saat tahu anaknya selingkuh!"Aku kembali melirik Adel, melihat ekspresi wajah yang sudah kembali seperti biasanya. Tidak ada lagi gurat kesedihan yang menyiratkan kalau dia sedang terluka.Beginikah jika menikah hanya memandang harta? Adel tidak begitu peduli saat belahan jiwanya mencintai wanita lain. Kalau aku, mungkin lebih baik kehilangan segalanya daripada harus kehilangan Ai
Tanpa kuduga sebelumnya, Zema berlutut sambil menangis di hadapan kami. Membuatku langsung teringat pada Aina. Sebagai seorang istri, dia bahkan rela merendahkan diri untuk membela suaminya."Mas, saya mohon jangan laporkan Mas Dani ke polisi. Saya dan Dinda nggak akan sanggup menerima sanksi sosial kalau dia sampai dipenjara. Bagaimana Dinda akan dikucilkan oleh teman-teman dia nantinya."Zema terisak-isak memohon agar kami memberi kesempatan kedua pada suaminya. Tidak ada lagi pembelaan diri seperti tadi."Saya mengaku salah, Mas. Tolong jangan bawa kasus ini ke polisi," tambah Dani yang sekarang ikut berlutut di samping Zema.Sebagai seorang kakak yang mengenalnya sejak kecil, perasaan iba tentu ada. Tapi perbuatan Dani sudah kelewat batas. Dia rela melakukan apapun demi bisa memenuhi keinginannya."Aku tuh nggak nyangka, Dan. Bapak itu sayang banget lho, sama kamu! Kok kamu malah bisa-bisanya tega begitu sama Bapak!" tambah Adel, sambil menunjuk-nunjuk wajah Dani dengan geram."Ke
"Menurut polisi yang membawanya, Mas Dani diduga menggelapkan dana nasabah," terang Zema sambil menitikkan air mata."Astaghfirullah, Dani!" Aku semakin tidak habis pikir. Kenapa adikku itu jadi serakah dan tidak pernah merasa cukup?"Tolong bantu dia Mas Andra, saya bingung."Isak tangis mulai terdengar, sementara Dinda memeluk ibunya dengan erat."Dinda ikut sama Tante ya, main sama Dede Abi," ajak Aina."Aku mau sama Mama ....""Biar Mama bicara dulu, ya. Nanti jajan juga di warung. Dinda mau apa?" Aina masih berusaha membujuk.Gadis kecil itu pun menurut dan mau ikut bersama Aina. Ditemani ART-nya, Dinda digendong Aina pulang ke rumah. Sementara Bang Faiz, lagi-lagi dia mengambil alih pekerjaaanku."Kamu sudah hubungi Adel dan Mas Gani?""Sudah Mas, tapi nggak ada yang jawab."Keluargaku selalu begitu. Setiap ada masalah, malah susah untuk dihubungi."Kalau begitu, saya telepon Mang Eri dulu buat nganter mobil kesini. Bagaimana?"Zema mengangguk setuju. Selama menunggu Mang Eri da
Ting! Pesan yang masuk memberitahukan kalau aku kembali mendapat transferan dari platform kepenulisan tempatku menerbitkan karya. Jumlah yang cukup banyak, walau tidak sebesar bulan kemarin. Aku bersyukur saat ini keuangan kami terbilang lebih dari cukup. Setidaknya kebutuhan kami terpenuhi, meski Allah masih menguji dengan masalah yang lain. Beberapa minggu ini, aku melihat Mas Andra telah kehilangan keceriaannya. Berawal dari kepergian Bapak, hingga harus melepas kepergian Dani ke kampung halaman Zema karena kasus besar yang dilakukannya. Aku tahu dibalik marahnya suamiku, dia tetap menyayangi Dani. Melihat adiknya jatuh hingga harus pergi ke pulau seberang, tentu membuatnya bersedih. Bahkan beberapa hari ini, aku sering memergoki Mas Andra melamun saat melayani pembeli. Sementara aku, tanpa suamiku tahu juga menyimpan kegelisahan hati. Tentang foto seorang wanita yang ada di laptop Bang Faiz, yang membuatku terperanjat kaget waktu itu sampai tidak sengaja menyenggol gelas kaca.
