Share

Dasar Pencuri Kesempatan!

      Devan berusaha memejamkan matanya dengan posisi masih dipeluk Kanaya. Dadanya semakin bergemuruh, ia tidak berani menatap wajah Kanaya. Kini ia menatap langit-langit kamar dengan sedikit pencahayaan dari ponselnya.

    Devan menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, berusaha menetralkan perasaan aneh dalam tubuhnya. Ia laki-laki normal, tentu ada perasaan lain saat bersentuhan dengan seorang gadis. Namun sebisa mungkin, ia tepis semua itu karena ia ingin menjaga gadis yang telah dinikahinya tersebut.

      Meski saat ini, halal baginya untuk menyentuh gadis di sampingnya, tapi ia tidak ingin membuat Kanaya membencinya. Jika pun ia harus melakukannya, ia hanya ingin Kanaya sendiri yang memintanya. 

       ***

     Kokok ayam membangunkan insan yang terlelap dari tidurnya. Masih terdengar sisa tetesan air hujan semalam. 

     Perlahan-lahan, Kanaya membuka matanya yang masih lengket. Ia menguap dan menggeliat. Namun tiba-tiba ia merasakan hembusan napas seseorang. Ia membelalakkan mata saat melihat laki-laki yang ada di rumahnya, kini tidur di sebelahnya. 

    "Aaaaaaa!" 

    Ia bangkit, meraba tubuhnya dan meraba bagian sensitifnya. Ia takut jika laki-laki itu sudah berbuat macam-macam padanya. Namun ia tidak merasakan hal aneh pada tubuhnya. 

    Devan mengerjakan matanya saat mendengar teriakan Kanaya. Perlahan ia bangun dan melenturkan otot-otot tangannya yang semalaman dibuat bantal oleh Kanaya yang tertidur pulas dalam dekapannya.

    "Dasar pencuri kesempatan! Ngapain kamu tidur di kamarku!" teriak Kanaya.

    Devan kaget dengan ucapan Kanaya. Ia heran kenapa gadis itu marah-marah, padahal semalam ia yang memeluknya dengan erat. "Bukankah kamu sendiri yang melarangku pergi? Bahkan kamu memelukku dengan sangat erat," kilah Devan.

    "Itu tidak mungkin! Mana mungkin, aku memelukmu?" Kanaya mencoba mengingat-ingat posisi ia ketika bangun tadi. Ia ingat jika tadi ia seperti memeluk seseorang. "Oh tidak, masa iya aku memeluk dia?" gumamnya dalam hati.

    "Ya sudahlah jika tidak ingat. Yang pasti aku hanya menemanimu saat kamu ketakutan karena ada petir semalam. Aku tidak berbuat macam-macam padamu. Kalau tidak percaya, kamu bisa memeriksa tubuhmu," ucap Devan. 

    Ia mengambil ponselnya yang telah mati kehabisan baterai karena senternya hidup semalaman. Saat ini, listrik telah kembali menyala. Entah sejak kapan lampu di kamar ini sudah hidup kembali. 

     Devan keluar dari kamar Kanaya menuju ke kamar mandi. Suasana masih sangat petang. Terdengar suara adzan berkumandang. Devan bergegas mengambil air wudhu dan hendak melaksanakan kewajiban pada sang pencipta. 

    Di rumah Kanaya, ada tempat khusus untuk sholat. Devan sudah berada di sana untuk segera sholat. Meski baru dua malam di rumah itu, tapi ia seperti sudah terbiasa dengan suasananya.

    Kanaya berada di tempat yang sama dengan Devan karena hendak sholat subuh juga. "Mau berjamaah, apa mau sholat sendiri?" 

    "Silahkan pimpin sholat," ucap Kanaya mempersilahkan. 

    Mereka pun sholat berjamaah dengan khusyuk. Selepas salam, Devan mengulurkan tangannya pada Kanaya. Gadis itu pun menjabat tangan Devan.

     Ia teringat saat dulu ia sering sholat berjamaah bersama sang ayah. Tak terasa bulir bening jatuh dari pelupuk matanya. Ia merasa ada yang menggantikan posisi ayahnya di rumah itu. Ia menyeka air mata yang berjatuhan dengan mukena yang ia pakai. 

     "Jangan menangis, do'akan ayahmu supaya tenang disana," ujar Devan. "Paman sudah bercerita banyak padaku soal kamu dan ayahmu. Semoga kamu bisa mewujudkan keinginan ayahmu," ucapnya lagi. 

    Kanaya mengangkat wajahnya. Ia terkejut mendengar penuturan laki-laki di hadapannya, "Apa kamu bertemu pamanku?" 

    "Iya, tadi siang aku ke rumahnya. Beliau sangat baik, aku jadi merasa menjadi anaknya." Devan tersenyum seraya membuka peci almarhum Pak Ali yang tadi dipakainya. 

     Kanaya tidak menyangka Devan bisa tahu rumah pamannya dan berkunjung ke sana sendiri. 

    "Iya, Paman Karman memang baik, beliau adalah satu-satunya kerabat Ayah. Oh, ya, aku minta maaf tadi sudah berucap kasar padamu. Dan juga, makasih buat semuanya, dapur penuh dengan makanan. Tapi itu terlalu berlebihan, sebaiknya kamu simpan uangmu untuk kebutuhan yang lain." Kanaya membuka mukena yang dikenakan.

   "Sama-sama. Tidak apa-apa, itu kan untuk keperluan sehari-hari." 

