Share

Godaan

    Suasana malam yang begitu sunyi dengan ditemani suara jangkrik. Kanaya membuka jendela kamarnya, menatap ke arah luar. Hatinya bingung dengan keadaan yang terjadi pada dirinya. Tinggal seatap dengan laki-laki yang berstatus suaminya, tetapi ia tidak tahu siapa sebenarnya laki-laki itu. "Apa yang harus aku lakukan?" Ia bersandar di samping jendela.

    Puas merenung, Kanaya pergi ke kamar mandi. Saat Kanaya melewati kamar sang ayah yang saat ini ditempati Devan, ia mendengar suara laki-laki itu yang sepertinya sedang berbicara. 

    "Sudahlah, kamu urus saja semua urusan yang di sana, aku serahkan tugas itu padamu. Aku akan mengabarimu nanti saat ada waktu." Samar-samar, terdengar suara Devan. Kanaya mendekatkan telinganya di daun pintu. Namun tiba-tiba pintu dibuka dari dalam, ia pun pura-pura membersihkan gorden.

   "Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Kanaya yang merasa Devan menatapnya penuh selidik.

    "Aku hanya heran saja,  malam-malam begini masih bersih-bersih, rajin sekali!" sahut Devan.

    "Suka-sukalah, memang kenapa?" Kanaya curiga pada Devan yang menelepon seseorang malam-malam. Ia khawatir, Devan seorang yang bermasalah dan menghindar dari sebuah kasus. "Aku hanya mau bilang padamu, jangan macam-macam di rumahku. Aku tidak tahu kamu itu siapa sebenarnya."

   

     "Kamu kan tahu, aku cuma tukang ojek. Memangnya siapa?" 

     "Aku mencium ada aroma-aroma kebohongan." Kanaya mengelilingi tubuh Devan, "Mencurigakan!" 

     Devan tersenyum mendengar penuturan Kanaya, "Memang apa yang kamu curigai? Kalau kamu curiga padaku, kamu bisa ikut denganku ke pangkalan ojek besok pagi." 

     "Ogah! Ingat ya, kamu boleh tinggal di sini tapi jangan berbuat macam-macam! Dan juga, jangan membocorkan pernikahan ini pada teman-temanku. Awas saja kalau berani!"

     "Termasuk pada pacarmu, 'kan?" Kanaya membulatkan matanya saat Devan menyebut pacar. "Tidak usah kaget juga, tadi ada tetanggamu yang mengadu padaku, kamu pulang diantar seorang laki-laki. Apa itu pacarmu?"

    Kanaya sudah bisa menebak siapa tetangga yang dimaksud Devan. Itu pasti Bu Sumi, karena tadi saat di pertigaan, ia bertemu dengan Bu Sumi yang juga mengatainya. Ia tidak heran dengan tingkah tetangganya yang satu itu, karena memang terkenal tukang ngadu. Istilah jaman sekarang yaitu, 'Cepu'.

    "Anggap saja begitu!"

     Kanaya sudah membuat kesepakatan dengan Devan bahwa Devan boleh tinggal bersamanya namun mereka harus tetap menyembunyikan pernikahan dan tidak boleh mengikutinyaa ke kampus. Ia tidak ingin teman-temannya tahu tentang pernikahan grebekan itu.

     Namun ia masih was-was karena Cintia juga sudah mengetahui semuanya. Ia khawatir jika berita itu tersebar, maka akan membuat imagenya buruk. Apa lagi kalau sampai para dosen dan dekan yang mengetahui hal itu. 

    Kanaya meletakkan ponselnya dan menaiki ranjang. Saat hendak memejamkan mata, tiba-tiba lampu padam. Kanaya membuka mata tapi semuanya gelap. Tangannya meraba-raba, ingin mengambil kembali ponselnya. Namun ponsel malah tersenggol dan jatuh entah ke mana. 

    "Aduuh, malah jatuh lagi. Ke mana tadi?" Ia tetap meraba-raba tapi tidak ketemu. Ia kemudian berdiri dan meraba dinding kamarnya. Sampailah ia di pintu kamar dan memegang handel pintu itu. Membukanya dan kembali meraba dinding menuju ke dapur karena ingin mencari lilin. 

    Saat sampai di dapur berkat meraba lewat dinding, Kanaya berjalan menuju lemari dapur tempat ia biasa menaruh lilin. Namun saat sampai di lemari itu, ia menabrak tubuh seseorang. Pandangan gelap membuatnya berpikir bahwa itu adalah hantu. 

    "Aaaaaaaaa," Kanaya berteriak karena takut. Tangannya dipegang oleh makhluk yang tidak nampak tersebut, dan itu membuatnya semakin histeris. 

     "Pergi kamu hantu, jangan ganggu aku! Pergiii!" Teriaknya saat tubuhnya ditangkap sosok yang dianggap hantu.

    "Hei, ini aku!" Devan menyalakan ponselnya tepat di wajah Kanaya.

     "Kamu!" Kanaya melepaskan tubuhnya dari dekapan Devan. Ia selalu berpikir bahwa laki-laki itu selalu mencari kesempatan. "Bisa-bisanya memanfaatkan kesempatan!" gumam Kanaya.

    "Aku masih mendengarnya, bisakah kamu tidak mencurigaiku? Aku hanya mencari lilin tapi tidak ketemu," kata Devan pelan.

