"Karena Azka sudah lahir, aku mau minta dukungan kalian untuk mengajukan gugatan perceraian di pengadilan," ungkap Adel hari itu, saat kami semua berkumpul di rumah Bapak yang kini dihuni Mas Gani bersama Siska. Sejak dia kehilangan salah satu kakinya, rumah ini memang menjadi tempat berkumpul kami. Selain karena kondisi Mas Gani, Siska juga sedang mengandung."Pikirkan lagi baik-baik, Del. Kasihan Azka. Bukankah bayi ini adalah bayi yang kalian nantikan selama ini?" kata Bu Asti sambil menimang bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu."Iya, Del. Nggak mudah menjalani hidup sendiri. Lagipula, bukannya Niko sudah berjanji akan menceraikan Findri?" sambungku.Niko memang berjanji akan menceraikan Findri. Setelah Azka lahir, barulah timbul perasaan bersalah yang begitu dalam. Niko menyesal dan ingin kembali pada Adel."Nggak semudah itu untuk aku bisa menerima dia lagi, Mas. Coba lihat Mbak Feli, dia juga melakukan hal yang sama saat tahu Mas Gani selingkuh." Ucapan Adel sangat lanca
Hari ini, aku dan Bang Faiz kembali membuka kios. Sedangkan Dani tidak bisa berjualan hari ini. Kabar bahagia yang kami terima, Zema kini tengah berbadan dua. Ngidam yang cukup parah membuat Dani memutuskan untuk libur berdagang untuk sementara waktu. Ketika sedang sibuk-sibuknya kami menyiapkan dagangan, seorang pelanggan yang pernah memesan banyak waktu itu, kembali datang. "Mas, saya pesan minuman sama paket nasi ayam untuk besok, bisa?" tanya wanita itu. "Berapa porsi, Mbak?" "Seratus lima puluh porsi. Bisa, kan?" "Insya Allah bisa, Mbak ... kalau boleh tahu, untuk acara apa, ya?" tanyaku penasaran. Jujur saja, aku merasa heran. Melihat penampilannya, kalau untuk acara resmi, bisa saja dia memesan makanan di tempat lain yang lebih mewah. Bukan makanan kaki lima pinggir jalan seperti ini. "Maaf, tapi saya nggak bisa bilang, Mas. Oya, toko rotinya nggak buka hari ini, ya?" Wanita itu melirik kios Dani. "Libur hari ini, Mbak. Memang mau pesan juga? Bisa saya sampaikan nanti. K
Setibanya di rumah Adel, aku melihat mobil Niko terparkir di depan pagar. Entah bagaimana caranya dia bisa membawa kendaraan dalam keadaan mabuk.Sementara Niko sendiri, dia duduk bersandar di depan pintu rumahnya saat masih bersama Adel dulu."Niko, ngapain malam-malam di sini?" tanyaku seraya berusaha membangunkannya.Niko bangkit, lalu duduk di bangku teras. Sementara Aina tetap mengekor di belakangku. Dia memang takut setiap kali melihat orang mabuk."Saya ingin bertemu Adel dan Azka, Mas!""Nggak seperti ini, Niko. Sidang perceraian kalian sedang berjalan. Adel bisa saja lapor RT karena merasa terganggu dengan kedatangan kamu dengan keadaan mabuk begini. Tapi dia nggak mau kamu malu, Niko! Pulang dan kembali lagi besok setelah kamu sadar dari pengaruh minuman!" Niko lalu mengusap-usap wajahnya beberapa kali. Saat dia sedang tidak fokus begitu, Aina mengambil kesempatan untuk membuka pintu dengan kunci cadangan yang pernah diberikan Adel."Saya ingin rujuk dengan Adel, Mas ... sa
"Harapan pasti ada. Tapi kami semua tahu seberapa besar kesalahan Mas Gani terhadap Mbak Feli. Jadi, nggak mungkin kami memaksa," jawabku jujur, atas pertanyaan Mbak Feli."Sudah makan siang belum, Mbak?" tanya Aina mengalihkan."Belum." Mbak Feli lalu beralih pada Bang Faiz yang masih saja melamun. "Iz, Mbak ingin nagih janji!"Bang Faiz benar-benar tidak mengindahkan panggilan Mbak Feli. Padahal, dia berteriak cukup keras."Bang!" panggil Aina sedikit lebih keras dari Mbak Feli."Eh, iya, kenapa Ai?" Bang Faiz gelagapan seperti orang bingung."Ditagih janji sama Mbak Feli. Janji traktiran waktu itu!""Sekarang, ya? Saya kan waktu itu janjinya mau traktir sekalian sama Mas Gani ....""Jangan bahas yang lalu, deh!" sungutnya kesal. "Maaf ya, Ndra ....""Santai saja, Mbak. Aku nggak apa-apa."Mau bagaimana lagi? Ini semua memang kesalahan Mas Gani sendiri. Dia yang sudah menyia-nyiakan wanita sebaik Mbak Feli."Iz, pacarmu orang mana?"Duh, Mbak Feli, kenapa harus membahas hal itu?"Sa
