"Lho, kan kamu sendiri yang banyakin aturan? Di rumah Mas nggak mau karena nggak ada AC. Di rumah Mas Gani nggak mau juga. Kenapa nggak nyusul Dani ke kampungnya Zema sekalian?" Aku semakin emosi menghadapi anak perempuan satu-satunya di keluarga kami ini. "Lagipula, Bu Asti ini bukan orang lain. Semenjak menikah dengan Bapak, dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini!"Adel kembali bergeming mendengar ocehanku. Mungkin dia malu menerima tawaran Bu Asti. Di satu sisi, aku gemas melihat sikap Adel, tapi disisi lain, ingatanku kembali ke masa dia kecil dulu, ketika Ibu meninggalkan kami berempat. Saat itu Adel dan Dani masih sangat kecil. Mereka berdua telah kehilangan sosok seorang ibu sejak dini. Mungkin itu juga yang sedikit banyak mempengaruhi perangai mereka."Jadi bagaimana, Del?" Bu Asti kembali memastikan."Memang Ibu nggak sibuk?" sahut Adel. Suaranya kedengaran lebih lembut dari biasanya. Membuatku dan Aina saling melempar pandangan saking keheranan."Paling sibuk hitung ua
"Masa sih, Mas? Saya sudah transfer beberapa hari yang lalu. Saya pikir Mas Gani langsung mengabari sendiri ke Mas Andra. Kalau saya yang bilang, nanti kan takut dia tersinggung," jelas Dani. Mas Gani memang tidak mengatakan apapun. Bahkan sampai saat ini, menjenguk Adel yang baru kena musibah saja belum. Apakah dia sibuk atau memang kelupaan?Keesokan harinya, aku memutuskan menelepon Mas Gani untuk menanyakan uang yang sudah dikembalikan oleh Dani. Bukannya aku tidak memercayainya, tapi kami memang sudah sepakat untuk menyedekahkan separuh dari uang hasil penjualan mobil itu atas nama Bapak dan Ibu."Mas hanya pinjam, Ndra. Mas bingung karena Mbak Feli marah-marah saat tahu uang tabungannya habis dan jadi barang yang tidak berguna," alasan Mas Gani saat kutanyakan kebenarannya. Ternyata benar kalau Dani sudah membayar hutangnya."Tapi Mas, bukankah kita sudah sepakat sebelumnya untuk apa saja uang itu akan digunakan?" protesku padanya. Kalau memang dia mau pakai, setidaknya dahuluk
"Kenapa juga Mbak Mila itu nggak godain Bang Faiz aja, ya? Jelas-jelas masih sendiri!""Mana dia tahu Yang, aku sama Bang Faiz udah nikah atau belum?""Besok-besok aku tempelin kertas di depan kaca itu biar semuanya tahu, siapa yang sebenarnya lagi cari pasangan!"Kami bertiga tergelak dengan ucapan Aina, lalu menyantap makan siang bersama. Sungguh, aku benar-benar menikmati suasana kekeluargaan penuh canda seperti ini. Tidak seperti keluargaku yang bersitegang terus."Mas, pulang dagang, kita jadi ke rumah Adel, kan? Hari ini jadwal dia kontrol jahitan," ujar Aina mengingatkan, setelah kami selesai makan."Eh, iya. Untung kamu ngingetin. Kalau nggak, mungkin Mas lupa, terus goreng ayam baru lagi."Sedari pagi memang banyak pembeli, apalagi mendekati jam makan siang. Ayam yang aku goreng pagi tadi, hanya tersisa beberapa potong lagi.Bang Faiz pun sama. Sejak buka jam sembilan pagi, belum kudengar blendernya berhenti bekerja. Aku bersyukur, Allah memudahkan usaha kami."Tadi juga Ibu
"Mbak Feli mau pinjam uang?" tanyaku tak percaya. "Berapa?""Lima juta. Katanya, untuk bayar arisan bulanan. Mas Gani baru bayar gaji karyawan, ada uang juga hanya untuk kebutuhan mereka sehari-hari saja," jelas Adel panjang lebar.Aku dan Dani saling berpandangan. Bukankah Mas Gani bilang, uang yang telah dikembalikan Dani dipegang Mbak Feli? Lalu kenapa sekarang dia malah mau meminjam uang Adel?Belum kelar kami terkejut dengan pernyataannya, Adel kembali histeris dan membuat kami semua kaget. Bahkan, dia sampai melempar ponselnya, hampir mengenai Zema.Aina dengan sigap mengambil benda pipih yang baru saja dibelinya itu. Kami semua kaget, kenapa Adel bisa sampai sebegitunya?"Kenapa, Del?" tanya kami serempak.Kulihat Aina menutup mulut dengan satu tangannya. Dia ikut histeris dan memberikan ponsel Adel padaku.Seorang temannya mengirimkan foto akad nikah Findri dan Niko. Dan yang tidak kalah membuatku tercengang, mertua Adel turut hadir dalam acara itu.Aina langsung memeluk Adel