    Kanaya memasak untuk sarapan pagi. Hari ini ia tidak ke kampus. Ia masih ada jahitan milik tetangganya yang belum selesai. 

    "Masakanmu enak juga, padahal hanya masakan sederhana." Devan dengan lahap memakan tumis kangkung dan ayam goreng buatan Kanaya.

    "Aku memang sudah terbiasa memasak dan melakukan semua pekerjaan rumah dari kecil. Ayah sudah mengajariku untuk hidup mandiri." 

    "Maaf jika aku lancang, apa ibumu juga sudah meninggal?" tanya Devan yang penasaran. Sejak kemarin, sepertinya ia tidak pernah mendengar cerita tentang ibu Kanaya. Ia hanya mendengar tentang almarhum ayahnya. Begitu pun dengan Pak Karman, paman Kanaya itu juga tidak bercerita tentang ibu Kanaya. 

     Tadi siang saat ia menemui pak Karman, laki-laki paruh baya itu menceritakan tentang Kanaya yang hidup bersama Pak Ali Hasan, ayahnya. Namun sang ayah meninggal tiga bulan yang lalu akibat sakit ginjal. Ia juga menceritakan tentang keinginan sang ayah untuk menjadikan Kanaya desainer hebat. Pak Karman tidak bercerita tentang ibu kandung Kanaya.

    Kanaya mendongak, "Maaf, aku tidak bisa bercerita soal itu," ucap Kanaya yang terlihat sendu.

    "Ya sudah, ayo lanjut makan lagi." 

     ***

     "Ini bagus sekali, Aya. Aku suka sekali dengan hasil jahitannya, kamu itu memang pandai seperti ayahmu," ucap seorang yang sedang mencoba baju yang selesai dijahit Kanaya. Ia adalah pelanggan yang selalu menjahit di tempat Kanaya sejak Pak Ali masih hidup.

    "Gimana, Mbak? Udah pas?"

  

    "Iya Aya, ini pas di badan dan nyaman juga dipakainya." Sembari membuka kembali baju yang baru dicoba, tetangga Kanaya yang seorang janda itu terpana melihat Devan yang mengeluarkan motornya. Matanya tidak berkedip menatap wajah Devan yang memang berparas tampan dan bertubuh kekar. Bahkan saat ini terlihat begitu mempesona dengan menggunakan kaos putih dan sarung milik ayah Kanaya. 

     Memang Devan hanya memiliki satu setel baju di sini. Selebihnya ia menggunakan baju milik almarhum pak Ali. Entah kenapa laki-laki itu tidak mengambil baju miliknya dan lebih nyaman menggunakan baju milik almarhum. 

     "Ya ampun, tampan sekali suami kamu ya Ay, pantas saja kamu sampe rela dinikahkan paksa. Kalau aku jadi kamu pun pasti rela, bahkan jadi yang kedua pun aku mau banget," ucap Tini dengan mata berbinar-binar. 

    Kanaya hanya tersenyum menanggapi tetangganya itu. Entah kenapa ada perasaan kesal saat Tini memuji ketampanan Devan di depannya. Memang tidak dipungkiri olehnya, lelaki itu sangat mempesona. Namun ia tepiskan semua itu. 

   "Ini kembaliannya, Mbak Tini." Kanaya menyerahkan uang kembalian beserta plastik berisi baju yang tadi dicoba. 

    "Makasih ya, Aya, besok-besok aku bakalan rajin ke sini agar bisa menatap suami tampanmu," ujarnya yang tersenyum genit. Kanaya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah tetangganya itu. 

    "Waah, rajin sekali sih, Mas, pagi-pagi udah mandiin motor. Aku mau juga dong, dimandiin," ujar Tini yang dengan suara menggoda.

    Devan menoleh ke arah suara yang menegur. Ia hanya tersenyum kikuk pada tetangga Kanaya yang terkesan genit itu sambil mengarahkan selang air ke motor yang sedang dicucinya. Tini menatap Devan dengan tatapan kagum, tentu Devan merasa risih ditatap seperti itu.

     Kanaya berada di depan pintu dan melihat kelakuan Tini yang menggoda Devan. Ia tidak menghiraukan meski ada perasaan aneh dan bergegas masuk ke dalam rumah. 

     Kanaya mengambil beberapa ikan segar yang berada di kulkasnya. Ia sedikit menghentak-hentakkan pisaunya saat mengiris beberapa bawang putih. Entah mengapa, perasaannya sedikit tidak enak saat mengingat Devan yang tersenyum ramah pada Tini.

      "Aww!" Karena ia tidak fokus, pisau tajam yang ia pegang kini mengenai jari tangannya dan mengeluarkan darah, "Aduh, sakit banget!" 

      "Astaga, tanganmu berdarah!" Dengan sigap, Devan memasukkan jari Kanaya yang berdarah ke dalam mulut dan menghisap darahnya. 

    Kanaya memperhatikan wajah Devan dengan seksama. Ia merasakan debaran dalam dadanya. Laki-laki itu terlihat begitu tampan jika dilihat dari jarak dekat. Seutas senyum muncul dari balik bibir Kanaya. Tidak banyak, hanya sedikit.   

      Begitu menyadari jika dirinya tiba-tiba mengagumi Devan, Kanaya buru-buru menarik lagi senyumnya saat teringat senyum ramah Devan pada Tini. Ia menarik tangannya dengan kasar, "Lepas ah! Kayak vampir aja sih, minum darah! Bisa-bisa darahku habis kamu minum!" 

    

    

    

   

    

     

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status