Tak terasa waktu menanjak menuju sore. Aslena mulai merajuk meminta sesuatu yang membuat Fariha kebingungan. “Harus izin Papa dulu kalau mau makan di luar. Kita pesen online aja pizzanya.” Fahira mencari kata agar Aslena menghentikan keinginannya jalan-jalan ke mall untuk makan pizza. Ditawarkan beberapa alternatif, tetapi putri kecil itu tetap kukuh dengan keinginannya. “Papa pasti ngizinin. Aku udah lama pengen makan pizza di luar, tapi Papa selalu gak bisa nemenin. Pulangnya malem aja.”Kembali, gadis kecil itu muram. Luluh juga hati Fahira melihat kemuraman di wajah putih itu.“Yaudah kita telpon Papa dulu, ya?” bujuk Fahira. “Iya, kah? Asiiik!” seru Aslena. Refleks Aslena merangkul Fahira, menciumi kedua pipinya. Gadis itu tersenyum, dibalas ciuman itu dengan gemas. Hari ini dia serasa menjadi seorang ibu sesungguhnya.Fahira menghirup udara dalam-dalam sebelum menelpon papa Aslena. Satu tangan mengelus dada untuk menghilangkan detak-detak yang entah apa namanya. Setelah pan
Reynan memanfaatkan momen ini untuk berlama-lama bersama nona cantik. Meski risih, Fahira tak bisa juga mengusir pria itu dari sisinya. Bahkan sampai ke market pun terus diikuti. Gadis itu makin tak enak ketika seluruh belanjaannya dibayarkan dengan alasan sebagai tanda terima kasih.Lepas belanja, sebelum Fahira mengucapkan kata pamit, Aslena mendahului bicara.“Pah, aku mau maen itu!”Aslena menarik tangan Reynan ke tempat permainan anak. Mau tidak mau Fahira mengikutinya.“Sejak tantenya menikah, Aslena sering kesepian. Saya terlalu sibuk di kantor, “ ucap Reynan memecahkan kebisuan. Fahira menoleh pada pria yang sedang menatap lurus ke depan. Kali ini, binar itu meredup.Selama menunggu Aslena bermain, Reynan dan Fahira duduk di tempat yang disediakan untuk pengunjung. Mereka berbagi bangku panjang yang teebuat dari besi. Sesekali melambaikan tangan pada putri kecil itu.“Dulu Aslena sering bertanya kapan mama pulang? Pertanyaan itu lebih menyakitkan dari apapun karena saya tak pe
“Fa, berjanjilah, apapun yang terjadi kau akan tetap di sisiku. Aku gak bisa bayangin hidup tanpa kamu.”Bayu kembali masuk ke lorong bening manik hitam itu, menyelam hingga ke dasarnya. Mencoba menanamkan ulang keyakinan pada gadis yang entah mengapa seakan gamang.“Apa Mas ragu padaku?”Pertanyaan itu meluncur sebagai pembelaan diri atas tuduhan yang tepat menghantam ke ulu hatinya. Ia pun langsung meradang.“Maksudku bukan begitu. Maaf kalau membuatmu tersinggung.”Bayu tergagap di hadapan pertanyaan gadis pujaannya. Tak menyangka Fahira jadi sensitif begini. Ia tak mengerti di mana letak kesalahan pernyataan tersebut.“Kalau Mas meragukan aku, baiknya tak usah diteruskan.”Suara Fa naik satu level dari biasa. Kelelahan raga juga rasa didakwa mencuatkan sisi emosi jiwa.“Fa, jangan bicara begitu. Aku benar-benar minta maaf. I love you soul and body.”Fahira menundukkan kepala, jari meremas kuat gamis biru dongkernya. Perkataan bayu telak menikam hati yang memang sedang dilanda kege
Aslena menghadapkan badan pada Papa, mengerjapkan mata yang membuat Reynan makin gemas saja. "Hahaha! Bintangnya lucu, kayak-"Pria itu menahan bibir agar tak menyebut nama seseorang yang dilamunkan sedari tadi. Ia tak ingin putrinya bingung akan perasaan orang dewasa. "Lucu kayak putri Papa, muach!"Pipi putih itu sekali lagi mendapat kecupan. Mata Aslena tiba-tiba membesar, ia teringat sesuatu tentang ibu gurunya. "Bu Guru Fa juga lucu. Rambutnya dikucir ke atas, hihihi!"Jantung itu tiba-tiba menghentak, lalu darah ikut berdesir. Sekilas ditepis bayangan liar yang lancang bertandang. "Sssst! Jangan kasih tahu rambut dan badan Bu Guru ke Papa. Itu aurat."Reynan menyimpan telunjuk ke bibir gadis mungil itu. Aslena memiringkan wajah, menggoyangkannya sebagai tanda tak mengerti."Bu Guru bukan mahrom. Jadi Papa gak boleh lihat, gak boleh tahu rambut dan badannya."Meski tak paham, gadis cilik itu manggut-manggut. Hanya saja ia belum puas, lalu bertanya lagi. "Kok, Papa boleh liat