Andraina 1Diteruskan[Dik, Mas pinjam uang 200.000. Mas ada keperluan mendadak yang sangat penting.]Pesan yang kukirimkan lima menit yang lalu, kini sudah masuk ke grup keluarga.Batinku mencelos. Kenapa Dani tega berbuat demikian? Padahal, ini kali pertama aku beranikan diri meminjam uang darinya.[Mas Andra itu kebangetan. Masa uang segitu aja dipinjam?] Pesan yang tersemat di bawah pesanku yang diteruskan semakin menambah pilu hati ini.Bukannya membalas pesan dariku, dia malah membuat seisi grup heboh.Meskipun anggotanya keluarga kami, tak lantas membuatku luput menjadi bahan ejekan.[Apa nggak punya tabungan sama sekali? Bukannya dia kerja?] Balasan dari Adel juga sama.[Susah dibilangin, ya, begitu. Sama Mas aja nggak nurut kalau dikasih tahu. Giliran susah larinya ke siapa? Kita-kita juga, kan?] Mas Gani ikut menimpali.Dengan asyiknya mereka berbalas pesan, seolah aku tidak ada disana dan membaca pesan mereka.Di dalam keluarga besar ini, memang hanya aku yang belum berhas
"Apa Mas sudah telepon yang lain?" tanyaku kembali memastikkan."Sudah, tapi nggak ada yang jawab.""Saya nggak berhak, Mas, itu uang Aina. Nanti saya tanya dulu. Maaf, bukannya tabungan Mas banyak? Lagipula, Mbak Feli, kan, sudah mau lahiran, apa Mas nggak ada persiapan?" sindirku halus, seperti yang dia katakan saat aku meminjam untuk biaya persalinan Aina waktu itu."Baru saja Mas bayar ke pemasok kain. Ada pesanan kaos dalam jumlah besar dan mereka belum kasih DP. Lagian, Feli tuh seharusnya lahiran bulan depan. Kalau tahu begini, mana mungkin Mas bayarin kain!" Mas Gani terdengar emosi.Tapi apa katanya tadi, belum kasih DP? Entah Mas Gani atau pemasok kain yang berbohong, apa itu tidak mencurigakan?Ah ... ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan semua itu. "Saya tanya istri saya dulu, ya, Mas.""Jangan lama-lama ya, Feli harus segera ditangani."Dengan berat hati, segera aku beranjak untuk menyampaikan semuanya pada Aina. Jujur saja kalau ingat kejadian beberapa hari yang l
"Ini kebetulan saja, lho, Mas. Kalau aku masih dendam, untuk apa repot-repot datang kesini?" Kuberikan alasan yang tepat agar Mas Gani tidak curiga.Bersamaan dengan itu, Adel datang dan langsung bergabung bersama kami."Coba sama Adel, Mas!" saranku cepat."Apanya?" tanya dia sinis."Uangnya, lah!""Lho, kata Mas tadi, Mbak Aina sudah menyanggupi? Aku nggak bawa dompet!" kilah Adel."ATM-nya Aina ketelen gara-gara Andra, Del! Lagian kamu juga, bisa-bisanya kesini nggak bawa dompet!" jawab Mas Gani kesal.Adel tak menanggapi. Aina lalu datang dan ikut menyimak perdebatan kami."Kamu, tuh, kalau nggak mau bantu, bilang dari awal, Ndra! Jangan bikin Mas berharap begini. Mana Dani dan Bapak juga nggak bisa dihubungi! Kamu masih kesal, kan? Buktinya sampai keluar dari grup!"Kenapa Mas Gani harus mengatakan semua yang kusembunyikan di depan Aina? Dia jadi melirikku dengan tatapan penuh kebingungan."Lho, Mas, kenapa memang?" tanya Aina panik."ATM-nya ketelen, Yang. Maaf, ya!" ujarku ber
Dengan terpaksa, kuserahkan ponsel itu pada Aina agar dia tidak berpikir macam-macam.Perlahan raut wajahnya mulai berubah ketika dia mulai membaca satu persatu pesan-pesan yang ada di grup. Meski aku sudah keluar dari sana, aku lupa menghapus pesan yang telah dipulihkan."Kenapa Mas nggak pernah cerita selama ini?" tanyanya dengan raut wajah menyiratkan kekecewaan."Untuk apa? Mas malu sama kamu. Terlebih sama Ibu dan Bang Faiz."Bang Faiz sendiri adalah satu-satunya kakak kandung Aina. Dia yang masih lajang itu, memilih menetap di Bandung dan bekerja disana. Satu bulan sekali, dia datang untuk menjenguk Ibu yang tinggal bersama kami. Entah sudah berapa banyak kami meminta bantuan darinya setiap kali mengalami kesulitan."Kenapa harus malu?" Aina kelihatan penasaran."Keluarga Mas sarjana semua, tetapi tidak mengerti adab. Setidaknya, kepada orang yang lebih tua.""Bapak gimana?"Haruskah kuceritakan juga tentang Bapak yang selalu pilih kasih itu?"Bapak selalu saja berlindung di baw