"Findri!" Aku tiba-tiba saja teriak. Bang Faiz juga.Kualihkan pandangan melihat Mas Andra. Dia mungkin keheranan karena aku dan Bang Faiz mengenal Findri. Tanpa kuduga sebelumnya, dia langsung berdiri dan menghampiri Niko, lalu ...Plakkk!!!Tamparan keras mendarat di pipi Niko. Tidak peduli ketika banyak orang yang kini memerhatikan kami."Kamu tahu kalau Adel sedang mengandung sekarang, hah? Bisa kamu enak-enakan disini sama wanita lain?"Niko mengangkat kepalanya dan menatap suamiku penuh kebencian. Aku tahu dia pasti marah dan malu karena menjadi tontonan banyak orang.Kupegang tangan suamiku agar dia tidak semakin kalap."Saya nggak percaya, Mas. Itu pasti akal-akalan Adel saja biar saya kembali.""Wajar dia ingin kamu kembali Niko, dia masih sah sebagai istri kamu! Dan kamu, Findri, apa kamu lupa dengan kebersamaan kalian selama ini?"Findri diam saja. Dia malah saling melempar pandangan dengan Bang Faiz. "Bagaimana kalau Adel benar-benar tengah mengandung darah daging kamu
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi mataku masih sulit untuk terpejam. Kejadian tadi di restoran, membuatku sempat tercengang. Ternyata Aina sudah mengenal Findri dan mengetahui tentang perjodohan yang sempat direncanakan oleh Adel, serta saudaraku yang lain.Sementara pernyataan Bang Faiz, tak kalah membuatku terkejut. Dia telah menyembunyikan hubungannya dengan Findri yang sudah terjalin selama lebih dari lima tahun."Mas, sebaiknya besok kita pulang ya?" ujar Aina. Tentu saja permintaannya membuatku bingung. Karena rencananya, kami akan menginap disini selama tiga hari dua malam. Belum genap sehari, malah sudah mau pulang."Lho, kenapa? Apa sikap Mas tadi keterlaluan sampai membuat kamu malu?" Aku jadi merasa bersalah pada Aina. Ini adalah liburan pertamanya, tapi malah membuatnya tidak nyaman berada disini."Nggak, kok Mas, sama sekali tidak. Aku cuma mikirin Adel. Sepertinya, dia benar-benar butuh bantuan kamu."Jadi, Aina tahu kalau Adel minta bantuan?"Kamu baca pe
"Iya, nggak ada di rumah. Malah kata ibunya pergi dari tadi."Kumatikan kompor dan langsung meraih ponsel untuk mengirim pesan pada Aina. Baru kali ini dia keluar rumah tanpa sepengetahuanku. Biasanya, Aina akan mengirim pesan untuk meminta izin terlebih dulu sebelum dia keluar rumah, kemanapun perginya. Meski jarak dekat sekalipun.[Sayang, kamu dimana?] tulisku khawatir.Lama kutunggu balasan darinya, hingga membuatku mulai cemas. Pikiranku sampai kemana-mana. Tidak biasanya Aina begini. Sedekat apapun, Aina pasti akan minta izin dulu setiap keluar rumah.[Keluar Mas, beli diapers Abi di minimarket.] Syukurlah! Akhirnya Aina membalas pesanku dan memberikan alasan yang membuatku tenang. Walaupun masih ada yang mengganjal karena tidak biasanya Aina seperti ini."Ayo, Mas!" seru Adel tidak sabaran."Mas nggak bisa, Del. Mencari orang tanpa tujuan yang jelas. Lagipula, teman kamu itu kan bilangnya udah beberapa hari yang lalu kalau Niko di Jakarta. Mana tahu sekarang mereka sudah samp
"Belanjaan?" Aina tampak berpikir. "Oh, itu tadi ... ketinggalan dimana ya, Mas?" Aina malah balik bertanya dan terlihat gugup saat menjawab. Aku tahu ada yang tidak beres. Selama hampir empat tahun berumah tangga, tidak biasanya dia seperti ini. Hanya saja, sekarang bukan waktu yang tepat untuk mempertanyakan kecurigaanku."Ya sudah, nanti saja. Kita lihat Adel dulu!"Aku lalu menggandeng tangan Aina. Terasa dingin. Mungkinkah dia gugup saat kutanya tadi? Aku jadi semakin curiga, apa yang sebenarnya sedang dia sembunyikan?Sebelum masuk ke dalam ruangan, kami melihat Bu Asti yang masih setia duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya."Ayo Bu, ke dalam!" ajakku.Bu Asti menggeleng pelan."Di sini saja Mas Andra ... Ibu takut Adel merasa tidak nyaman kalau Ibu ikut ke dalam.""Masuk saja Bu, temenin saya," bujuk Aina sembari merengek seperti anak kecil. Jurus andalannya setiap kali meminta sesuatu padaku. Dan Bu Asti, tampaknya percaya padanya. Dia langsung setuju dan mengekor d