     "Sini ponselmu!" Kanaya merebut ponsel Devan untuk meneranginya agar menemukan lilin. Setelah ketemu, ia mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya, "Apa kamu punya korek?" 

   "Tidak, aku bukan perokok," jawab Devan dengan santainya. Kanaya mencari korek tapi tidak ketemu. Ia menyalakan kompor ternyata gasnya sudah habis. Ia lupa tidak mengisinya. 

    "Sepertinya malam ini harus gelap-gelapan," ucap Kanaya. 

     Duaarr! 

     Duaarr!

     Jedder!

   Terdengar suara petir menggelegar beriringan dengan hujan yang turun begitu derasnya. Kanaya menutup kedua telinganya karena takut petir. Sejak kecil, ia selalu takut saat ada petir. Dan itu terjadi sampai ia besar seperti sekarang ini.

    Dulu ia sering tidur di kamar ayahnya saat ada petir seperti ini. Sejak ayahnya meninggal, Alin sepupunyalah yang terkadang menginap di sini saat cuaca sedang seperti malam ini. 

     Terkadang Kanaya juga yang menginap di rumah pamannya. Paman dan bibinya tahu jika keponakannya itu sering ketakutan kala ada petir dan geluduk. Namun mereka tidak lagi mengkhawatirkan keponakannya sejak ada Devan. Berharap Devan adalah pelindung yang dikirimkan Tuhan untuk Kanaya.

    Devan mengarahkan senter dalam ponselnya ke arah Kanaya yang berjongkok sambil memegang kepalanya. Devan tahu gadis itu tengah ketakutan. Ia mendekati Kanaya dan mencoba untuk menenangkannya. 

    "Apa kamu takut suara petir?" Kanaya hanya mengangguk seraya menutup matanya. 

     "Ayo kuantar ke kamarmu, kamu bisa menggunakan ponselku untuk menerangi kamarmu."

    Kanaya menurut dan mendekatkan tubuhnya pada Devan. Entah kenapa saat ini ia tidak memikirkan hal lain saat berdekatan dengan Devan. Padahal biasanya ia akan menganggap Devan mencari kesempatan padanya 

     Setelah sampai ke kamar, Kanaya duduk di atas ranjang dan menutup sebagian tubuhnya dengan selimut.  Ia benar-benar takut pada petir yang kilatannya terlihat dari jendela kaca dan atap kaca.

    Duaarr! 

     Suara petir terdengar menggelegar. Lebih keras dari yang pertama mereka dengar. Kanaya ketakutan dan menutup telinganya. Devan mengarahkan senter ponselnya dan melihat Kanaya menangis tanpa suara.

      Devan menutup tirai jendela, dan tanpa berpikir panjang, ia memeluk Kanaya yang ketakutan. Ia mengelus punggung gadis itu sampai akhirnya tertidur dalam dekapannya.

   Devan membaringkan tubuh Kanaya lalu menyelimutinya. Ia menatap wajah manis gadis itu dengan seksama. Terlihat sangat manis meski lewat sedikit cahaya dari senter ponsel miliknya. 

     Entah kenapa, Devan merasakan hatinya ingin melindungi dan menjaga Kanaya. Gadis itu telah membuat Devan tersenyum, "Sangat manis jika sedang tertidur lelap seperti ini," ucap Devan yang menatap kagum.

     Dipandanginya wajah ayu nan mulus tanpa noda itu. Sepertinya ada rasa yang aneh yang ia rasakan saat menatap Kanaya. Perasaan yang telah lama menghilang dari hatinya, kini seolah hadir kembali. Ia menyadari jika ia mulai menyukai gadis bertubuh proporsional itu. Namun ia sadar jika ternyata Kanaya telah memiliki kekasih. 

    Tadi siang, ia bertemu dengan tetangga Kanaya yang pernah ia lihat saat di rumah pak RT. Bu Sumi mengatakan padanya bahwa Kanaya diantarkan oleh laki-laki muda dengan motor sportnya. Devan jadi berpikir, mungkin itu adalah pacar Kanaya. 

    Jika dipikir-pikir, itu bukanlah sebuah masalah, karena saat ini ia sudah menjadi suami Kanaya. Namun, ia juga tidak mau menghancurkan hubungan Kanaya dengan kekasihnya. Dan ia pun tidak bisa begitu saja mendekati Kanaya, karena pernikahan mereka ini hanyalah karena terpaksa. Bukan karena cinta. Tapi, kini telah tumbuh benih-benih cinta dari hati Devan untuk Kanaya. 

    "Ayah," lirih Kanaya dalam tidurnya, "jangan pergi!" Ia memegang lengan Devan dan memeluk tubuh kekar itu. Ia tidak sadar jika Devanlah yang saat ini sedang ia peluk. 

    Devan hendak bangkit, tetapi Kanaya semakin erat memeluknya. Terpaksa ia berbaring di samping Kanaya dan membiarkan gadis itu memeluk tubuhnya. Aroma tubuh yang khas dari seorang gadis. Gemuruh dalam dadanya semakin tidak bisa ia hilangkan, "Huh, benar-benar cobaan yang berat!" 

      Ia menatap lekat wajah ayu yang hanya berjarak beberapa centi meter dari wajahnya itu. Bibir yang begitu menggoda, Devan menyentuh bibir itu dengan tangannya. Saat ini, jiwa laki-lakinya benar-benar tertantang. 

     

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status