"Astaghfirullah, Mas!" Aku dan Dani terperanjat kaget saat mendengar pengakuan Mas Gani yang sangat mengejutkan. Ternyata uang itu digunakan Mas Gani untuk menikahi seorang wanita. Tidak hanya itu, Mas Gani bahkan membeli rumah baru untuk mereka.Pengakuannya, sungguh membuat aku dan Dani tak habis pikir. Bisa-bisanya dia mengkhianati Mbak Feli yang sudah percaya menyerahkan segalanya untuk Mas Gani."Mas tahu tidak? Akibat ulah Mas, Adel yang harus menanggung karmanya. Niko juga menikahi Findri diam-diam. Mas coba pikir, bagaimana perasaan Mbak Feli kalau dia tahu semua ini?" kataku mencoba menyadarkan.Mas Gani kelihatan terkejut mendengar Niko dan Findri sudah menikah. Selama ini, dia terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri sampai melupakan masalah yang menimpa sang adik."Mas hanya ingin punya anak seperti kalian. Apa itu salah? Feli itu sulit untuk hamil. Terlebih setelah operasi, dokter menyarankan untuk menunda kehamilan selanjutnya," jelasnya tanpa rasa bersalah sedikitpun. M
Assalamualaikum ...!"Suasana ceria tiba-tiba hening saat suara Mbak Feli menyapa kami yang tengah berkumpul bersama di rumah Adel. Kami semua saling melempar tatapan, hingga membuatnya kebingungan."Waalaikumusalam ...," jawab Aina seorang diri. Sesaat kemudian, kami semua lalu tersadar dari lamunan dan mengikuti Aina menjawab salam Mbak Feli."Kalian kenapa, sih? Apa Mbak ganggu, ya?" Mbak Feli kelihatan curiga. Mungkin dia merasa tidak enak karena kami tiba-tiba diam ketika dia datang. Aku hanya bisa berharap, agar salah satu dari kami ada yang mencairkan suasana kaku seperti ini."Mas Gani kemana Mbak, kok sendiri?" tanya Adel basa-basi, memecah kekakuan di antara kami."Dia nganter pesanan ke luar kota, Del!"Jawaban Mbak Feli, lagi-lagi membuat kami saling bertukar pandang. Aku yakin, pikiran kami semua di sini sama. Mas Gani sudah pasti berbohong. Dia pasti sedang bersama perempuan yang baru dinikahinya.Hari ini tepat satu minggu setelah kami semua mengetahui tentang pernikaha
Suasana berubah hening sejenak. Ingin kucubit bibir Adel yang lemes itu. Membayangkan bagaimana perasaan Mbak Feli harus mengingat kembali bayinya yang telah meninggal dunia."Aku juga maunya cepet hamil lagi, Del ... tapi kata dokter paling nggak nunggu setahun. Kan, Mbak sempat pendarahan waktu itu."Suasana kembali berubah. Aina menitipkan Abi padaku, lalu pamit ke belakang untuk membuat minuman untuk Mbak Feli. Aku tahu, dia paling sensitif mendengar hal seperti ini. Istriku lebih memilih melipir untuk menghindari orang lain, daripada melihat kakak iparnya menangis. Ya, aku yakin dia sedang menangis di dapur sekarang.***"Omsetnya besar disini ya, Bang?" tanya Dani pada Bang Faiz saat dia sedang meninjau kios tempat kami berjualan. Rencananya, Dani akan memulai usahanya beberapa hari lagi."Lumayan, Dan. Kalau lagi rame, saya sampai nggak sempat makan!" jawab Bang Faiz penuh semangat.Aku senang melihat Bang Faiz mulai bersuara lagi. Beberapa hari sejak mengetahui Findri resmi me
Saat aku masih kesal dengannya, Mas Gani yang datang seorang diri, terus saja mendesak agar aku menyerahkan surat rumah Bapak untuk digadaikan."Mas hanya pinjam, Ndra! Kalau tidak boleh dijual kan, bisa digadai dulu!" kata Mas Gani terus memaksakan kehendaknya."Siapa yang akan menebusnya, Mas? Uang hasil penjualan mobil Bapak yang sudah dikembalikan Dani saja, masih sama Mas Gani semua. Seharusnya Mas nggak dapat bagian kontrakan, tapi Mas tetap memaksa supaya Mbak Feli nggak curiga. Kami terima semua alasan Mas Gani, supaya Mbak Feli tetap percaya. Tapi untuk rumah itu, saya nggak bisa, Mas!"Mas Gani sekarang berbicara denganku sambil berdiri."Ini darurat, Ndra! Mas butuh uang untuk tambahan modal. Mas sudah nggak punya tabungan!" Dia terus saja memaksa. Tidak peduli lagi dengan tetangga sekitar yang kemungkinan mendengar suaranya yang cukup keras."Tidak bisa, Mas. Saya tidak bisa memutuskan sepihak. Harus berunding dulu dengan yang lainnya."Mas Gani mengembuskan napas kasar, l