Oma menghentikan aktivitas mengaduk teh manis yang tersaji di atas meja kayu di depannya. Wanita berambut ikal itu memang sangat menginginkan putra sulungnya menikah. "Ibu Fahira, guru aku," tambahnya dengan mata berbinar. Oma yang duduk di bangku kayu jati ukir mendekatkan wajah ke kepala cucunya. Ditopangkan tangan pada dagu, bola mata digerak-gerakan bersiap mendengar penjelasan jujur dari bibir mungil itu. Selanjutnya Aslena menceritakan semua hal yang dia ketahui tentang gurunya. Sesekali oma melirik putranya yang belum juga menimpali."Ibu Fa pintar masak. Ayam gorengnya enak. Nanti Papa mau dibuatkan ayam goreng sama Bu Fa!" seru Aslena dengan kepala ditolehkan pada pria yang sedang berpura-pura melihat ke arah lain. "Wah, Oma mau juga, dong!" timpal wanita yang tubuhnya lebih berisi dari dua orang di sampingnya. Saking penasaran, wanita itu menginterogasi Reynan saat Aslena asyik bermain ayunan di samping kanan gajebo. "Belum fix, Mah. Insya Allah lagi usaha."Reynan men
Pria beralis tebal itu mencoba mencairkan suasana dengan mengajak Fahira berbincang seputar dunia anak dan pendidikan. Cara itu dalam waktu singkat mampu membuat sang guru menyambut antusias tiap pertanyaan. Aktivitas belanja menjadi ringan di sisi Fahira sebab diiringi obrolan ringan bersama pria yang tak seharusnya membersamai. Satu jam sudah keduanya melewati rak demi rak berbagai jenis barang. Kadang Reynan membantu mengambil barang yang tak terjangkau tangan Fahira. Sesekali bercanda dengan menarik benda yang sudah disodorkan, lalu keduanya tertawa. “Haus, ya. Minum dulu di sana, ayo!”“Ehmm!” Fahira melirik benda melingkar di pergelangan tangannya. “Hanya sebentar, ayo!”Mau tak mau Fahira mengikuti langkah pria tegap itu. Tak sampai lima menit keduanya sudah duduk di salah satu foodcourt di mall tersebut. Duduk berhadapan di depan meja kotak coklat. Di tengahnya terdapat tissu dan tusuk gigi. Perbincangan kembali mengalir setelah sama-sama nyaman. “Saya bahagia sekali hari
Untaian itu bagai simfoni mendayu-dayu, meliuk-liukan hati yang mencoba bertahan pada kesetiaan. Entah mengapa Fahira tak ingin itu berakhir cepat. Ada yang meronta, mencoba meruntuhkan logika. “Saya lancang, ya? Maaf ... Rasa rindu saya pada Ibu ternyata sangat menyiksa.”Fahira merasakan getaran di ujung telpon makin terasa. Sesekali ada helaan berat mengiringinya. Dia pun mengalami hal yang tak jauh beda. Raga dan jiwanya bergetar, menahan sesuatu yang makin lancang menerjang. “Pak, saya ....”Ucapan itu menggantung di udara. Mengatakan yang sebenarnya berarti mengakhiri sesuatu yang baru saja memercikan bahagia di lorong jiwa.“Maaf sekali lagi jika saya lancang menyampaikan apa yang hadir di hati saat ini. Entah mengapa rasa saya pada Ibu begitu luar biasa.”Irama jantung Fahira menghentak-hentak, mengguncangkan rongga dada. Posisinya kini berganti, terduduk di tengah ranjang. “Saya berharap setelah ini kita bisa lebih dekat lagi.”Lama keduanya terjeda dalam diam. Semilir ang
Tak dipungkiri, pesona guru muda itu mulai memantik satu rasa yang membuat malam-malamnya ditimpa gelisah. Kala terpejam, bayangan itu kerap datang, mengetuk apa yang selama ini tertutup rapi. Rasa ini mulai terdefinisi saat kebersamaan kemarin sore. Ingin hati mengulangi keindahan yang menorehkan asa di palung hati. Setelah berhasil meredakan gejolak yang sempat meriak, Reynan mengalihkan pembicaraan pada janji Aslena. "Nah, besok kita nginep di rumah Oma, okey."Aslena tak jadi menggelengkan kepala melihat anggukan papa gantengnya. "Mmm, Okey!"Sesuai kesepakatan sebelumnya, Aslena harus mau menginap di rumah Oma. Meski sedikit enggan, gadis cilik itu menerpati janji juga. Reynan paham kenapa putrinya tak mau ke rumah oma. Hal itu disebabkan selalu saja neneknya membahas masalah mama baru. Bahkan kerap mengundang beberapa wanita kenalannya saat mereka ada di sana. Dari deretan perempuan yang sengaja dipertemukan tak ada satu pun masuk di hati Aslena dan dirinya. Esok paginya,